Skip to Content

PUISI-PUISI AL-FIAN DIPPAHATANG

Foto Al-Fian Dippahatang

SELALU MENURUT KEINGINAN PERASAAN

 

Kendati pengembara Beber Maroko

melunasi janjinya atas nama rindu.

Aku keraskan perasaan tuk datang,

walau kau gurun, kau hutan,

kau lembah, kau pulau

dan aku selalu maut berbaik menjemput.

Meski, tak sedang rindu menemuimu.

Aku memilih melewati arah tanpa peta.

Aku menurut dengan perasaan belaka.

 

—Diriku: Mengembaralah, sebab jalan luka

berkantung penuh getah di hatinya

abadi ingin sekali lekat di tapak tanganku.

 

Gugurlah daun—sebab tanah lapang

yang luput dari sapu dan angin tercipta di muka bumi.

Terluka jika waktu punya daya membersihkan rindu.

Dunia adalah sekat yang pekat jika

kaki hanya mampu melangkah cepat

dan pelan bukanlah pilihan.

 

—Dirimu: Hatimu kembar mengkal jambu

yang dipetik setelah ingatan mengira kisaran hari.

Lalu, lupa seperti pekerjaan sepele yang dimudahkan

kata-kata penyair. Jambu itu pun masak dan jatuh membusuk.

Berkatalah hati yang dimudahkan.

 

Jauh dari singgah hatiku yang pindah

ke lain hati. Aku justru melamun mengingat

apa yang kulalui bukan hasil mengembara yang baik kepadamu.

Aku kejam yang dendam dengan diriku sendiri.

 

O pengembara, masihkah kau ada di hatiku

dan mengiringi cintaku yang ingin

memiliki riwayat pengembara luka?

 

 

CATATAN HARIAN BUAT MANTAN KEKASIH

 

Rindu yang kau jatahkan padaku serupa burung tanpa kaki sebelah.

Jatuh di hatiku dan kuterima hinggap membelah langkahku kian tertatih.

Padahal, kuterka semua ingin yang malu-malu kau sebut-sebut sebagai sebab.

Darimu tak menyukai langit yang membuat kita mengingat tenda

yang pernah bersaksi pada ucapanku menjadi kecupan indah sesaat

setelah bayangan burung pulang dari kembaranya.

 

Saat malam-malam menjadi pendek. Rindu tiba-tiba jadi penghapus

yang pernah mencintai tulisan tangan yang menggugupkanku menuliskanmu

dalam catatan harian yang panjang. Darinya kuputuskan membenci loteng.

Waktu yang kuhabiskan menumpakan rindu menjadi perlambang kenanganku

perlahan menjadi airmata beraroma cuka.

 

Barangkali kau tak bakal lupa, pucat mukaku

saat merogoh saku celana di kasir kantin sekolah.

Cerahnya siang tak menyisakan segalanya. Aku bersitahan menahan malu

yang menguatkanku mengenang kebersamaan kita pada ranting yang mudah patah

dan patah yang tak akan kuat jadi ranting lagi.

 

 

ENGKAU INGIN SEBEBAS-BEBASNYA MENCINTAIKU

 

Engkau ingin sebebas-bebasnya mencintaiku

tanpa tekanan dari dalam dan luar diriku.

Tapi, engkau malah malas sendiri

dan memutuskan hadir dalam puisi

yang kutulis karena paksaan.

 

Aku memaksakan kehendak

menghadirkanmu tanpa kerja keras.

Tentang pohon, ladang, hewan ternak,

dan pedesaan yang berbau tubuhmu.

 

Lagu-lagu yang menumbuhkanmu

lagi-lagi membuatku terluka.

Sebab, aku tumbuh di rumah yang tertutup.

 

Hanya beberapa menit saja bisa terbuka.

 

 

MENJADI PENYAIR ITU

 

—Prohibit the poet, to expect an avowedly flattered.

To The Poet, Alexander Sergeyevich Pushkin (1799-1837)

 

Menjadi penyair itu

seperti kuli bangunan dalam menyusun batu-batu.

Pilihannya adalah kata-kata.

Dan kini, tak ada pilihan lain selain menepati kata-kata

menguji mentalku menuliskannya.

Lalu, menjadikannya manusia, sekiranya menghantuiku

sampai aku terbangun lalu lupa tidur

—mungkin dunia lain sedang kujemput.

 

Cat-cat mulai melepas diri dari tembok, besi,

atau kursi untuk kemudian mewarnai dirinya.

Lebih sering ia mewarnai apapun di kotaku.

Ia sadar dalam kata-kata

yang membuatnya ingin jadi manusia.

Aku yang membantunya.

 

Kemudian, diwaktu-waktu luang.

Aku mengajak kata-kata untuk bisa

membuat kota buat cat-cata untuk

menetap hingga menemui ajalnya.

Mendidik anak dan membuat rumah

—dalam kesadaran yang sederhana.

 

Tak seperti manusia di kotaku.

Membuat yang fana itu abadi di matanya.

 

 

MENUNGGU ITU, ENGKAU

Buat: Finy Alvionicha 

 

Menunggu engkau secara biasa

adalah taman yang tak pernah kutemui

di kota ini, kotak hati.

Kemarahan dan keramahan saling berseteru.

 

“Apa jadinya, jika menunggu secara perasaan.

Takkan ditemui kebosanan kan?” Ini jaminan.

 

Sejauh mana harapan melangkah.

Tatapan tetap, mengabdi pada apa

yang abadi telah ia tunjuk.

Kebersamaan tepatnya.

 

Kini, kuingat dulu, engkau berkilah.

Engkau menunggu kisah yang pernah singgah,

dan aku pun menunggumu singgah

di taman aku mencari dan mencari hiburan.

 

Engkau adalah taman yang luar biasa.

Membuatku pernah mengunggu-nunggu.

 

Menunggumu itu, seperti membaca buku remaja.

Konon, alurnya duhai.

Ceritanya bisa mengubah apapun jadi teka-teki.

Mungkin saja, ada kesadaran yang paling tulus,

yang coba bermakna sebagai upaya

penyelaman untuk menyelamatkan

menunggu itu dengan pergi.

 

 

ADA DI SETIAP AKU MENIADAKANMU

 

Aku mendambakan peluru mengetuk tubuhku.

Yang jauh hari pernah kupesankan padamu,

jika aku mengalaminya. Engkau jangan sia-siakan

waktu untuk mendatangiku.

Atau meramu resah yang menenggelamkanmu

untuk meluap sedih. Tentangmu, sudah tak terhitung.

 

Pertama-tama, ada banyak yang tersimpan dipikiranku

yang tentunya bukan rahasia lagi bagimu.

Ingin kusilahkan Van Gogh, atau  Ernst Ludwig Kirchner

atau Salvador Dali memasuki pikiranku.

Ada banyak warna di sana yang tak bisa kutumpahkan.

Padahal—aku ingin melukismu

dalam banyak adegan kenangan.

 

Paling hinggap dan matiku mungkin akan diantar

adalah soal ciuman singkatmu. Ibu dan ayahku semasa

aku ada di dunia ini, kuyakin tak mungkin melakukannya.

Jemarimu yang pendek dan kecil, sungguh cukup peka

menghapus peluh di jidatku.

 

Setidaknya, jika cintaku terenggut lagi

oleh api asmara, aku tahu, museum macam apa

yang layak menyimpan karya-karyaku.

Engkau kaya perhatian, walau apapun yang engkau

lakukan itu sering singkat dan pendek.

 

Terserah! Engkau boleh tak percaya

khayalanku. Atau jika engkau berusaha tahu,

apa yang kupikir saat ini, itu bukan jawaban.

Tetapi, sebuah pernyataan belaka.

 

Kedua, kalimat terakhir yang pulang ke pendengaranku

sebenarnya menyakitkan, tetapi penting buat kuingat.

Engkau mengembang dan mengambang

di dadaku yang penuh obsesi.

Ya, mungkin tulisan ini hanya akalan-akalanku saja.

Pun, konsep di kepalaku selalu sia-sia,

sebab, ia akan jadi sisa-sisa yang berhujung menjadi sampah.

 

Ah, engkau mengingatkanku pada Lorca.

Kata-katamu jadi jembatan, jadi rel atau jadi bandara.

Lalu, kuingat La Galigo dan Sinrilik

yang menahanku pedih dalam hidup.

Tragedi yang selalu kudengar baik

hidup ada dalam genggaman mati.

 

Terakhir, dalam buku yang pernah engkau baca,

dan bacakan ulang menurut persepsimu,

aku malah merasa bahagia terluka.

Desakan kecil, membuatku mengatakan cinta padamu

yang terlampau cepat dan tergesa-gesa

makin membuatmu ada di setiap aku meniadakanmu.

Kadang-kadang aku berbohong pada seseorang,

bahwa salah satu huruf yang membentuk namamu

kubenci dan benci untuk bertahan.

 

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler