Skip to Content

KOMEDI SATIRIS PRESIDEN PENYAIR

Foto SIHALOHOLISTICK

Maman S Mahayana

Sutardji Calzoum Bachri, Hujan Menulis Ayam, Magelang: Indonesia Tera, 2001, xiv + 94 halaman.

Presiden penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri, yang jabatan kepresidenannya dilekatkan sendiri, tanpa Sidang Istimewa, memang lebih dikenal lantaran kepenyairannya yang khas, cerdas dan kadangkala nyeleneh. Gebrakannya lewat antologi O Amuk Kapak (1981) telah menempatkannya sebagai pendobrak peta puisi Indonesia tahun 1970-an. Membaca antologinya itu, orang mesti berkerut dahi, mungkin juga dengan geleng kepala.

Ternyata, sebagai cerpenis, ia dapat menyesuaikan dirinya ke dalam kotak itu. Dalam kumpulan cerpennya, Hujan Menulis Ayam, Sutardji menyajikan sesuatu yang sama sekali berbeda dengan antologi puisinya. Ia kini menjadi seseorang yang sensitif dalam persoalan yang menyangkut manusia dan terasa begitu sentimental. Bahkan, ia seperti bermain-main, tak serius. Ia pun tidak liar mengumbar imajinasinya, sangat cair dalam pengisahannya, dan enteng saja mengikuti alur persoalan yang disajikannya. Jadi, meski judul antologi cerpen ini tidak mengikuti aturan logika bahasa, rupanya itu sekadar siasat belaka. Kita di situ kadang kala justru disuguhi serangkaian gurauan. Inilah komedi satiris model presiden penyair.

Bahwa dalam Pengantar Penerbit ada pernyataan: “Maka, Hujan Menulis Ayam ini merupakan pendobrakan selanjutnya dari Sutardji Calzoum Bachri terhadap sejarah sastra yang selama ini membingkai dan mengurung dirinya sendiri” (hlm. viii), kita tentu saja tidak perlu serta-merta mempercayainya. Dalam hal apa antologi cerpen ini dianggap sebagai pendobrak? Sesungguhnya, antologi cerpen ini tidak jauh berbeda dengan cerpen lain yang banyak berserakan dan dengan mudah dapat kita jumpai di mana-mana. Ia juga tampak jelas tak berpretensi hendak membangun sebuah mainstream. Tak ada pula kredo pemberontakan. Lalu, apanya yang khas?

Walaupun begitu, mesti diakui, tidak percuma Sutardji mengklaim dirinya sebagai presiden penyair jika ia tak nyeleneh. Antologi ini pun, masih memperlihatkan style yang khas, yaitu sebuah komedi satiris yang disampaikan secara enteng dan mengalir lancar. Maka, kesan kuat yang dapat kita tangkap dalam antologi ini adalah semangat bergurau melalui cerita. Lewat cara itu, kita digiring ke sana ke mari, dibawa ke berbagai peristiwa keseharian yang sebenarnya tidak begitu asing lagi. Ditarik ke dalam problem manusia yang tak penting, sangat individual, dan tidak luar biasa. Ringkasnya, secara tematis, antologi cerpen ini berbicara tentang berbagai peristiwa yang terjadi di sekeliling kita. Dalam hal ini, tampak pula, Tardji sengaja tidak mempedulikan tema. Ia sekadar bercerita; tentang apa dan bagaimana akhirnya, juga tidak menjadi persoalan penting lagi.

***

Ada sembilan cerpen dalam antologi ini. Semua berkisah tentang persoalan remeh-temeh. Meskipun begitu, manakala segala peristiwa keseharian itu ditempatkan ke dalam konteks hakikat kemanusiaan, ia menyadarkan kita, betapa di balik tetek-bengek dan persoalan sepele yang sering kita abaikan itu, tersimpan masalah manusia dan kemanusiaan yang dahsyat. Di balik tampilnya tokoh-tokoh orang biasa yang melahirkan peristiwa biasa itu, justru tersimpan persoalan manusia yang paling mendasar. Periksa saja, misalnya, cerpen “Tahi”. Bagaimana kekariban dengan lapar dan kelaparan yang memuncak, telah memporakporandakan pikiran waras seseorang. Sebuah paradoks yang mengiris berhasil disuguhkan, meski terkesan seolah-olah ia sedang bergurau.

Tema sejenis, juga tampak dalam cerpen “Ayam”. Kisah tentang bangkai ayam ini pun, pada awalnya disampaikan secara bergurau: kejengkelan memelihara ayam, kebiasaan para penghuni kompleks perumahan sampai ke orang-orang yang mengais-ngais pekerjaan. Belakangan, kita sadar, di sebalik itu, tersembunyi kegetiran luar biasa atas nasib orang-orang yang terpinggirkan. Ada nada satire di sana. Dan Tardji enteng saja bercerita, seolah-olah itu bukan persoalan yang perlu dipikirkan.

Nada komedi satiris dengan tema yang berbeda, tampak dalam beberapa cerpennya yang lain. Cerpen “Di Kebun Binatang” misalnya, mengajak kita untuk merenungi naluri-naluri aneh kita. Sepasang remaja yang bercinta, anak-anak yang gelutan, dan orang tua yang menikmati hari dengan anjingnya. Semua terjadi di kebun binatang. Ada satire di sana. Kebun binatang telah beralih fungsi: untuk bermain anak-anak, bercinta para remaja, dan orang tua yang menghabiskan waktunya. Bahkan lebih aneh lagi, orang tua itu membawa binatang ke kebun binatang.

Lain lagi dengan cerpen “Suatu Malam Suatu Warung”. Tiga anak muda berhadapan dengan dua perempuan tua; yang satu pelacur yang sudah tak laku lantaran ketuaannya dan satunya lagi apkiran pelacur yang beralih profesi dengan membuka warung. Lalu, apa yang terjadi di sana? Kekosongan! Obrolan ketiga anak muda, hidup hari-hari si tukang warung, dan harapan pelacur tua, jatuh pada muara yang sama: kesia-siaan! Itulah satire yang disajikan secara paradoksal. Kekosongan telah menyergap hari-hari kedua perempuan tua itu dan kekosongan itu pula yang mengisi rentang waktu setahun ketiga anak muda.

Cerpen “Menulis” juga disajikan dengan komedi satiris. Seperti juga cerpen-cerpen lainnya, Tardji mengawalinya dengan persoalan sederhana: tentang ayahnya yang penulis dan mesin ketiknya. Cerita kemudian mengalir begitu saja, tentang pacar, mahasiswa kutu buku tetangga kamarnya, dan Mina, anak gadis tempat si tokoh aku kost. Meski begitu, dari ke-9 cerpen dalam antologi ini, cerpen inilah agaknya yang paling menggambarkan sikap kepengarangan Tardji. “Aku mau menulis yang kecil-kecil agar aku tak kebesaran pada dunia. Aku harus kuat pada dunia tanpa menjadi kebesaran padanya.” (hlm. 60). Maka, mahasiswa kutu buku itu pun akhirnya takjub, Mina terbebas dari penjara perasaannya sendiri, dan si tokoh aku “telah memenangkan diriku di depan manusia tanpa kebesaran dan kekecilan.” (hlm. 62).

***

Di luar persoalan tematis itu, antologi cerpen ini, sungguh kaya dengan majas. Gaya bahasanya sarat dengan nada yang sangat puitis. Cerpen pertama, “Hujan” dan cerpen terakhir, “Pada Terangnya Bulan” misalnya, memperlihatkan kepiawaian Tardji dalam mengolah deskripsi-naratif menjadi deskripsi-puitik. Dengan cara demikian, tema apapun yang diangkat, sederhana atau kompleksnya persoalan, menjadi tidak penting lagi. Dalam konteks itu, barang kali juga, Tardji hendak menegaskan, bahwa apapun, dapat menjadi cerpen. Dengan kata lain, cerpen atau karya sastra apapun, dapat berangkat dari peristiwa apa saja. Masalahnya tinggal, bagaimana sastrawan mengolah dan menyajikannya menjadi sebuah karya yang cerdas, menjadi karya yang memperlihatkan kepiawaian sastrawannya.

(Maman S. Mahayana, Staf Pengajar FSUI, Depok).

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler