Skip to Content

Karya Sastra Steven Turhang

Belum Ingin Hidup

Sekawanan itu ku lihat dari puncak kesadaran, sekawanan yang erat dalam suasana yang berbeda, berbeda pandangan, berbeda perasaan, kepribadian dan kesadaran. Satu sama lain saling terkait, satu dalam cerita, cerita panjang tentang alam yang tertulis menuju satu tempat, akan ada hujan ketakutan di sana bersama awan gelap yang pucat memamerkan kesedihan.

 

Satu Hari Sejuk Pagi (Cerpen)

Pagi ini langit nampak pucat, lelah, dan muram. Masih tersisah butiran air matanya pada daun di pepohonan, pada kursi kayu taman. Ya, tiap jalan yang kakiku lewati basah akibat tangis marahnya tadi malam. Burung-burung terbang gelisah coba berikan rasa simpati dengan bernyanyi, lagu yang sangat mengiba hati.

Di Antara Dua Sisi

Delapan jam sudah sang surya bersembunyi di balik sana. Menerangi sisi lain dari dunia sama, tangan-tangan sinarnya menembus awan. Meletupkan pistol tanda dimulainya sandiwara manusia. Yang dipenuhi peristiwa: senyum, tangis dan darah.

Emosi Bayi

Rengekan dalam dorongan penuh paksa. Menghapus kesunyian malam, memainkan kekuatiran. Air mata pasrah mengiba hati dewasa, memberi susu dalam gendongan pelukan ternyaman. Berjibaku pahami bahasa aneh dalam ayunan, pahami berbagai peranan di bawah satu atap. Banyak yang belum dan mengapa terasa umum?. Berusaha menilai dalam tugas segala tatap.

 

PSK (Cerpen)

Normal 0 false false false EN-

Sajak Untuk Saudara Di Papua

Hai, saudaraku, selamat pagi
Tak ingin aku terlambat untuk bertemu
Waktu berlari ke mana sesukanya

Asap Berfikir

            Terbakar tanpa berontak dan perlawanan, merintih karena kejamnya api dengan pasrah, menimbulkan asap yang dapat dinikmati dalam silaunya siang dan gelapnya malam. Liur asam dimanjakan, bersama cairan kafein yang nyaman melewati cerobong tenggorokan. Memaksa jantung layaknya drum dengan temponya yang cepat.

Meja Yang 'Tak Hijau 3 (Cerpen)

Dan masuklah ia dalam labirin proses, bersama semua kehijauannya. Di atas tubir tertutup, terlantar tanpa sedikit pun protes. Dikelilingi ketegangan, diselimuti keringat kepolosan dalam ruangan. Lika liku nan mampu ledakkan benak manusia dewasa, tua, juga tiap gugusan otak mahir. Namun ia hanya sebatang di sana, laksana bunga dalam sepinya gersang padang pasir.

Tidak Mengenal Diri Sendiri

Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan, dan ‘tak ada pernah melihat secuil terang seperti kelereng, seperti sebutir beras. Mereka yang diam di negeri kekelaman terlempar, ke dalam segala kegagalan dan kemustahilan di bawah bendera kelaparan, atasnya ‘tak pernah sekalipun bersinar. Telah hancurnya tembok pertahanan bernama kepatriotan, dan tersisah banyak panda-panda makar.

Sindikasi materi


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler