Skip to Content

Identitas Bangsa dan ‘Rezim Malinkundang’

Foto ombi

 Oleh: Indra Tranggono


Budaya daerah merupakan sistem nilai, sistem ekspresi/perilaku dan sistem produksi yang dilahirkan para local genius (jenius lokal) melalui proses pengalaman dalam merespons fenomena kehidupan, alam, lingkungan dan spiritual (baca: religiusitas). Nilai-nilai budaya daerah berlangsung secara ajeg dan tetap sehingga  membentuk tradisi.


Nilai-nilai yang terkandung di dalam budaya daerah antara lain, (1) sistem kepercayaan (hal-hal sakral dan transendental), (2) pandangan/ konsep hidup, (3) sistem sosial (hukum adat, norma, moral, etika sosial), (3) bahasa, (4) sistem perilaku atau berekspresi secara estetik dan nonestetik, (5) sistem berpenghidupan (pertanian, perdagangan), (6) sistem teknologi (7) sistem komunikasi, (8) sistem produksi.


Fungsi budaya daerah antara lain, (1) orientasi nilai kehidupan baik secara vertikal maupun horizontal, (2) pembentuk identitas dan karakter, (3) cara menjawab persoalan kehidupan sekaligus mempertahan kehidupan, dan (4)  cara untuk membangun peradaban masyarakat.
Watak atau karakter yang melekat pada kebudayaan daerah antara lain, (1) menjunjung harmoni kehidupan baik secara vertikal maupun horizontal, (2) menjunjung semangat kebersamaan (musyawarah, gotong royong, kerukunan sosial), (3) menjunjung toleransi atas perbedaan, (4) menjunjung solidaritas sosial dan (5) menjunjung kemajemukan budaya atau kebhinnekaan. Watak budaya lokal senapas dengan muatan nilai di dalam Pancasila.
Identitas bangsa dapat dimaknai jatidiri/kepribadian yang khas dan luluh dalam jiwa dan seluruh aktualisasi diri suatu bangsa. Identitas tersebut menyifati nilai-nilai etik dan etos. Nilai etik dan etos itu lah yang membangun karakter. Etika terkait dengan peradaban. Ada pun etos terkait dengan kreativitas bangsa.


‘Rezim Malinkundang’
Jauh sebelum ‘kebudayaan nasional’ muncul seiring dengan terbentuknya negara-bangsa bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kebudayaan daerah atau etnis telah eksis selama berabad-abad membangun peradaban berbagai  suku bangsa di berbagai kepulauan Nusantara. Namun, dalam praktik berbangsa dan bernegara, nilai tawar budaya daerah ternyata tidak terlalu signifikan bagi entitas baru bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Negara cenderung meletakkan budaya daerah sekadar sebagai pelengkap dan penyerta di dalam dinamika membangun peradaban bangsa. Negara justru lebih terpukau dan tertarik untuk menerapkan budaya-budaya baru dan asing, baik yang berkembang melalui kolonialisme, penyebaran agama dari luar, dinamika ekonomi dan perdagangan yang bercorak kapitalisme liberal dan pasar bebas, maupun deraan globalisasi yang menyeragamkan kultur bangsa-bangsa di dunia. Semua hal yang kemudian mewujud di dalam kebudayaan modern dan postmodern tersebut akhirnya menggerus kebudayaan daerah.


‘Rezim Malinkundang’ merupakan pemerintahan yang merepresentasikan negara (cenderung) secara ahistoris. ‘Rezim Malinkundang’ cenderung memahami kebudayaan sebagai realitas kehidupan yang diskontinyuitas, bukan kontinyuitas. Masa lalu atau sejarah dan realitas budaya lama cenderung ‘diabaikan’ demi menyesuaikan diri atau berkompromi dengan modernitas-postmodernitas. Negara dibangun atas prinsip-prinsip pragmatisme, materialisme dan individualisme yang sangat khas budaya Barat.


Identitas Bangsa
Kebudayaan daerah memiliki potensi besar untuk membangun identitas dan karakter bangsa dan menjadi penguat eksistensi kebangsaan yang berperadaban dan bermartabat. Ada beberapa hal yang perlu kita kaji.
Pertama, merevitalisasi budaya daerah yang merupakan roh kebudayaan nasional. Budaya lokal/etnis merupakan mozaik yang menjadi sumber inspirasi bagi pengembangan kebudayaan bangsa(tata kelola kekuasaan politik, ekonomi, sosial, seni, bahasa, teknologi, media, dan lainnya).  Neo-liberalisme, yang memiskinkan rakyat, harus ditinggalkan.
Kedua, membuka partisipasi publik seluas-luasnya untuk mengembangkan diri baik secara intelektual atau spiritual maupun dalam etik dan etos di dalam berekspresi/berperilaku dan melahirkan kreativitas karya. Krisis terbesar bangsa ini adalah krisis etik dan etos yang ber-ujung pada tradisi korupsi, kriminalisasi politik/ demokrasi dan kreativitas bangsa yang rendah .
Ketiga, menjadikan budaya daerah sebagai muatan lokal dalam praktik-praktik pendidikan formal-informal, muatan dalam pelbagai penyiaran di media massa, muatan nilai dalam pelbagai penerbitan, ekspresi estetis (film, karya sastra, teater, musik, senirupa) dan lainnya.


Disarikan dari Dialog Budaya Daerah Provinsi DIY, 18-19 Mei di Yogyakarta, yang diselenggarakan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta.

http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=239210&actmenu=39

*) Indra Tranggono, Budayawan dan Kepala Bidang Kebudayaan
Majelis Luhur Tamansiswa

Komentar

Foto Nurdin Yahya

Sangat tepat apa yang

Sangat tepat apa yang disebutkan Bang Indra dalam tulisan di atas, revitalisasi kebudayaan daerah sebagai ruh kebudayaan nasional. Tetapi, melihat keberpihakan pemerintah menyangkut pembangunan kebudayaan, saya rasanya pesimis terhadap revitalisasi yang dimaksud. Selama ini terkesan "tebang pilih" dalam perlakuan tehadap budaya-budaya lokal. Kecenderungan memberikan perlakuan yang sangat berlebih terhadap kebudayaan yang dimilik oleh etnis tertentu, terutama oleh pemerintah dan media nasional di negeri ini sangat jelas terlihat. Ini menciptakan menara gading kebudayaan tertentu di antara kebudayaan lain yang secara geografis jauh dengan pusat informasi dan pusat pemerintahan republik ini.

Kondisi ini menmbulkan adanya gerakan yang dinamakan politik identitas. Ini adalah salah satu bentuk kekcewaan.

Yang paling penting, menurut saya, bagaimana revitalisasi itu bisa mengangkat kebudayaan dengan porsi yang merata tehadap semua kebudayaan yang di miliki seluruh etnik di wilayah Nusantara ini.

(NURYA)

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler