Skip to Content

SASTRA DAERAH: KESUSASTRAAN MANDAILING

Foto SIHALOHOLISTICK

Oleh: ASKOLANI NASUTION

 

PRAKATA 

Mengidentifikasi tipikal Mandailing membutuhkan kajian yang komprehensif. Amat naif jika hanya menggeneralisir begitu saja bahwa Mandailing hanya sebatas teritorial saja, tanpa acuan-acuan yang signifikan. Apalagi kita meyakini bahwa filsafat, norma, dan budaya—yang sering digunakan untuk pengelompokan sosial—bukanlah satuan-satuan yang berdiri sendiri tanpa pengaruh dari identitas suku lain.

Studi sastra banyak digunakan untuk mengidentifikasi satu entitas sosial. Itu karena keyakinan bahwa sastra selalu lahir dari dinamika sosial pembacanya. Sastra yang baik bukan hanya membawa renungan sosial tapi bahkan menciptakan perubahan sosial. Saya percaya bahwa sebuah karya bukan hanya menimbulkan kontemplasi estetik semata, tetapi mampu menciptakan kesadaran sosial.

Sastra merupakan aspek penting dalam merekonstruksi kondisi sosial masyarakat. Sebab, sastra—sebagai hasil ekspresi imajinasi pengarang—mampu merefleksikan keadaan zamannya, bahkan meredefinisikan sebuah konteks yang tidak sepenuhnya bisa dilakukan ilmu sejarah. Sastra adalah lembaga sosial, begitu kata Sapardi Joko Damono (1984).

Sastra juga sering digunakan sebagai salah satu pendekatan keilmuan penting untuk menganeksasi suatu kawasan. Banyak bukti-bukti sejarah yang menunjukkan bahwa kolonialisme selalu dimulai dari pengetahuan etnografi, dan bahasa sebagai salah satunya. Karena itu, Susan Rodgers (2002) mengatakan bahwa negara kolonial memperpanjang kekuasaan politik mereka dengan mensponsori proyek etnologis terhadap penduduk desa pribumi terkait bahasa dan budaya setempat.

Sulit menemukan suatu studi yang komprehensif tentang kontekstualitas Mandailing di masa lalu, terutama karena minimnya literasi tentang kawasan ini. Selain itu tipikal akrasa Mandailing juga bukan digunakan untuk tradisi literer, melainkan lebih banyak untuk tradisi lisan. Hal itu diperburuk lagi dengan nyaris tidak adanya satu kajian sejarah tentang Mandailing yang komprehensif dan diakui validitasnya.

Dalam konteks demikian, studi atas berbagai karya sastra Mandailing menjadi hal yang penting. Tentu bukan hanya sebatas karya yang diklaim sebagai genre sastra saja (prosa, puisi, dan drama).

 

KESUSASTRAAN MANDAILING KLASIK 

Studi tentang folklore tidak bisa dilepaskan dari sejarah dan kontekstualitas linguistik, epik, ideologi, dan ritual penutur asli. Berbagai dimensi tersebut saling berkorelasi untuk membentuk kemasan perkembangan sastra.

Seni Budaya Mandailing, termasuk sastra tentu saja, harus dirunut dari masa pra-Islam. Masyarakat tradisional Mandailing percaya kepada penguasa gaib yang disebut sibaso yang diyakini memiliki kekuatan supernatural. Kekuatan itu bukan hanya melekat pada kekuasaan raja, tetapi juga kepada seluruh desa.

Penting untuk memahami bahwa merebaknya Perang Paderi tahun 1810 signifikan dengan menguatnya tradisi Islam di kawasan Mandailing. Tetapi masuknya Islam tidak serta merta mengubah seni budaya tradisional yang telah ada sebelumnya, walaupun pengaruhnya tentu ada. Penolakan raja-raja tradisional terhadap dominasi Paderi, mendorong kolonialisme masuk di kawasan Mandailing tahun 1835. Meskipun Paderi akhirnya mundur dan kalah, tetapi pendidikan bermuatan Islam terus berkembang di kawasan ini. Meskipun begitu, dalam interaksi sosial masyarakat hubungan antarindividu tetap dalam relasi kaidah “Dalihan na Tolu.” Hal ini menjadi satu sistem sosial yang luar biasa, karena Islam tidak masuk ke dalam tatanan sendi-sendi adat dan budaya tradisional. Islam hanya digunakan dalam relasi hubungan manusia dengan Tuhan, bukan dalam norma-norma yang lebih luas.

Pemahaman kondisi sosial di atas penting untuk mendudukkan peran sastra Mandailing. Sebab, sastra tidak lahir dari kekosongan sosial. Karena itu, sastra Mandailing sepatutnya bisa memiliki fungsi yang luas, yakni selain untuk pembentuk opini sosial, juga sebagai wahana untuk merekonstruksi konteks sosial zamannya.

Ada hal yang sangat ironis dalam konteks sastra Mandailing, karena kita tidak sepenuhnya menggunakan tradisi literer tertulis, sebagaimana dibandingkan dengan luasnya tradisi sastra Jawa misalnya. Seni sastra Mandailing ditularkan melalui tradisi yang khas, misalnya melalui medium berikut:

1. Marturi

Tradisi bercerita dalam konteks sosial Mandailing yang dilakukan secara verbal. Cerita ditularkan secara turun-temuran. Plot menggunakan alur maju dan banyak memuat ajaran tentang budi pekerti.

2. Ende Ungut-ungut

Dibedakan atas temanya. Ende merupakan ungkapan hati, ekspresi kesedihan karena berbagai hal, misalnya kesengsaraan hidup karena kematian, ditinggalkan, dan lain-lain. Selain itu juga berisi pengetahuan, nasehat, ajaran moral, sistem kekerabatan, dan sebagainya. Ende ungut-ungut menggunakan pola pantun dengan persajakan ab-ab atau aa-aa. Sampiran biasanya banyak mengadopsi nama tumbuhan, karena adanya bahasa daun.

Misalnya:

tu sigama pe so lalu/madung donok tu Ujung Gading/di angan-angan pe so lalu/laing tungkus abit partinggal

 

 SASTRA MANDAILING KOLONIAL

Tahun 1840, kontrolir Belanda pertama berdiri di Natal. Awalnya berfungsi untuk mengontrol perkebunan kopi yang berkembang di kawasan Mandailing dan Angkola. Kemudian di Panyabungan berdiri sekolah percontohan untuk pendidikan guru, Kweekschol, yang dikelola Willem Iskander. Sekolah ini didirikan untuk masyarakat Mandailing yang didominasi Islam setelah Perang Paderi 1816-1837. Pada saat yang sama di kawasan Sipirok sudah berkembang misionaris Jerman yang menguasai 10% populasi masyarakat.

Reformasi Agraria di Eropah Tahun 1870 mendorong pengembangan investasi perkebunan karet dan tembakau di Deli. Selain itu, Politik Etis menyebabkan tumbuhnya pendidikan untuk kalangan pribumi yang didalamnya tentu membutuhkan bahan bacaan. Hal itu juga menuntut intensifikasi pengelolaan sekolah-sekolah inlander. Momentum ini sekaligus mendorong diterbitkannya bahan bacaan partikelir untuk buruh perkebunan.

Penting juga untuk memahami peranan H.N. Van der Tuuk’s yang menyusun Tata Bahasa Batak (1864-1867).[1][1] untuk kebutuhan silabus buku teks di sekolah. Tata bahasa ini menjadi acuan dalam penulisan sastra daerah di kawasan Tapanuli bagian selatan ketika itu.

Tahun 1870-an berdiri sebuah sekolah guru di Padang Sidimpuan yang menjadi pusat pendidikan dan pusat administrasi pemerintahan. Budaya dan Bahasa Lokal mulai dipelajari di sekolah ini. Tahun 1914, Ch Van Ophuysen mengembangkan studi bahasa lokal di kawasan ini.

Di Sipirok berdiri sekolah pemerintahan, sekolah bible. Sipirok pada saat itu telah memiliki surat kabar berbahasa berbahasa Melayu dan Batak. Sipirok bahkan melahirkan beberapa penulis novel untuk buruh perkebunan.

Selain itu, sejak masa kolonial, kawasan yang disebut Tapanuli Selatan, memiliki tokoh-tokoh eksponen yang amat besar peranannya dalam pertumbuhan sastra. Mereka terutama tumbuh dari output pendidikan berkarakter Eropah. Masa-masa ini menjadi penting karena menjadi awal tumbuhnya tradisi sastra tertulis dan menguatnya peran aksara Latin, suatu tradisi yang belum dikenali dalam sejarah Mandailing Klasik. Cerita menjadi lebih imajinatif dan dalam berbagai sisi tampak muatan pola pandang Eropah. Menguatnya peran aksara Latin tersebut menandai pudarnya tradisi aksara Mandailing.

Beberapa tonggak sastra yang berkembang di kolonial tersebut patut dicatat periode-periode pertumbuhan sastra berikut:

- Willem Iskander (1840-1876). Ia menulis dalam bahasa Mandailing yang amat imajinatif terutama karena dipengaruhi kemampuannya yang tinggi dalam penguasaan bahasa Melayu. Karya-karyanya dipublikasikan secara luas setelah kematiannya, antara lain:

“Hendrik Nadenggan Roa, Sada Boekoe Basaon ni Dakdanak.” (Terjemahan). Padang: Van Zadelhoff and Fabritius (1865)

“Leesboek van W.C. Thurn in het Mandhelingsch Vertaald.” Batavia: Landsdrukkerij. (1871)

“Si Bulus-bulus Si Rumbuk-rumbuk.” (1872)

“Taringot di Ragam-ragam ni Parbinotoan dohot Sinaloan ni Alak Eropa.” Naskah ini diadaptasi dari buku “Ceritera Ilmu Kepandaian Orang Putih” yang ditulis oleh Abdullah Munsyi, seorang sastrawan dan ahli tata bahasa Melayu. (1873)

- Soetan Martua Raja (Siregar). Ia lahir dari keluarga aristokrat di Bagas Lombang Sipirok, berpendidikan HIS, sekolah elite di Pematang Siantar. Karyanya adalah:

“Hamajuon” (Bahan Bacaan Sekolah Dasar)

“Doea Sadjoli: Boekoe Siseon ni Dakdanak di Sikola.” (1917). Buku ini menimbulkan daya kritik terhadap pemikiran anak-anak. Ditulis dengan aksara Latin (Soerat Oelando) yang relatif mengembangkan pedagogik sekuler. Buku ini mengadopsi poda, semacam storyteller yang berisi petuah, ajaran moral dalam konteks tingkat berpikir anak-anak.

“Ranto Omas” (Golden Chain), 1918.

- Soetan Hasoendoetan (Sipahutar), penulis novel dan jurnalis. Karya-karyanya:

Turi-Turian (cerita bertutur, mengisahkan hubungan interaksi antara manusia dengan penguasa langit)

“Sitti Djaoerah: Padan Djandji na Togoe.” (1927-1929), sebuah serial berbahasa Angkola Mandailing yang dimuat secara berantai dalam 457 halaman. Serial ini dimuat di mingguan “Pustaha” yang terbit di Sibolga. Kisah ini diyakini menjadi alasan pembaca membeli surat kabar tersebut. Serial ini mengadopsi cerita-cerita epik, turi-turian, dan berbagai terminologi sosial masyarakat Angkola-Mandailing dan ditulis dengan gaya bertutur novel. Ini selaras dengan berkembangnya berbagai novel berbahasa Melayu yang dipublikasikan pemerintah kolonial. Dalam sejarah kesusastraan Indonesia, masa ini dikenal dengan masa Angkatan Balai Pustaka atau Angkatan 20-an. Soetan Hasundutan mengatakan bahwa ia menulis novel roman ini karena terinspirasi dengan novel “Siti Nurbaja” (Marah Rusli, 1922) yang sangat populer ketika itu.

“Datoek Toengkoe Adji Malim Leman.” (1941), terbitan Sjarief, Pematang Siantar.

  1. Mangaradja Goenoeng Sorik Marapi, menulis buku “Turian-turian ni Raja Gorga di Langit dohot Raja Suasa di Portibi.” Buku ini diterbitkan Pustaka Murni Pematang Siantar bertajuk tahun 1914.
  2. Sutan Pangurabaan. Karyanya, “Ampang Limo Bapole.” (1930), “Parkalaan Tondoeng” (1937), “Parpadanan” (1930), dan sebuah buku berbahasa Melayu “Mentjapai Doenia Baroe” (1934). Di samping buku-buku yang ditulis Willem Iskander, buku-bukunya juga menjadi buku bacaan untuk sekolah-sekolah masa kolonial.
  3. Soetan Habiaran Siregar menggali bahasa, tari-tarian, dan lagu yang berasal dari Angkola-Mandailing. Ia menulis beberapa turi-turian, antara lain: “Turi-turian ni Tunggal Panaluan”, “Panangkok Saring-Saring tu Tambak na Timbo” (1983), dan lain-lain. Selain itu, ia juga membuat komposisi lagu yang dibuat menggunakan komposisi beat berirama cha-cha.

Selain sastra berbahasa Mandailing Angkola tersebut, penting dicatat tumbuhnya sastra Indonesia yang berbahasa Melayu tetapi dengan mengadopsi warna lokal. Misalnya novel “Azab dan Sengsara” (1921) yang ditulis Merari Siregar. Novel ini mengangkat kontekstual adat dan budaya semacam kawin paksa, warta warisan, hubungan kekerabatan, dan tradisi lokal Mandailing-Angkola.

 

KESUSASTRAAN MANDAILING KONTEMPORER 

Berubahnya kurikulum pendidikan setelah masa kemerdekaan turut menyebabkan memudarnya penggunaan bahasa Mandailing. Selain itu, euforia bangsa yang baru saja merdeka dan menguatnya instrumen-instrumen berkarakter nasional yang tercermin dalam bahasa dan budaya baru bernama “Indonesia” dan teraktualisasi secara masif dalam sistem pendidikan nasional, menjadi kausalitas yang patut ditandai. Hal ini diperburuk lagi dengan menguatnya “Java Oriented” dalam era Pemerintahan 1965 – 1998. Bahasa Indonesia yang dijadikan sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah dan merebaknya bahan bacaan berkultur nasional, semua itu berperan dalam melemahkan “saro ita”. Kurikulum Tahun 2006 yang membuka ruang ‘muatan lokal” ternyata juga gagal ditindaklanjuti daerah dengan penguatan bahasa dan karakteristik daerah.

Sastra literer nyaris mati. Hanya beberapa cerita sporadis yang muncul dalam media massa daerah. Itu juga dengan daya tarik yang diyakini rendah, karena pembaca merasa ‘asing’ dengan bahasa yang digunakan. Tentu karena ada rentang yang ‘tak termaknai’ antara bahasa sastra Mandailing prakontemporer dengan bahasa Mandailing sebagai lingua-franca dalam konteks modern. Ada gap penguasaan makna bahasa antara penulis dengan penikmat sastra. Itu yang mendorong pemencilan sastra Mandailing.

Tahun 2009, saya menulis cerpen “Parkancitan”. Ketika cerpen itu saya kupas di sekolah, anak-anak menerimanya dengan aneh.

“I kan tu alak na maradong dei. Ho, aha nanga nadongmu? Sugi-sugi pe nga tartabusi ho,” ning ia sungkar. Sip polngit doma au.

Sangajo tie. Na larat mantong iba da. Dung do boto marbagas, lima ma daganak bo, na so unjung dope margonti santut niba. Hum baju ni daganak payah. Pala uida boto baju ni ayah si Butet, ekle baya. Dua pulu taon mantong naso igosok i baju nia. Gosokan takar dope na jolo. Isibakkon soni bulung ni pisangi laos manggosok. Ulang ma milas tu ninna. Na goso ma.

 

SASTRA ENTERTAINMENT 

Sastra dalam lirik lagu patut ditandai sebagai bentuk sastra. Tentu karena kita meyakini bahwa lirik lagu merupakan musikalisasi puisi. Hal ini menjadi penting karena pada saat sastra literer Mandailing meredup, musikalisasi puisi tersebut menguat perannya. Lirik lagu Mandailing bukan hanya ungkapan perasaan, tetapi beberapa penulis lagu ternyata mampu menyelipkan berbagai khazanah norma dan budaya Mandailing. Misalnya lirik lagu yang ditulis Bahraini Lubis, Ali Asrun, Top Simamora, dan lain-lain.

Sastra entertainment berkarakter daerah tersebut mengalami berbagai bentuk dan medium yang berbeda. Bukan hanya musikalisasi puisi, sempat juga berkembang genre drama. Selain itu, pada masa transisi teknologi radio dengan teknologi satelit satelit, juga membedakan bentuk dan medium yang digunakan. Beberapa tonggak yang patut ditandai antara lain:

@  Tahun 1970-an, muncul drama musikal berdurasi 60 menit dalam kepingan kaset tape recorder. Drama ini biasanya mengangkat kisah-kisah keluarga kontemporer di kawasan Tapanuli Selatan. Misalnya masalah dilema perkawinan, hubungan keluarga antara orang tua dan anak, kesedihan istri non-etnis yang menikah dengan lelaki Angkola Mandailing. Drama ini dibuat dengan gaya serial radio. Selain rekam vokal, juga dibubuhi dengan sound effect. Misalnya suara angin, petir, dan lain-lain. Cover kaset biasanya dihiasi dengan adegan drama. Misalnya album drama musikal “Sar Tarbarita” yang ditulis oleh S. Parlagutan Siregar dan disutradarai Mulkan Harahap. Drama ini menggunakan bahasa daerah yang dikombinasikan dengan bahasa Indonesia dengan dialek lokal.

@  Drama Sampuraga na Maila Marina. Musikal dikolaborasikan dengan ornamen musik lokal. Drama ini diangkat dari mitos yang dikenal baik masyarakat di kawasan Tapanuli Selatan. Drama ini ditampilkan oleh Teater Merak Jingga. Tokoh yang ditampilkan selain Sutan Sampuraga, ada juga Oloan, Baginda, Hulubalang, dan lain-lain.

Munculnya peran televisi dan Video Player HVS juga mengubah bentuk seni hiburan. Bus ALS, yang waktu itu memasang televisi, patut ditandai mempengaruhi genre kemasan hiburan yang berkembang kemudian. Selain itu, berkembangnya album lagu bergenre Batak yang mengangkat karakter daerahnya, menimbulkan pemikiran baru bagi penikmat lagu di kawasan Tapanuli Selatan yang didominasi agama Islam. Karena itu munculnya album-album berlabel “Tapanuli Selatan.” Belakangan label itu bertambah: Album Tapsel, Madina, Palas, dan Paluta.

Berbagai karya lagu tumbuh menggunakan label itu dan menjadi seni hiburan baru bagi masyarakat di kawasan bekas kabupaten Tapanuli Selatan. Beberapa rumah produksi tumbuh sedemikian rupa dan menjadi industri baru. Pencipta lagu, penyanyi, dan koreografi menjadi profesi yang berterima.

Periode Awal. Periode ini menggunakan teknologi rekam tape recorder dan keping VCD, antara lain:

@  Ali Asrun Siregar (Al-Asrun): album lagu Mariati Lubis.

@  Zainal Abidin Daulay (Sidimpuan Power Band): Tamsor Hutasuhut, Asmar, Ucok Sumbara, Roni Saputra.

@  Samsul Siregar (Menara Record) : Citra Hasibuan, Ucok Sumbara, Parlin Lubis, Nasir Rambe, Nurhayati Ray.

@  Bahraini Lubis (Odang Production): Odang, Masdani, Namlis, Siti Hamijah, Sardi, Rini, Nur Arisyah.

@  Amran Siregar (Mec Record – Padangsidimpuan): Laila Hasyim, Citra Hasibuan, Odang, Masdani, Parlin Lubis, Nasir Rambe, Nurhayati Ray.

@  Hasan Harahap (Kurnia Music): Lanna, Lanni, Anni, Nila Sari, Ucok Sabata, Bernadi. Mayasari Tanjung.

@  Citra Hasibuan (Chas Record): Citra Hasibuan, Laila, Guswin Pulungan

@  Candra Nasution (Palapa Record): Jannah

@  Bahri Efendi Hasibuan (Sinonoan Elektronic): Irsaidah, Jannah, Fitri, Aswan, Azis Aksay

@  Siddiq (Tiara Record): Risky Nasution, Lili Amelia

Periode Kedua yang hanya menggunakan teknologi rekam keping VCD. Beberapa nama yang patut disebut antara lain:

@  Ahmad Huzein Nasution (SBN Pro): Ahmad Huzein Nasution, Parlin Lubis, Ummi Habibah, Budi R. Nasution, Evi Adila.

@  Muksin Nasution (MN Production) : Thomas Dj, Monica, Viki Tanjung, Ucok Pasaman, Evi Sahria, Nora, Indah, Bombom, Gumbas, Roni Saputra Siregar, Risky Nasution, Ummi Habibah.

@  Mulia Rangkuti (MR2 Production): Salamah Hasibuan, Masputra Pasaribu, Mulia Rangkuti, Gusnadi Hasibuan, Irma Hasibuan, Uci Tanjung, Salman, Lina Suriati Aes, Amas Muda, Nursaidah Hasibuan, Nisa WR.

@  Budi R. Nasution (B@I Production): Budi R. Nasution, Fadly Lubis, Risky Nasution, Sari Maharani, Suci, Evi Adila

@  Parlin Lubis (BRC) : Parlin Lubis, Reza, Ummi Habibah, Nina

@  Mikrat Nasution (Nasty Pro.): Ovie Fristy, Dedi Gunawan, Maya KDI, Nila Sari.

@  Top Simamora (Top Record): Top Simamora, Farro Simamora, Lenni Muzika.

@  Saidun Lubis (HP Pro): Azis Aksay, Fitri Angraini, Suherman

@  Abdul Holid Lubis (Ruva Pro): Roni Saputra Siregar, Ummi Habibah, Liza, Fadli Lubis.

@  Salamat Hutapea (Rahma Prod): Salamat Hutapea, Ucok Pasaman, Givri WR, Nisa WR

@  Fikri Fahreza (Gemini Pro): Rahman KDI, Fikri Fahreza.

@  Rahmat Hidayat (Wasya Pro): Ali Nasution.

@  Pendi (BMR) : Amas Muda, Habibah Lubis.

@  Evita Lubis (Evita Music) : Evita Lubis, Gita Puspita, Reza, Dudi, Sari Maharani.

@  Iyan : Evi Adila, Zein Aditya

@  Tympanum Novem: Riskon Crypto, Pudji Carissa

Selain itu, beberapa rumah produksi juga mengangkat genre film daerah. Genre ini ternyata berterima dan menjadi industri seni hiburan baru yang berkarakter daerah. Misalnya:

@  Tympanum Novem Films yang memproduksi film “Biola Na Mabugang”, “Tias Part I”, “Tias Part II”, “Lilu Part 1”, dan “Lilu Part 2”.

@  Natama Pro : “Parhuta-huta 1”, “Parhuta-Huta 2”.

@  MR2: “Bayo Panjala”, “Si Lian”.

Munculnya genre film tersebut berkausalitas dengan berkembangnya profesi baru yang berkaitan dengan film: aktor dan sineas (penulis skenario, penata lakon, penata artistik, komposer, dan lain-lain. Selain itu juga berkembang sanggar-sanggar seni peran.

 

SASTRA DAN PERUBAHAN SOLSIAL

Seni, sastra, dan Kebudayaan tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai dan perubahan sosial. Perubahan sosial merupakan merupakan perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat. Perubahan-perubahan itu diyakini erat kaitannya dengan perkembangan seni dan budaya suatu masyarakat. (Soekanto, 1990). Interaksi yang komunikatif antar elemen perubahan sosial akan mempengaruhi perubahan kebudayaan. Perubahan itu terutama dipicu oleh rasa ketidakpuasan atas kebudayaan yang ada. Selain itu, perubahan juga terjadi karena penemuan baru, pertentangan masyarakat, pemberontakan sosial.

Berbagai karya seni dan sastra itu diyakini berpengaruh terhadap pembentukan opini sosial. Karena itu, peranan media amat besar dalam pembentukan opini sosial dimaksud. Sayangnya, berbagai perkembangan kekinian tampaknya belum sepenuhnya menjanjikan harapan untuk menguatkan karakteristik daerah. Misalnya, lirik lagu mandailing yang gagal menyelipkan idiom-idiom lokal, belum adanya pakem konstruksi lagu Mandailing yang berkarakter, atau film-film yang hanya bernuansa hiburan tanpa muatan budaya.

Banyak faktor penyebabnya. Misalnya, produser yang hanya beriorinetasi pasar dan tidak berani mempublikasikan seni-seni alternatif, minimnya wawasan budaya, dan lain-lain.

 

DAFTAR PUSTAKA

Djoko Damono, Sapardi. 1984. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Rodgers, Susan. 2003. “Folklore with a Vengeance: A Sumatran Literature of Resistance in the Colonial Indies andNew Order Indonesia,” The Journal of American Folklore. Website University of Illinois Press.

_______    1986. “Batak Tape Cassette Kinship: Constructing Kinship Through the Indonesian National MassMedia,” American Ethnologist. Website www.jstor.org.

_______    2002. Compromise and contestation in colonial Sumatra An 1873 Mandailing schoolbook on the Wonders of the West

Tugby, Donald J. 1959. “The Social Function of Mahr in Upper Mandailing,” American Anthropologist. Website: www.jstor.org

 

[1] Tata bahasa dan dialek untuk kebutuhan translate Bible dalam bahasa Karo, Toba, Simalungun, Dairi, Pakpak, Angkola, dan Mandailing.

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler