NISAN NAN TUMBANG
Nisan nan tumbang di pusara leluhur moyang
terkapar sepi menyembah bumi iseng sendiri
Manusia,
dan tumbuhan, hewan,
lautan, bebatuan, rumah-rumah,
rinai hujan, jalan aspal,
tong-tong sampah,
Sedang sayang tak mungkinlah dilepasnya
Andai aku tahu bahasa hujan membasahi daun-daun kering, sudah ribuan hati mungkin aku terjemahkan
Bersamaan awan teduh senja jatuh di pangkuan dewi-dewi malam
Ada puisi dipendam hati berbunga senyuman diantara senja merah merona
Sungguh untukmu puisi itu yang dicuri dewi-dewi malam
Angin malam merasuki tubuh sepasang cinta. Enggan berhenti bercumbu sampai basah. Tak beranjak yang lain itu menumpang dunianya.
"Duhai Ramadhanku" (semoga lailatul qadarku)
Embun pagi kembali datang lagi Kali ini separuh wajah pagi ke 22 ramadhan
Aku tak lain tak bukan Tetes air jatuh di ibu kota Bapak menggendong ibu ke kota-kota Aku telah sampai sembada
Untuk soal seni Jatuhnya aku jauh sudah ada Itu adalah soal langit
Sunyi lebur di teduh Direngkuh bulan wulan Merindu sungguh Keribaan mengalir penuh ampunan
Beriak kata tersesat terangkai Ini teriak tubuh di kolam keruh Aku rindu ramadhan penuh
Sebelum padi usia tua Hijau-hijau nun sumilir-ilir Kemana gembala menaruh riangnya Bersendau ceria tentang alam
Demi waktu yang bergulir Bangunkanlah selagi masih ada waktu
Akulah tubuh dari unsur tanah dan dari tanahlah sifatku kadang pemurah. Akulah tubuh dari unsur tanah didarinya ada air, dari airlah sifatku kadang tenang menyejukkan.
Komentar Terbaru