/1/
SURAT CINTA
mengapa ada sepi, pada mata yang luka?
membaca surat cintamu
laksana nyalakan lentera saat gulita
suratmu kudus dan perawan
pada tiap potong mozaik zaman
membaca lagi suratmu
hatiku bergetar riuh
dalam dekapan rindu
suratmu jadi pelukan resah
yang merayap pada senyap saat
airmata meluruh pada sajadah
deras jatuh tumpah membuncah
suratmu bicara
menembus ruang hampa, nircahaya
menyapu hati beku, jasad kaku
getar meregang urat nadi
sesali bara yang jadi abu?
ah,
suratmu memapah
tapaki lembaran baru
dengan langkah tertatih
hadapkan wajah penuh nanah
pada terang rona purnama
suratmu menyapa
jiwa yang mokhsa
pada pias cahaya
tanpa warna, tanpa rupa
suratmu tekateki
yang selesai kuterka
saat api hangati kaki
surat cintamu telah kubaca
mengapa ada sunyi, pada hati yang duka?
/2/
KEKASIH
kekasihku
puisi telah selesai melukis mimpi kita
tepat saat kau tabur bunga kemboja
di atas pusara duka
kekasihku,
mengapa begitu pendek perasaan kita?
sebentar-sebentar mudah putus asa
padahal langit masih menyiratkan tanda
masa depan cerah bagi cinta kita
kekasihku,
masihkah kau menyimpan seiris puisi
yang pernah kukirim saat kau khusyu berdoa?
ah, betapa kosong kekhawatiran kita
sebentar-bentar berdusta demi hilangnya luka
padahal garis pantai masih jadi cakrawala
batas antara mimpi dan cita-cita!
kekasihku,
apa yang menyeretmu memutus nyawa?
padahal burung podang masih berkicau
padahal seiris puisi baru selesai kucerna
sebagai perekat kejujuran kita
kekasihku,
masihkah ada rahasia antara kita?
sejak kau mengenalku lewat puisi
yang kukirim sebagai pertanda
kacaubalau – risaugalau hati tersayat
tajamnya pisau mahaduka
kekasihku,
seiris puisi ini hanya potongan cerita
yang tak pernah selesai kubaca
kerna engkau terburu meninggalkan
diriku sendiri pada jurang dalam
dari hasrat yang menganga lebar
/3/
TAUSYIAH API
apa yang bisa kau maknai, jika nafas sudah
sampai di pangkal leher?
“allohu akbar”
dan terputusnya kenikmatan itu, akan menghampirimu
kapan saja, dimana saja
baik kamu menunaikan panggilanNya
ataupun menyiakannya
dan orang yang berjihad itu
tidaklah mati seperti perkiraan mereka
tapi sungguh hidup dalam gelimang nikmat
abadi di sisiNya
“allohu akbar”
dan mengalirnya darah mujahid itu
sungai yang mengalir ke muara
disambut seribu bidadari
yang saling berlomba
merengkuh atas ijin azzawajalla
pemilik Firdaus dan Adn
sungguh nyata!
bara yang jadi abu, kini terseret jauh
terbawa riuh angin yang kian dingin
“allohu akbar”
jika jihad jalan terpilih
aku ingin bersama kita lewati
apa yang menyulut jiwa manusia
untuk bergerak bersama?
Komentar
Tulis komentar baru