“HAIRAN sungguh aku dengan orang sekarang!” Rasa kesal jelas terpancar di wajah Long Nah. Segala yang terbuku di hatinya selama ini bagaikan tidak tertahan-tahan lagi.
Isi kepala yang terkelupas barisan perhitungan logika angka satu plus sepuluh titik enam akar dua, yang kau yakini tak ;pernah ku temui di saat aku bekerja
"resah" ucapku pada segumpal waktu yang menjelang dalam sekelumit jedah malam menjelang subuh. tengadahku kemudian pada semesta yang masih memperlihatkan warna kelamnya, warna yang tercampur aduk pada kelam dan hitamnya nilai-nilai norma yang tergelayut pada jedah di batas-batas aksara dan kata. tanyaku ringkih kemudian menjejak pada seonggok kata yang disebut duri, “mengapa kau sebut duri?, ketika kisah asmaradana termaktub dalam kitab-kitab cinta di selasar waktu” diam dan diam kembali semesta yang merajuk pada kaki langit, memeluk kaki-kaki semesta dan merinaikan air mata darah pada setiap tetes-tetesnya di kelamnya lembah yang membujur dan melintang di batas cakrawala.
ketika kau menghamba pada fantasi lena pada raung angan-angan tentang kebahagiaan tanpa susah payah meraihnya mencari kesenangan mendapat kesenangan hidup dalam kesenangan
malam semakin menunjukkan taringnya, dengan tikaman dingin yang menyentuh pundak dan kedua kakiku, yang tanpa alas, melangkah menyusuri jalan setapak lembah. jalan yang sering kulalui, ketika rembulan berubah warna menjadi merah saga. netraku menatap liar di heningnya malam, menatap setiap sudut waktu yang berkelebat hitam dan pongah, di sela pepohonan yang entah telah berumur berapa puluh tahun. bayang-bayang yang berkelebat cepat dan hitam menyeruak di sela dedaunan, dan sekonyong-konyong telah berdiri di hadapanku.
Komentar Terbaru