Skip to Content

Percayalah, Anda Butuh Tuhan!

Foto R'ainy Yusuf

Membaca novel DETIK TERAKHIR karya Alberthienne Endah serasa mendengar penuturan langsung. Bahasanya enak dan renyah, mudah dicerna karena berhubungan dengan kehidupan yang mungkin terjadi pada siapa saja dan dimana saja. Dalam kondisi apapun.

Cerita dimulai dari penuturan seorang wartawan yang penasaran terhadap seorang gadis setelah mewawancarai narapidana mantan pengedar narkoba. Dari si narapidana, wartawan itu mendapat sebuah nama. Arimbi, nama gadis itu membuat rasa ingin tahu dan jiwa kewartawanannya tergoda untuk menggali lebih dalam tentang kehidupan sang gadis.

Setelah melewati penantian panjang, kesempatan itu datang. Arimbi bersedia ditemui. Bahkan tak hanya bertemu, Arimbi juga memaparkan jalan hidunya yang berliku, setelah sang wartawan menyebut sebuah nama, Rajib.

Begitulah cerita itu bergulir tentang pertumbuhan Arimbi sejak kecil dalam gelimang kemewahan tetapi kering kasih sayang. Ayah dan ibunya yang sama-sama sibuk hanya memberi materi bagi Arimbi kecil. Keduanya sibuk dengan rutinitasnya masing-masing. Hingga Arimbi merasa dirinya tak lebih dari sebuah barang hiasan yang ada di rumah mewah ‘berpilar enam’ milik orangtuanya. Bahkan mungkin hiasan di rumahnya lebih dianggap berharga daripada seorang Arimbi.

Seiring waktu Arimbi kian menangkap ada yang tak biasa dalam istana mewah ‘berpilar enam’ itu. Ayahnya yang kerap menyakiti ibunya, sikap diam ibunya ketika disiksa oleh ayahnya, ketidakpedulian mereka yang di sebut orang tuanya itu pada dirinya.

Lalu tiba-tiba muncul perasaan lain dalam dirinya. Pemberontakan terhadap keadaan sekitar rumah ber’pilar enam’ itu membuat Arimbi kehilangan jati diri. Arimbi ingin membuktikan dirinya tak akan bisa disakiti lelaki seperti ibunya. Arimbi ingin membuktikan tidak sekejam ayahnya. Arimbi bimbang. Arimbi tak dapat menjawab semua. Hingga pergaulannya dengan teman-teman lelakinya membuatnya sadar jika dirinya menyukai sesama jenis. Ya Arimbi menjadi seorang lesbi.

Pada saat itu rupanya gelombang kesengsaraan bagi jiwanya belum berhenti. Arimbi menemukan kedua orangtuanya kian sibuk dengan dunianya sendiri. Papanya berselingkuh dengan seorang model, ibunya mempunyai kekasih gelap seorang pelukis muda. Lengkaplah sudah. Arimbi merasa tak mengenal kedua orang yang menyebabkannya lahir ke dunia itu. Dan Arimbi yakin kedua orang itu pun tak mengenali dirinya.

Arimbi mulai mengenal kehidupan malam. Merokok mulanya setelah mengetahui papa bersama seorang model remaja yang tengah naik daun dalam kamar hotel. Mama yang selalu sibuk dengan ponsel dan kekasih gelapnya. Dan ‘jalan keluar’, dalam bahasa Arimbi, kian terbuka ketika dia menemukan bubuk putih yang melenakan dari Rajib.  Arimbi menjadu pecandu putaw. Bagi Arimbu narkoba hanyalah jalan bagi dirinya untuk menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya. Arimbi merasa dirinya secara sadar mengkonsumsi bubuk haram itu. Rajib pula yang memperkenalkannya kepada Vela, kekasih sesama jenis Arimbi.

Novel yang membuat saya terengah membacanya. Haru dan sedih. Terharu dengan kehidupan orang-orang seperti Arimbi, Rajib, Vela, dan banyak tokoh dalam novel ini yang sebenarnya bernasib sama. Sedih sebab hampir seluruhnya pula tak menemukan jalan keluar dari permasalahan yang mereka hadapi.

Walaupun novel ini bercerita tentang kehidupan yang tak tenang dan pencarian jati diri remaja. Tapi hingga novel ini berakhir sebenarnya tak ada solusi yang didapat Arimbi selain tuntutan agar dirinya dipahami. Agar orang-orang di sekitarnya menerima jalan hidup yang dipilihnya. Arimbi merasa dirinya tidak apa-apa setelah lepas dari jerat narkoba. Arimbi tidak merasa dirinya sakit. Pilihannya menjadi lesbian dianggapnya sebagai bukti bahwa manusia berhak untuk mencintai dan dicintai dengan cara yang diinginkannya.

Novel ini memang tidak memberikan solusi. Semuanya dibiarkan mengambang menurut alur pikiran pembaca. Novel ini hanya memaparkan beginilah kehidupan seorang manusia. Bahkan rohaniwan, sekolah, psikiater terkemuka yang dibawa orangtua Arimbi untuk menyembuhkannya tak mampu melakukan apapun, mereka dianggap hanya mengganggu kebahagiaan yang telah ditemukan Arimbi dengan pilihan sebagai homoseksual.

Padahal solusi batin manusia haruslah ditemukan dalam ruang batin juga. Pencarian Arimbi adalah pencarian batin. Rohani, jiwa, cinta semuanya tentang rohani. Bagaimana manusia akan bahagia secara batin jika dia mencari kebahagiaan itu di alam lahir.

Amat mudah bagi Arimbi mencari jawab terhadap persoalan yang dihadapinya jika saja Arimbi mengenal kata TUHAN.

Jadi novel ini bagus sekali, tetapi kita butuh kesadaran penuh dalam membacanya agar dapat menentukan pilihan. Bagaimana pun narkoba bukan sarana untuk menemukan kebahagiaan hakiki, lantas bisa ditinggalkan begitu saja setelah kita merasa tak membutuhkannya.

 


dipost-kan juga di kompasiana.com

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler