terkapar hingga caci mengalir
tergolek dera ragapun tak bedaya
tersisa selembar sungging
jiwa gila bagai binatang
egois tak sanggup raih jiwanya
Perpejam
Nganga
Tinggal satu nafas
Melesat…
Pintu ubun terbuka
Memmucat pasi
Seputih kapas
Dingin…
Kudekap ketiak malam
Gigil menahan eja asmamu
Kaku terbaring anganku
Mengukir galau dalam benak
Gelap semakin mengendap
Bisu agas meronta geliat
Menyulam sayap menyeringai
dingin menekat diantara
panjang jalan terhitung
tinggal separoh gelap meredup
Tak satu mengerti makna pusaran benak
Simpang jalan membawa pesan tepian rindu
Tersembunyi carianku dibalik hatimu
Tangan terkulum sang bayu menggapai suara
Seribu derap langkah hampa tersapa
~
Suluh siang lintasi kelapa telanjang
Sisa sengatan anyir peluh menghujan
Kukejar menuju arah pucuk suaramu
Mati menyatu dalam alunan yang sama
Biar, dunia maya bumi kakiku kan menjagal nafasku
Terkapar, terseok beku mendulang rangkai kata
Belukar hati kembaraan ilalang kering
Penuh goda dan rayu menawarkan rindu
Dari jengkal malam batas pagi menjelang
Kata roman aral berbagi menghadang
Kan ku hempaskan badai menghantam
Sedetik pun tak kan dera kulepas
Menyambut senyum riang rangkat
Setinggi puncak karang bahkan bara membakar
Dari keras gelombang dan putihnya buih pantai
Kan juterjang walau sekeras karang hitam
Mendera batang pokok-pokok kemarau
Sangkakala... Menggema dibalik desau angin Kutetap teriak sepi dari hingar tawamu Rasa mencabuk belum perih berasa Akan pahat dan cium senja lalumu Tak lampaui gaung usangku yang malamg ~
Kisut kulit membentang bumi
Nyaris enggan mengeja nafas
Sekian terlalui langit yang panjang
terhuyung sesekali angin menerpa
hati batu gontai tetap melenggang
Kedip mata akrab dengan sebuah pusara
Kepala bertebar kapas duduk termenung
Menunggu saat jeda antara jiwa dan raga
Hanyalah asa menakar cita dan rasa
Untuk menancapkan tonggak dada
Teriak lantang sbagai torehan jejak
Beliak surya terbitkan asa
Terbetik sukma barsitkan kata
Biar benak terapit beku
Takkan aral lepaskan hasrat
Tuk tingkap penat kalbu
Tiap hembus nafas dan kedip mata
Bak nadi terus berdetak
Dari ufuk masa pancar mentari
Hingga akhir kutub redupkan sinar
Rona rindu kian mengusik
Walau lidah liat terucap
pasrahlah bumi
lentang dan
tembusnya nikmati
belah terapit
sungai dalam
desahan angin
teriakan bara mentari
dekap mengerat
bersama gigil
malam
tanpa sucuil bulan
serabut ini
tuk bumi
buah akar ini
tuk selamu
muntah
tsunami
gempa
bersama
terpasak
memasak
seringai
jeda
baku
usapi
keringi
peluh
Komentar Terbaru