Lelaki Pemahat Rindu
secangkir kenangan
belum sempat kau tuang untuk dahagaku
saat engkau meronta lagi ke arah-kapal-hilang
salah-apa ombak, atau elang-elang putih
sehingga tak sederajat pun
kau sudi menoleh ke bekas-bekas jejakmu?
belum lagi tanda-tanda malam membintik di tenggara,
telah kau gulung senyummu
menjadi sebuah lambai
yang kau kibas dengan nada-hambar
sambil kau tarikan jurus langkah-amarah
bahkan belum sebatang rokok pun
kuresapi sore ini
ketika kita-coba berbincang menemani butir-pesisir
yang sebentar lagi
pasti berubah jadi lampu malu-malu di pelabuhan,
begitulah. pergimu
telah membekukan sekeping-sisa-lembayung,
langit sebuah-beranda
yang belum pernah berhasil menimang bola matamu.
Beginilah senja-senja sepeninggalmu,
sepenghuni pulau telah letih
merintihkan rindu-rindu-purnamanya,
tapi aku masih saja, masih tetap seorang pramusuara,
yang bagai-api
membunyikan melodi-melodi-gitar-kenangan
ke sepenjuru cuaca malam
di pub cattage-cottage
hingga ke deretan bungalo
yang-satu-satu tampak telah mulai belajar berdandan
dengan segala solekan dan bebunga-warna
pun, :
segala mitos pulau biru itu,
juga sejarah centil ombak-ombak
masih belum sukses kutukangi dengan lagu,
atau dengan ayat-ayat rindu yang terpaksa kusadaikan
di pancang-pancang-dermaga yang melumut,
namun alinea-alinea rindu untukmu
entah sampai setengah mati
pasti mesti kukuliti seteliti-hati
meski itu hanya lewat surat-surat yang belum juga beralamat
entahlah hingga kuas di jemariku ini mati lemas
saat air mata dan kaligrafi-doa-doa
kutorehkan sebagai firman-pulang bagi jejak mu
yang urung mekar dari pori-pori saujana hitam
muncullah jadi selengkung pelangi-muda
yang tersenyum di atas danau
pada sebuah perjamuan senja:
yang selalu membiru di pulau kemarau
Topi Tao Parbaba, 2008
Lelaki Pemahat Rindu
- 1343 dibaca
Komentar
Tulis komentar baru