Skip to Content

Perempuan Jalang

PEREMPUAN JALANG, 1

 

Di perempatan kota, sepasang mata jalang menyala

senyum-senyum mungilnya hangus terbakar tanduk-tanduk kerisauan

IRAMA NAN BERSENANDUNG

IRAMA NAN BERSENANDUNG

Kemirau @ Sang Murba

 

“HAIRAN sungguh aku dengan orang sekarang!” Rasa kesal jelas terpancar di wajah Long Nah. Segala yang terbuku di hatinya selama ini bagaikan tidak tertahan-tahan lagi.

Molotov Terakhir

peluru melesat. menerobos kulit yang asing. menembus dada berdetak tegas

pemilik langkah yang enggan mundur

walau udara memanas di dalam kepala

Belum Usai

Isi kepala yang terkelupas barisan perhitungan logika angka satu plus sepuluh titik enam akar dua, yang kau yakini tak ;pernah ku temui di saat aku bekerja

Joan UduPerempuan JalangKemirauIRAMA NAN BERSENANDUNG
Salman ImaduddinMolotov TerakhirLalik KongkarBelum Usai

Puisi

Sepenggal Pesan

siluet menjelang bulan ajal

kelebat terasa smakin mencekam

kantuk surya menung tertahan

teriak pagi menegur malam

~

mentari mengurai syair lama

mencari titik suatu peristiwa

kian panjang menusuk jalan

sampai ketetapan denyut nadi

~

bayang hapuslah sebutan jalang

jelaga segala perih menoreh

agar langit menerima berkas putih

satu sisa angin lembah kenangan

Sekilas Perjalanan

batang urat di comberan kota

kedip mata hijau lalu jalang

segala kecap lirih buaian manis

 

lengan panjang penuh coretan bibir

leher tercekik memar serutan jerat

bulan bersepuh hitam meregang

 

tak halal sbagai kenikmatan

neraka adalah sorgawi dosa

pejalan malam  sesaat malam

Di balik topeng

musti jengkali tahta

dendang melenggang

mengecap nadi

telanjangi muka suci

topeng

~

menjerat kucing,

tikus pemangsa,

kaku keyakinan

mengerat

beralas juta lembaran,

edisi pagi

bumi dan angin

yang setia diam

 

aku dan kamu bagaikan bumi dan angin

bumi yang setia diam pada porosnya

menunggu angin datang

kau yang terindah

dalam diriku
entah apa yang terjadi
namun aku merasa lelah
dia yang membuatku seperti ini
yang membuatku menunggu
rasanya ingin ku pergi
entah ke masa lalu ataupun masa depan

Petani Usang

Siang tegak lurus penuh peluh

Enggah nafas lalu lalang

Demi sesuap dan seteguk

Impas tulang belulang kering

Kulit kerut mengalur

Sungai keringat kehulu

Tuk sisa esok

Menanti senja tiba

K u r s i

Itu kemarin, kursi masih diam

 

Sekarang setelah ada kau

Selalu bergoyang-goyang

Menengadah lalu menunduk

 

Tahukah kau…

Kursi itu penuh bangsat

Tempat tikus buncit

Taring atssnya ompong

Taring bawahnya tajam

 

Tahukah kau…

Walau aku katakana singgasana

Raga Tak Berkiwa

terkapar hingga caci mengalir

tergolek dera ragapun tak bedaya

tersisa selembar sungging

jiwa gila bagai binatang

egois tak sanggup raih jiwanya

Saat Tiba

Perpejam

Nganga

Tinggal satu nafas

Melesat…

Pintu ubun terbuka

Memmucat pasi

Seputih kapas

Dingin…

Dingin

Kudekap ketiak malam

Gigil menahan eja asmamu

Kaku terbaring anganku

Mengukir galau dalam benak

 

Gelap semakin mengendap

Bisu agas meronta geliat

Menyulam sayap menyeringai

dingin menekat diantara

panjang jalan terhitung

tinggal separoh gelap meredup

Sindikasi materi


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler