KRISIS BUDAYA BANJAR[i]
Y.S. Agus Suseno
Prolog
Saat saya diminta berbicara tentang kebudayaan dengan tema “lestarikan budaya Banjar sebagai kebanggaan anak banua”, pertanyaan yang langsung timbul adalah: ragam bentuk kebudayaan Banjar seperti apakah yang dibanggakan oleh anak banua? Masihkah urang Banjar bangga dengan kebudayaannya? Adakah buktinya? Tidakkah itu hanya slogan, yang akan lenyap, seperti asap?
Beberapa indikasi menunjukkan, sejumlah aspek kebudayaan Banjar sedang mengalami krisis. Mengingat sifatnya yang dinamis, kebudayaan tak dapat ”dilestarikan” -- dalam pengertian seperti apa adanya pada suatu masa. Pakaian yang kita kenakan sekarang berbeda dengan pakaian yang dikenakan urang bahari, misalnya.
Adat istiadat perkawinan
Adat istiadat perkawinan dalam masyarakat Banjar tak lagi sepenuhnya mengikuti tata cara sesuai adat istiadatnya, yang sebelumnya harus melalui serangkaian upacara (a) basasuluh, (b) melamar/batatakun (yang dilakukan dengan berpantun), (c) babapayuan/bapuputusan (penentuan mahar), (d) maatar patalian, (e) baataran/maatar jujuran, dan (f) bakakadaan. Semua itu dilaksanakan sebelum upacara perkawinan (yang memiliki tahapan dan upacaranya sendiri) yang sesungguhnya. Sikap pragmatis dan pertimbangan ekonomis membuat adat istiadat perkawinan adat Banjar tak lagi dilaksanakan seperti di masa lalu.
Rumah adat Banjar
Apakah kantor pemerintah/sekolah/lembaga pendidikan di semua kabupaten/kota dibangun dengan mengadopsi bentuk rumah adat Banjar? (Bandingkan dengan Provinsi Sumatera Barat!) Rumah adat Banjar di Teluk Selong, Kabupaten Banjar, yang ditetapkan pemerintah sebagai Benda Cagar Budaya yang dilindungi, dalam kondisi tak terawat dan hampir roboh.
Perilaku/tata krama
Masihkah masyarakat Banjar, terutama generasi mudanya, mengenal dan menerapkan perilaku/tata krama adat Banjar dalam pergaulan sehari-hari? Misalnya, dalam sikap, tata krama dan sopan santun antara yang muda terhadap yang tua: nang tuha dituhaakan, nang anum disayangi?
Bahasa Banjar
Bahasa Banjar terancam punah, karena tidak ada upaya sistematis dan terencana yang dilakukan pemerintah daerah dan masyarakat dalam pewarisan dan pembinaannya. Menurut Prof. Dr. H. Jantera Kawi, sudah ada bahasa daerah (dari subdialek tertentu) yang punah di Kabupaten Tabalong.
Dalam era teknologi telekomunikasi dan informasi kini, berapa persen anak banua yang masih menguasai/menggunakan “bahasa Banjar yang baik dan benar” dalam berkomunikasi? Lihatlah “bahasa gaul” remaja Banjar di sekolah, kampus dan di radio-radio swasta (terutama di Kota Banjarmasin dan Kota Banjarbaru), yang tidak berbeda dengan bahasa yang digunakan remaja di kota-kota besar di Pulau Jawa, Bali dan Sumatera.
Tokoh
Mengapa Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari (di masa lalu, sebelum mesin tik dan komputer ditemukan) mampu menghasilkan karya monumental seperti Kitab Sabilal Muhtaddin, tapi sekarang (dengan canggihnya teknologi) kita tak lagi memiliki tokoh sekaliber beliau, yang kitabnya masih dipakai di pesantren-pesantren di Asia Tenggara itu?
Bahasa Banjar tidak memiliki aksara, seperti yang dimiliki masyarakat Jawa, Bali, Batak, Bugis. Tradisi lisan yang dominan menghambat tumbuhnya budaya baca dan tulis. Adakah BEM PTN/PTS di Kalsel yang memiliki divisi penerbitan, yang rutin menerbitkan buku/jurnal/buletin yang berisi hasil penelitian ilmiah/fiksi tentang masyarakat dan kebudayaan Banjar?
Sastra Banjar
Kapan terakhir kali Andika menyaksikan langsung (di lingkungan tempat tinggal Andika) baturai pantun, madihin, basyair, badundam (bukan dari televisi)? Dalam setahun, berapa kali Andika menyaksikan sastra tradisi Banjar, dibandingkan dengan menonton film di bioskop/televisi/VCD/DVD, acara karaoke, pertunjukan musik dangdut atau pop?
Kalau urang Banjar benar-benar bangga dengan kebudayaan daerahnya, apakah semua sekolah di kabupaten/kota mengisi kurikulum muatan lokal (mulok) dengan bahasa, sastra dan kesenian daerah? Di Kota Banjarmasin, ada SMA favorit yang mengisi mata pelajaran mulok dengan bahasa Inggris. Padahal, Bahasa Inggris sudah menjadi mata pelajaran tetap di sekolah dan kita sudah akrab dengan kosa katanya (misalnya, handphone, internet, chatting). Sementara itu, siapa yang tahu arti tangkujuh? Kalau masyarakat kita benar-benar bangga dengan kebudayaan daerahnya, sastra dan budaya Banjar-lah yang seyogianya dijadikan pilihan.
Kesenian Banjar
Masyarakat Banjar adalah etnis mayoritas di Kalimantan. Bukan hanya di Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat, tapi urang Banjar juga ada di Malaysia, Riau dan Kepulauan Riau; selain di bagian lain Nusantara. Seni tradisinya pun beragam: sastra, teater, tari, musik dan seni rupa.
Sastra: pantun, basyair, madihin, baandi-andi, termasuk bamamang (mantra).
Teater: mamanda, wayang kulit, wayang gung, japin carita, lamut (monolog/teater tutur), tantayungan, babagungan, damarulan, bakisah, bapandung dan lain-lain.
Tari: baksa kambang, baksa panah, radap rahayu, rudat, manuping (tari topeng), japin, lalan, sisit, tandik (tandik balian) dan lain-lain.
Musik: ahui, kurung-kurung, kuriding, kintung, bumbung, lagu daerah Banjar dan lain-lain.
Seni rupa: ukir-ukiran, kaligrafi, sasirangan.
Epilog
Dalam era global, di mana melalui teknologi telekomunikasi dan informasi unsur-unsur budaya asing dengan leluasa memasuki ruang publik (hingga ke kamar tidur kita), di masa mendatang, kalau tak ada upaya konkret yang dilakukan, mungkin kebudayaan Banjar akan tinggal kenangan.
Sebulan lalu, Gubernur Kalimantan Selatan, dalam rapat paripurna DPRD, mengesahkan dua Peraturan Daerah: Tentang Bahasa dan Sastra Daerah dan Tentang Kesenian Daerah. Kita tunggu saja, adakah komitmen dalam implementasinya, ataukah dua Perda itu sekadar menambah daftar nama di Lembaran Negara. (*)
[i] prasaran Sarasehan Budaya “Senyum Banuaku”, BEM Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari Banjarmasin, Sabtu, 18 April 2009.
Komentar
Tulis komentar baru