Skip to Content

KELAHIRAN CERITA-CERITA ENCEP DARI LEGENDA DAN MITOS

Foto encep abdullah

Oleh Muhammad Rois Rinaldi

 

Sepuluh cerita di dalam buku Encep Abdullah, Lelaki Ompol, pada dasarnya mengejawantahkan kembali apa yang ada di masa lalu ke masa kini dengan dunia yang (diupayakan) menjauh dari cerita-cerita klise, meski cerita-cerita di dalamnya dibangun dari ekspresi dan elemen yang sering diulang dalam berbagai bentuk kesenian, terutama tulisan berupa cerita pendek. Karena selama seorang pengarang memiliki daya untuk melahairkan “dunia baru”, dari dunia yang telah diakrabi dan dihayati orang kebanyakan, cerita yang terinspirasi dari Zaman Batu Tua sekalipun akan tetap terasa hidup sebagai “yang baru lahir”. Ini terlepas dari posisi tarik menarik antara karya sastra yang “dibenarkan” atau “disalahkan” oleh kenyataan sebagaimana yang disampaikan Arip Senjaya di dalam pengantar buku ini. Karena sememangnya kenyataan di dalam karya sastra telah dipahami bersama sebagai yang bukan kenyataan dalam pengertian apa adanya. Ada kehadiran imajinasinya di dalam proses penciptaan sebuah cerita.

Imajinasi bukan sesuatu yang betul-betul tidak bersentuhan dengan kenyataan.  Sebaliknya, imajinasi melibatkan kerja akal dalam prosesnya untuk mengembangkan pemikiran yang sempit menjadi lebih luas dari apa yang pernah dilihat, didengar, dan dirasakan. Kehadiran imajinasi mendorong seorang pengarang untuk mengubah atau menjadikan sesuatu lebih memiliki nilai. Misalkan ketika seseorang melihat gelas kosong di meja cokelat. Kenyataan yang dipahami secara umum adalah gelas kosong di meja cokelat, itu saja! Lain hal ketika imajinasi dihadirkan, dapat menjadi “kekosongan  dalam gelas di meja cokelat”, “gelas di meja dalam kekosongan yang cokelat”, atau “di meja cokelat, kekosongan menguasai gelas”. Meski bermula dari objek yang sama, ketika imajinasi dihadirkan ianya dapat berubah wajah, rasa, nuansa, bahkan berubah bentuk hingga meremukkan bentuk aslinya. (Di sini perlu dibedakan antara “imajinasi” dengan “imaji”, karena “imaji” merupakan serapan dari bahasa Inggris: image!).

Selebihnya sepuluh cerita di dalam Lelaki Ompol: “Bandrong” (hal. 1), “Safar Rebo Wekasan” (hal. 12), “Lelaki Ompol” (hal. 20), “Kaboa” (hal. 28), “Sup Jempol Kaki Ustaz” (hal. 39), “Alamanda” (hal. 48), “Keranda Mudik Mang Sarkim” (57), “Meriam” (hal. 66), “Kawah Candradimuka (hal. 75), dan “Mata Malaikat” (hal. 82), secara garis besar memiliki muatan lokal yang berbasis legenda atau folklor dan mitos Banten. Oleh karenanya membaca Lelaki Ompol tidak saja membaca wajah kebudayaan dalam yang an sich, melainkan juga membaca dan deviasi-deviasinya berupa pergulatan antara hal-hal tabu, keyakinan masyarakat, penalaran,  penerimaan, penolakan, dan sekian banyak kemungkinan yang terus berbenturan (atau dibenturkan) di dalamnya untuk sampai pada pemaknaan yang terbuka.

Melahirkan 10 cerita dari satu ruang lingkup yang terbatas adalah cobaan berat. Seperti seorang perempuan yang dihadapkan pada sekarung singkong. Perempuan tersebut diminta untuk membuat 10 jenis makanan olahan dari satu karung singkong yang diserahkan kepadanya. Jika ia tidak sungguh-sungguh mahir memasak, ia hanya akan membuat singkong goreng polos, singkong goreng tepung, singkong rebus, dan sejenisnya. Makanan yang ia suguhkan tidak unik bentuknya dan tidak identik rasanya. Begitu pula dengan Encep—panggilan saya terhadap Encep Abdullah—jika ia tidak sungguh-sungguh mahir, cerita-cerita yang ia lahirkan tidak lebih dari pengulangan-pengulangan penceritaan dan penuturan. Tentu semua orang telah sepakat, sesuatu yang terus diulang-ulang bikin bosan, barangkali hanya kata “cinta” bagi orang yang sedang kasmaran saja yang tidak akan bikin bosan sekali pun diucapkan 1.000 kali dalam satu hari.

Sesingkat pembacaan saya Lelaki Ompol terbilang berhasil. Cerita-cerita di dalamnya tidak dengan penuturan yang monoton dan penceritaan yang dari itu ke itu saja. Sehingga jika diminta atau atas dasar inisiatif sendiri, pembaca bisa memilih mana yang menjadi cerita yang paling disukai dan mana yang kurang diminati. Karena masing-masing cerita menawarkan cita rasa yang berbeda meski inspirasinya terbatas pada legenda atau folklor dan mitos. Tetapi saya pikir tidak menjadi baik kalau saya hanya mengatakan bahwa Cerpen-cerpen Encep “bagus”, “saya suka”, atau “keren!”. Karena tidak ada gading yang tidak retak, begitu pun Cerpen-cerpen Encep. Dari sepuluh cerita yang dihadirkan, ada beberapa catatan yang, sepertinya perlu diperhatikan dengan seksama.

Membuat cerita fantasi atau cerita yang tidak terpolakan sumber inspirasinya jauh lebih mudah dibandingkan harus menciptakan cerita yang disandarkan pada cerita-cerita yang telah begitu akrab di tengah masyarakat. Karena ketika yang menjadi sumber inspirasi adalah kisah-kisah yang telah menjadi kisah bersama secara turun temurun, persoalannya bukan hanya bagaimana membuat cerita hidup, menarik, dan memiliki “nilai” belaka, melainkan juga bagaimana meruntuhkan cerita-cerita pada suatu ruang dan waktu yang sudah dianggap final—sebagai “yang tidak boleh” diubah lagi alur cerita dan karakter tokoh-tokohnya—kemudian membangun cerita yang sama sekali baru, tentu saja dengan karakter tokoh yang juga berbeda dari apa yang selama ini diterima oleh ingatan masyarakat secara umum.

Dikarenakan tantangan yang sedemikian besar itulah, Lelaki Ompol saya kelompokkan sebagai kumpulan cerita pendek yang berhasil, meski pada beberapa cerita, Encep tidak sepenuhnya berani membuat “yang sama sekali baru”, misalkan pada cerita di halaman paling pertama, “Bandrong”.

Tokoh Ki Jabrig, Sang Putri, Ki Urip (Senopati), Budak, dan Kang Bagil di dalam “Bandrong” bolehlah dikatakan sebagai tokoh yang tidak dikenal dalam semesta sejarah Nusantara, tapi tokoh Sultan Hasanudin Banten sudah dikenali oleh masyarakat secara luas, baik masyarakat awam sejarah maupun masyarakat paham sejarah. Kehadiran tokoh Sultan Hasanudin secara telak menegaskan bahwa cerita ini menggunakan setting Kesultanan Banten. Bagi yang mengetahui sejarahnya, akan langsung mengait kepada masa-masa awal berdirinya Banten, sekitar tahun 1526 yang penuh strategi dan taktik setelah Sunan Gunung Jati memutuskan kembali ke Cirebon dan kejadian-kejadian di sekitar zaman tersebut. Sehingga “Bandrong” menghadapi beban pengetahuan masyarakat pada umumnya tentang sejarah Kesultanan Banten.

Kesan bahwa cerita ini tidak lebih hanya menceritakan ulang sejarah kentara pada bagian awal cerita.  Encep menggunakan tempo cerita yang lamban dengan memusatkan cerita pada Sang Putri yang tidak juga mau menikah meski sudah banyak lelaki melamar dan lagi usianya telah matang. Rakyat bertanya-tanya, begitu juga Sultan. Sebelum akhirnya sebuah rahasia terbongkar. Seorang budak yang hendak membersihkan kamar Sang Putri menemukan curahan hati Sang Putri di selembar daun di dalam lemari yang terbuka, Sang Putri lupa menutup lemari sebelum meninggalkan kamar. Sejak hari itu, rahasia Sang Putri dibicarakan dari omongan ke omongan, dari satu kalangan ke kalangan yang lainnya. Sang Putri marah dan sedih, sehingga Sultan mencari orang yang menyebarkan rahasia tersebut. Si Budak mengaku, ia dihukum pancung, tapi rahasia sudah kadung terbongkar.

Model cerita semacam ini banyak ditemukan dalam naskah-naskah folklor atau naskah sejarah naratif, termasuk nama tokoh Sang Putri yang tidak spesifik, begitu pula Si Budak serta hukuman pancung. Sehingga kesan menjemukan cukup terasa pada bagian awal. Sememangnya Sang Putri merupakan plot point yang sangat penting karena ianya adalah pendorong utama cerita, tapi memosisikan bagian ini di awal cerita cukup berisiko: pembaca akan terjebak pada apa yang semula ada. Risiko tersebut dapat diantisipasi, misalkan, dengan melakukan lompatan-lompatan ruang dan waktu yang lebih berani sehingga dapat membangun peristiwa-peristiwa mengejutkan yang kadang-kadang membongkar ruang dan waktu pada jalur peristiwa utama, boleh dengan melompat ke ruang dan waktu yang ada di hadapan atau ruang dan waktu yang ada di belakang peristiwa utama.

Hanya pada bagian awal yang saya catat. Karena selanjutnya cerita mengalir dengan apik. meski ceritanya tetap pada persoalan purba, yakni perebutan hati Sang Putri oleh dua lelaki gagah perkasa (Ki Jabrig dan Ki Urip). “Bandrong” mengalir dengan tegangan-tegangan yang asik, didukung dengan karakter masing-masing tokoh yang otentik, begitu pula dengan misi dan peranannya masing-masing, sehingga “Bandrong” mampu menjadi cerita yang “baru dilahirkan”: mendebarkan dan menggemaskan. Selain itu, cara Encep menutup “Bandrong” terbilang cerdas—cara semacam ini sebetulnya sudah lazim digunakan—dengan melepaskan Ki Jabrig dan Ki Urip dari beban “kemenangan” dan “kekalahan”. Bukan karena pada akhirnya keduanya mati, tapi karena ada tokoh lain—yang semula tidak sama sekali diduga akan menjadi tokoh penting di dalam cerita—Kang Bagil muncul sebagai tokoh penentu di dalam cerita.

Kesan menjemukan pada bagian awal cerita terasa juga pada “Meriam”. Meski tampak betul perbedaan keduanya: pada “Badrong” pembukanya menggunakan narasai dan “Meriam” langsung pada dialog, keduanya sama-sama lamban tanpa lompatan. Jika pada “Bandrong” ruang dan waktu pada jalur peristiwa utama menetap pada ruang dan waktu di mana tokoh berada, pada “Meriam” sebaliknya, ruang dan waktu peristiwa tidak sungguh-sungguh dihidupkan. Pembaca hanya diberi kesempatan mengetahui bahwa mitos tentang Meriam Ki Amuk dan sekian rentetan mitos lain yang berbaur dengan sejarah tradisional sedang diceritakan kembali oleh seorang kakek kepada cucunya. Selebihnya hanya menuturkan bagaimana dan seperti apa mitos itu. Sehingga cerita tidak menawarkan “sesuatu” yang lebih. jika pun ada ruang dan waktu peristiwa utama hanya diselip-selipkan sebagai alih-alih bahwa peristiwa utamanya tetap pada kakek yang menceritakan mitos-mitos dan sejarah kepada cucunya.

Pada sekilas pandang tidak jadi soal. Tidak masalah cerita dibangun dengan sedemikian derasnya, tapi akan terasa lebih hidup jika tokoh kakek tidak sekadar jadi narasumber dan cucu sekadar jadi pencatat. Misalkan ada kejadian lain dan tegangan lain yang langsung berkaitan dengan kakek dan cucunya sebelum mitos-mitos itu dikisahkan.  Posisinya tidak harus berada di awal, bisa di tengah, bisa di akhir, bisa juga diletakkan secara acak. Sehingga ada yang menjadi “nilai” lebih dalam cerita ini. Lebih lanjut, dari keseluruhan cerita saya tidak menemukan plot point yang spesifik. Padahal di dalam sebuah cerita plot point adalah pendorong cerita. Jika kurang pendorongnya, cerita akan menderas begitu saja. Adapun yang dijadikan alih-alih plot point adalah ketika Sodik (cucu) menghela napas. Keningnya berkeringan (dingin) karena (tiba-tiba) ia ingat apa yang dikatakan Pimpinan Redaksi. Deadline berita pukul 23.30 untuk mengisi kolom Mitos.

Tidak kuat! Dihadirkan di pertengahan cerita untuk sekadar ada. Maksud saya, sekadar ada plot point-nya tanpa ada kesadaran bahwa bagian ini tidak boleh dibuat ala kadarnya: agar pembaca tidak bingung mengapa tiba-tiba Sodik meminta kakeknya bercerita; agar pembaca berkata “Oh, karena Sodik ditugasi oleh Pimpinan Redaksi mengisi kolom Mitos, ia mewawancari kakeknya!”; agar ada sebab akibatnya saja. Itulah mengapa ketika membaca “Meriam” kesannya terlalu berat dengan beban sejarah yang diselingi dengan reaksi tubuh dan ekspresi Sodik juga kakeknya. Sekali lagi, boleh saja demikian, tapi belumlah dapat dikatakan kuat sebagai sebuah cerita yang terinspirasi dari mitos yang telah begitu akrab di tengah masyarakat. Belum bisa menyuguhkan hal yang lain. 

Dalam kaitannya, saya sangat menyukai cerita “Lelaki Ompol” yang juga menjadi judul utama buku ini. Keliaran betul-betul terasa. Mitos tentang ompol yang bisa membuat awet muda sekaligus dijadikan sesembahan yang disiramkan di pohon beringin yang dianggap keramat dikemas dengan apik meski liar dan nyaris tidak terduga tegangan-tegangannya.  Begitu pula tentang malam purnama. Di sini saya melihat kecerdikan: “Malam purnama memang malam istimewa baginya. Malam yang bisa membikin libidonya memuncak. Malam yang penuh keramat seperti juga yang diyakini banyak orang di sekitarnya—yang menziarahi makam sultan.”. Tanpa perlu mengatakan bahwa pada malam purnama, tepatnya malam Juma’at tanggal 14 tanggal Jawa pada, masyarakat sekitar Banten berbondong-bondong menziarahi makam sultan-sultan Banten karena mengganggap waktu tersebut sebagai waktu yang sangat keramat, Encep berhasil memasukkannya secara tersirat dan kuat.

Sayangnya intensitas keliaran berkurang pada pertengahan cerita ketika tokoh Lelaki Tua berdebat dengan cucu-cucunya mengenai pernikahan dan keinginannya mendapatkan cicit karena ia butuh ompol bayi perempuan. Encep takluk kepada pemikiran umum mengenai apa yang layak dan apa yang tidak layak. Begitu juga model percakapannya, terlalu preskriptif, padahal bukan itu yang dihendaki oleh keseluruhan cerita, mengingat anomali yang dilekatkan pada karakter cucu-cucunya: “Menurut mereka masih mending tak bersuami atau tak beristri daripada harus kehilangan keindahan tubuh mereka.”. Bagian pertengahan ini betul-betul memenjarakan kemungkinan jangkauan imajinasi Encep yang liar. Beruntung mendekati akhir-akhir cerita, intensitas keliaran itu kembali meningkat dan kembali memompa napas serta menguji ekspektasi pembaca. Jika saja intensitas keliaran dapat terjaga dengan baik secara keseluruhan cerita “Lelaki Ompol”, tentu saja hasilnya akan jauh berbeda.

Dengan kadar keliaran yang berbeda, cerita “Sup Jempol Kaki Ustaz” memiliki potensi menjadi cerita yang asik dan bernilai. Cerita ini mengingatkan saya kepada cerita “Robohnya Surau Kami” karya Haji Ali Akbar Navis atau yang lebih dikenal dengan nama AA. Navis.  Sebagaimana A.A Navis, melalui “Sup Jempol Kaki Ustaz” Encep berhasil memberanikan diri untuk mendobrak mitos yang selama ini diyakini oleh sebagian masyarakat Indonesia atau Banten pada khususnya mengenai air kobokan ustaz atau kiayi yang berhasiat bagi kecerdasan seseorang, juga hal-hal yang terkait di dalamnya. Lebih menarik lagi, Encep tidak tergoda untuk menghukumi benar atau salah. Pembaca dibebaskan untuk mengambil inti sari dari cerita tersebut. Saya mengatakan sebagai cerita “yang berpotensi”, karena pada beberapa bagian lagi-lagi ada penurunan intensitas keliaran.

Terlepas dari beberapa catatan di atas, Encep adalah gunung es. Ia memiliki daya yang tidak sembarangan dalam hal berkarya, karya-karya yang hari ini dihadirkan adalah permukaan gunung es dan sudahlah dimafhumi oleh kebanyakan orang bahwa voume gunung es tidak dapat dilihat dari apa yang tampak di permukaan. Itulah mengapa dalam berbagai kesempatan saya selalu menyebut namanya sebagai sastrawan muda Banten yang sangat perlu diperhitungkan. Persoalannya hanya pada “keberaniannya” untuk tampil sebagai Encep Abdullah seutuhnya tanpa harus ewuh pakewuh hal-hal di luar dirinya. Ini bukan berarti saya hendak mengatakan “Encep harus menjadi manusia yang bebas nilai”, itu mustahil. Tetapi bagaimana berupaya mengolah nilai menjadi yang lebih dari sekadar “nilai”.

 

Cilegon, 11 Agustus 2017

 *Tulisan ini adalah makalah pada bedah buku Lelaki Ompol di Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Banten, 12 Agustus 2017

 

PENULIS

Muhammad Rois Rinaldi, penerima Anugerah Utama Puisi Dunia 2014 (Nusantara Melayu Raya) dan penerima Anugerah Tokoh Sastra Asia Tenggara (Esastera Malaysia, 2015 dan 2016).



 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler