Skip to Content

Cerpen Kompas 2004

CERPEN KOMPAS 2004 "PETANG PANJANG DI CENTRAL PARK" KARYA BONDAN WINARNO

Entah sudah berapa kali Taka bangkit dari duduknya di bangku taman itu. Bangku yang terbuat dari batu alam utuh, dipahat menjadi balok panjang yang nyaman diduduki. Semak-semak rhododendron di belakang bangku itu masih menampakkan rona ungu dari bunga-bunga yang telah mekar sejak awal musim semi.

CERPEN KOMPAS 2004 "KERETA SENJA" KARYA PUTU FAJAR ARCANA

Kereta itu bergerak di batas senja. Lanskap kota tampak gamang disepuh cahaya. Orang-orang panik, berlarian, seperti baru saja terjadi ledakan. Di tengah serpihan asap dan bau daging terbakar, sebuah ambulans dengan sirene meraung-raung memecah kepanikan. Gedung- gedung menghitam karena hangus, seluruh kacanya rontok sehingga jendela-jendela tampak seperti mulut-mulut yang menganga.

CERPEN KOMPAS 2004 "KETIKA SUNYI MENGUSIK SEPI" KARYA WILSON NADEAK

Satu dua langkah ia berjalan mondar-mandir di depan jendela. Di luar gerimis turun perlahan mengusapkan kabut ke kaca. Sesekali ia menoleh ke kartu undangan kawin yang bertaburan di atas meja dan kemudian ia duduk menghadap meja dan membolak-balik kartu-kartu undangan itu. Bermacam-macam bentuk kartu itu, ada yang berlipat dua, tiga, dan ada pula yang hanya satu halaman saja.

CERPEN KOMPAS 2004 "BAJU" KARYA RATNA INDRASWARI IBRAHIM

“Saya kira ini kejahatan yang luar bisa, bukan saja datang dari pihak Hastinapura, juga dari suami-suamiku, yang dengan gegabah mempertaruhkan diriku sebagai taruhan di meja judi. Ini penghinaan yang luar bisa, aku bukan budak atau selir! Aku permaisuri yang anak raja. Jadi, bagaimana mungkin mereka bisa mencampakkan harga diriku di bawah budak-budak istana?

CERPEN KOMPAS 2004 "SEPASANG MAUT" KARYA MOH WAN ANWAR

Aku tahu kau telah bersungguh-sungguh mencintai laut. Setiap kau bicara tentang laut, pengalamanmu bersentuhan dengan laut, kerinduanmu kepada laut, aku melihat laut bergemuruh di matamu. Sekali waktu, ketika kau mengungkapkan pergulatanmu dengan laut, bahkan pernah kulihat laut membentang di bening bola matamu.

CERPEN KOMPAS 2004: “IKAN” KARYA DJENAR MAESA AYU

Ia ikan yang terbang. Ia burung yang berenang. Dan saya, adalah saksi yang melihat semua itu dengan mata telanjang.

CERPEN KOMPAS 2004: “BUNGA DARI IBU” KARYA PUTHUT EA

Karena jarak, kami hanya saling mengirim tanda lewat bunga. Ibu yang memulai dulu, waktu itu aku baru menempati rumah kecil yang sampai sekarang uang cicilannya masih menempati daftar potongan pertama di slip gajiku.

CERPEN KOMPAS 2004: “MENITI SEPI, MENANTI YANG PERGI” KARYA ISBEDY STIAWAN ZS

Kau tidak juga tersenyum, padahal sudah berulang kubikin lelucon di hadapanmu. Ada apa sebenarnya denganmu? Berbagai cerita bernuansa humoris yang kuingat telah kukisahkan semenarik mungkin. Tapi, kau tetap tak tertawa. Apa yang telah terjadi padamu?

CERPEN KOMPAS 2004: “BULAN TERBINGKAI JENDELA” KARYA INDRA TRANGGONO

Perempuan itu membuka gorden jendela. Angin malam menyisir rambutnya yang memerak dibakar usia, menerpa kerut-merut wajah yang dipahat waktu. Bertiup dari perbukitan yang jauh, angin itu seperti pengembara abadi yang setia mengunjunginya malam-malam begini. Itu memang kurang baik bagi dirinya yang sering batuk-batuk. Tapi ia toh nekat.

CERPEN KOMPAS 2004: “SEPASANG KERA YANG BERJALAN DARI PURA KE PURA” KARYA SUNARYONO BASUKI KS

Sudahkah kau dengar kisah tentang sepasang kera yang berjalan kaki dari pura ke pura untuk melaksanakan tugas akhir yang harus diemban menyucikan roh mereka berdua?

Sindikasi materi


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler