Skip to Content

LEGENDA DANAU ASMARA

Foto camelia fernandez

Secara  etimologi, kata  “waibelen  berasal  dari  dua  kata, yakni  wai yang berarti  air, dan belen yang  berarti  besar. Waibelen  berarti  air  yang  besar  atau  air  yang  luas.

Pada  jaman  dahulu  kala, di bawah  kaki  gunung (ile) Kuku  Nubu Bao Bara,( sebuah  gunung  tinggi  yang  terletak  di  Desa  Waibao), berdiamlah  penduduk asli  Desa  Waibao, yakni  orang-orang  Keka, Tengadei, Riangpuho, dan Lebao Tanjung dengan  mata  pencaharian  utama  adalah  bercocok  tanam/petani. Penduduk  asli  pada  keempat  wilayah  perkampungan  tradisional  itu, umumnya  berasal  dari  suku  Koten, Kelen, Maran  dan  Hurit( Nitit).

Dikisahkan  bahwa ada  dua(2) orang ibu  yang  tengah  menjaga  kebun yang  digarapnnya  di bawah  kaki gunung  Kuku Nubu Bao Bara. Suatu  hari, turunlah  hujan  dengan  lebatnya. Karena  hujan  lebat, seorang  ibu  yang  mendiami  salah  satu  pondok  itu, meminta  bantuan  kepada  ibu  pada  pondok  lainnya  untuk  memberinya  puntung  api, yang  dalam  bahasa  daerah/Lamaholot  disebut “ape nutok” agar ia  bisa  menanak  nasi. Karena  kondisi  ibu  sedang  hamil  tua, juga karena ulah  sikap  manusia  yang  serakah,  ibu  itu kemudian mengambil  jalan  pintas. Ia mengambil sepuntung  api  lalu  mengikatnya pada  ekor anjing  kemudian  ia  mengusir  anjing  tersebut dengan  maksud  agar  anjing  tersebut  dapat  lari  dan berlindung  pada  pondok di  sebelahnya. Karena  kedinginan, anjing  itu pun  berlari  dengan  puntung  api  yang  tetap  terikat  diekornya dan masuk  pada  pondok  yang  lain tadi. Melihat  itu, sang  ibu  tadi dan orang-orang yang sempat menyaksikan kejadian itu  menertawai  anjing tersebut  sekeras-kerasnya. Tak lama berselang, kilat dan  petir  menyambar  kemana-mana, semantara  hujan  terus  mengguyur daerah  sekitarnya. Pada  saat  bersamaan, terjadi  guncangan  maha  dasyat dan  terdengarlah   gemuruh  dari  puncak  gunung  tersebut. Seiring dengan  datangnya  gemuruh  dan  guncangan  dasyat  itu, gunung  Kuku Nubu Bao  Bara pun  roboh  dan  membentuk  sebuah  kawah  besar . Air hujan  yang  sedari  awal  mengguyur  wilayah  sekitar, menggenangi  kawah  tersebut  hingga  menyerupai  sebuah  Danau. Penduduk  asli  yang  selamat  dari  malapetaka  alam  ini, kemudian  menamai  genangan  air pada  kawah  itu  dengan  sebutan, wai bele”(yang  berarti  air  yang  besar/luas). Air  yang  menggenangi  kawah  itu, tidak  pernah  surut/kering setelah  kejadian  itu hingga  saat ini. Kejadian alam   ini, kemudian menjadikan  wai bele,   sebagai  sebuah Danau, dengan nama Danau Waibelen.

Selanjutnya, nama  Danau Waibelen, semakin dikenal  ketika  pada sekitar tahun  1970 (tepatnya  pada Bulan Desember 1970), dimana sepasang   sejoli  yang  sedang  dimabuk asmara, karena cinta mereka tak direstui kedua orang tua mereka, mereka nekat bunuh  diri dengan cara  menceburkan diri  mereka  secara  bersama  di tengah danau Waibelen. Dengan  tangan terikat tali  gebang pada  masing-masing pergelangan  tangan,  sepasang  sejoli itu  mati  secara  mengenaskan  di tepian  danau Waibelen.

Nama  sepasang  sejoli itu  adalah  Lio(Pemuda) dan Nela(Pemudi), keduanya  berasal  dari kampung  Tengadei  dan  sama-sama  satu suku  yaitu suku  Kelen. Sejak  peristiwa  tragis  itu( Tahun  1970),danau  Waibelen  seakan  berubah  nama  menjadi  Danau Asmara. Orang-orang  sekitarnya bahkan  masyarakat  Kabupaten  Flores Timur, lebih sering  menyebut  Danau  Waibelen  dengan  sebutan  baru  yakni  Danau  Asmara. Dengan   demikian, Danau Asmara, dapat  penulis  katakan  sebagai  nama lain  dari Danau  Waibelen.

Suatu hal  yang  menarik  dari  Danau Waibelen  adalah  bahwa  di  tengah  danau  tersebut, terdapat  pula  buaya, yang  oleh  masyarakat  setempat  menyapanya  dengan  sebutan  N e n e . Menurut  mereka, buaya-buaya  tersebut  merupakan  jelmaan  dari  raja “ Sabat Tei, Tua Da Lame” penghuni  ile  Sodo Bera, woka  ba Nara.  Buaya-buaya  tersebut  diyakini  sebagai  jelmaan  raja,sehingga  oleh  masyarakat  setempat sering memberikan  sesajian .

Buaya-buaya  tersebut, diyakini  tidak  akan  pernah memangsa  manusia kalau  masyarakat  setempat  tidak  saling  menyumpahi.( waja ga mo wati). Waja= buaya, ga = makan.

Itulah  sebabnya, masyarakat  setempat  sangat  berhati-hati  bila  mengeluarkan  kata-kata sumpah  yang  bersentuhan/menyebutkan  kata  waja= buaya.  Mereka  berkeyakinan  bahwa meskipun  buaya-buaya  tersebut termasuk  binatang  pemangsa, tapi  ia  tidak kan  pernah  memangsa  manusia  yang  tidak  punya  kesalahan. 

 

(SASTRA LISAN FLORES TIMUR, NUSA TENGGARA TIMUR)


SASTRA LISAN DAERAH FLORES TIMUR,

NUSA TENGGARA TIMUR.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler