Skip to Content

ANALISIS NOVEL PULANG KARYA LEILA S. CHUDORI : BELENGGU JIWA KAJIAN PSIKOLOGI SASTRA

Foto Nurlaili Ahmad

ANALISIS NOVEL PULANG KARYA LEILA S. CHUDORI : BELENGGU JIWA

KAJIAN PSIKOLOGI SASTRA 

 

Rianita Sihombing1, Raka Zulfadly2, Lasma Uli Simatupang3, Nurlaili A4, Yolanda Dwi Diknas5

Program Studi Sastra Indonesia Universitas Sumatera Utara

Jalan Dr. Mansyur Medan, Sumatera Utara

 

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menelaah struktur naratif novel Pulang, menguraikan wujud gangguan mental sebagai akibat dari belenggu jiwa. Penelitian ini menggunakan teori psikologi sastra. Wacana belenggu jiwa dianalisis menggunakan konsep psikologi berdasarkan penerapan skema aktan dan fungsional sebagai lintasan analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa belenggu jiwa menimbulkan gangguan mental, seperti kegelisahan, stres, trauma, dan depresi. Keempat gangguan psikologis tersebut menghambat proses realisasi diri dalam mewujudkan kehidupan sejati. Gangguan mental kronis yang tidak segera disembuhkan dapat membawa penderita pada kehampaan hidup dan alienasi (perasaan terasing) atau sebaliknya membuat penderita mendekatkan diri pada Tuhan.

Kata kunci: belenggu jiwa, novelPulang, psikologi sastra, dan Leila S. Chudori

 

  1. 1.      Pendahuluan

Belenggu jiwa adalah keadaan batin tertekan akibat pengucilan suara-suara hati yang tidak terealisasikan. Jiwa yang terbelenggu dapat menjadi salah satu indikasi terjadinya gangguan mental, baik yang ringan, sedang, maupun gangguan mental yang akut, yang berujung pada kegilaan, seperti gelisah berkepanjangan, stress, depresi, trauma, paranoia, dan berbagai gangguan psikologis yang memungkinkan terjadinya perilaku menyimpang (Mahari, dkk, 2005:163-164). Segala persoalan kemanusiaan yang berkaitan dengan kejiwaan sesungguhnya sudah lama terekam dalam karya sastra.

Menurut Endaswara (2011:96), psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sebagai aktivitas kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa, dan karya dalam berkarya. Karya sastra yang dipandang sebagai fenomena psikologis, akan menampilkan aspek-aspek kejiwaan melalui tokoh-tokoh jika kebetulan teks berupa drama maupun prosa. Untuk menelusuri rekam jejak persoalan kejiwaan manusia dapat dilakukan penelitian psikologi sastra. Psikologi dan sastra memiliki hubungan fungsional, yakni keduanya sama-sama mempelajari kejiwaan manusia. Perbedaannya adalah gejala kejiwaan dalam karya sastra direfleksikan oleh manusia imajiner, sedangkan dalam psikologi adalah manusia riil (Roekhan dalam Aminuddin, 1990: 93). Karya sastra yang dijadikan objek penelitian adalah novel Pulang karya Leila S. Chudori yang menjadi pemenang Khatulistiwa Literary Award tahun 2013.

Novel Pulang mengisahkan drama keluarga dan persahabatan berlatar belakang dua peristiwa bersejarah di Indonesia, yaitu peristiwa 30 September 1965 dan peristiwa Mei 1998, yang dibingkai oleh Leila Chudori melalui teknik inkonvensional yang memadukan teknik arus kesadaran, kilas balik, surat, dan kolase yang saling berkelindan, sehingga tidak hanya mampu memperpanjang tegangan cerita, namun juga menambah koherensi dan estetika karya, khususnya dalam kaitannya dengan unsur psikologis. Penelitian ini bertujuan untuk menelaah struktur naratif novel Pulang, menguraikan wujud gangguan mental manusia fiktif sebagai akibat dari belenggu jiwa.

 

  1. 2.      Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang memanfaatkan metode pembacaan dalam pengumpulan data. Data penelitian bersumber dari teks novel Pulang (cetakan keenam, Februari, 2015) karya Leila S. Chudori sebagai data primer dan buku-buku literatur yang relevan serta artikel dan jurnal dari internet sebagai data sekunder. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan metode deskriptif-analitik, yaitu mendeskripsikan fakta- fakta yang kemudian dianalisis dan diuraikan secara deskriptif dengan pola pikir deduktif-induktif. Dalam tahap analisis data, data ditelaah dengan cara menerapkan analisis aspek sintaksis dan semantik. Sementara dalam analisis wacana belenggu jiwa digunakan teori psikologi sastra model ketiga menurut Wellek dan Warren, yaitu analisis aspek-aspek psikologis yang terkandung dalam karya sastra (Wellek dan Warren, 1977:75). Data yang telah dianalisis kemudian disajikan dalam bentuk informal secara deskriptif kualitatif, yaitu dalam bentuk kata-kata dan narasi dengan pola pikir deduktif-induktif.

 

  1. 3.      Pembahasan

Kedua tokoh tersebut adalah Dimas Suryo dan Lintang Utara,selaku representasi manusia Indonesia yang terbelenggu dalam penderitaan mental karena keterlibatannya dalam tragedi 30 September 1965. Berikut ini skema aktan Dimas Suryo:

  

Kerinduan Dimas terhadap Indonesia mendorongnya untuk melakukan segala upaya dalam mewujudkan keinginannya untuk pulang ke Indonesia meski dalam keadaan tidak bernyawa sekalipun, demi kepuasan diri Dimas, kebahagiaan keluarganya. Dalam proses pencarian objek, Dimas dibantu oleh berbagai pihak antara lain Vivienne Deveraux, Lintang Utara, orang tua, dan ketiga teman senasib dan seperjuangan, Nugroho, Risjaf, dan Tjai, serta restoran Tanah Air yang turut membantu Dimas dalam urusan finansial selama di Paris. Di satu sisi, terdapat beberapa hal yang merintangi perjuangan Dimas, antara lain kabar buruk mengenai kekejian peristiwa G30S PKI, pencabutan paspor, kematian Ibunya, dan berbagai teror dari preman dan Sumarno, penolakan permohonan visa ke Indonesia, dan penyakit lever.

Sedangkan berikut ini adalah skema aktan Lintang Utara:

 

Krisis identitas kewarganegaraan Indonesia yang dirasakan Lintang mendorongnya untuk menggali sejarah tentang tragedi berdarah 30 September di Indonesia. Upaya tersebut dilakukan Lintang dalam rangka menemukan identitas diri dalam kaitannya dengan kewarganegaraan Indonesia yang dianggap asing serta memupuk nasionalisme Lintang. Meskipun demikian, berbagai halangan mengganjal upaya Lintang sehingga membuatnya tertekan dan menimbulkan gangguan psikologis ringan. Halangan tersebut antara lain peraturan diskriminatif tentang bersih lingkungan terhadap keluarga eks-tapol, penggeledahan kantor LSM Satu Bangsa, dan kerusuhan demonstrasi mahasiswa pada Mei 1998. Di satu sisi, Segara Alam, Bimo Nugroho dan keluarga Aji Suryo dikisahkan sebagai tokoh yang turut membantu usaha Lintang dalam menggali dan mendokumentasikan tragedi berdarah 30 September 1965.

 

  1. 4.      Jiwa-jiwa yang Terbelenggu

Jiwa-jiwa tokoh novel Pulang yang terbelenggu menimbulkan berbagai gangguan psikologis ringan, antara lain gelisah, depresi, dan trauma. Gelisah merupakan penyakit jiwa ringan yang hampir pernah dirasakan oleh setiap individu. Segala problematika kehidupan yang mengganjal dalam benak akan menimbulkan gejolak jiwa dan perasaan tidak tenang, sehingga penderita selalu berada dalam perasaan khawatir, was-was, tegang, maupun ketakutan.

Depresi merupakan keadaan kemurungan (kesedihan, kepatahan semangat) yang ditandai dengan perasaan cemas berkesinambungan, menurunnya kegiatan, dan pesimisme menghadapi masa depan (Kartono, 2011:130). Sementara trauma merupakan goncangan jiwa akibat pengalaman yang dahsyat dan membekas di hati. Trauma meninggalkan luka pedih dalam hati yang susah untuk diobati. Jiwa tokoh yang terbelenggu pertama adalah Dimas Suryo. Dimas terdera kegelisahan karena jiwanya senantiasa terbelenggu oleh perasaan bersalah dan kesedihan lantaran mendapat kabar tentang kekejian pembantaian simpatian komunis.

 

Kegelisahan mengganggu setiap kali aku membaca surat-surat Aji yang berisi kisah horor pembantaian demi pembantaian dimana-mana (hlm. 79).

 

Kekejian pembantaian yang terjadi di seluruh pelosok negeri membuat Dimas lumpuh dalam hidup. Khususnya perburuan dan pembantaian yang terjadi di Solo, kampung halaman Dimas, terhadap setiap individu yang dianggap simpatisan komunis. Mereka diburu dan dibantai, kemudian jasad-jasadnya dicemplungkan begitu saja ke dalam sungai Bengawan Solo, sungai tempat Dimas bermain pada masa kecilnya, kini menjadi sungai merah darah disertai bau anyir yang menyengat. Surat-surat berdarah yang menggelisahkan Dimas juga menimbulkan trauma berkepanjangan.

 

Tiba-tiba saja aku mencium aroma busuk di tepi sungai itu merebak berminggu-minggu lamanya (hlm. 74).

 

Ingatan Dimas Suryo terhadap sungai Bengawan Solo yang berdarah berkelibatan dalam pikiran dan pandangan Dimas, mengakibatkan tingkah laku tidak wajar. Setiap kali Dimas melihat atau melintasi sungai, dia melihat ratusan jasad korban pembantaian gerakan 30 September 1965 mengambang di atas sungai. Bau anyir yang dicium Dimas seakan-akan tidak hilang selama berminggu-minggu lamanya.

Kalimat yang hiperbolik semakin menegaskan bahwa trauma yang mendera Dimas begitu akut dan sukar terobati sepanjang ingatan Dimas. Kegelisahan kronis menyebabkan depresi yang berdampak pula pada pola kehidupan.

 

Untuk beberapa malam yang tegang, kami tidak makan, tidak tidur, dan didera kegelisahan tak berkesudahan. (hlm. 69).

Frasa „tidak makan‟ patut mendapat perhatian bahwa selama jiwa Dimas terbelenggu dalam ketegangan, dia tidak mendapat asupan makanan sekali pun. Bukan karena tidak ada makanan untuk dimakan, melainkan karena nafsu makan yang hilang begitu saja ditelan kegelisahan. Selain itu, frasa „tidur tidur‟ juga patut mendapat perhatian, karena frasa tersebut mengindikasikan Dimas terserang insomnia, yaitu keadaan susah tidur yang berdampak pada kesehatan, aktivitas, serta kualitas hidup.

Jiwa tokoh yang terbelenggu kedua adalah Lintang Utara. Jiwa Lintang terbelenggu oleh stigma keturunan eks-tapol atau penghianat negara. Stigma tersebut membuat Lintang terserang gangguan mental berupa kegelisahan berkepanjangan. Perasaan gelisah ditandai dengan kehidupan yang diwarnai ketegangan dan ketidaktenangan, sehingga penderita seakan terus berada dalam situasi was-was.

 

Ada sesuatu yang membuat kami harus selalu hidup dalam situasi was-was (hlm. 143).

 

Sejak berusia sepuluh tahun, Lintang sudah terbiasa hidup dalam keadaan was-was, karena teror yang diterima ayah dan ketiga pamannya di restoran Tanah Air. Sebagai generasi kedua yang tidak terlibat secara langsung dalam kekejian 30 September 1965, Lintang merasakan kehidupan yang tidak normal. Lintang juga terserang kegalauan atas krisis identitas kewarganegaraan. Krisis identitas diri Lintang tampak dari pilihannya terhadap tokoh-tokoh pewayangan yang kerap kali diburu krisis identitas, yaitu Srikandi dalam epos Mahabrata dan Candra Kirana dalam cerita Panji Semirang. Lintang memilih tokoh-tokoh yang berburu identitas karena dia juga merasa krisis identitas.

 

Pasti dia tengah bertanya, siapakah dirinya, orang Indonesia yang tak pernah ke Indonesia? atau orang Prancis setengah Indonesia? (hlm. 185).

 

Pilihan Lintang terhadap tokoh pewayangan sejatinya merepresentasikan perasaan Lintang sendiri yang tengah dilanda krisis identitas. Penderitaan mental Lintang berikutnya adalah trauma. Trauma Lintang nampak ketika dia berusaha menolak perintah Profesor Dupont untuk mendokumentasikan pengalaman korban kekejian 30 September.

 

Saya tak tahu banyak tentang Indonesia, jawabku setengah tersiksa (hlm. 135).

 

Frasa „setengah tersiksa‟ menunjukkan keadaan batin Lintang yang tengah tersiksa karena harus mengingat tentang tragedi 30 September dan tentang masa lalu kelam ayahnya. Frasa tersebut menyiratkan nada trauma yang menyebabkan munculnya kembali kepedihan yang menggelisahkan pikiran dan perasaan Lintang. Menggali Indonesia sebagai tugas akhir kuliah, bagi Lintang merupakan tugas yang menggerus akal sehat dan menyayat hati, karena otomatis dia harus mengorek kembali peristiwa demi peristiwa buruk dan kelam yang selama ini sudah menyita kebahagian Lintang dan keluarganya. Gangguan mental yang diderita Lintang juga diperoleh ketika Lintang tiba ke Indonesia.

Dengan membawa misi pendokumentasian pengalaman para korban 30 September 1965, Lintang menyiapkan perasaan agar kuat dan tabah serta kebal terhadap berbagai teror yang akan dihadapinya, terlebih jika ketahuan kalau Lintang adalah keturunan Dimas Suryo. Salah satu teror yang dihadapi Lintang adalah pengobrak-abrikan kantor LSM Satu Bangsa yang menjadi kantor atau markas Lintang selama mengerjakan tugas dokumenter.

 

Barulah aku mengalami apa yang disebut dengan teror mental(hlm. 400).

 

Penggeledahan kantor Satu Bangsa telah meneror mental Lintang, sehingga dia merasa gelisah dan geram terhadap teror yang telah menghilangkan semua dokumentasi hasil wawancaranya dengan para korban 30 September.

 

Tanganku gemetar dan berkali-kali aku harus mengusir air mataku yang selalu saja datang di saat yang salah(hlm. 401).

 

  1. 5.      Transendensi dan Alienasi

Transendensi dalam terminologi eksistensialisme diartikan secara umum sebagai seuatu yang berkaitan dengan Tuhan dan bersifat kerohanian. Ketika penderitaan menghantam manusia secara berkesinambungan, manusia lelah dan putus asa dengan hidup yang dijalaninya. Di saat demikian, manusia mulai mengingat keberadaan Tuhan sebagai pencipta dan pengendali kehidupan.

 

Tiba-tiba saja aku membutuhkan sepetak ruang kecil itu. Sepetak kecil yang menurut Bang Amir diberikan Allah kepada hati hamba-Nya (hlm. 80).

 

Dimas mulai mengingat sepetak ruang kecil yang dianugerahkan Tuhan, yaitu hati nurani yang bersifat spiritual. Transendensi Dimas menyadarkannya bahwa dirinya adalah lemah tanpa pertolongan dan bimbingan Tuhan. Kesadaran akan transendensi Dimas justru membawanya kepada alienasi.

Alienasi adalah perasaan terasing yang sejatinya juga merupakan gagasan filsafat eksistensialisme yang disebabkan oleh keterputusan manusia dengan dirinya sendiri maupun dunia luar (Koeswara, 1987: 24). Pulang menghadirkan unsur alienasi sebagai dampak dari keterputusan tokoh dengan Tuhan. Hal ini dialami oleh tokoh Dimas Suryo ketika jiwa dan raganya dihantam kegelisahan berkepanjangan atas keprihatinan terhadap tindakan bar-bar selama tragedi 30 September berlangsung.

 

Aku tak tahu di mana aku bisa menempatkan diri menghadapi Zat. Di dunia fana yang kocar-kacir ini, yang warna sungai biru oleh alam kemudian dicat menjadi merah, kini di manakah alamatku pada peta kehidupan dunia? (hlm. 80).

 

Kata „Zat‟ pada kutipan di atas mengacu pada Transendensi yaitu Tuhan. Transendensi ditujukan kepada Tuhan sebagai bentuk kepercayaan manusia kepada Zat tempat berlindung dari nihilisme dan eksistensi hidup yang hampa dan tidak bermakna (Hassan, 1976: 96). Sebagai pribadi yang percaya dengan adanya Tuhan, Dimas mengadu kepada Tuhan sang penguasa dunia tentang keberadaan dirinya sebagai hamba yang dirundung penderitaan mental dan spiritual yang menyebabkannya merasa terasing dalam peta kehidupan di dunia. Alienasi Dimas juga disebabkan oleh ketidaktaannya kepada Tuhan, sehingga ia mengingat Tuhan jika hanya dalam keadaan duka.

 

Kesimpulan

Penjara batiniah menimbulkan gangguan mental ringan berupa gelisah, depresi, dan trauma, yang apabila tidak segera disembuhkan akan membawa penderita pada kehampaan hidup dan alienasi (perasan terasing) atau justru membuat penderita mendekatkan diri pada Tuhan atau transendensi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

 

Aminuddin. 1990. Sekitar Masalah Sastra Beberapa Prinsip dan ModelPengembangannya. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh.

Hassan, Fuad. 1976. Berkenalan dengan eksistensialisme. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.

Kartono, Kartini. 2011. Kamus Lengkap Psikologi. Diterjemahkan dari judul buku Dictionary of Psychology karya J. P. Chaplin. Jakarta: Rajawali Pers.

Koswara, E. 1987. Psikologi Eksistensial. Bandung: PT. Eresco.

Mahari, A.J. dkk. 2005. Kiat Mengatasi Gangguan Kepribadian. Yogyakarta: Saujana.

Wellek, Rene and Austin Warren. 1977. Theory of Literature. New York: Harcourt, Brace and Company. 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler