Skip to Content

VISI DAN MISI KESUSASTRAAN INDONESIA MEMASUKI ABAD XXI

Foto SIHALOHOLISTICK

Maman S. Mahayana

Pembicaraan mengenai visi dan misi kesusastraan Indonesia, tentu saja kaitannya  menyangkut prospek kesusastraan kita dan tugas yang diembannya di masa mendatang. Bagaimanakah kehidupan kesusastraan Indonesia abad ke-21? Apakah ia kembali akan terperangkap pada isu-isu kontemporer atau klise? Apakah persoalannya berskala lokal, regional atau global? Masihkah kesusastraan Indonesia berkutat, berjalan di tempat atau mengalami lompatan yang mengagumkan?

Meski diakui, masih banyak pihak yang pesimis menatap masa depan kesusastraan Indonesia. Tidak sedikit keluh-kesah dilontarkan yang memasalahkan keterpencilan kesusastraan Indonesia; kurangnya apresiasi  para siswa terhadap khazanah sastra kita; dan gugatan terhadap mandulnya kritik sastra. Lalu, bagaimana pula kita menyikapinya?

Dalam konteks mengedepankan visi dan misi kesusastraan Indonesia memasuki abad ke-21, perlu kiranya kita mengevaluasi berbagai problem yang selama ini melanda kesusastraan Indonesia. Dengan cara demikian, kita mencoba melakukan semacam langkah-langkah antisipatif atas berbagai persoalan yang mungkin timbul di masa yang akan datang. Sebagai sebuah visi, ia mengandung perspektif tertentu, pandangan tertentu yang jauh ke depan. Dengan perspektif ini, maka problem kekinian perlu menjadi acuan. Ia juga menjadi semacam tempat berpijak untuk menengok ke belakang dan sekaligus juga sebagai titik berangkat menuju masa depan yang lebih cerah atau mungkin lebih suram. Dalam hal itulah, wacana visi kesusastraan Indonesia perlu ditempatkan.

Lalu bagaimana pula dengan misi yang diembannya? Ia niscaya menyangkut peran yang dimainkan untuk menanamkan sekaligus mencapai sesuatu yang diharapkan. Sangat mungkin ia menyuarakan kegelisahan kolektif atas berbagai persoalan sosio-kultural yang terjadi dewasa ini. Dengan demikian, problem kultural  yang dihadapi bangsa ini menjadi sangat signifikan dalam wadah sastra. Dalam hal inilah, peranan sastra sebagai salah satu agen kebudayaan menjadi cukup strategis.

Beberapa Masalah

Sebelum kita memasuki pembicaraan visi dan misi kesusastraan Indonesia menjelang abad ke-21, ada baiknya kita coba mengidentifikasi berbagai persoalan yang terjadi dalam rumah tangga sastra Indonesia. Salah satu persoalan yang mendesak yang perlu penanganan menyangkut pelurusan sejarah sastra Indonesia; benarkah kesusastraan Indonesia modern lahir seputar berdirinya Balai Pustaka? Berikutnya berkaitan dengan sistem sastra yang melingkupi kehidupan sastra Indonesia sendiri.[1] Dalam hal ini, pembicaraannya meliputi lingkaran budaya sastrawan, penerbit dan media massa sebagai lembaga yang melakukan reproduksi karya sastra, pelajaran sastra di sekolah sebagai ujung tombak pembudayaan apresiasi sastra bagi para siswa, dan yang terakhir menyangkut kritik sastra sebagai salah satu sarana penyehatan dan dinamisator kehidupan kesusastraan.

Melalui pembicaraan sejumlah persoalan tersebut, maka diharapkan, bakal terungkap langkah-langkah apa saja yang perlu dilakukan dalam menghadapi abad ke-21, agar kesusastraan Indonesia tidak mengalami nasib yang sama sebagaimana yang terjadi beberapa waktu yang lalu.

Persoalan Sejarah Sastra Indonesia

Sejak kelahirannya sampai ke awal perkembangannya kemudian, kesusastraan Indonesia tidak lain dari kesusastraan etnik yang menggunakan bahasa Melayu sebagai mediumnya. Sebelum Balai Pustaka berdiri, surat-surat kabar seperti Bromartani (Soerakarta, 1855), Soerat Kabar Bahasa Melaijoe (1856), Serat Chabar Betawie (Betawi, 1858), Selompret Malajoe (Batavia, 1860), Bintang Soerabaja (Soerabaja, 1860), Bientang Timoor (Soerabaja, 1865), Djoeroe Martani (Soerakarta, 1864), Bianglala (Batavia, 1867), Bintang Djohar (Betawi, 1873), Retno Dhoemilah (Jogjakarta, 1895) tidak jarang memuat sejumlah syair, pantun, sinom, feuilleton (cerita bersambung) atau cerpen.[2]

Berdirinya Balai Pustaka yang sesungguhnya dilatarbelakangi persoalan politis, dan bukan kultural, secara sistematik berusaha menafikan keberadaan sastra yang dimuat di majalah dan surat-surat kabar yang terbit waktu itu. Kemudian, Balai Pustaka menetapkan secara ketat kriteria atas karya-karya yang akan diterbitkan lembaga itu. Salah satunya adalah dengan memberlakukan bahasa Melayu yang sesuai dengan ejaan Van Ophuijsen. Akibatnya, unsur etnik lain, terutama unsur-unsur bahasa daerah non-Melayu, dibersihkan. Bahwa Balai Pustaka lebih gencar menerbitkan novel-novel yang berbahasa Melayu, pertimbangannya semata-mata lantaran bahasa Melayu sudah dikenal secara luas. Tetapi, tema-tema yang diangkatnya pada hakikatnya merupakan persoalan etnik, terutama Minangkabau.[3]

Akibat kebijaksanaan Balai Pustaka dalam memilih bahasa Melayu dan menerapkan ejaan van Ophuijsen secara ketat, maka pemakaian bahasa Melayu dalam sastra Balai Pustaka sebelum perang sangat berbeda dengan karya-karya sastra yang diterbitkan penerbit swasta di luar Balai Pustaka. Tetapi apakah dengan demikian, serta-merta pula kita dapat menyebut karya sastra di luar Balai Pustaka sebagai bukan sastra Indonesia? Jika Balai Pustaka sebagai lembaga kolonial menafikan keberadaannya, pertimbangannya semata-mata lantaran faktor politis. Lalu, mengapa pula dalam banyak buku sejarah sastra Indonesia keberadaan sastra di luar Balai Pustaka, ikut-ikutan ditenggelamkan? Apakah kita menyetujui cara pandang kolonial (Nederlando centris) yang seperti itu?

Jika demikian, lahirnya sastra Indonesia yang menurut Ajip Rosidi sekitar tahun 1920,[4] kiranya patut dipertanyakan kembali. Hal yang sama juga berlaku pada pendapat A. Teeuw,[5] yang juga menunjuk angka tahun 1920 sebagai awal lahirnya kesusastraan Indonesia. Catatan perjalanan sejarah kesusastraan Indonesia selepas Balai Pustaka, cenderung  berdasarkan sudut pandang yang seperti itu. Karya-karya yang diterbitkan di luar Balai Pustaka –kecuali karya-karya Hamka, Tenggelamnya Kapal van der Wijck dan Di Bawah Lindungan Kabah,[6] dan karya Armijn Pane, Belenggu,[7] dan karya yang tidak diterbitkan sebagai buku, tetapi dimuat di suratkabar dan majalah, ditenggelamkan begitu saja. Pola ini pula yang terjadi dalam catatan sejarah sastra Indonesia selepas perang.

Sesungguhnya begitu banyak persoalan yang terjadi dalam pencatatan sejarah kesusastraan Indonesia. Ada banyak sastrawan yang ditenggelamkan atau dilalaikan, sehingga namanya –apalagi karyanya, ikut terkubur. Inilah tugas besar yang harus segera diselesaikan tuntas, agar tidak terjadi penyesatan, penggelapan, dan penghilangan fakta-fakta historis.

Sastrawan dan Intelektualisme

Sejak kelahirannya, sastra Indonesia adalah sastra elitis. Ia ditulis dan dibaca oleh kaum terpelajar dan golongan intelektual. Sementara mereka yang sekadar dapat membaca dan menulis, terpaksa meminggirkan diri dan tidak mempunyai kesempatan untuk menikmati karya sastra. Budi Darma menyatakan bahwa sastrawan Balai Pustaka, Pujangga Baru, dan Angkatan 45 … tidak lain adalah cendekiawan-cendekiawan muda yang benar-benar haus ilmu. Mereka juga sangat menyadari pentingnya sastra. Di dalam diri mereka, ada kesadaran terhadap kebutuhan tradisi pemikiran, kecendekiawanan, dan ilmu. Lepas dari berbagai kesulitan yang harus mereka hadapi pada waktu itu, mereka cukup mempunyai waktu untuk bulat-bulat mengabdikan diri mereka pada sastra dan ilmu.[8]

Memasuki tahun 1950-an, ketika pendidikan terbuka lebar bagi semua lapisan masyarakat, makna golongan terpelajar dan kaum cendekiawan ini sebatas bagi sebagian golongan masyarakat menengah dan golongan atas, dan tidak termasuk golongan masyarakat menengah bawah, meskipun mereka pandai baca-tulis. Kondisi ini lalu seolah-olah memperoleh pembenaran ketika harga buku sastra relatif mahal. Inilah salah satu kendala bagi golongan masyarakat menengah bawah tidak dapat (atau tidak mau) menikmati karya sastra. Mereka harus berhitung dahulu antara kebutuhan dapur dan keinginan membeli buku-buku sastra. Belakangan, kondisi demikian itu dimanfaatkan oleh sejumlah penerbit yang menjual buku terbitannya dengan harga murah. Dengan format buku yang tidak menarik, sangat sederhana, kertas dan cetakannya dengan kualitas rendah memungkinkan buku seperti itu dapat dijual murah. Buku-buku yang seperti itulah yang kemudian kita kenal sebagai roman picisan.[9]

Pada tahun 1950-an itu, buku-buku jenis ini banyak diterbitkan di Medan, meskipun sebelum perang, Surabaya dan Semarang, juga banyak menerbitkan buku sejenis itu. Para pengarangnya, umumnya cenderung mengandalkan bakat alam. Tidak ada usaha memasukkan segi intelektualitas dalam karya-karya seperti itu. Sesungguhnya, tidak sedikit pula sastrawan pada dekade itu yang juga cenderung mengandalkan bakal alam. Inilah sebabnya, Subagio Sastrowardojo[10] menulis sebuah artikel berjudul “Bakal Alam dan Intelektualisme.” Menurutnya, sastrawan yang mengandalkan diri pada bakal alam saja ternyata tenggelam dalam kelupaan karena habisnya daya untuk memberikan kepada dunia intelektualitas pemikiran yang matang tentang dunia dan kehidupan.[11]

Kecenderungan yang terjadi dasawarsa tahun 1950-an itu, kini banyak pula kita jumpai pada karya sastrawan dekade 1990-an ini. Bahkan dari sastrawan Angkatan 66 dan Angkatan 70-an pun, tidak sedikit yang sekadar mengandalkan bakal alam. Akibatnya, di antara mereka banyak yang kehabisan daya, kreativitasnya mandek, lalu pensiun dini sebagai sastrawan.

Selepas memasuki abad ke-21 ini, Indonesia akan menjadi salah sebuah desa dunia. Arus globalisasi memutuskan sekat-sekat geografis. Di tingkat Asia Tenggara saja, sudah terjalin hubungan mesra para sastrawan antar-anggota ASEAN, sebagaimana yang diperlihatkan oleh Mastera (Majlis Sastera Asia Tenggara).[12] Dengan demikian, tuntutan intelektualitas bagi sastrawan Indonesia mendatang merupakan hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Tanpa usaha untuk mengembangkan intelektualitasnya, niscaya mereka tinggal menunggu saatnya saja terkubur. Sebaliknya, jika masih punya keinginan untuk berkiprah dalam tiga atau empat dasawarsa mendatang, mereka harus terus meluaskan wawasannya. Ia harus menjadi seorang cendekiawan yang mumpuni. Inilah visi yang mesti disadari benar oleh sastrawan Indonesia.

Lalu dengan tingkat intelektualitas yang mumpuni, ia tinggal mengemas misi yang diembannya ke dalam karya sastra yang khas mengungkapkan masalah etnis atau masalah di sekitarnya, tetapi juga berdimensi universal mengingat ia juga hakikatnya mengangkat problem manusia dan kemanusiaan. Berbagai kerusuhan dan konflik antar-etnik, bahkan konflik antar-agama dan kepercayaan yang kini justru makin semarak terjadi di berbagai kota di Indonesia, dan ketidakpuasan yang terjadi di pelosok Tanah Air, baik akibat kebrengsekan para pemimpin daerah, meluasnya kasus korupsi, atau akibat sistem peradilan dan penerapan hukum yang amburadul, sesungguhnya merupakan lahan subur untuk menjadi sebuah karya yang khas dan universal.[13] Belum lagi yang menyangkut legenda atau tradisi sastra daerah yang tidak terhitung banyaknya. Jadi, bagi sastrawan Indonesia, lahan garapannya masih terbuka seluas-luasnya. Tinggal apakah ia cukup piawai untuk mengolahnya menjadi sebuah karya monumental atau sekadar menampilkan kisah-kisah stereotype dengan konflik yang tidak berasal dari realitas sosial kita yang makin menunjukkan kehidupan bangsa ini memasuki khaos.

Peranan Media Massa

Bertebarannya majalah dan surat-surat kabar lokal dan nasional, sungguh merupakan wadah yang niscaya memberi kontribusi berarti bagi perkembangan kesusastraan Indonesia. Diberlakukannya otonomi daerah dan adanya kesadaran untuk tidak lagi sentralistik dalam sistem pemerintahan kita, jelas memberi peluang yang sangat lebar bagi pemberdayaan potensi di berbagai daerah. Kiblat sastra Indonesia yang semula sangat ditentukan Jakarta, dalam abad ke-21 itu tidak lagi demikian.[14]

Majalah Horison yang sejak awal penerbitannya merupakan salah satu majalah yang berwibawa di kalangan sastrawan, kini kondisinya tidak lagi demikian. Karya-karya sastra yang diterbitkan dalam surat-surat kabar minggu, nyatanya kualitasnya tidak berada di bawah karya-karya yang diterbitkan majalah Horison. Dengan begitu, media massa apa pun dan diterbitkan di kota mana pun, tidaklah menjadi halangan bagi penampungan kreativitas sastrawan-sastrawan kita.

Demikianlah, peranan media massa (surat kabar dan majalah) dan penerbit-penerbit yang berada di berbagai daerah, akan sangat menentukan maju-mundurkan kesusastraan Indonesia pada abad ke-21 ini. Mengingat sastra sebagai bagian dari kebudayaan, maka sudah saatnya  sastra sekarang ini memperoleh ruang yang lebih luas sebagai salah satu usaha membangun kebudayaan bangsa yang sudah morat-marit ini. Sastra diharapkan dapat memberi penyadaran dan pencerahan, betapa penting dan bernilainya penghargaan manusia atas manusia dan pembelaan terhadap kemanusiaan, agar manusia itu sendiri dapat menjadi lebih beradab dan manusiawi. Inilah salah satu misi yang diemban sastra Indonesia di masa mendatang.

Pelajaran Sastra di Sekolah

Keluhan atas rendahnya apresiasi sastra para siswa, tentu saja kesalahannya tidak dapat ditimpukkan kepada para guru sastra di sekolah. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya “kesemrawutan” pola pengajaran sastra di sekolah. Salah satunya adalah pola pengajaran yang cenderung bersifat hapalan, dan bukan apresiatif. Para siswa disodorkan begitu banyak konsep, nama pengarang, dan judul buku. Tetapi hanya sesekali saja siswa diwajibkan membaca langsung karya sastranya. Akibatnya, pelajaran sastra nyaris sama dengan pelajaran ilmu sosial lainnya.[15]

Sudah kondisinya demikian, pelajaran sastra lebih merupakan “pelengkap” pelajaran bahasa Indonesia. Ia menjadi semacam tempelan. Keadaannya makin parah lantaran materi yang harus diberikan guru kepada para siswa begitu banyaknya. Ada pengetahuan mengenai sastra lama, majas dan gaya bahasa, sampai ke sejarah sastra Indonesia yang dimulai dari zaman Balai Pustaka sampai Angkatan 66.

Terlalu banyak beban materi dan cenderung diberikan sebagai hapalan merupakan salah satu faktor tidak efektifnya pelajaran sastra di sekolah. Sangat wajar jika sastrawan pasca-Angkatan 66, sama sekali tidak dikenal para guru, apalagi oleh para siswanya.

Apa yang dilakukan Taufiq Ismail, dkk. (Majalah Horison bekerja sama dengan Pusat Pengembangan Penataran Guru Bahasa) yang menyelenggarakan Pelatihan Membaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra untuk guru-guru SMU se-Indonesia,[16] merupakan salah satu cara untuk mengubah paradigma pengajaran sastra di sekolah (SMU). Diha-rapkan, pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMU dapat dilakukan para guru tanpa harus terbebani oleh sederet konsep dan bentuk hapalan lainnya.

Kritik Sastra

Adanya sejumlah kritik atas mandulnya fakultas sastra dalam melahirkan kritikus sebagaimana yang pernah dilakukan H.B. Jassin dan Aliran Rawamangun (M.S. Hutagalung, Lukman Ali, M. Saleh Saad, dan S. Effendi), sesungguhnya tidak cukup beralasan, meskipun ada juga benarnya. Skripsi-skripsi dan sejumlah tugas karya ilmiah mahasiswa yang menelaah karya sastra, di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (dulu: Fakultas Sastra UI, FSUI), sesungguhnya sudah menjadi bagian integral dari kewajiban mahasiswa. Ia menjadi salah satu syarat kelulusan mahasiswa bersangkutan dalam mata-mata kuliah tertentu.

Demikian juga, tesis (S-2), disertasi (S-3), dan penelitian-penelitian lainnya untuk bidang sastra, sudah sejak lama menjadi tradisi. Belum lagi adanya berbagai kegiatan seminar dan diskusi,  tidak lain merupakan pengejawantahan dan implementasi kritik sastra. Bahwa publikasinya sangat kurang, persoalannya bukan terletak pada dugaan mandulnya kritik sastra (akademis), melainkan pada lembaga-lembaga penerbitan itu sendiri.

Meskipun demikian, kurangnya kerja sama antara kritikus dan sastrawan serta masyarakat peminat sastra lainnya, telah disadari sebagai salah satu penyebab adanya anggapan bahwa fakultas sastra cenderung eksklusif. Citra itu tentu saja kurang sehat. Oleh karena itu, citra ekskulsif demikian itu harus segera diubah. Dalam konteks inilah, FIB-UI khususnya, akan mendirikan sebuah laboratorium seni dan budaya yang membuka peluang bagi seniman –termasuk sastrawan– dalam dan luar negeri, lokal dan nasional, untuk mengadakan kegiatan atau pementasan di FIB-UI. Dengan langkah itu, diharapkan FIB-UI dapat menjadi salah satu pusat kegiatan seni dan budaya di kawasan Asia Tengga-ra, atau setidak-tidaknya di Indonesia. Inilah visi yang hendak dijalankan FIB-UI. Lalu apa pula misinya? Tentunya sebagai usaha mengangkat kesenian dan kebudayaan Indonesia lebih bermartabat di mata dunia.

Penutup

Demikianlah gambaran ringkas mengenai visi dan misi sastra Indonesia menjelang peralihan abad ini. Tujuan idealnya tentu saja menempatkan profesi kesastrawanan dan peran yang dimainkan sastra secara proporsional. Demikianlah!

* Makalah Sarasehan Bulan Bahasa dan Sastra, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, Jakarta, Sabtu, 27 November 1999


 [1] Ronald Tanaka, System Models for Literary Macro-theory (Lisse: Peter de Ridder Press, 1976). Tanaka membagi sistem sastra ke dalam dua bagian besar, yaitu sistem mikro-sastra, yang menyangkut struktur karya, dan sistem makro-sastra yang meliputi sistem pengarang, pembaca, penerbit, dan kritik. Dalam teori tradisional, pandangan ini dapat diidentifikasikan sebagai pendekatan intrinsik dan pendekatan ekstrinsik.

[2] Lihat Claudine Salmon, Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), hlm. 15–30; Bahkan, Salmon menyebut periode 1886–1910 sebagai masa bangkitnya syair. Periksa juga Suripan Sadi Hutomo, Wajah Sastra Indonesia di Surabaya 1856–1994 (Surabaya, PDS Suripan Sadi Hutomo, 1995), hlm. 22–25. Hutomo juga mengutip sebuah syair yang ditulis Malim Koening, dimuat dalam surat kabar Bientang Timoor, edisi Rabu, 4 Januari 1865.

[3] Syarat lain yang ditetapkan Balai Pustaka berkenaan dengan karya-karya yang akan diterbitkannya menyangkut juga isi karya yang bersangkutan, seperti tidak boleh menyinggung masalah kesukuan, agama, pornografi, dan hasutan. Periksa, Balai Pustaka Sewadjarnja (Djakarta: Balai Pustaka, 1948). Bahwa Balai Pustaka menerapkan kriteria seperti itu, sebagai contoh, dapat kita periksa kasus naskah novel Salah Asuhan karya Abdul Muis. Karena isinya konon dapat menimbulkan citra buruk wanita Belanda, maka naskahnya mengalami revisi sampai dua kali. Kasus lain terjadi pada novel Di Luar Garis (Buiten het Gareel) karya Suwarsih Djojopuspito yang ditolak Balai Pustaka, karena isinya dianggap menyuarakan semangat nasionalisme. Tetapi novel itu kemudian terbit di Belanda (1941) dengan Kata Pengantar E. Du Perron. Penerbit Djambatan, Jakarta, tahun 1975 baru menerbitkan novel itu berjudul Manusia Bebas.

[4] Ajip Rosidi, Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir? (Jakarta: Gunung Agung, 1985), hlm. 1–8; Lihat juga Ajip Rosidi, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (Bandung: Bina Cipta, 1976).

[5]A. Teeuw, Sastra Baru Indonesia (Ende: Nusa Indah, 1978), hlm. 15–18.

[6] Kedua novel Hamka ini mula-mula diterbitkan sebagai cerita bersambung  di majalah Pedoman Masyarakat, kemudian diterbitkan sebagai buku pertama kali oleh sebuah penerbit di Medan.

[7] Naskah novel ini mula-mula dikirimkan ke penerbit Balai Pustaka, tetapi kemudian ditolak karena isinya dianggap merendahkan martabat golongan priyayi (dokter). Penerbit Dian Rakyat milik Sutan Takdir Alisjahbana kemudian menerbitkan dengan menyertakan komentar-komentar mengenai novel itu.

[8] Budi Darma, “Sastra Kita Menghadapi Masa Depan,” Horison, XXXII/5/1999, hlm. 12.

[9] Pembicaraan mengenai roman picisan, periksa R. Roolvink, “Roman Picisan,” dalam A. Teeuw, Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru (Djakarta: Jajasan Pembangunan, 1953), hlm. 239–251. Penyebutan istilah “roman picisan” ini sesungguhnya juga bentuk lain dari semangat hegemonik dalam membangun dominasi sastra arus utama. Dalam konteks ini, sastra poluler, cerita-cerita silat, novel-novel detektif, dan novel remaja—yang kini dikenal dengan istilah teenlit—chicklit—ditempatkan sebagai sastra pinggiran, marjinal, dan sekadar memburu nilai komersial. Di sana ada gurita kapitalisme yang coba memanfaatkan pasar di luar penjualan buku-buku sastra arus utama yang cenderung dianggap minim pembaca. Oleh karena itu, secara ekonomi senantiasa merugi. Meskipun di belakang penerbitan buku-buku yang dituding berada di luar mainstream kerap dikaitkan dengan persoalan komersial, sebagai karya sastra sesungguhnya mereka juga mempunyai hak hidup. Jadi, terlepas dari persoalan komersial yang melatarbelakanginya, karya-karya seperti itu juga termasuk khazanah sastra Indonesia. Maka perlu kiranya  dipertimbangkan keberadaannya, bahkan juga kontribusinya bagi perkembangan kesusastraan Indonesia secara keseluruhan.

[10] Subagio Sastrowardojo, Bakat Alam dan Intelektualisme (Djakarta: Pustaka Jaya, 1971), hlm. 73–81.

[11] Ibid., hlm. 78.

 [12] Sejak September 1999, Majalah Horison telah pula memasukkan sisipan “Lembaran Mastera” yang bekerja sama dengan majalah Dewan Sastera (Malaysia), dan Bahana (Brunei) yang di dalamnya memuat karya-karya sastrawan dari ketiga negara itu.

[13] Esai Budi Darma “Style without …”

[14] Di Yogyakarta, misalnya, penerbit Yayasan Bentang Budaya, Yayasan untuk Indonesia, Pustaka Pelajar, dan sederet panjang penerbit yang sekadar mengandalkan idealisme, telah secara gencar menerbitkan buku-buku sastra dengan kualitas dan format yang membanggakan. Surabaya, Riau dan Lampung juga telah sejak lama merintis penerbitan buku-buku sastra. Jadi, sastrawan di berbagai daerah kini tidak lagi mengandalkan Jakarta sebagai pusat orientasinya.

[15] “Kesemrawutan” ini juga tidak terlepas dari kesalahan masa lalu ketika pemerintah di awal tahun 1950-an melakukan rekrutmen tenaga guru. Terbitnya sejumlah buku soal-jawab untuk ujian menjadi guru ketika itu, telah membentuk pola pelajaran sastra berorientasi kepada bentuk-bentuk hapalan. Kondisi seperti itu terus bergulir hingga kini. Hal itu kemudian seolah-olah memperoleh pembenaran lantaran para birokrat memperlakukan sastra sebagai profesi yan tidak penting, bahkan tidak sedikit pula yang dianggap sebagai musuh pemerintah. Lihat Maman S. Mahayana, “Pengajaran Sastra, Kesalahan Masa Lalu,” Kompas, 22 September 1996.

[16] Kegiatan ini sudah dimulai sejak Februari 1999 untuk guru-guru SMU se-DKI Jakarta. September 1999 diselenggarakan di Bandung untuk guru-guru SMU se-Jabar, dan awal November 1999 dan akhir November 1999 diselenggarakan di Yogyakarta untuk guru-guru SMU se-Yogyakarta dan Jawa Tengah. Januari 2000 diselenggarakan di Malang untuk guru-guru SMU se-Jawa Timur. Kegiatan ini akan terus berlanjut dan kemudian melebarkan sayapnya sampai ke guru-guru SMU di luar Jawa.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler