Skip to Content

Mengintip Local Value Pemuda Aceh Sebagai Identitas yang menarik

Foto Dimas Dwi Susetyo
files/user/3309/b.jpg
b.jpg

Mengintip Local Value Pemuda Aceh Sebagai Identitas yang Menarik

Oleh: Dimas Dwi Susetyo

 

Berbicara tentang kearifan lokal daerah dalam kaca mata kebudayaan erat kaitannya dengan kebudayaan yang dipandang sebagai sesuatu yang khas, baik karena ia hadir sebagai sesuatu yang manusiawi ataupun karena ia mampu memanusiakan manusia. Kebudayaan sebagaimana dikemukakan oleh Karober dan Kluckhohn (1967) merupakan pengertian yang kompleks, yakni sebagai pursuit of total perfection (mengejar kesempurnaan yang sesungguhnya).

Artinya, kebudayaan dipandang sebagai usaha yang continue dari generasi sebelumnya kepada generasi seterusnya. Dalam pengertian ini, kebudayaan itu menjadi sebuah identitas yang berupa “warisan tanpa surat wasiat”. Hal ini menunjukkan bahwa generasi muda sebagai ahli waris dari kebudayaan akan memperkenalkan identitas daerahnya agar mampu bertahan dan menyesuaikan diri dari paksaan perubahan sosial di era globalisasi.

Faktanya, Indonesia sekarang mengalami hegemoni kebudayaan asing yang menuntun dan mengarahkan generasi mudanya untuk menjadikan budaya-budaya luar sebagai tolak ukur yang terkini. Sehingga jika generasi muda tidak mengikuti hegemoni tersebut, maka mereka dianggap tertinggal dan kampungan. Padahal, identitas lokal dalam bentuk kebudayaan, memiliki esensi yang juga menarik, bernilai, dan unik.

Kesulitan yang dialami oleh bangsa Indonesia dewasa melalui generasi mudanya adalah menjawab tantangan globalisasi, yakni bagaimana keberadaan identitas lokal bisa berjalan bersamaan dengan perubahaan yang terjadi. Karena, tidak bermaksud untuk menutup mata, generasi muda saat ini justru lebih terbuka dan menerima kebaruan dunia barat sebagai sesuatu yang lebih berbudaya. Sementara itu, identitas lokal yang melekat pada generasi muda justru dianggap kolot dan “itu-itu saja”.

Generasi muda seharusnya tidak larut dalam konsumerisme, hedonisme dan seakan melompat pada era postmo. Karena seharusnya generasi muda itu menjadi aktor penting dalam melestarikan dan mengangkat budaya lokal yang menjadi salah satu identitas dirinya sendiri. Hal ini menjadi sangat mungkin mengingat saat ini banyak sekali geliat anak muda Indonesia, khususnya mahasiswa, untuk mengangkat nilai lokal daerahnya untuk tetap lestari.

Sebagai contoh yaitu kegiatan “Manggadong” yang dilaksanakan oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara  (USU) yang berhasil memecahkan rekor MURI Indonesia terbanyak sekitar lebih kurang 18.000 mahasiswa dan pelajar yang mengikuti kegiatan tersebut. Manggadong adalah salah satu identitas lokal Tanah Batak yakni melahap ubi-ubian seperti ubi jalar merah yang dilakukan sebelum memakan nasi. Kegiatan ini dianggap sebagai kegiatan yang mengangkat nilai lokal dalam kekinian kehidupan yang terjadi.

Ini adalah bentuk nyata upaya generasi muda bersama-sama dengan pemerintah berhasil mengangkat dan mengembangkan nilai budaya lokal suatu daerah di tengah maraknya pengaruh globalisasi dan budaya luar. Yang menarik adalah, jika pemuda Batak bisa melakukan kegiatan ini, pasti pemuda Aceh juga bisa melakukan hal yang serupa sejak berada pada rumpun yang sama dan sebagai tetangga yang dekat.

Aplikasi Nilai Lokal Dalam Kehidupan Pemuda Aceh 

Salah satu poin menarik dari kawasan Nanggroe Aceh Darussalem adalah nilai-nilai keislaman yang masih kental dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Sejak dekade tahun 80-an, ada berbagai aktivitas keislaman yang dilakukan oleh masyarakat diantaranya pada saat malam hari anak-anak mendatangi balai pengajian untuk mengikuti proses belajar membaca al-quran, sedangkan orang dewasa melakukan kegiatan maulada’e (dalil khira’at) ataupun berlatih seni rapa’ie.

Saat ini, nilai-nilai keislaman di ranah Aceh masih terus berlanjut walau dalam bentuk yang berbeda. Local value dalam bentuk syariat Islam menjadi poin khusus yang memperkenalkan keistimewaan ranah Aceh dalam perubahan akibat globalisasi. Aplikasi syariat Islam dengan cara yang bijak, jujur, penuh kelembutan, dan langkah-langkah yang baik, menjadi identitas pemuda aceh sekaligus mewujudkan atmosfir kehidupan di ranah Aceh menjadi semakin menarik.

Pemberlakuan dan penerapan syariat Islam di ranah Aceh dalam kerangka wilayah Republik Indonesia merupakan satu contoh yang dapat dijadikan patokan oleh wilayah lainnya di Indonesia yang juga menginginkan nilai lokalnya dapat bertahan sekaligus lestari dalam menghadapi tantangan globalisasi. Terlepas dari sorotan mengenai perderbatan aplikasi nilai keislaman tersebut, pemuda Aceh mampu membuktikan bahwa nilai lokal melalui kerangka syariat Islam dapat bertahan dalam kehidupan yang plural.

Menggagas Bungong Jeumpa Lain Sampai Skala Internasional

Pemuda Aceh memiliki peluang besar dalam memperkenalkan local value beragam yang menjadi identitas daerahnya. Banyak nilai lokal yang berasal dari ranah Aceh yang mendapatkan nilai tersendiri hingga bahkan menembus skala luar negeri. Sejak Tari Saman, Senjata Rencong, dan Bungong Jeumpa membuka jalan hingga skala internasional dalam memperkenalkan nilai lokal daerah, para pemuda Aceh dapat mengambil kesempatan ini untuk memperkenalkan nilai-lokal lainnya yang terdapat dalam ranah Aceh.

Banyak nilai-nilai lokal ranah Aceh lainnya yang mampu diangkat oleh pemuda Aceh sehingga menjadikan Aceh sebagai salah satu daerah dengan local value yang subur. Misalnya saja tradisi Meugang, aktivitas Khanduri Laot, pemakaian Kelubung, dan berbagai kerarifan lokal Aceh lainnya yang dapat diangkat pemuda Aceh sebagai identitas yang menarik dari ranah Aceh. Pelestarian nilai lokal ini menjadi tanggungjawab pemuda Aceh sejak ungkapan orang bijak menyatakan Melestarikan budaya itu lebih sulit dari pada membuat budaya yang baru”.

Makam Sultan Malikussaleh Sebagai Identitas Pemuda Aceh

Sebagai suatu local value dari ranah Aceh, makam Sultan Malikussaleh juga menjadi identitas yang memberikan nilai positif dalam kehidupan pemuda Aceh. Esensi kepemimpinan Sultan Malikussaleh yang saleh, pemurah, rendah hati dan mempunya rasa ukhwa islamiah yang tinggi, membuktikan bahwa para pemuda Aceh memiliki karakter yang khas. Nilai-nilai ini dikenang para pemuda Aceh, sehingga makam Sultan Malikussaleh memiliki value tersendiri di bumi Serambi Mekkah.

Identitas ini menjadi salah satu kesempatan bagi para pemuda Aceh untuk dapat melestarikan dan mengembangkan esensi yang terkandung di dalamnya dengan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Melalui pelestarian dan pengembangan esensi identitas makam Sultan Malikussaleh, para pemuda Aceh akan mampu menunjukkan bahwa berbagai local value di Aceh adalah sangat menarik dan mampu bersanding dengan berbagai local value daerah lain di Indonesia, bahkan di dunia sehingga membuka peluang untuk dijadikan sebagai World Heritage.

            Sebagai suatu local value yang melekat pada kehidupan para pemuda Aceh, makam Sultan Malikussaleh yang terletak di timur Kota Lhokseumawe di desa Geudong, Kecamatan Samudera, Aceh Utara (atau Pasee jika mengikuti sebutan masyarakat) memberikan nilai positif dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh Utara. Hal ini terlihat jelas ketika banyaknya pengunjung yang datang dari dalam maupun dari luar daerah seperti Malaysia dan Brunei Darussalam.

            Dengan melihat berbagai keberagaman dan keunikan berbagai local value di Aceh, para pemuda Aceh seharusnya mampu membuktikan bahwa identitas lokal yang diembannya dapat bertahan dan berkembang di tengah hegemoni globalisasi. Hal ini menjadi sangat mungkin mengingat para pemuda Aceh memiliki peluang dan atmosfir yang mendukung, serta dukungan dan geliat para pemuda dari daerah untuk ikut mengembangkan local valuenya masing-masing.

            Pelestarian dan adaptasi nilai lokal dalam kehidupan global pastilah tugas mulia yang berat. Artinya, kerja keras dan minat para pemuda aceh untuk melaksanakan tugas di atas seharusnya mendapat dukungan dan kerjasama masyarakat dan pemerintah untuk lebih mengembangkan nilai lokal di bumi serambi mekkah ini agar bisa diwarisi dan dikembangkan sampai tingkat dunia bahkan memberikan keuntungan ekonomi bagi pendapatan asli daerah (PAD) Aceh utara.

 

*Dimas Dwi Susetyo, Mahasiswa Teknik Industri, Universitas Malikussaleh 2013

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler