Skip to Content

HATI SEBAGAI MUARA PUISI

Foto Hakimi Sarlan Rasyid

HATI SEBAGAI MUARA PUISI

 

Menyebut “hati” tidak bisa melepaskan “rasa” karena di dalam hatilah rasa terolah atau diolah. Padunya hati dan rasa sama dengan padunya otak dan pikir. Sederhananya adalah proses berpikir ada di dalam otak dan proses merasa ada di dalam hati.

Sebutan otak dan hati atau berpikir dan merasa meski disebut dan tampak sebagai dua karena dalam bentuk fisiknyapun memang dua, namun hubungan antara berpikir dan merasa tidaklah berdiri sendiri-sendiri. Dua itu satu. Kecepatan hubungan keduanya yang tak terukur kecepatannya menjadikan sebagian orang tidak sadar mana yang sedang berproses, berpikir atau merasa.

Kerja berpikir dan merasa berjalan jika ada rangsangan, Dan rangsangan itu bisa rangsangan dari luar diri atau rangsangan dari dalam diri. Dam hasilnya sangat dipengaruhi oleh rekaman pengalaman yang sudah ada di dalam pikiran dan perasaannya. Dan rekaman pengalaman dalam diri seseorang tentu saja sangat dipengaruhi oleh usia dan lingkungan di mana ia berada.

Rumit sekali rangkaian perangkat lunak dan perangkat keras dalam sistem pikiran dan perasaan ini. Apalagi jika rangsangan yang datang dari luar diterima oleh diri yang tidak memiliki atau sedang dalam keadaan ketidakseimbangan pemahaman.

Ketidakseimbangan yang paling sering terlihat dan atau terasa adalah tentang kata cinta. Banyak sekali yang menempatkan kata cinta dengan memahaminya sebagai hasrat asmara. Seorang lelaki misalnya ketika dia menyembunyikan atau mengungkap perasaannya ingin meraba, mencium, memeluk, menelanjangi wanita yang disebutnya sebagai kekasi yang ia cintaim sesungguhnya ia sedang tidak dalam keadaan cinta (love). Ia sedang dalam pengaruh hasrat asmara (desire).

Ketidakseimbangan atau ketidaksadaran perasaan ini jika muncul dalam bentuk gubahan puisi maka puisinya akan terasa sebagai puisi yang dangkal kecuali jika dibaca oleh orang yang sama tidak pahamnya, puisi itu akan terlihat sebagai sesuatu yang indah.

 

Salahkah itu semua? Tentu saja tidak. Demikianlah keberagaman pikirn dan perasaan itu mewarnai dunia. Tidak bisa ditolak keberadaannya. Disitulah letak keindahannya.

Terlepas dari aturan-aturan yang telah disepakati, puisi bisa saja muncul dalam bentuk satu titik, satu huruf, satu suku kata, satu kalimat, satu bait, dua bait, tiga bait, ribuan, laksaan, ketian, jutaan bait. Bahkan edannya perasaan bisa menyimpulkan bahwa semesta alam ini adalah puisi.

 

Tapi, sudah menjadi hukum alam bahwa atas sebuah keadaan maka selalu akan ada tiga sikap terhadapnya. Simpati, empati, dan  antipati.

Sikap simpati dan empati akan muncul dalam kalimat atau komentar yang nyaman terasa sedangkan sikap antipati muncul dalam kalimat-kalimat kebencian, ketidaksetujuan.

Mari untuk tidak terpengaruh dengan sikap antipati siapapun selama kita tidak menyinggung siapapum. Masalah ada yang tersinggung biarkan saja, itu masalah mereka sendiri.

Hati yang lapang akan selalu terbuka dan akan menjadi muara semua puisi.

 

202010090859 Kotabaru Karawang

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler