Skip to Content

PETA POLITIK SASTRA INDONESIA 1908-2008 (Bag.II)

Foto SIHALOHOLISTICK

Lanjutan......

POLEMIK SASTRA CYBERPUNK

Sastrawan generasi cyber di Indonesia telah lahir bersamaan dengan maraknya penggunaan internet sebagai media penyampaian atau media ekspresi karya sastra, selain di media cetak (tulis) dan media lisan. Deklarasi kelahiran generasi baru dalam sejarah sastra Indonesia ini ditandai dengan peluncuran situs sastra www.cybersastra.net dan kumpulan puisi Graffiti Gratitude yang dieditori oleh Cunong Nunuk Suraja, Medy Loekito, Nanang Suryadi, Sutan Iwan Soekri Munaf, dan Tulus Widjanarko pada 9 Mei 2001 di Hotel Sahid Jaya, Jakarta.

Sejak lahirnya generasi baru dalam sastra Indonesia tersebut, selain kritik yang wajar, hantaman demi hantaman datang silih berganti, sepertinya para Orang Tua dalam sastra Indonesia tidak rela menerima kehadiran seorang Bayi yang lahir tanpa proses perkawinan yang sah atau dapat dikatakan seperti Anak Haram atau Anak Jadah .

Tidak kurang dari seorang Sutardji Calzoum Bachri, yang sampai saat ini masih mengaku sebagai Presiden Penyair Indonesia, Ahmadun Yosi Herfanda, Redaktur harian Republika, sampai Ahmad Syubbanuddin Alwy, yang mengaku sebagai penyair sufi, serta beberapa nama lainnya, memberikan reaksi yang berlebihan, tidak proporsional, dan cenderung tidak obyektif.

Sebut saja Sutardji yang lebih mempersoalkan kemasan (kulit) daripada isi, bahkan katanya, Tai yang dikemas secara menarik akan lebih laku dibandingkan dengan puisi yang dikemas secara asal-asalan. Kata-kata Presiden Penyair Indonesia seperti itu ditinggalkan Sutardji di Hotel Sahid dalam sebuah diskusi peluncuran buku Graffiti Gratitude yang belum tuntas. Dan kita sangat menyayangkan seorang Sutardji yang dikenal sebagai penyair sufi itu lebih mempersoalkan kemasan daripada isi.

Reaksi serupa juga datang dari Maman S. Mahayana, dosen Fakultas Sastra Universitas Indonesia (sekarang Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI), yang enggan menyebut para penyair yang karyanya masuk dalam Graffiti Gratitude sebagai penyair , melainkan sebagai penulis puisi . Komentar seperti ini juga dilontarkan Ahmad Syubbanuddin Alwy dalam beberapa tulisannya di harian Pikiran Rakyat. Dan yang lebih fatal adalah pernyataan Ahmadun Yosi Herfanda yang mengatakan sastra cyber, yakni karya sastra yang muncul di internet (termasuk di cybersastra.net) tak ubahnya seperti tong sampah, karena puisi-puisi di internet tersebut ditolak pemuatannya di surat kabar-surat kabar. Sebuah pernyataan yang fascis, kata Saut Situmorang (2004).

Dalam salah satu tulisannya, Alwy meminta argumentasi dari para penggagasnya atas lahirnya sastrawan generasi cyber, seolah-olah dia memiliki argumentasi yang kuat kenapa dia menjadi penyair. Ada kesan pula ia punya argumentasi yang kuat kenapa dia menjadi penyair sufi. Padahal, kenapa dia menjadi manusia dan kenapa lahir di sini pun tak akan mampu memberi argumentasi seperti yang dipaksakannya harus ada pada sastrawan cyber. Seperti mau memasuki sebuah perkampungan, sastrawan cyber harus menunjukkan kartu identitas. Kenapa memahami sebuah generasi dari argumentasi , kartu identitas, dan bukan dari karya yang dihasilkan oleh generasi tersebut?

Saya seperti melihat Sisyphus yang mendorong batu ke bukit Tartar, dan begitu sampai di puncak, batu itu menggelinding ke bawah kembali. Setelah itu Sisyphus akan mendorong batu itu ke atas kembali, menggelinding, dorong lagi, terus-menerus, selalu berulang. Dan sikap Orang Tua dalam dunia sastra Indonesia seperti layaknya Sisyphus yang melakukan pekerjaan sia-sia seperti itu. Pertanyaan yang sama, pelecehan yang sama, yang itu-itu saja, selalu dilontarkan Orang Tua pada kelahiran generasi baru.

Sepertinya tidak ada pertanyaan cerdas yang perlu dilontarkan pada seorang Anak Haram sekalipun. Memang, ada satu-dua di antara mereka itu yang memiliki sikap arif dan bijak, seperti Jakob Sumardjo yang mengkritisi Cyberpuitika, dengan mengatakan perlunya eksplorasi yang semaksimal mungkin pada mesin digital. Sepedas apa pun ungkapan Jakob Sumardjo, namun jika diniatkan untuk sebuah karya yang lebih baik, maka sudah sewajarnya hal itu menjadi pemacu atau meminjam istilah Rendra, menjadi daya hidup bagi sebuah generasi. Demikian halnya dengan gugatan Juniarso Ridwan, yang memberi penekanan yang sama dengan Jakob Sumardjo. Karena, bagaimanapun, tidak ada karya manusia yang sempurna di dunia ini. Begitu juga dengan karya sastrawan generasi cyber yang memang masih memerlukan waktu untuk tidak sekadar mewujudkan eksistensi, tapi juga memberikan arti pada sesuatu yang kelak retak ini, sebagaimana yang dikatakan Goenawan Mohamad.

Tapi, ketika Jakob Sumardjo mengatakan bahwa sastrawan cyber masih sangat terpengaruh dengan tradisi sebelumnya, yakni tradisi tulisan, Jakob seperti melihat sastra cyber sebagai Alien , makhluk yang sama sekali baru, aneh, yang haram menggunakan kata-kata atau medium bahasa dalam pengungkapan pesan atau makna dalam karya sastra yang ditampilkan di Cyberpuitika. Tidakkah hal yang sama juga tampak dalam karya sastra tulis sekarang ini yang masih berkutat dalam tradisi kelisanan? (Damono, 1999b).

Dan Juniarso Ridwan, yang mempertanyakan apakah jika tanpa kata-kata, suatu karya masih layak disebut sastra, seperti mengulang pertanyaan yang sama ketika kita menghadapi karya Danarto, sebuah puisi konkret yang berisi sembilan kotak itu. Apakah itu bukan sastra? Aneh rasanya kalau puisi konkret Danarto diterima sebagai sebuah karya sastra, sedangkan Cyberpuitika tidak. Selama masih ada kata, makna yang tersembunyi, simbol, metafora, repetisi, dan piranti sastra lainnya, maka sastra cyber masih sah dianggap sebagai karya sastra.

Meskipun sastrawan generasi cyber dianggap sebagai Anak Haram dalam sastra Indonesia, maka ia pun memiliki hak hidup yang sama dengan sastrawan generasi lainnya. Meskipun sastra cyber dianggap sebagai Tong Sampah dalam sastra Indonesia, maka ia pun memiliki hak hidup yang sama dengan tong-tong sampah dalam sastra Indonesia lainnya. Selama masih ada pemikiran elu-elu gue-gue (istilah Juniarso Ridwan yang relevan ditujukan pada semua pihak) ataupun ada pemikiran wama kola Alwy , maka kehidupan sastra Indonesia tidak akan sehat, sebagaimana yang kita lihat sekarang ini, di mana sejarah sastra Indonesia masih terbelenggu dalam kanonisasi, masih tergantung pada kata pemegang otoritas, kecuali disertasi Faruk yang telah dibukukan, Novel-Novel Indonesia: Tradisi Balai Pustaka 1920-1942 (2002). Dan pemegang otoritas sastra Indonesia pertama di Indonesia adalah kolonial Belanda, yang membentuk Commissie voor de Indlandsche School en Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi/Inlander dan Bacaan Rakyat), yang selanjutnya mendirikan Balai Pustaka. Lembaga ini pada hakikatnya adalah membonsai pemikiran masyarakat (yang disebut inlander oleh kumpeni) yang menerbitkan berbagai karya sastra dengan menggunakan bahasa Melayu campuran (baik oleh kalangan pribumi, kaum peranakan Cina, maupun peranakan Eropa), dan tidak terikat dengan bahasa baku yang dimaui kumpeni, yakni sesuai buku Kitab Logat Melajoe (1901) karya Charles Adriaan van Ophuijsen (yang sangat dibantu oleh Engku Nawawi gelar Sutan Makmur dan Muhammad Taib Sutan Ibrahim), yang sekarang ini kita kenal sebagai ejaan van Ophuijsen.

Sementara sastra Indonesia yang terbit di luar Balai Pustaka mendapat julukan yang tidak mengenakkan oleh kumpeni (dan dilestarikan oleh penulis sejarah sastra Indonesia sampai sekarang, seperti Ajip Rosidi dan Pamusuk Eneste), yakni sebagaiBacaan Liar , yang boro-boro dicatat oleh penulis sejarah sastra Indonesia. Dan baru kali ini ada kesadaran dari penerbit besar seperti Gramedia Group untuk menerbitkan kembali karya-karya sastra Cina peranakan yang dulu teralienasi, terkucilkan. Itu terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama, hampir satu abad sejak tahun 1900. Kini, hal yang sama dialami oleh sastrawan generasi cyber, di mana karya-karya yang ditelurkan melalui internet, yang diamini sebagai karya yang instan karena canggihnya teknologi internet, disebut sebagai Anak Haram atau Tong Sampah .

Gaya kompeni yang dipakai kembali oleh Ahmad Syubbanuddin Alwy dan Ahmadun Yosi Herfanda itu disematkan pada sastrawan generasi cyber, yang hendak mengatakan Yang bukan kampret tidak ambil bagian (plesetan dari ungkapan Chairil Anwar). Warisan Sisyphus pun ternyata kekal sampai sekarang ini. Orang Tua dalam sastra Indonesia seringkali melontarkan pertanyaan yang sama, pelecehan yang sama, yang seharusnya dibuang ke tong sampah, yang sebenarnya sia-sia.

Saya ingin mengatakan, bahwa lahirnya sastrawan generasi cyber ini ibarat bola salju yang telanjur menggelinding, yang makin lama makin membesar dan melibas kerikil-kerikil bahkan tembok yang mencoba menghalaunya. Bola salju itu terus menggelinding hingga entah sesuatu yang tak seorang pun mampu menjawabnya.

Pada 2008 ini kita bisa melihat perkembangan sastra cyber itu. Setiap sastrawan akan memiliki situs atau website sendiri. Setiap sastrawan akan bersuara sesuai dengan hati nuraninya sendiri. Tanpa sensor dari redaktur-redaktur tertentu. Cybersastra yang dikatakan tong sampah oleh Ahmadun Y. Herfanda itu kini menjelma menjadi ruang publik yang penuh warna. Kegiatan sastra di Indonesia semakin marak dengan berkembangnya cybersastra. Komunikasi menjadi lebih cepat dan tepat sasaran dengan adanya internet. Produksi sastra akan meningkat berlipat-lipat.

Sastra akan dihasilkan dan dinikmati dengan segera. Begitu karya kita selesai ditulis, langsung bisa dipublikasikan (yakni melalui blog atau situs pribadi). Kualitas karya sastra tidak lagi ditentukan oleh selera satu-dua redaktur sastra, tapi ditentukan oleh pembaca sastra cyber pada umumnya. Selain itu, karya sastra cyber bisa diakses secara luas, hingga ke luar negeri. Tidak heran media massa di Indonesia juga memerlukan publikasi melalui internet. Lihat saja Kompas, Tempo, Antara, Media Indonesia, Sinar Harapan, SCTV, atau media besar lainnya, pasti memiliki situs internet. Artinya apa? Artinya publikasi melalui internet itu penting, karena sangat mengikuti perkembangan zaman.

PENUTUP

Aku tulis pamplet ini

Karena kawan dan lawan adalah saudara

Di dalam alam masih ada cahaya

Matahari yang tenggelam diganti rembulan

Lalu besok pagi pasti terbit kembali

Dan di dalam air lumpur kehidupan

Aku melihat bagai terkaca:

Ternyata kita, toh, manusia!

(Rendra)

Apa yang dapat dipelajari dalam penulisan sejarah sastra Indonesia? Terbukti bahwa ketika politik memasuki wilayah sastra demikian dalam, sebagaimana Lekra yang mengusung semboyan politik adalah panglima, maka yang terjadi adalah keterpurukan. Memang, sastrawan sebaiknya mengerti masalah politik, dan harus bersikap ketika melihat ketidakadilan di depan matanya, merespons melalui karya sastra. Hanya saja, Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 28 dari 39 Batu, 12-14 Agustus 2008 ketika politik dipaksakan ke seluruh bidang kehidupan, termasuk ke wilayah sastra, maka yang muncul adalah kejenuhan dan kejumudan. Karena, sastrawan tidak dapat dipaksa untuk melulu bicara politik. Sastrawan juga tidak bisa ditekan dengan kebijakan politik yang membelenggu dan memberangus gagasan. Adakalanya seorang sastrawan ingin merenungi hidup ini, ingin bicara tentang cinta, atau kematian. Tidak harus bicara tentang revolusi apalagi revolusi yang belum selesai.

Seniman dan sastrawan tidak membutuhkan instruksi seperti yang terbaca pada Mukaddimah Lekra, melainkan membutuhkan kebebasan, meskipun kebebasan itu harus direbut sendiri. Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 berakhir dan Lekra mengalami nasib naas, tidak berarti bahwa karya sastra yang telah mereka hasilkan dianggap tidak ada.

Dalam penulisan sejarah sastra, tidak ada istilah kalah dan menang. Keduanya harus dicatat, keduanya dapat tempat, ujar Chairil Anwar. Demikian halnya dengan penulisan sejarah sastra Indonesia 1960-an yang kita tahu pasti menyinggung sastrawan Lekra dan sastrawan Manikebu. Keduanya harus diperlakukan sama oleh sejarawan. Kita harus bersikap adil terhadap semua karya sastra yang mereka hasilkan. Jika kita member penghargaan yang sama pada karya sastra yang lahir dari sastrawan Lekra dan sastrawan Manikebu, maka yang tampak adalah perbedaan tematik dan stilistik atau keberagaman, yang seyogyanya kita anggap sebagai kekayaan khasanah sastra Indonesia. Kaya dalam hal estetika.

Pada mulanya adalah pikiran/pemikiran, yang membuat sastrawan Lekra memaksakan konsep realisme sosialis , yang menginginkan semua sastrawan menciptakan karya sastra revolusioner. Akan tetapi, ternyata, tidak semua orang dapat ditundukkan oleh kekuasaan, terutama anak-anak muda yang memiliki jiwa yang bebas dan mereka memiliki pemikiran tersendiri. Setiap ada upaya satu pihak untuk mendominasi pihak lain, atau melakukan hegemoni terhadap semua pihak, maka akan menimbulkan resistensi atau perlawanan dari pihak lain. Sudah menjadi hukum alam bahwa semakin besar penindasan yang dilakukan penguasa, maka semakin besar pula resistensi terhadap penguasa. Dan, Lekra sudah melakukan dan memetik hasilnya.

Sekarang tinggal kita mengambil hikmah di balik peristiwa itu. Dalam keadaan/posisi berada di atas roda, apakah kita juga akan menindas sastrawan Lekra yang tengah berada dalam posisi di bawah roda? Misalnya, tidak memasukkan karya-karya sastrawan Lekra dalam sejarah sastra Indonesia 1960-an? Saya memilih untuk menyertakan karya mereka dalam sejarah sastra Indonesia 1960-an. Persoalan eternal, atau abadi tidaknya sebuah karya, akan ditentukan oleh sang waktu dan pembaca di masa yang akan datang. Apakah mereka akan menerimanya atau tidak. Itu saja.

EPILOG: KRONIK SEJARAH SASTRA INDONESIA

1908:     Organisasi pemuda pertama, Boedi Oetomo, lahir pada 21 Mei 1908. Misinya mengubah struktur sosial. Suatu jabatan harus dipegang oleh ahlinya, dan bukan hanya dimonopoli kaum ningrat. Dalam kongres Jong Java di Yogyakarta, 5 Oktober 1908, dr. Tjipto Mangunkusumo mencita-citakan suatu pendobrakan masyarakat kolonial dan tradisional dengan segala kekolotan, statisisme,diskriminasi, dan tradisi yang menekan. Untuk mencapai tujuan itu diperlukan gerakan yang lebih bersifat politik radikal (Kartodirdjo, 1993). Kesadaran kebangsaan mulai muncul sebagai dampak dari politik etik yang diserukan van Deventer.

1917:     Penerbit Balai Pustaka berdiri pada 22 September 1917. Karya sastra yang diterbitkan tidak boleh bertentangan dengan politik pemerintah kolonial Belanda. Akibatnya, isi novel Salah Asuhan karya Abdul Muis berbeda jauh dengan isi aslinya. Novel Belenggu ditolak oleh Penerbit Balai Pustaka. Novel-novel yang dicap sebagai bacaan liar , novel picisan , dan novel yang dinilai dapat meracuni masyarakat tidak bisa diterbitkan Balai Pustaka. Karena itu, karya-karya Marco Kartodikromo, Semaoen, Kwee Tek Hoay, Tan Boen Kim, dan Liem Wie Leng yang mengangkat tema-tema antiimperialisme dan menggunakan bahasa Melayu Rendah tidak diterbitkan Balai Pustaka.

1919:     Novel Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo terbit.

1920:     Novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar terbit. Novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli terbit.

1922:     Novel politik Hikayat Kadirun karya Semaoen terbit. Nur Sutan Iskandar menerbitkan Apa Dayaku karena Aku Perempuan. Buku puisi Tanah Air karya Muhammad Yamin terbit.

1924:     Novel Rasa Merdika karya Mas Marco Kartodikromo terbit. Buku Bebasari karya Roestam Effendi terbit.

1928:     Dalam kongres pemuda kedua di Jakarta, 28 Mei 1928, pemuda-pemuda Indonesia mengeluarkan resolusi berupa Sumpah Pemuda. Bahasa Melayu ditetapkan menjadi bahasa Indonesia. Novel Salah Asuhan karya Abdul Muis terbit. Nakah drama berbahasa Indonesia, Ken Arok dan Ken Dedes karya Muhammad Yamin dipentaskan di kongres pemuda.

1933:     Majalah Pujangga Baru terbit. Selasih menerbitkan Kalau Tak Untung.

1934:     J.E. Tatengkeng menerbitkan Rindu Dendam.

1935:     Esai Sutan Takdir Alisjahbana di majalah Pujangga Baru memicu Polemik Kebudayaan. STA menyarankan agar kebudayaan Indonesia diarahkan ke Barat. Polemik ini kemudian dibukukan oleh Achdiat Kartamihardja dalam Polemik Kebudayaan.

1936:     Novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana terbit. I Gusti Nyoman Panji Tisna menerbitkan Sukreni Gadis Bali.

1937:     Amir Hamzah menerbitkan Nyanyi Sunyi.

1938:     Novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Hamka terbit.

1940:     Novel Belenggu karya Armyn Pane terbit. Novel Suwarsih Djojopoespito, Buiten het Gareel ( Di Luar Jalur ) dilarang oleh pemerintah Belanda.

1941:     Goenawan Mohamad lahir.

1942:     Jepang masuk dan menjajah Indonesia. Pembentukan Keimin Bunka Sidhoso (Kantor Pusat Kebudayaan) melahirkan karya-karya seni yang bersifat propaganda untuk kemenangan perang Asia Timur Raya, serta antiAmerika dan sekutu-sekutunya.

1945:     Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945. Tapi, Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia. Belanda ingin tetap menguasai Indonesia dengan mendirikan negara-negara boneka. Akibatnya, banyak seniman yang enggan menggunakan warna daerah, karena akan dicap sebagai antek-antek Belanda.

1946:     Seniman dan sastrawan mendirikan Gelanggang Seniman Merdeka pada 19 November 1946. Mereka adalah Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, Mochtar Apin, Henk Ngantung, Basuki Resobowo, dan Baharuddin M.S.

1948:     Buku Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma karya Idrus terbit.

1949:     Buku Deru Campur Debu karya Chairil Anwar terbit. Chairil Anwar dijuluki sebagai Pelopor Angkatan 45 oleh HB Jassin. Achdiat Kartahadimadja menerbitkan Atheis.

1950:     Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) berdiri pada 17 Agustus 1950. Lekra mengembangkan paham seni untuk rakyat dan realisme sosialis di lapangan kebudayaan. Pada 23 Oktober 1950, Asrul Sani mengumumkan Surat Kepercayaan Gelanggang . Usmar Ismail menerbitkan Sedih dan Gembira.

1951:     Majalah Basis terbit.

1952:     Buku Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis terbit. Utuy Tatang Sontani menerbitkan Awal dan Mira. S. Rukiah menerbitkan Tandus.

1953:     Sitor Situmorang menerbitkan Surat Kertas Hijau.

1954:     Buku Kesusastraan Indonesia dalam Kritik dan Esai karya HB Jassin terbit.

1955:     Pemilihan Umum pertama digelar.

1956:     Rendra menerbitkan Ballada Orang-orang Tercinta.

1959:     Sepanjang 1950-an timbul pergolakan di daerah-daerah yang disebabkan ketidakpuasan perimbangan pusat-daerah. Sistem parlementer yang diterapkan mengakibatkan pemerintahan tidak pernah stabil. Soekarno menyerukan Negara dalam keadaan perang. Ia juga membubarkan Konstituante pada Juli 1959. Dekrit presiden dikeluarkan. Dimulailah pemerintahan otoriterian Soekarno yang memberlakukan demokrasi terpimpin. Ajip Rosidi menerbitkan Cari Muatan.

1962:     Abdullah S.P. dan Pramoedya Ananta Toer menuduh Hamka sebagai plagiator. Novel Tenggelamnya Kapal van Der Wicjk karya Hamka dituduh sebagai plagiat dari novel Majdulin karya Al Manfaluthi, yang merupakan terjemahan dari Sous les Tilleuls karya Alphonse Karr. Tuduhan itu dimuat di Bintang Timur dan Harian Rakyat. Motinggo Busye menerbitkan Malam Jahanam.

1963:     Sastrawan-sastrawan muda melahirkan Manifes Kebudayaan sebagai jawaban menolak seruan Politik sebagai panglima yang dikumandangkan Lekra.

1964:     Pada Maret 1964, para sastrawan menggelar Konferensi Karyawan Pengarang se- Indonesia (KKPI). Soekarno melarang Manifes Kebudayaan pada 8 Mei 1964. Buku Revolusi di Nusa Damai karya Ktut Tantri terbit.

1965:     Terjadi peristiwa penculikan dan pembunuhan para jenderal yang disebut sebagai Dewan Jenderal oleh sebuah gerakan yang menamakan dirinya Gerakan 30 September yang dipimpin Letkol Untung. Pangkostrad Mayjen Soeharto, satusatunya petinggi Angkatan Darat yang selamat dalam aksi pembunuhan itu, mengambil alih kepemimpinan di Angkatan Darat. PKI dituduh berada di balik aksi itu. Setelah PKI dilarang, terjadi pembunuhan massal. Lekra dilarang. Banyak sastrawan Lekra yang dipenjara, sebagian hidup sebagai sastrawan eksil. Perempuan aktivis yang tergabung dalam Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) banyak yang menjadi korban perkosaan. Buku-buku karya sastrawan Lekra dilarang.

1966:     Majalah sastra Horison terbit. H.B. Jassin mendeklarasikan Angkatan 66 dalam sastra Indonesia. Majalah Budaya Jaya terbit pada tahun yang sama. Buku Tirani dan Benteng karya Taufiq Ismail terbit. Buku ini terbit ulang secara komplet pada 1993.

1968:     Cerpen Langit Makin Mendung karya Ki Panjikusmin terbit dan bikin heboh, karena dianggap menghina umat Islam. Pemimpin Redaksi majalah Sastra, H.B. Jassin diadili. H.B. Jassin juga menerbitkan Angkatan 66: Prosa dan Puisi. Iwan Simatupang menerbitkan Merahnya Merah.

1970:     Remy Sylado memperkenalkan puisi mbeling.

1971:     Buku Sandhyakala Ning Majapahit karya Sanusi Pane terbit. Majalah Tempo terbit. Goenawan Mohamad sebagai Pemimpin Redaksi.

1973:     Kritik sastra aliran Rawamangun yang diusung dosen sastra Universitas Indonesia (UI), yakni M.S. Hutagalung, M. Saleh Saad, dan J.U. Nasution, mendapat reaksi dari Goenawan Mohamad dan Arief Budiman yang memperkenalkan kritik ganzheit atau gestalt sebagai alternatif kritik analitik. Pada tahun ini pula Sutardji mCalzoum Bachri mengeluarkan Kredo Puisi-nya. Dami N. Toda mengibaratkan Sutardji Calzoum Bachri dan Chairil Anwar sebagai dua sisi mata uang. N.H. Dini menerbitkan Pada Sebuah Kapal.

1974:     Sastrawan muda Bandung menggelar Pengadilan Puisi. Slamet Sukirnanto bertindak sebagai Jaksa Penuntut Umum (JPU).

1975:     Asrul Sani menerbitkan Mantera.

1977:     Ajip Rosidi menerbitkan Laut Biru Langit Biru.

1978:     Iwan Simatupang mendapat penghargaan South East Asia Write Award (Hadiah Sastra ASEAN) dari pemerintah Thailand. Para sastrawan yang mendapat penghargaan serupa pada tahun-tahun setelahnya adalah Sutardji Calzoum Bachri, Putu Wijaya, Goenawan Mohamad, Marianne Katoppo, Y.B. Mangunwijaya, Budi Darma, Abdul Hadi W.M., Sapardi Djoko Damono, Umar Kayam, Danarto, Gerson Poyk, Arifin C. Noer, Subagio Sastrowardoyo, A.A. Navis, Ramadhan K.H., Taufiq Ismail, Ahmad Tohari, Rendra, Seno Gumira Ajidarma, N. Riantiarno, Kuntowijoyo, Wisran Hadi, Saini K.M., Darmanto Jatman, Gus tf. Sakai, Acep Zamzam Noor, Sitor Situmorang, dan Suparto Brata.

1980:     Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer terbit. Buku itu diikuti dengan terbitnya Jejak Langkah (1985) dan Rumah Kaca (1988). Buku Potret Pembangunan dalam Puisi karya Rendra terbit.

1981:     Buku Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya terbit. Buku Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi terbit.

1982:     Pramoedya Ananta Toer menerbitkan Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia.

1984:     Dalam sarasehan kesenian di Solo, 28 Oktober 1984, Ariel Heryanto memperkenalkan sastra kontekstual, yakni sejenis pemahaman atas seluk-beluk kesusastraan dengan meninjau kaitannya dengan konteks sosial historis kesusastraan yang bersangkutan.

1985:     Claudine Salmon menerbitkan buku Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu. Ariel Heryanto menerbitkan Perdebatan Sastra Kontekstual.

1987:     Linus Suryadi Ag. menerbitkan buku antologi puisi Indonesia secara lengkap, Tonggak. Yayasan Lontar berdiri.

1988:     Dalam seminar Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) di Padang, Subagio Sastrowardoyo mengusulkan teori dan kritik sastra yang khas Indonesia.

1990:     Pementasan Suksesi Teater Koma yang disutradarai N. Riantiarno dilarang. Sebelumnya, pada tahun yang sama, Teater Koma mementaskan Konglomerat Burisrawa yang mengkritik kartel bisnis raksasa di Indonesia.

1991:     Nirwan Dewanto membacakan pidato kebudayaan dalam kongres kebudayaan keempat. Menurut dia, setiap manusia berpotensi untuk menciptakan kebudayaan. Ia mengusung semangat pluralisme dan multikulturalisme. Pidatonya dibukukan dalam Senjakala Kebudayaan.

1994:     Majalah Tempo, Editor, dan tabloid Detik dibredel. Majalah Kalam terbit. Kusprihyanto Namma (Ngawi), dan Beno Siang Pamungkas (Tegal) mengusung Gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman dan menghujat Pusat dan elit sastra nasional sebagai sumber kekuasaan yang mendominasi sastra koran .

1995:     D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail menerbitkan buku Prahara Budaya. Pramoedya Ananta Toer menerima penghargaan hadiah Magsaysay. Taufiq Ismail dan Mochtar Lubis memprotes pemberian penghargaan itu. Muncul polemik hadiah Magsaysay. AS Laksana menerbitkan buku Polemik Hadiah Magsaysay.

1997:     Penyair Wiji Thukul diculik dan dibunuh.

1998:     Pada 21 Mei 1998, Soeharto lengser dari jabatannya. B.J. Habibie menggantikannya. Terjadi kerusuhan 13-14 Mei 1998, yang mengakibatkan banyak mal yang terbakar, yang menelan banyak korban jiwa. Perempuan keturunan Tionghoa juga banyak yang menjadi korban perkosaan. Buku-buku karya sastrawan Lekra bisa muncul ke permukaan. Ayu Utami mengibarkan sastra yang beraroma seks melalui Saman. Harian Kompas menyambutnya dengan istilah sastra wangi . Majalah Tempo terbit kembali.

1999:     Pemilu demokratis kedua yang diselenggarakan di Indonesia setelah Pemilu 1955. PDI Perjuangan yang dipimpin Megawati Soekarnoputri memperoleh suara terbesar. Namun, yang terpilih menjadi presiden adalah K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

2000:     Korrie Layun Rampan mengumumkan adanya Angkatan 2000. H.B. Jassin meninggal di Jakarta. Buku Aku Ingin Jadi Peluru karya Wiji Thukul terbit.

2001:     Mulai 2001, penghargaan Khatulistiwa Literary Award (KLA) diberikan kepada sastrawan yang menghasilkan karya sastra terbaik. Mereka yang pernah mendapatkan penghargaan ini antara lain Goenawan Mohamad, Remy Sylado, Hamsad Rangkuti, Seno Gumira Ajidarma, Linda Christanty, Sapardi Djoko Damono, Joko Pinurbo, Gus tf., Acep Zamzam Noor.

2002:     Majalah Horison menerbitkan buku Horison Sastra Indonesia yang terdiri dari empat kitab, yakni kitab puisi, cerpen, novel, dan drama. Dalam buku ini, Hamzah Fansuri yang hidup di abad ke-17 dimasukkan sebagai sastrawan Indonesia yang pertama.

2003:     Sapardi Djoko Damono dan Ignas Kleden mendapat penghargaan Ahmad Bakrie Award karena jasanya di bidang kesusastraan dan pemikiran. Sastrawan dan intelektual yang menerima penghargaan yang sama pada tahun-tahun berikutnya adalah Goenawan Mohamad, Nurcholish Madjid, Budi Darma, Sartono Kartodirdjo. Frans Magnis Soeseno yang seharusnya mendapatkan penghargaan tersebut menolak karena keterkaitan perusahaan Bakrie dengan bencana Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur.

2004:     Pemilihan presiden secara langsung yang dilakukan pertama kali di Indonesia. Soesilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai presiden, mengalahkan Megawati. Di dunia sastra, para sastrawan muda mendeklarasikan lahirnya generasi sastrawan cyber. Sastra di internet merupakan terobosan baru bagi para sastrawan untuk berekspresi dan mempublikasikan karyanya secara bebas. Novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy terbit. Yayasan Lontar mendokumentasikan biografi sastrawan Indonesia, di antaranya Pramoedya Ananta Toer, Agam Wispi, Ahmad Tohari, Umar Kayam, Sapardi Djoko Damono, Sutan Takdir Alisjahbana, Putu Oka Sukanta, dan lain-lain. Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir dibunuh. Buku Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan karya Ignas Kleden terbit.

2005:     Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata terbit. Novel ini dan novel Ayat-ayat Cinta menjadi novel paling laris (best seller) dalam sejarah penerbitan novel di Indonesia. Kedua novel ini juga ditransformasi ke film.

2006:     Yayasan Lontar menerbitkan Antologi Drama Indonesia: 1895-2000. Penerbitan buku ini menunjukkan bahwa sejarah sastra Indonesia bukan dimulai pada 1920, melainkan pada 1895. Anton Kurnia menerbitkan Ensiklopedi Sastra Dunia.

2007:     Novel Kalatidha karya Seno Gumira Ajidarma terbit. Buku kumpulan puisi Otobiografi karya Saut Situmorang terbit. Saut adalah salah satu sastrawan yang menggerakkan sastra cyber, sastrawan Ode Kampung, dan majalah Boemipoetra.

2008:     Buku-buku Pramoedya Ananta Toer yang dicetak ulang dan buku-buku korban tragedi 1965 yang ingin meluruskan sejarah marak di toko-toko buku, dan menjadi buku laris. Misalnya, Suara Perempuan Korban Tragedi 65 karya Ita F. Nadia.

 

BIBLIOGRAFI

Adam, Asvi Warman. 2004. Soeharto Sisi Gelap Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Ombak.

Ajidarma, Seno Gumira. 2007. Kalatidha. Jakarta: Gramedia.

Ajoeb, Joebar. 2004. Sebuah Mocopat Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Teplok Press.

Alisjahbana, Sutan Takdir. 1935. Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru, dalam Achdiat Kartamihardja. Polemik Kebudayaan. Jakarta: Balai Pustaka.

Anwar, Chairil. 1990. Aku Ini Binatang Jalang. Jakarta: Gramedia.

Aveling, Harry. 2003. Rahasia Membutuhkan Kata: Puisi Indonesia 1966-1998. Magelang: Indonesiatera.

Braginsky, V.I. 1998. Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7-19. Jakarta: INIS.

Budiman, Arief. 2006. Kebebasan, Negara, Pembangunan: Kumpulan Tulisan 1965- 2005. Jakarta: Alvabet dan Freedom Institute.

Damono, Sapardi Djoko (ed.). 1987. HB Jassin 70 Tahun: Kumpulan Karangan. Jakarta: Gramedia.

_____. 1999a. Politik Ideologi dan Sastra Hibrida. Jakarta: Pustaka Firdaus.

_____. 1999b. Sihir Rendra: Permainan Makna. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Eneste, Pamusuk 1988. Ikhtisar Kesusastraan Indonesia Modern. Jakarta: Djambatan.

_____. 2001a. Bibliografi Sastra Indonesia. Magelang: Indonesia Tera.

_____. 2001b. Buku Pintar Sastra Indonesia. Jakarta: Kompas.

Faruk. 2002. Novel-Novel Indonesia Tradisi Balai Pustaka 1920-1942. Yogyakarta: Gama Media.

Foulcher, Keith. 1986. Social Commitment in Literature and The Arts: The Indonesian Institute People s Culture 1950-1965. Australia: Centre of Southeast Asian Studies, Monash University.

_____. 1988. Roda yang Berputar: Beberapa Aspek Perkembangan Sastera Indonesia Sejak 1965, dalam Prisma No. 8 Tahun XVII. Jakarta: LP3ES.

_____. 1991. Pujangga Baru: Kesusastraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933-1942. Jakarta: Girimukti Pasaka.

_____. 1994. Angkatan 45: Sastra, Politik Kebudayaan dan Revolusi Indonesia. Jakarta: Jaringan Kerja Budaya.

_____. 2000. Sumpah Pemuda: Makna dan Proses Penciptaan atas Sebuah Simbol Kebangsaan Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu.

Hadi W.M., Abdul. 1995. Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-Puisinya. Bandung: Mizan.

Heryanto, Ariel. 1985. Perdebatan Sastra Kontekstual. Jakarta: Rajawali.

_____. 1988. Masihkah Politik Jadi Panglima: Politik Kesusastraan Indonesia Mutakhir, dalam Prisma No. 8 Tahun XVII. Jakarta: LP3ES.

Holt, Claire. 2000. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. Terjemahan R.M.

Soedarsono. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.

Horison. No. 9-10, Tahun XXVIII, edisi September-Oktober 1993.

_____. No. 6-10, Tahun XXX, edisi Oktober 1995.

Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 36 dari 39 Batu, 12 14 Agustus 2008

Ismail, Taufiq dkk. 1995. Ketika Kata Ketika Warna. Jakarta: Yayasan Ananda.

_____. 2001. Horison Sastra Indonesia (empat jilid). Jakarta: Horison.

Ismail, Yahaya. 1972. Pertumbuhan, Perkembangan, dan Kejatuhan Lekra di Indonesia: Satu Tinjauan dari Aspek Sosio-Budaya. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Jassin, H.B. 1968. Angkatan 66: Prosa dan Puisi. Jakarta: Gunung Agung.

_____. 1985. Tifa Penyair dan Daerahnya. Jakarta: Gunung Agung.

_____. 1987. Pujangga Baru: Prosa dan Puisi. Jakarta: Haji Masagung.

_____. 1993. Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang. Jakarta: Balai Pustaka.

Kartamihardja, Achdiat. 1998. Polemik Kebudayaan. Cet. III. Jakarta: Balai Pustaka.

Kartodirdjo, Sartono. 1993. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme. Jakarta: Gramedia.

Kleden, Ignas. 2004. Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan. Jakarta: Freedom Institute dan Graffiti.

Kratz, Ernest Ulrich. 1987. Data Statistik tentang Daerah Asal Para Pengarang Indonesia, dalam Sapardi Djoko Damono (ed.). H.B. Jassin 70 Tahun. Jakarta:  Gramedia.

_____. 1988. Bibliografi Karya Sastra Indonesia dalam Majalah: Drama, Prosa, Puisi. Yogyakarta: Gadjahmada University Press.

_____. 2000. Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang.

_____. 1999. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.

_____. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Kurniawan, Eka. 2006. Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis. Jakarta: Gramedia.

Laksana, A.S. 1997. Polemik Hadiah Magsaysay. Jakarta: ISAI dan Jaringan Kerja Budaya.

McGlynn, John H. Et.al. 2002. Indonesian Heritage: Bahasa dan Sastra. Jakarta: Buku Antar Bangsa.

Moeljanto, DS dan Taufiq Ismail. 1995. Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI Dkk.. Bandung: Mizan.

Mohamad, Goenawan, 1993. Kesusastraan dan Kekuasaan. Jakarta: Pustaka Firdaus.

_____. 2002. Eksotopi: Tentang Kekuasaan, Tubuh, dan Identitas. Jakarta: Grafiti.

_____. 2003. Paradigma Pengging dalam Nancy K. Florida, Menyurat yang Silam, Menggurat yang Menjelang. Yogyakarta: Bentang.

_____. 2004. Setelah Revolusi Tak Ada Lagi. Jakarta: Alvabet.

Nadia, Ita F. 2008. Suara Perempuan Korban Tragedi 65. Yogyakarta: Galang Press.

Pane, Sanusi. 1935. Persatuan Indonesia, dalam Achdiat Kartamihardja. Polemik Kebudayaan. Jakarta: Balai Pustaka.

Poerbatjaraka. 1935. Sambungan Zaman, dalam Achdiat Kartamihardja. Polemik Kebudayaan. Jakarta: Balai Pustaka.

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1984. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media.

Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 37 dari 39 Batu, 12 14 Agustus 2008

Prisma, Ilmuwan Jangan seperti Pohon Pisang: Pandangan Sartono Kartodirdjo, No. 10. Tahun XXIII, Oktober 1994.

Rendra. 1993. Potret Pembangunan dalam Puisi. Jakarta: Pustaka Jaya.

Ricklefs, MC. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi.

Rosidi, Ajip. 1977. Laut Biru Langit Biru. Jakarta: Pustaka Jaya.

_____. 1986. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Bina Cipta.

_____. 1987. Puisi Indonesia Modern. Jakarta: Pustaka Jaya.

_____. 1995. Sastera dan Budaya: Kedaerahan dalam Keindonesiaan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Salmon, Claudine. 1985. Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu. Jakarta: Balai Pustaka.

Sambodja, Asep. 1995. Pertengkaran Semu, dalam Sinar, 2 September.

_____. 2005. Dua Kiblat dalam Sastra Indonesia, dalam Totok Suhardiyanto dkk. Dari Kampus ke Kamus: 65 Tahun Program Studi Indonesia. Depok: PSI FIB UI.

Sambodja, Asep dan Asih Nurhayati. 2000. Pramoedya Ananta Toer: Kreativitas Saya Selesai Sampai di Sini, dalam Satunet.com, 3 Maret.

Sani, Asrul. 1997. Surat-surat Kepercayaan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Sarwadi, H. 2004. Sejarah Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media.

Sasongko, H.D. Haryo dan Melani Budianta. 2003. Menembus Tirai Asap: Kesaksian Tahanan Politik 1965. Jakarta: Amanah Lontar.

Shohifullah. 2002. Pramoedya Ananta Toer: Perahu yang Setia dalam Badai. Yogyakarta: Bukulaela.

Sikorsky, W. 1970. Tentang Sejarah Pembentukan Kesusastraan Indonesia Modern. Terj. Koesalah Soebagyo Toer. Moskwa: Mockva.

Siregar, Bakri. 1964. Sedjarah Sastera Indonesia Modern. Jakarta: Akademi Sastera dan Bahasa Multatuli.

Situmorang, Saut (ed.). 2004. Cyber Graffiti: Polemik Sastra Cyberpunk. Yogyakarta: Jendela.

Sumbogo, Priyono B. dan Ida Farida. 1991. Zaman Isi dan Zaman Bahasa, dalam Tempo, 13 April.

Suryadi Ag., Linus. 1987. Tonggak: Antologi Puisi Indonesia Modern. Jakarta: Gramedia.

Suwarno, Adila dkk. 1996. Refleksi Kebudayaan. Jakarta: Panitia Dialog Terbuka Refleksi Kebudayaan.

Tanojo, Edwina Satmoko. 1981. Ciri-ciri Bacaan Liar, Skripsi. Depok: FSUI.

Teeuw, A. 1952. Pokok dan Tokoh dalam Kesusasteraan Indonesia Baru. Jakarta: Yayasan Pembangunan.

_____. 1980. Sastra Baru Indonesia I. Ende: Nusa Indah.

_____. 2989. Sastra Indonesia Modern II. Jakarta: Pustaka Jaya.

_____. 1994. Indonesia: Antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya.

_____. 1997. Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer. Jakarta: Pustaka Jaya.

Tempo edisi khusus: Kebangkitan Nasional 1908-2008. Edisi 19-25 Mei 2008.

Toer, Pramoedya Ananta. 2003. Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia. Jakarta: Lentera Dipantara.

Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 38 dari 39 Batu, 12 14 Agustus 2008

_____. 2003b. Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia. Jakarta: Lentera Dipantara.

Wasono, Sunu. 2007. Sastra Propaganda. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Wieringa, Saskia. 2003. Lubang Buaya. Jakarta: Metafor Publishing.

Wilson (ed). 2007. Kebenaran akan Terus Hidup. Jakarta: Yappika dan Ikohi.

Yudiono K.S. 2007. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo.

Zoetmulder, P.J. 1985. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Cet. II. Jakarta: Djambatan.


BIOGRAFI PENULIS

Asep Sambodja lahir di Solo, 15 September 1967. Lulus dari Program Studi Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) Depok pada 1993, dengan skripsi berjudul Pariksit, Interlude, dan Asmaradana: Telaah Isi Sajak-sajak Goenawan Mohamad . Ia pernah bekerja sebagai wartawan di tabloid Bintang Indonesia, majalah Sinar, majalah Ummat, tabloid Madani, media online Satunet.com, Otogenik.com, majalah Fokus Indonesia, dan majalah sastra Imajio. Sejak 2005, ia menjadi dosen di almamaternya, Program Studi Indonesia FIB UI. Buku terbaru yang ditulisnya adalah Cara Mudah Menulis Fiksi (Jakarta: Bukupop, 2007).

Ia aktif menulis puisi. Sejumlah puisinya dimuat di beberapa media massa, antara lain Media Indonesia dan Koran Tempo, serta dalam antologi puisi, yakni Graffiti Gratitude (2001), Ini Sirkus Senyum (2002), Bisikan Kata, Teriakan Kota (2003), Dian Sastro for President!: End of Trilogy (2005), Les Cyberlettres: Antologi Puisi Cyberpunk (2005), Nubuat Labirin Luka: Antologi Puisi untuk Munir (2005), Mekar di Bumi (2006), Jogja 5,9 Skala Richter (2006), dan Legasi: Antologi Puisi Nusantara (2006). Kumpulan puisi tunggalnya adalah Menjelma Rahwana (Jakarta: Komunitas Bambu, 1999), Kusampirkan Cintaku di Jemuran (Jakarta: Bukupop, 2006), dan Ballada Para Nabi (Jakarta: Bukupop, 2007).

Ia juga menjadi editor kumpulan cerpen karya mahasiswa UI, yakni Batak is The Best! (2006; bersama Saeno M. Abdi), Tuhan buat Vasty (2007), dan Untukmu, Munir (2008). Ia juga menulis cerpen. Salah satu cerpennya dimuat dalam antologi cerpen Batu Merayu Rembulan (2003) yang dieditori Heri Latief. Ia pun menjadi salah satu editor untuk buku Aceh Merdeka dalam Perdebatan (1999; bersama Tulus Widjanarko) dan kumpulan esai Cyber Graffiti (2001). Pada 2005-2008 menjadi penyunting pelaksana di Jurnal Susastra. Selain menjadi dosen di UI, ia juga menjadi editor di Penerbit Bukupop.

Esai-esainya dimuat di Republika dan Sinar Harapan. Beberapa esainya dibukukan dalam Cyber Graffiti: Polemik Sastra Cyberpunk (2004), Dari Kampus ke Kamus (2005), Kebenaran akan Terus Hidup (2007), dan Keindonesiaan dan Kemelayuan dalam Sastra (2007).

Ia telah menulis dua skenario, yakni Air (2000) untuk film pendidikan di BIPA FIBUI dan Rekonsiliasi (2003) untuk pementasan monolog (stand up comedy) Iwel Well di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), 6 Maret 2004. Bersama M. Yoesoev, ia menjadi Pembina Teater UI (2005-sekarang). Ia pernah menyutradarai Teater UI untuk pementasan di Panggung Seni UKM, Malaysia, dengan lakon Khotbah karya Rendra.  Kini ia tinggal di Puri Bojong Lestari II, Jl. Puri Lestari 28 Blok WW/29 Citayam, Depok 16920. Telepon rumah (021) 87987629, HP 08129421963. E-mail: asepsambodja@yahoo.com. Alamat blog: http://puisiduniaasepsambodja.blogs.friendster.com. This document was created with Win2PDF available at http://www.daneprairie.com. The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.

Komentar

Foto SIHALOHOLISTICK

SEKEDAR BERBAGI WAWASAN

Berbagai tulisan yang saya posting di jendela sastra berupa Dapur Sastra dan Wawasan semata hanyalah ingin berbagi wawasan. Sebagian tulisan saya cantumkan pemiliknya dan sebagian yang tidak bukanlah ingin mengklaim itu tulisan saya, hanya karena saya tidak tau lagi dari mana saya kutip.

Salam sejahtera Sastra Indonesia

=@Sihaloholistick=

Foto Beni Guntarman

Saya suka artikel ini....

Saya suka artikel ini, cocok menjadi bahan diskusi kita semua. Dunia Kepenyairan bukanlah sebuah menara gading, terpisah dari perkembangan lingkungannya. Persoalan kualitas adalah alasan yang paling sederhana dalam penolakan sastracyber. Namun siapakah yang pantas menilai kualitas dari suatu karya sastra (dalam suatu generasi)? Pada akhirnya sebuah karya sastra itu adalah milik pembacanya!

Beni Guntarman

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler