Skip to Content

Frida kahlo dari jawa

Foto Willyshayudana

Tiga tahun sudah berlalu, ibu sudah bekerja jauh di luar negeri sana, dan alleta masih tinggal di rumah yang sebentar lagi tergusur, pak rus pemilik tanah mulai melakukan perundingan yang berujung kekalahan. Pembangunan lahan terbuka hijau sebagai alasan yang tak masuk akal. Warga yang tinggal berpuluh tahun disana, pasrah menerima kenyataan. Hari semakin berlalu alleta sekarang terpental jauh ke Jakarta, di rumah bibinya, adek dari ibu alleta. tapi alleta tak bebas-sebebasnya seperti di kampung kelahirannya. Alleta sudah seminggu disana, sering tak betah di rumah, sampai lari dari rumah karena peraturan bibinya yang begitu mengekang. Tiga hari sudah alleta tidur di jalan, dan disana ia bertemu seorang pelukis yang setiap siang hari duduk di kursi yang berada di trotoar. Alleta penasaran dengan pelukis itu sudah dua hari ia memantaunya. Alleta tertarik dengannya. 

“boleh aku duduk disini ?”

Ia memandang alleta dengan senyuman 

“silahkan mbak”

“sudah lama melukis?”

“iya mbak dari sejak kecil saya melukis, umur sebelasan"

“indah dan penuh makna, warna-warnanya penuh gambaran kehidupan”

Ia tersenyum lagi melihat wajah alleta dengan sambutan kehangatan.

“asal kota mana mbak? Keliatannya mbak pendatang Yo disini?”

“ aku dari medan. iya, aku sudah seminggu di Jakarta ini, tinggal sama bibiku sih disini. Tapi aku sudah tiga hari ini udah ga di rumah bibiku, ribet!"

“lalu tiga hari ini mbak tidur dimana toh?"

“ya di tempat ini di pinggir trotoar atau kalau sepi, aku ikut gabung tidur bareng mereka yang tidur di depan ruko itu."

“siapa mereka itu mbak, saya sering disini, tapi siang hari mbak."

“mereka itu, gelandangan, tukang rongsokan, pengemis dan yang lainnya"

“iya mbak, Jakarta itu besar ramai dan padat, tapi Kosong mbak!"

“haah, maksudnya?”

“iya kosong penuh kesepian, sepi tanpa makna, bagaimana bisa mobil-mobil mewah lewat di depan orang-orang malang seperti mereka orang-orang lalu lalang jalan di trotoar, ataupun mereka yang hanya cuman melihati sebagai kata risih, atau mengganggu. Saya tidak bersimpati dengan orang kaya-kaya itu, buat apa hartanya yang lalu lalang melintas di hadapan gelandangan, pengemis, tukang rongsokan dan anak jalanan, kalau kata berbagi untuk sesama manusia itu tak ada di hati mereka. Siapa yang tau mereka juga merasakan lapar. Memang pernah saya liat toh mbak, ada yang menolong mereka memberi nasi dan uang, tapi kamera ada dimana-mana, sesederhana ini menjalani hidup, omong kosong toh mbak! Hanya popularitas meraih keuntungan lebih di balik penderitaan orang lain."

Alleta tertunduk dengan ucapan pelukis itu, ya memang seperti itulah mata rantai kehidupan, alleta mulai penasaran dengannya dan bertanya.

“lalu lukisan yang kau buat ini terpengaruh dengan mereka semua?”

“tidak juga, malahan hanya sedikit tentang mereka. Saya melukis menggambarkan kenyataan hidup saya mbak. apa yang saya rasakan dan alami.”

“aku tidak mengerti begitu benar tentang seni melukis, tapi aku suka meliatnya, merasa hidup di mata, oiya emangnya kau asal kota mana?"

“saya dari kampung, daerah kulon Progo sana mbak Jawa tengah. Sudah tak punya keluarga lagi, semenjak orang tua saya kecelakaan. Sekarang  saya tinggal di tempat kakaknya ibu (bude).”

“maaf tongkat ini?"

“sejak kecil juga saya sudah mengalami penyakit polio mbak, kaki sebelah saya kecil. Ya, berjalan jadi agak susah.”

“tapi kamu hebat, punya cita-cita yang orang pun juga tidak bisa melakukannya, seperti melukis ini"

“ahh, ini cuman cita-cita toh mbak, belum jadi kenyataan.”

Oiya, jangan panggil mbak, panggil saja alleta. Bisa letta juga.”

“Iya saya panggil letta saja, oiya kalau saya mahawarni, atau warni”

Sampai sore hari, perkenalan yang mempertemukan alleta dan mahawarni menjadi suatu warna yang berbeda, tetapi menyatukan mereka kedalam sebuah kanvas yang suci. Mahawarni mengajak alleta ke rumah budenya yang tak jauh dari tempat mereka bertemu tadi, sungguhpun ketika itu alleta enggan pulang ke rumah bibinya. 

“apakah hanya laki-laki yang memiliki kebebasan Atas dirinya sendiri, sedangkan perempuan hanya jadi alat peraturan yang di pandang buruk?

“Kebebasan milik semua orang, tidak berjenis kelamin! Laki-laki atau perempuan, miskin atau kaya, selagi masih memegang prisinsip dan tujuan serta menjaga iman dan akalnya, maka sehatlah jiwa dan hati itu.”

 

“bude saya pulang, ini ada teman warni.”

“siapa namanya nak, cantik betul dirimu seperti warni”

“ahh bude, biasa saja sebentar umur bertambah yang cantik ga bertahan lama ketika tua nanti.”

“Nama saya alleta bude, Makasih tadi udah di bilang cantik bude.”

“tidak letta kita tidak cantik”

Budenya warni tertawa selepas-lepasnya mendengar mereka yang tidak mengakui diri mereka cantik.

“Kalian itu memang benar cantik toh, jangan merendah gitu. Bude jujur kalau kalian itu cantik.”

Alleta cuman diam dan merasa bingung, budeNya warni mengatakan kami berdua cantik, sedangkan warni mengatakan kami berdua tidak cantik.

“kami sunggu benar tidak memiliki kecantikan itu bude, kalau kami cantik dari dulu sudah jadi model saya toh?”

“perempuan cantik kan tidak harus menjadi model toh warni”

“nah jadi gini bude, warni, aku bingung masalahnya cantik Atau tidak cantik itu bagaimana?

“jadi begini leta, Bude. Ada yang tinggi hati karena kecantikan di wajahnya, bangga di kerumuni pengaggumnya yang banyak dari kalangan laki-laki, risih rasanya. Yang bikin rumit kitakan sebagai perempuan, kan hanya kecantikan saja di urus, bukan hatinya. Saya risih bude di sebut cantik, karena sungguhpun di hati ini belum benar-benar cantik”

 

 

 


Perempuan dalam pelukan tuhan

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler