“HAIRAN sungguh aku dengan orang sekarang!” Rasa kesal jelas terpancar di wajah Long Nah. Segala yang terbuku di hatinya selama ini bagaikan tidak tertahan-tahan lagi.
Isi kepala yang terkelupas barisan perhitungan logika angka satu plus sepuluh titik enam akar dua, yang kau yakini tak ;pernah ku temui di saat aku bekerja
Di kesunyian ini.. Kembali ku lihat kau berkutat dengan selimut tebal warna jingga.. Merapikan bantal dengan 1000 aroma bunga.. Kau persembahkan malam terindah untuk kita berdua..
Di kussen tua kayu jati.. Terlihat lekuk indah aksara purba.. Saksi hidup sejarah yang tak pernah berkata.. Betapa pahit keabadian benda.. Meski nilainya tak terhingga..
Dikemelut belenggu sang waktu.. Terdiam sendiri terpaku.. Menyibak arti dari keramaian sendu.. Tanpa kata ini dan itu.. Siapa yang tahu.. Misteri mati dihimpit siku..
"resah" ucapku pada segumpal waktu yang menjelang dalam sekelumit jedah malam menjelang subuh. tengadahku kemudian pada semesta yang masih memperlihatkan warna kelamnya, warna yang tercampur aduk pada kelam dan hitamnya nilai-nilai norma yang tergelayut pada jedah di batas-batas aksara dan kata. tanyaku ringkih kemudian menjejak pada seonggok kata yang disebut duri, “mengapa kau sebut duri?, ketika kisah asmaradana termaktub dalam kitab-kitab cinta di selasar waktu” diam dan diam kembali semesta yang merajuk pada kaki langit, memeluk kaki-kaki semesta dan merinaikan air mata darah pada setiap tetes-tetesnya di kelamnya lembah yang membujur dan melintang di batas cakrawala.
Komentar Terbaru