Skip to Content

WAWASAN SASTRA HAMZAH FANSURI DAN ESTETIKA SUFI NUSANTARA

Foto SIHALOHOLISTICK

Oleh Abdul Hadi W. M.

 

Hamzah Fansuri adalah seorang cendekiawan dan pemimpin tasawuf yang berpengaruh pada zamannya. Abd ke-16 dan 17 M, pada masa hidupnya, sastra Melayu sedang menapak puncak perkembangannya. Sejalan dengan itu bahasa Melayu semakin naik peranannya menjadi bahasa pergaulan utama penduduk kepulauan Nusantara di bidang perdagangan, keagamaan dan intelektual.

Terdapat banyak pula cendekiawan dan ulama yang berpengetahuan luas dan melahirkan karya-karya penting di bidang keagamaan dan sastra, baik dalam bahasa Melayu maupun Arab. Syamsuddin Pasai, Bukhari al-Jauhari, Nuruddin al-Raniri, Tun Sri Lanang, Abdul Jamal dan Abdul Rauf Singkel hanya beberapa nama saja banyak penulis Melayu dari zaman itu yang dikenal. Tetapi hanya sedikit dari mereka ini yang dapat mengekspresikan pemikiran dan gagasannya dalam ungkapan puisi yang indah dan mendalam seperti Hamzah Fansuri.

Peranan penting Syekh Barus dalam sejarah pemikiran di dunia Melayu Nusantara bukan saja karena gagasan tasawufnya, tetapi juga disebabkan karangan-karangan puisinya yang mencerminkan sengitnya pergulatan penyair menghadapi realitas zamannya dan luasnya pengembaraan spiritualnya. Dia adalah pencipta pertama ‘syair Melayu’, bentuk puisi 4 baris dengan pola sajak akhir AAAA dan digemari oleh penulis-penulis Nusantara sejak abad ke-17 M (M. Naquib al-Attas 1972). Bakatnya sebagai sastrawan besar tampak dalam kesanggupan kreatifnya merombak bahasa lama menjadi bahasa baru. Ia memasukkan ratusan kata-kata Arab, istilah-istilah konseptual dari al-Qur’an dan falsafah Islam, ke dalam bahasa Melayu.

Bahasa ini lantas tampil sebagai bahasa intelektual yang dihormati sebab dapat menampung gagasan-gagasan baru yang diperlukan pada zaman itu. Dari kalamnya lahir pula puisi-puisi agung yang belum pernah ditulis penyair mana pun dalam bahasa Melayu sampai ketika itu (Teeuw 1994::58-62; M. Naquib al-Attas 1970:20).

Pemakaian kata ‘anak dagang’ sebagai penanda kepengarangan, yang kemudian digunakan oleh penulis-penulis Melayu yang lain, di antaranya bermula dari syair-syairnya. ‘Anak dagang’ merujuk pada konsep sufi tentang kedudukan manusia di dunia yang pada hakikatnya merupakan orang asing (gharib) yang sedang merantau untuk mengumpulkan bekal (amal saleh dan amal ibadah) yang nantinya akan dibawa pulang ke kampung halamannya di akhirat. Di hadapan Tuhannya dia seorang faqir (tidak memiliki apa pun) dan dalam hidupnya hanya memerlukan (fuqara) Dia (Abdul Hadi 2002:243-6). Pemakaian penanda kepengarangan ‘anak dagang’ juga menggambarkan agama Islam tersebar luas di kepulauan Nusantara melalui saluran perdagangan, selain melalui saluran tasawuf, politik, pendidikan dan kesenian (Badri Yatim 2000:200-3).

Beberapa kutipan saja dari puisinya, sebagaimana akan dibahas dalam karangan ini, menunjukkan luasnya pengembaraan spiritual penyair dan pergulatannya dengan ide-ide besar keagamaan. Melalui puisi-puisinya pula tercermin betapa wawasan sastra dan estetika sufi mendapatkan ekpresi yang indah dan mantap dalam bahasa Melayu untuk pertama kalinya.

 

PUISI HAMZAH FANSURI

Karya seorang penyair besar biasanya memiliki ciri-ciri yang menonjol yang tidak terdapat dalam karya penyair-penyair sebelumnya. Ciri-ciri tersebut sering pula kemudian berkembang menjadi konvensi baru sastra dalam masyarakatnya. Selain itu sudah pasti pula memiliki daya ucap estetis yang kuat. Meminjam kata-kata penyair Inggris John Keats, puisi yang baik juga seperti daun yang muncul begitu saja di batang pohon disebabkan dorongan dari dalam batang pohon itu sendiri (Martin Lings 1977). Dorongan dari dalam itu timbul disebabkan derasnya ilham, kekayaan imaginasi dan kehendak kuat penyair untuk mengungkapkan gagasan dan pengalaman spiritualnya.

Selain beberapa ciri yang telah disebut pada bagian awal karangan ini, ciri-ciri menonjol pada puisi-puisi Hamzah Fansuri antara lain ialah: Pertama, penekanan penyair terhadap individualitas atau kesadaran diri, yaitu kebebasannya untuk mengekspresikan pengalaman pribadinya. Teeuw (1994:58-64) mengatakan, dalam hal ini dia mendahului tiga abad sebelum pembaharuan yang dilakukan oleh Pujangga Baru (1930an) dan Chairil Anwar (1940an). Semboyan “Puisi sebagai gerakan sukma yang mengalir ke indah kata” (PB) telah dilakukan oleh Hamzah Fansuri pada akhir abad ke-16 M. Begitu juga peormbakan terhadap bahasa lama demi lahirnya pengucapan puitik baru (CA) telah dilakukan oleh penyair dari Barus itu. Hamzah Fansuri menerapkan secara maksimal licensia poetica, kebebasan penyair untuk menyimpang dalam menggunakan bahasa. Dalam hubungan ini dia pulalah penyair Nusantara pertama yang secara berani membubuhkan nama dirinya di dalam bait-bait puisinya.

Kedua, tetapi puisinya bukan sekedar ungkapan perasaan biasa untuk menyenang-nyenangkan hati pembacanya agar terbebas dari duka lara, suatu anggapan yang umum berlaku dalam masyarakat Melayu ketika itu (Braginsky 1978). Puisinya untuk mengungkapkan pengalaman di sekitar makrifat, kegairahan mistikal (wajd) dan fana’, yaitu hapusnya ego rendah dalam Wujud Yang Hakiki, yang bisa disetarakan dengan unio mystica.

Ketiga, seiring dengan penekanannya terhadap individualitas maka tema pencarian diri mendapat perhatian utama pula. Tema ini dapat dirujuk pada sebuah Hadis qudsi, “Barang siapa mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya”. Walaupun kesahihan Hadis ini masih diperdebatkan, akan tetapi jika ditafsirkan secara benar dengan merujuk pada asas-asas tauhid, akan tetap relevan. Seseorang yang mengenal hakikat dirinya pasti akan mengenal Tuhannya. Para sufi pada umumnya merujukkannya pula pada ayat al-Qur’an 41:53, “Ayat-ayat-Nya terbentang di alam semesta dan diri manusia.”

Keempat, Dialah penyair Melayu pertama yang mengasaskan bahwa ungkapan-ungkapan puitik al-Qur’an dan kandungan maknanya, serta tamsil-tamsil yang terdapat di dalamnya dapat dijadikan rujukan dan titik tolak renungan puitik. Dalam puisi-puisinya bukan hanya kata-kata Arab dan tamsil-tamsil konseptual sufi yang dijumpai dalam jumlah besar, tetapi juga penggalan ayat-ayat al-Qur’an yang berperanan sebagai cahaya pembimbing ilham penyair. Sekalipun demikian semua itu tidak membuat nilai dan ungkapan puitik karya-karyanya berkurang, malah membuatnya kian berwibawa dan berbobot.

Kelima, tamsil-tamsil sufistik atau citraan-citraan simbolik yang digunakan dalam syair-syairnya diambil dari kehidupan budaya masyarakatnya dan lingkungan alam Nusantara. Ini menunjukkan keakraban penyair dengan lingkungannya dan masyarakatnya. Dengan cara demikian ia melakukan pribumisasi pandangan hidup (weltanschauung) dan nilai-nilai Islam yang diasaskan para pemikir tasawuf, dan sekaligus universalisasi kebudayaan Melayu melalui saluran falsafah perenial Islam.

Semua inilah gambaran selintas wawasan sastra Hamzah Fansuri yang juga menggambarkan kecendrungan estetikanya. Beberapa aspek dari ciri ini pulalah yang hendak dibahas dalam karangan ini.

Penekanan terhadap individualitas berkenaan dengan hakikat pengalaman kesufian itu sendiri. Annemarie Schimmel (1981:17) mengatakan:“Tasawuf berarti, pada periode perumusannya, terutama sebagai pendalaman ajaran Islam secara ruhaniah, suatu pengalaman pribadi tentang rahasia inti dari agama Islam, yaitu tauhid, ‘penyaksian (musyahadah) bahwa Tuhan itu esa”. Sedangkan Abu al-Wafa al-Taftazani (1985:6) menyatakan: ”Tasawuf atau mistisisme secara keseluruhan adalah falsafah hidup, yang dimaksudkan untuk meningkatkan jiwa seseorang secara moral melalui latihan-latihan praktis tertentu, kadang untuk menyatakan pemenuhan keadaan fana’ (hapusnya diri jasmani, nafs yang rendah) di dalam Hakikat Tertinggi serta pengetahuan tentang-Nya secara intuitif, bukan secara rasional, yang buahnya adalah kebahagiaan ruhaniah…”

Untuk menjelaskan bahwa yang diungkapkannya dalam puisi-puisinya merupakan pengalaman pribadi, dalam bait-bait penutup untaian syairnya (terdiri dari 13 sampai 21 bait) penyair selalu membubuhkan nama dan takhallus-nya. Dalam konvensi sastra sufi ini dimaksudkan sebagai pembebasan jiwa. Pembebasan ini terjadi setelah penyair mencapai keadaan fana’ atau persatuan mistikal, yang berlanjut dengan keadaan baqa’, hidup kekal secara ruhani di dalam Yang Abadi. Peringkat ruhan yang dicapainya disebut berarti faqir. Pada tahapan atau maqam ini jiwa seorang ahli suluk dipenuhi perasaan bahwa hanya Tuhan saja yang diperlukan karena hanya Dia yang dapat mencukupi hidupnya. Kutipan berikut ini menunjukkan hal tersebut:

Hamzah miskin hina dan karam
Bermain mata dengan Rabbul `Alam
Selamnya sangat terlalu dalam
Seperti mayat sudah tertanam

(Ikat-ikatan II)

Hamzah Fansuri anak dagang
Melenyapkan dirinya tiada sayang
Jika berenang tiada berbatang
Jika berlabuh pada tempat tiada berkarang

(Ikat-ikatan VII)

Hamzah Fansuri di negeri Melayu
Tempatnya kapur di dalam kayu
Asalnya manikam di manakan layu
Dengan ilmu dunia di manakan payu

(Ikat-ikatan XV)

Hamzah miskin orang `uryani
Seperti Ismail jadi qurbani
Bukannya `Ajami lagi `Arabi
Nentiasa washil dengan Yang Baqi

(Ikat-ikatan XIX)

Hamzah Syahr Nawi terlalu hapus
Seperti kayu sekalian hangus
Asalnya laut tiada berarus
Menjadi kapur di dalam barus

(Ikat-ikatan XXVI)

Sebagai penyair Hamzah Fansuri sangat piawai menggunakan tamsil atau citraan-citraan simbolik yang diambil dari alam kehdupan sekitarnya dan kisah-kisah dari al-Qur’an (dalam hal ini kisah Nabi Ismail a.s.) untuk menggambarkan pengalaman transendental kesufiannya. Dia pun begitu akrab dengan lingkungan kota kelahirannya Barus, dengan lautnya, penghidupan dan budaya masyarakatnya. Pada masa hidupnya Barus merupakan pelabuhan dagang yang ramai dikunjungi kapal-kapal asing, di antaranya untuk membeli kamfer atau kapur barus yang merupakan barang perniagaan penting dan memberikan keuntungan besar pada masa itu.
Dia tidak berseloroh ketika berkata, “Hamzah Fansuri di negeri Melayu/Tempatnya kapur di dalam kayu…”. Pada masa itu Barus Raya memang merupakan sebuah negeri atau kerajaan. Tome Pires, seorang musafir Portugis yang melawat kota itu pada permulaan abad ke-16 M sebelum Hamzah Fansuri dilahirkan, mencatat dalam bukunya Suma Oriental, “Sekarang tiba masanya berbicara tentang kerajaan Barus yang kaya dan makmur, yang juga disebut Panchur atau Pansur. Orang-orang Gujarat menyebutnya Panchur, dan begitu pula orang-orang Persia, Arab, Keling, Bengali dan lain-lain. Orang-orang Sumatra menyebutnya Baros (Baruus). Ia merupakan sebuah kerajaan, bukan dua. Ia berbatasan dengan Tiku di satu hal dan batasan lain ialah wilayah kerajaan Singkel. Pedalaman daerah itu berhubungan dengan daerah Minangkabau dan di hadapannya di tengah laut terletak pulau Nias…Kerajaan ini merupakan pusat perniagaan di pulau Sumatra, oleh sebab ia merupakan pelabuhan tempat emas dijual dan di bawa ke luar, dan juga sutra, benzoin, barus di dalam jumlah besar,,,, madu dan barang niaga lain yang terdapat banyak di situ melebihi ditempat lain,,,semua pedagang berkumpul dinegeri-negeri ini.” (Cartesao 1944:161-2).

Sayang, pada permulaan abad ke-17 M peranan Barus sebagai pelabuhan dagang mulai merosot dengan munculnya kerajaan Aceh Darussalam yang membangun pelabuhan di pantai barat Sumatra berhadapan dengan Selat Malaka yang lebih strategis. Lama kelamaan Barus tenggelam dan menjadi sebuah pekan sunyi yang terpencil. Pada awal abad ke-18 M seorang sarjana Belanda mengunjungi kota itu dan tidak lagi menyaksikan sebuah pelabuhan dagang yang ramai. Namun dia mengatakan dalam catatan perjalanannya, “Seorang penyair Melayu Hamzah Pantsoeri…seorang yang sangat terkemuka di kalangan orang Melayu syair-syair atau puisi-puisinya yang mengagumkan, membuat kita ingat kembali akan kota tempatnya lahir apabila dalam puisi-puisinya yang agung dia mengangkat daei tumpukan debu kebesaran dan kejayaan masa lampau kota itu dan menciptalagi masa-masa gemilang dari kebesarannya.” (Teeuw 1966).
Hamzah Fansuri selanjutnya setelah menyebut Barus sebagai negeri Melayu yang masyhur, menyatakan tentang dirinya “Tempatnya kapur di dalam kayu…”. Pembaca yang tidak mengetahui kedudukan kapur (kamfer atau al-kafur dalam bahasa Arab) dan kayu yang melambangkan jasmani manusia serta terkait dengan tamsil sajarat al-hayat (pohon hayat), mungkin agak sukar memahami metafora (isti`ara) tersebut. Kapur atau kamfer, yang di dalam bahasa Latin disebut camphora merupakan bagian dalam (inti) dari kayu barus yang padat — yang terbaik darinya berbentuk kristal — berisi minyak yang harum. Setelah melalui proses penyulingan ia digunakan sebagai larutan dalam spiritus digunakan sebagai balsem, di antaranya bahan untuk mengwetkan mayat (mummi). Kamfer diperoleh dari drybalonops camphora aromatika (kayu barus yang harum), pohonnya tinggi sampai 65 meter, terdapat banyak di Sumatra Utara dan Kalimantan, ditemukan di celah-celah kayu. Tiap pohon bisa menghasilkan 2 sampai 10 kg kamfer dan dipakai dalam ilmu kedokteran dan harum-haruman (Ensklopedi Indonesia, Van Hoeve Bandung 1960: 736)

Dalam al-Qur’an (76:5), yaitu surat al-Insan, dinyatakan, “Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan akan meminum dari piala yang campurannya adalah kafur.” Dirujuk pada puisi Hamzah Fansuri, penyair ingin menjelaskan bahwa melalui disiplin ilmu tasawuf, dia menemukan hakikat dirinya yang di dalam pohon kehidupan. Dalam sajaknya yang lain, sebagaimana telah dikutip, ia menyatakan dengan ungkapan lain, “Asalnya laut tidak berarus/Menjadi kapur di dalam Barus” (Ik. XXVI).

Penggunaan tamsil kapur dan kaitannya dengan pohon hayat, juga terdapat dalam puisinya yang menggambarkan dirinya sebagai ‘unggas quddusi’ (burung suci, lambang ruh atau jiwa manusia yang telah tersucikan):

Hamzah gharib (asing) unggas quddusi
Akan rumahnya Bayt al-Ma`muri
Kursinya sekalian kapuri
Min al-Ashjari (dari kayu) di negeri Fansuri

(Ikat-ikatan XXVIII)

Kadang-kadang ia menggantikan citraan kayu dengan tubuh jasmaninya sendiri sebagai tempat yang batin (jiwa) melakukan `uzlat sehingga akhirnya mendapat pencerahan dan menyaksikan bahwa dirinya sebenarnya lebih merupakan makhluq ruhani dibanding makhluq jasmani:

Hamzah `uzlat di dalam tubuh
Ronanya habis sekalian luruh
Zahir dan batin menjadi suluh
Olehnya itu tiada bermusuh

(Ikat-ikatan XVIII)

Sastra sufi pada umumnya mengungkapkan tahapan-tahapan (maqam) dan keadaan-keadaan jiwa atau ruhani (ahwal) yang dialami oleh para sufi dalam menempuh ilmu suluk. Maqam yang bisa diartikan sebagai peringkat keruhanian, seperti dikatakan Ali Utsman al-Hujwiri (sufi abad ke-11 M) dalam Kashf al-Mahjub (170-1), merupakan tahapan pertama yang dicapai setelah seorang salik memenuhi kewajiban yang disyaratkan dan mampu memelihara peringkat yang telah dicapainya. Taubat, Inabah (transformasi diri, perubahan sikap), zuhud dan tawakkal termasuk peringkat ruhani. Tahapan selanjutnya, yang kedua, disebut ahwal (kata tunggalnya hal) yaitu keadaan ruhani yang muncul. Termasuk ahwal ialah `ishq (cinta ilahi), shawq (kemabukan mistikal), ma`rifat, hayrat (ketakjuban pada keindahan hakiki), istighna (kedamaian agung), fana’ dan baqa’, serta kashf (tersingkapnya hijab yang menutupi penglihatan batin) Tahap kedua ini juga disebut wajd, pertemuan dalam batin dan penyaksian (mushahadah) Yang Haqq yang melahirkan haqq al-yaqin (kepastian mendalam). Keadaan ini menimbulkan kegairahan mistikal (tawajjud). Tahap ketiga disebut tamkin, yaitu keberadaan ahli makrifat di tempat yang tinggi, yaitu tercapainya keadaan bersatu dengan Yang Haqq (shahid al-haqq).
Kadaan-keadaan ruhani yang dicapai sering dilukiskan melalui berbagai tamsil. Kemabukan mistikal ditamsilkan sebagai anggur; perjalanan naik dari tahap awal ke tahap selanjutnya dalam tasawuf ditamsilkan sebagai perjalanan mendaki ke puncak bukit untuk menemui Kekasih. Adakalanya digambarkan melalui citraan penerbangan burung, sebagaimana dalam Mantiq al-Tayr (Musyawarah Burung) karya `Attar. Dalam kaitan dditampilkan tamsil-tamsil seperti unggas quddusi, tayr al-`uryan (burung faqir), unggas sultani, unggas pingai dan lain-lain.
Kadang juga digambarkan bahwa dalam pelayarannya itu dia mampu mengatasi segala cobaan sehingga pada akhirnya sampai di bandar tauhid yang lautnya tenang (‘Jika berenang tiada berbatang/Jika berlabuh pada tempat tiada berkarang’ Ik. VII). Perjalanan tasawuf pada hakikatnya juga merupakan penyelaman ke dalam lautan wujud. Untuk itu ditampilkan tamsil-tamsil penyelaman ke dalam lautan dan ikan. Bait-bait puisinya ini menggemakan kata-kata Rumi dalam Matsnawi : “Manusia diciptakan dari akal dan nafsu, separuh ular separuh ikan. Sifat ikan menarik dia ke laut (maksudnya lautan wujud ketuhanan); sedangkan sifat ular menarik ke darat (lambang alam rendah atau dunia hawa nafsu). Kata penyair::

Ikan tongkol bernama fadhil
Dengan air da’im ia washil
`Ishqinya terlalu kamil
Di dalam laut tiada bersahil

Ikan itu terlalu `ali
Bangsanya nur al-rahmani
Angganya rupa insani
Da’im bermain di laut baqi

(Ikat-ikatan XXV)

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler