Skip to Content

LEBARAN DAN TUHAN DALAM KERAMAIAN

Foto SIHALOHOLISTICK

Oleh: ACEP IWAN SAIDI *

Kompas 27/08/2011

 

MALAM LEBARAN

bulan di atas kuburan

Demikian bunyi sajak pendek yang ditulis Sitor Situmorang. Sajak  itu sangat populer di jagat sastra Indonesia bukan karena pendek dan ditulis Sitor, seorang penyair kenamaan negeri ini, melainkan karena ia seperti selembar surat kaleng. Bulan di atas kuburan adalah paradoks yang mengejutkan. Bagaimana mungkin benda langit itu muncul pada awal bulan (1 Syawal), di atas kuburan pula.  Terasa ada misteri menegangkan di situ.

Bulan dan kuburan adalah dua metafor yang bertubrukkan. Bulan (keindahan, kebahagiaan) dibenturkan pada kuburan (kesuraman, kepedihan). Seperti humor yang mempertentangkan berbagai asosiasi, sajak itu jadi semacam satire. Kita seperti disudutkan pada posisi untuk tidak memiliki jawaban, kecuali tersenyum tipis: tragis! Bagaimana tidak, sajak itu telah menunjukkan pada kita tentang sebuah kebahagiaan yang  bertumpu pada penderitaan,  cahaya di atas kegelapan.

Tuhan dalam Keramaian

Pada Lebaran kali ini, saya pikir, sajak tersebut kian  menegaskan  betapa kita sedang berada dalam jerat pertentangan demikian. Di rumah, di mesjid, di jalan-jalan, di tempat rekreasi, dan terlebih di televisi kita merayakan kebahagiaan dalam beragam cara. Tuntas sudah perjuangan sebulan menahan lapar dan dahaga. Tidak hanya itu, kita juga dainggap telah keluar sebagai pemenang: kembali menjadi bayi dengan bening mata telaga.

Tapi, di depan kemenangan itu, bukankah  terpampang kekalahan demi kekalahan. Sebagai bangsa kita menjadi makhluk yang terus merangkak dalam kegelapan. Berbagai kasus kejahatan kerah putih, terutama korupsi dan suap kian hari kian merajalela. Dan nyaris tidak ada penyelesaian atas semua kasus itu. Sebagian kecil koruptor memang dipenjarakan. Tapi, penjara bagi koruptor hanyalah sebuah jeda, semacam “gencatan senjata” agar khalayak berhenti menggunjingkannya. Lihatlah, dengan berbagai bahasa (remisi, pengajuan  PK, dan lain-lain) seorang koruptor bisa lebih cepat keluar  dari bui, jauh dari ketetapan waktu yang diketuk dalam vonis. Ini pasti akal-akalan. Ini pasti karena sesungguhnya penegakkan hukum di negeri ini tidak pernah ada.

Mengapa keadaan demikian bisa terjadi di negeri yang katanya religius ini, bangsa yang menjadikan agama sebagai pilar kehidupannya, negara yang dengan garang memurtadkan komunis. Kiranya kita bukan hanya tidak beres dalam cara bernegara, melainkan juga cara beragama. Dalam amatan saya, masyarakat kita cenderung menyikapi dan menerima agama sebagai tradisi, bukan dalam kesadaran religiusitas. Agama, mula-mula, diwariskan secara biologis (natur) sebelum kemudian mewujud menjadi tradisi (kultur). Dalam kerangka ini, pertimbangan ummat melakukan ibadah lebih berdasar pada hitungan transaksi sosial, bukan interaksi spiritual dengan Tuhan.

Akibatnya, alih-alih ibadah individu berdampak pada kesalehan sosial,  orang beribadah justru lebih karena “godaan sosial”. Tuhan, dengan demikian, hadir sebagai imajinasi duniawi, bukan datang  dari relung terdalam kontemplasi. Ketimbang hadir dalam renungan, Tuhan justru tidak pernah diakui dalam sunyi. Mengapa seorang muslim, misalnya, mesti sembunyi-sembunyi saat  tidak berpuasa; mengapa warung makan melayani orang tidak berpuasa dengan membentangkan gorden. Hemat saya,  semua itu terjadi karena Tuhan tidak hadir di dalam diri; Ia hanya ada dalam keramaian.

Keyakinan demikian jelas sebuah paradoks. Bukankah ajaran semua agama justru menuntut ummatnya untuk lebih banyak pergi ke dalam “meditasi”. Bukankah Tuhan (Islam) pertama kali hadir di dalam sepi, di relung-relung sunyi Hira (Goenawan, 1962) . Dan di kesunyian itu Tuhan mewajibkan kita membaca (QS: 96). Tentu saja perintah membaca tidak bisa dipahami secara sederhana, yakni mengeja abjad dalam arti umum. Jauh lebih penting dari arti leksikalnya, membaca adalah proses memahami realitas secara terus menerus menuju ke arah kualitas diri yang lebih baik. Ini berarti bahwa membaca adalah sebuah cara “menuju ke dalam”, ke perenungan, hingga kemudian ia berdampak keluar, kepada lingkungan.

Dua Muka Lebaran

Ummat beragama, saya pikir, jarang sekali diberi inspirasi untuk mencapai hal itu. Lembaga keagaamaan justru lebih sibuk merumuskan fatwa, yang acap menekan. Para pendakwah juga cenderung lebih fasih berbicara dalam kalimat perintah, tentang batas-batas dalam tafsir tunggal pendakwah bersangkutan. Akibatnya, agama menjadi tidak bergizi. Alih-alih memberi stimulus yang mengundang hidayah, sebagian pendakwah malah  berduyun-duyun pergi ke televisi dan menjadi bintang iklan. Mungkin tidak salah, tapi gejala hari ini menunjukkan bahwa agama cenderung menjadi  tontonan. Dakwah tak lagi berisi tuntunan untuk melangkah ke arah kontemplasi diri, melainkan menjadi semacam godaan material. Dalam konteks ini, ajaran menjadi sesuatu yang instan;  hadir sebagaimana juga iklan ditayangkan. Kyai  menjadi idola dalam ranah budaya populer: muncul tenggelam dalam waktu yang berlari. Tak ada iman, kecuali keyakinan selintas, tak berjejak dan sporadis.

Karena fenomenanya demikian, tidak aneh jika Lebaran yang kita rayakan tiap tahun  menjadi sosok dengan dua wajah muram: kemenangan atas perjuangan sebulan menahan lapar, sekaligus kekalahan memaknainya dalam refleksi  demi mencapai kualitas diri yang lebih baik.

Tapi, baiklah kita optimis untuk sebuah perubahan kedepan. Merujuk pada Driyarkara (2006) yang melihat fenomena perayaan tahun baru sebagai representasi dari harapan untuk sesuatu yang lebih baik di masa depan, Lebaran kiranya juga bisa dijadikan pijakan yang sama. Semoga Lebaran kali ini menjadi titik berangkat ke wilayah tersebut, selamat idul fitri!***



*) Acep Iwan Saidi, Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB. Pembina Komunitas Muslim Kubah Merah Pangandaran.
Sumber: http://acepiwansaidi.com/2013/07/20/lebaran-dan-tuhan-dalam-keramaian/

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler