SELALU MENURUT KEINGINAN PERASAAN
Kendati pengembara Beber Maroko
melunasi janjinya atas nama rindu.
Aku keraskan perasaan tuk datang,
walau kau gurun, kau hutan,
kau lembah, kau pulau
dan aku selalu maut berbaik menjemput.
Meski, tak sedang rindu menemuimu.
Aku memilih melewati arah tanpa peta.
Aku menurut dengan perasaan belaka.
—Diriku: Mengembaralah, sebab jalan luka
berkantung penuh getah di hatinya
abadi ingin sekali lekat di tapak tanganku.
Gugurlah daun—sebab tanah lapang
yang luput dari sapu dan angin tercipta di muka bumi.
Terluka jika waktu punya daya membersihkan rindu.
Dunia adalah sekat yang pekat jika
kaki hanya mampu melangkah cepat
dan pelan bukanlah pilihan.
—Dirimu: Hatimu kembar mengkal jambu
yang dipetik setelah ingatan mengira kisaran hari.
Lalu, lupa seperti pekerjaan sepele yang dimudahkan
kata-kata penyair. Jambu itu pun masak dan jatuh membusuk.
Berkatalah hati yang dimudahkan.
Jauh dari singgah hatiku yang pindah
ke lain hati. Aku justru melamun mengingat
apa yang kulalui bukan hasil mengembara yang baik kepadamu.
Aku kejam yang dendam dengan diriku sendiri.
O pengembara, masihkah kau ada di hatiku
dan mengiringi cintaku yang ingin
memiliki riwayat pengembara luka?
CATATAN HARIAN BUAT MANTAN KEKASIH
Rindu yang kau jatahkan padaku serupa burung tanpa kaki sebelah.
Jatuh di hatiku dan kuterima hinggap membelah langkahku kian tertatih.
Padahal, kuterka semua ingin yang malu-malu kau sebut-sebut sebagai sebab.
Darimu tak menyukai langit yang membuat kita mengingat tenda
yang pernah bersaksi pada ucapanku menjadi kecupan indah sesaat
setelah bayangan burung pulang dari kembaranya.
Saat malam-malam menjadi pendek. Rindu tiba-tiba jadi penghapus
yang pernah mencintai tulisan tangan yang menggugupkanku menuliskanmu
dalam catatan harian yang panjang. Darinya kuputuskan membenci loteng.
Waktu yang kuhabiskan menumpakan rindu menjadi perlambang kenanganku
perlahan menjadi airmata beraroma cuka.
Barangkali kau tak bakal lupa, pucat mukaku
saat merogoh saku celana di kasir kantin sekolah.
Cerahnya siang tak menyisakan segalanya. Aku bersitahan menahan malu
yang menguatkanku mengenang kebersamaan kita pada ranting yang mudah patah
dan patah yang tak akan kuat jadi ranting lagi.
ENGKAU INGIN SEBEBAS-BEBASNYA MENCINTAIKU
Engkau ingin sebebas-bebasnya mencintaiku
tanpa tekanan dari dalam dan luar diriku.
Tapi, engkau malah malas sendiri
dan memutuskan hadir dalam puisi
yang kutulis karena paksaan.
Aku memaksakan kehendak
menghadirkanmu tanpa kerja keras.
Tentang pohon, ladang, hewan ternak,
dan pedesaan yang berbau tubuhmu.
Lagu-lagu yang menumbuhkanmu
lagi-lagi membuatku terluka.
Sebab, aku tumbuh di rumah yang tertutup.
Hanya beberapa menit saja bisa terbuka.
MENJADI PENYAIR ITU
—Prohibit the poet, to expect an avowedly flattered.
To The Poet, Alexander Sergeyevich Pushkin (1799-1837)
Menjadi penyair itu
seperti kuli bangunan dalam menyusun batu-batu.
Pilihannya adalah kata-kata.
Dan kini, tak ada pilihan lain selain menepati kata-kata
menguji mentalku menuliskannya.
Lalu, menjadikannya manusia, sekiranya menghantuiku
sampai aku terbangun lalu lupa tidur
—mungkin dunia lain sedang kujemput.
Cat-cat mulai melepas diri dari tembok, besi,
atau kursi untuk kemudian mewarnai dirinya.
Lebih sering ia mewarnai apapun di kotaku.
Ia sadar dalam kata-kata
yang membuatnya ingin jadi manusia.
Aku yang membantunya.
Kemudian, diwaktu-waktu luang.
Aku mengajak kata-kata untuk bisa
membuat kota buat cat-cata untuk
menetap hingga menemui ajalnya.
Mendidik anak dan membuat rumah
—dalam kesadaran yang sederhana.
Tak seperti manusia di kotaku.
Membuat yang fana itu abadi di matanya.
MENUNGGU ITU, ENGKAU
Buat: Finy Alvionicha
Menunggu engkau secara biasa
adalah taman yang tak pernah kutemui
di kota ini, kotak hati.
Kemarahan dan keramahan saling berseteru.
“Apa jadinya, jika menunggu secara perasaan.
Takkan ditemui kebosanan kan?” Ini jaminan.
Sejauh mana harapan melangkah.
Tatapan tetap, mengabdi pada apa
yang abadi telah ia tunjuk.
Kebersamaan tepatnya.
Kini, kuingat dulu, engkau berkilah.
Engkau menunggu kisah yang pernah singgah,
dan aku pun menunggumu singgah
di taman aku mencari dan mencari hiburan.
Engkau adalah taman yang luar biasa.
Membuatku pernah mengunggu-nunggu.
Menunggumu itu, seperti membaca buku remaja.
Konon, alurnya duhai.
Ceritanya bisa mengubah apapun jadi teka-teki.
Mungkin saja, ada kesadaran yang paling tulus,
yang coba bermakna sebagai upaya
penyelaman untuk menyelamatkan
menunggu itu dengan pergi.
ADA DI SETIAP AKU MENIADAKANMU
Aku mendambakan peluru mengetuk tubuhku.
Yang jauh hari pernah kupesankan padamu,
jika aku mengalaminya. Engkau jangan sia-siakan
waktu untuk mendatangiku.
Atau meramu resah yang menenggelamkanmu
untuk meluap sedih. Tentangmu, sudah tak terhitung.
Pertama-tama, ada banyak yang tersimpan dipikiranku
yang tentunya bukan rahasia lagi bagimu.
Ingin kusilahkan Van Gogh, atau Ernst Ludwig Kirchner
atau Salvador Dali memasuki pikiranku.
Ada banyak warna di sana yang tak bisa kutumpahkan.
Padahal—aku ingin melukismu
dalam banyak adegan kenangan.
Paling hinggap dan matiku mungkin akan diantar
adalah soal ciuman singkatmu. Ibu dan ayahku semasa
aku ada di dunia ini, kuyakin tak mungkin melakukannya.
Jemarimu yang pendek dan kecil, sungguh cukup peka
menghapus peluh di jidatku.
Setidaknya, jika cintaku terenggut lagi
oleh api asmara, aku tahu, museum macam apa
yang layak menyimpan karya-karyaku.
Engkau kaya perhatian, walau apapun yang engkau
lakukan itu sering singkat dan pendek.
Terserah! Engkau boleh tak percaya
khayalanku. Atau jika engkau berusaha tahu,
apa yang kupikir saat ini, itu bukan jawaban.
Tetapi, sebuah pernyataan belaka.
Kedua, kalimat terakhir yang pulang ke pendengaranku
sebenarnya menyakitkan, tetapi penting buat kuingat.
Engkau mengembang dan mengambang
di dadaku yang penuh obsesi.
Ya, mungkin tulisan ini hanya akalan-akalanku saja.
Pun, konsep di kepalaku selalu sia-sia,
sebab, ia akan jadi sisa-sisa yang berhujung menjadi sampah.
Ah, engkau mengingatkanku pada Lorca.
Kata-katamu jadi jembatan, jadi rel atau jadi bandara.
Lalu, kuingat La Galigo dan Sinrilik
yang menahanku pedih dalam hidup.
Tragedi yang selalu kudengar baik
hidup ada dalam genggaman mati.
Terakhir, dalam buku yang pernah engkau baca,
dan bacakan ulang menurut persepsimu,
aku malah merasa bahagia terluka.
Desakan kecil, membuatku mengatakan cinta padamu
yang terlampau cepat dan tergesa-gesa
makin membuatmu ada di setiap aku meniadakanmu.
Kadang-kadang aku berbohong pada seseorang,
bahwa salah satu huruf yang membentuk namamu
kubenci dan benci untuk bertahan.
Komentar
Tulis komentar baru