Skip to Content

CEPREN-Sembari Mendengarkan Nirvana

Foto Candra Lesmana

Di tepi ranjang yang telah reyot ini, aku duduk. Sembari memegangi kepala, aku tahan rasa sakit yang sungguh sangat luar biasa. Akhir-akhir ini tubuh ringkihku memang sedang sering-seringnya ngadat. Sakit perutlah, pusinglah, sakit gigi, mag, bahkan sekali pernah pingsan. Ah, sial betul memang kejadian yang menimpaku akhir-akhir ini. Sudah menganggur, di rumah—orang tua bertengkar terus. Ingin menikah, masih terganjal penghasilan.

Terkadang aku merasa heran, kenapa seorang lelaki bujang yang hendak menikahi seorang perempuan, pertanyaan kedua setelah nama, pasti pekerjaan. Apakah itu sifat alamiah manusia? Atau jangan-jangan itu bentuk lain dari rasa tidak yakin akan Tuhan? Antahlah. Aku kemudian berdiri. Ku ambil pil pereda nyeri dan menenggaknya. Selang beberapa menit kemudian, nyeri itu memang reda. Tapi, percekcokan ibu dan bapak, masih terdengar nyaring bunyinya. Aku mendengus kesal, betapa tidak, hanya karna masalah tidak dapat jatah bantuan dari pemerintah, dua orang pasangan hidup yang bahkan telah menikah lebih dari 25 tahun lamanya, harus bertengkar dikala hari masih pagi buta. Lagi pula, begini betul nasibku, ingin bicara melerai mereka, aku saja masih menjadi benalu. Sementara dalam suasana tegang seperti itu, jangankan mendengarkan ucapanku, melihat mukaku saja mereka seakan-akan muak.

Kalau sudah begini, aku hanya akan duduk di tepi ranjang reyot sembari memegangi kepala, atau—pergi menenangkan diri dan menyepi di sebuah tempat yang sedikit jauh dari rumah. Ya, sedikit saja. Jika kejauhan, aku perlu memiliki banyak bekal buat makan. Pemerintah kan tidak menyediakan bantuan buat anak yang lari dari rumahnya karna bosan mendengar kedua orang tuanya bertengkar terus, apalagi soal sembako yang pembagiannya masih saja tidak merata. Sial, lari dari rumah saja, aku bahkan harus mempertimbangkannya. Jika sudah begini, karna tidak mungkin menenggak obat lagi, ku pasang saja Headset di kepalaku, ku nyalakan musik sekeras mungkin dan seperti itulah jalan keluarnya. Dengan begitu, suara percekcokan kedua orang tuaku tentu tak akan terdengar lagi. Namun lagi-lagi sial, karna mungkin sudah terlalu sering memutar musik dengan volume keras, telingaku akhirnya bermasalah.

Aku sering kali tidak mendengar apa yang orang lain bicarakan padaku, dengan kata lain, kali ini aku menjadi sedikit budek. Meskipun begitu, nasib budek ini memang sedikit membantu, jika menyoal percekcokan. Aku jadi tak perlu repot-repot lagi memasang Headset di telingaku, hanya demi menghindari gaduhnya percekcokkan. Tapi ruginya, aku sering kali di jadikan bahan bulian, karna masih muda, menganggur, budek pula. Tapi bagiku soal budek bukanlah suatu masalah besar, toh jika aku banyak uang—soal budek mah gampang.

Zaman kan sudah lebih modern, alat-alat canggih sudah tak kurang-kurang. Yang jadi masalah tentu saja menyoal penghasilan. Bicara penghasilan, apalagi yang perlu di bahas dari seorang lelaki pengangguran sepertiku? Tentu saja tidak ada. Jangankan membicarakan penghasilan, untuk makan sehari-hari saja susahnya naudzubillah. Orang-orang mungkin berpikir bahwa aku pemalas. Aku tentu tak terima jika dianggap demikian. Mereka tidak berada di posisiku, wajar jika moncongnya lancang bicara seperti itu.

Kadang jika sudah seperti itu—aku sering kali berpikir, apakah anak-anak kecil yang mengamen di lampu merah itu adalah anak-anak yang malas belajar? Atau pengamen jalanan lainnya bisa juga di bilang orang malas? Apa pemulung itu orang malas? Apakah hal-hal yang terkonotasi rendah harus senantiasa jadi bahan kambing hitam, dari tidak mampunya manusia menghargai sesama? Aku jadi sering kali heran jika memikirkan semua itu. Hanya karna kita merasa satu tingkat di atas yang lain, itu bukan berarti kita boleh menilai segalanya hanya dari sudut pandang kita sendiri bukan? Di tepi ranjang yang reyot, karna kepalaku di penuhi pikiran dan menumpuk banyak pertanyaan, akhirnya kembali terasa sakit lagi. Obat pereda nyeri hanya bertahan sebentar saja. Namanya juga pereda, bukan penyembuh. Jadi wajar jikalau efeknya hanya sebentar.

Sementara itu, telingaku rasanya sudah semakin memeka. Musik yang ku putar keras, ternyata hanya menambah sakit kepala. Ya, bagaimana tidak. Musik yang ku putar sendiri adalah musik beraliran keras. Contohnya musik yang aku putar saat ini, Smells like teen spirit dari Nirvana. Konotasinya yang naik turun tentu membuat kepalaku serasa di ninabobokan dalam suasana bebas khas Grunge. Tapi, antah kenapa, di tengah-tengah keasyikan mendengar lagu itu, tiba-tiba saja aku ingat tentang kematian Kurt Kobain. Musisi yang dikagumi pada masanya bahkan sampai kini, ternyata malah mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Ya, itu sedikit ngeri. Orang sekelas Kurt Kobain mengakhiri hidupnya? Jika menyoal pandangan dunia, tentu saja tidak ada yang kurang darinya. Karier, penggemar, finansial, semuanya dalam tarap sempurna. Aku jadi sering bertanya ketika memutar lagu-lagunya, apa yang kurang dari Kurt Kobain sehingga ia mengakhiri hidupnya dengan cara yang tragis? Antahlah.

Karna telingaku rasanya sudah semakin memeka, ku lepas Headset dari kepalaku. Tapi aku merasakan sesuatu yang tidak ku duga, pendengaranku, tiba-tiba saja normal kembali rasanya. Sementara itu, aku tak mendengar lagi percekcokan antara bapak dan ibu. Suasana hening, dan sedikit sendu. Lantas ku buka pintu kamar, bergegas menuju ruang tamu, dapur, dan ruang-ruang lainnya, termasuk kamar mandi. Tapi aku tak menemukan siapa-siapa. Semua orang yang ada di rumah, pergi entah ke mana. Karna merasa keheranan, aku kembali ke kamar. Aku kembali duduk di tepi ranjangku yang reyot, memasang headset dan kembali memutar lagu dengan volume keras. Sembari memejamkan mata, aku mengingat apa saja yang terjadi akhir-akhir ini di kehidupanku.

Setelah cukup lama, perlahan ku buka kembali kelopak mataku. Ruangan tiba-tiba saja menjadi putih, suara pertengkaran ibu dan bapak, kembali nyaring bunyinya, bahkan lebih nyaring dari yang pertama. Ruh Kurt Kobain seakan-akan ada di sana, berteriak tepat di hadapanku.

Dan tiba-tiba saja aku merasa berada di lautan manusia yang tengah menonton konsernya (Nirvana.) Ku ayunkan kepalaku naik turun, ku dengar percekcokkan antara ibu dan bapak menjadi backing vokal dari lagu Nirvana. Aku mendengar sebuah suguhan musik yang tidak biasa, berkeringat dan merasakan atmosfer yang sempurna. Di tengah kegaduhanku, seseorang membuka pintu dan berteriak.

 

Matikan musikmu, atau ku penggal kepalamu!”

 

Cibeber, 2020


Candra Lesmana adalah seorang lelaki kelahiran Cianjur, 19 Agustus 1997. Menyukai dunia tulis menulis sejak mengenyam pendidikan SMP. Beberapa karya miliknya telah masuk buku antologi lomba, seperti Kembara Semesta (Yama Publisher) dan Tentang Waktu (JSI Press.) Ada juga yang di muat di blog, dan platform menulis seperti Wattpad, Medium, dan berbagai media sosialnya. Candra Lesmana juga sering memakai nama pena nya sebagai Kalimatrasa. Juara ke II Lomba Cipta Puisi yang di selenggarakan Komunitas Penulis Lingkar Pena. Kenali lebih lanjut di IG :@anddralesmana Wattpad :@koalajantan @kalimatrasa Facebook: anddralesmana

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler