Skip to Content

MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA (BAGIAN 14)

Foto SIHALOHOLISTICK

(kupasan ke nol dari sebelum paragraf ketiga, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)

Oleh: NUREL JAVISSYARQI

 

“Wahrheiten wollen erkannt und festgestellt, eben bewahrheitet sein; die Wahrheit selbst bedarf dessen nicht, sondern sie ist es, die allein bewährt, was irgend als wahr erkannt sein und gelten soll.” “Segala kebenaran maunya diketahui dan dinyatakan, dan juga dibenarkan; kebenaran itu sendiri tidak perlu akan itu, karena ialah yang menunjukkan, apa yang diketahui benar dan harus berlaku.”(Paul Natorp, Individuum und Gemeinschaft, terjemahan Dr. Mohammad Hatta).

***

Setelah menggurat judul di atas, tiba-tiba kantuk datang menyerang. Ketiba-tibaan ini, entah disergap angka nol atau imbas bagian XIII nomor sialan. Yang alirannya mengajak menjerumuskan jiwa saya meneliti jauh menyoal alam mitos menuju dataran purba. Yang saya alamatkan ke bencah Flores, dimana Ignas Kleden dilahirkan di sana.

Meski radak ragu, naluri pengelanaan saya menjangkau hal-hal berpenghayatan lembut menembus masa lampau. Kehendaknya sekeluar bertumpuk lingkaran sampai membuka paragraf IK ketiga. Untunglah mempunyai beberapa buku lama, di sisi informasi terbuka melebar oleh jasa google.com. Maka menggurangi bentuk hayal demi membuka lelembar kemungkinan. Dan dinaya bertuah bisa dibangun ulang. Sepertinya, mulai mencium daun-daun kering di tanah yang didiami hewan Komodo, Bangau Raksasa.

Memang serba hawatir menyibak ilalang Indonesia timur, dengan kedipan mata kata-kata. Selain belum ke sana juga jarak penciuman jauh di seberang tempat duduk saya. Tapi lantaran ada peribahasa negerinya menyebut peradaban Jawa, tempat kelahiran saya. Rasa percaya diri timbul menundukkan waswas berbayu sentausa. Pribadi saya merasakan diberkahi menelusupi segenap debu purba, diterima bangsa mengakui perhelatan lama, rasa hormat sesamanya. Di mana kelenjarnya kini, saya tarik-tarik untuk sesuatu pencarian; darah nan menetes di bumi menjelma kurban tak terhindari, selembut ide syukur perjuangan. Meski tak menyaksikan itu ada, seperasaan tawadhuk atas cermin kedirian berhadap-hadapan; penerimaan ibarat ganjaran dari kelembutan budi lama, turut menyimak meski berbeda.

Saya turunkan saja peribahasanya tidak mengudar, hanya bangga khasana bencah Dwipa diterima para insan di daratan Flores nan adiluhung pula. Ini kidungannya: “Lewo teti perik nope piga Sina, tana teti lota nope makok Yawa, kala lewo haka kai, kala tana aen gere.” Artinya: “Tanah airku bersusunkan pinggan Cina dan mangkuk Jawa, akan kujalankan hasrat serta keinginannya.”

Maka yang menjadi kerentekan hati terlaksana: NUCA NEPA, kini dikenal bersebut Flores. Beratus kali ribu lipat lebih purba masanya dari peristiwa banjir besar jaman Nabi Nuh AS. Di dataran berbukit, gunung-gemunung, lebat popohon hutan. Dihunilah makluk besar dan kerdil sebangsa manusia, mungkin sebelum Fu-Hi di dataran Tiongkok memimpin bangsa “Berambut Hitam.”

Ada kemungkinan mereka tak menetap lama gemar kembara. Belum bisa didekati bahasa apa digunakan, lantaran durung menetas jaman keemasan. Pun pekabaran para arkeolog saling-silang sengkarut jika menengok masa-masa di bencah lain di belahan dunia; Mesir, India, Babilonia &st. Olehnya, dengan memaklumatkan jemari menelusuri, mungkin saya kini merapalkan Teori Lubang Cacing yang diujarkan fisikawan Hawking. Debaran keraguan, inikah kesungguhan halus, nampak cahaya menembus batas-batas maya dan nyata memasuki kurungan realitas.

Jika pujangga R.Ng. Ronggowarsito seorang santri Tegalsari Ponorogo, pernah merapal meletusnya Gunung Krakalau. Sekarang atas perangkat lunak lebih maju dekat kehilafan. Mencoba mencium ruhaniah masa silam nan terpendam ketulian, percepatan perubahan sebab hukum dialut semesta alam.

***

Sungguh berat langkah bertenaga, laksana daging buruan di masa itu atau sedang saya tulis ini. Hiduplah hewan-gemewan besar menyusut ukurannya, pun berbalik mengembangkan kuasa oleh keadaan iklim serta ganasnya saling rebut wilayah di rimba belantara. Kawanan gajah, bangau putih raksasa, komodo, serangga dan makluk sejenis manusia mendiami dataran bertuah. Sempat saya kerutkan dahi memandang ciut nyali meneruskan. Lantaran dalam dimensi lain mewedarkan, selamatlah kembangkan sayap senyuman, tatkala melihat aliran sungai-sungainya bening berbahagia.

Bebayang itu cepat melintas, padahal belum genap saya hatamkan napas-napasnya beraroma gaib. Terkadang membuat terjerembab pada kebisuan nyata. Pesonanya berkandungan berbeda, lain dikemudian seangka berabad-abad berjalan sedikit sempoyongan mengimbangi drajad kesadaran di lubang kemungkinan. Di sini diingatkan penelitian Harun Yahya mengenai semut juga sel-sel darah menyimpan berjuta-juta informasi. Sebagai bukti, kelak ada pertanggungjawaban. Dan seperti diguyur hujan deras menunjukkan angka 300.000 sebelum masehi. Berlalu sekehendak terbenam lama.

Bertemulah saya dengan Rera Wulan Tana Ekan, penguasa langit-bumi di Nuca Nepa. Namun ada yang mengsle, lantaran di langit-langit pendengaran saya, bergantung buku sejarah yang ditulis Jawaharlal Nehru kepada putrinya. Atau ini kesamaannya, saya terbenam lama sementara dia dalam kurungan penjara. Tetapi bukan, dia mencapai ujung abad moderen.

Kembali saya bersila khusyuk menghadap kepadanya. Tubuh besar tersebut menggerakkan jemari tangannya menunjuk ke pegunungan tinggi Kelimutu. Isyaratnya jelas, ia tengah mengetahui persisi pergeseran patung Sphinx di Mesir nanti? Umpama televisi rusak diliputi berjuta semut, pandangan saya kabur atas beberapa buku sejarah yang buruk susunannya. Lalu perteguhkan langkah ini sekadar dongengan, sambil menyapa beberapa perihal pokok terang sumbernya. Semisal Muqoddimah Ibn Khaldun, tapi ini jauh di ujung tanduk kebodohan, lelembarnya tebal tiada informasi didapat, kecuali menghimpun perasaan, jatung hati membetot semesta.

Datanglah angin lebih sepi dari kesunyian kuburan, dipenuhi kunang-kunang. Mendadak Rera Wulan Tana Ekan menjelma ular besar, saya ditelan masuk ke mulutnya yang lebar luas di dalam. Seperti ada anak bermain seruling di sana. Ini aneh, tidak masuk akal, tetapi baiklah saya coba memahaminya.

Di dalam perut ular ada semacam perpustakaan, buku-bukunya dapat disebut langkah atau tidak pernah saya lihat sebelumnya. Ada beberapa kemiripan dengan kamus kepurbakalaan al-Kitab yang menerangkan kota, temboknya, menara, persantapan, alat-alat berburu. Oh, saya mendapati pula gambar menyerupai timbangan, pengukur, penggiling, cara mencari ikan di arus menderas, dan menjinakkan hewan liar, manik-manik perhiasan, prasasti &ll. Naskah saya buka lembarannya kusam merapuh, ada lukisan berjenis-jenis perahu, alat peperangan, upacara berkabung, pepohonan langkah belum saya jumpai. Tempat peribadatan dikeramatkan, letak agung disucikan bersama patung-patung penanda masa.

Saya taruh buku itu lalu mengambil yang lebih tinggi letakknya di rongga dada ular. Sedang si bocah bermain seruling masih berdendang. Kami sama merasa asing seakan jarak ribuan tahun tak dikenal yang kini sedang saya dapatkan. Pembaca tentu bertanya, apakah dalam perut ular ada cahaya dan kapan saya mengisi lapar? Jangan heran, mainkan saja imajinasi anda lewat terapan penalaran, meski agak-agak miring. Seperti seorang memaknai puisi yang kata-katanya tak ada sumbernya, tetapi memikat kedahagaan anda? Ah lupakan, atau cukupkan di sini. Namun saya tetap meneruskan, itung-itung pelesiran.

***

Sebelum berlanjut saya berdehem. Yang jelas pikiran anda sedang tidak tepat di masanya, berada dalam ruang-waktu maya, begitulah dilipat-lipat persoalan masa. Sedangkan ular jelmaan penguasa Nuca Nepa menggerakkan badan merayap, saya kesulitan menggapai buku tebal di pojok samar. Saya naiki tulang iganya bercukup tenaga, demi menyabet naskah, tetapi membuyar di lantai dinding kedalaman.

Saya jumputi serpihannya, gerakan ular kian menggeliat liar, jangan-jangan ada bencana di luar. Tidak tahu persis, sudah menempuh waktu berapa bersama si bocah. Ia merasai ketakutan, mendekati saya merangkul cepat, mendadak menghilang ataukah masuk ke dalam diri saya seutuhnya?

Mengalami kebingungan sangat tak peduli lembar-lembar tercecer, mungkin sejaman Nabi Nuh AS membelah gunungan gelombang dengan kapal besar. Demikian teringat runutan peristiwa di alam nyata; waktu 13.000 tahun SM, tapi tak mungkin secepat itu. Tiba-tiba saya tak sadar diri, oleh kebingungan sulit ditundukkan, atau terkena sirep nyanyian seruling si bocah dalam diri saya, terlelap.

Setelah siuman, teringat beberapa bentuk kebingungan berasal teori Darwin yang menyesatkan, perihal itu saya biarkan. Seperti anda melalui tukang cerita membius penalaran menerima saja berakibat tumbul berabad-abad. Demikian kemustahilan mencengkeram, tidak memangfaatkan daya selidik berontak. Menelan pengetahuan memasuki nalar, malas mengamati kemungkinan mengelilingi. Terlalu percaya dengan menganggurkan otak laksana bejana, padahal syarafnya bisa mengangkut sekuat tubuh berolah. Mampu mengangkat batu besar sebab latihan, yang bengong tidak melihat puncak kreatif.

Seperti mustahil membekukan teori evolusi Darwin, pun puisi mantranya Sutardji Calzoum Bachri (SCB) dari bangku sekolah. Setidaknya memberi mengetahuan lain, dihadapkan temuannya untuk perbandingan. Begitulah pendidikan sepihak tidak memberi peluang penalaran berbeda, dipastikan ketinggalan bangsa lain di dunia. Baiklah saya lanjut, ini peringatan; jangan terima sebelum lengkap memahami kisarannya, agar tiada tampak sedongengan duga menyesatkan.

Hal tidak terketahui nyata saat-saat terlelap, memasuki dimensi halus setirai-tirai mimpi terbuka pelahan. Saya mendapati sudah terlepas dari perut penguasa Nuca Nepa, terdampar di padang rerumputan. Ular itu menyusuri menjauh, lagi-lagi saya dalam posisi kagum sekaligus heran terus-menerus perbaharui kesadaran, guna pebekalan melangkahkan kaki lagi. Betapa sulit di kedalaman ruang-waktu berbeda, apalagi belum menemui penandanya. Jika puluhan ribu tahun sebelum masehi, masih ada beberapa kemuncul ke permukaan. Tetapi sejauh ini menunjuk angka ratusan ribu tahun sebelum masehi, hanya praduga. Laksana membentangkan benang laba-laba sejauh-jauhnya, sambil menaruh beberapa benangnya ke titik-titik kunci gemintang mendiami angkasa, bersama watak nasibnya.

Perangkat pendeteksi mulai diketemukan semisal daun bercakap mengawinkan pepohonan, penginderaan tanaman, perangainya di musim tertentu. Di sebalik itu ruang-waktu nyata penentu masa bertepatan perihal senapasan kodratnya. Seiring lalu berkembang; tetumbuhan, gemewan, bebatu mengalami penuwaan, ranting-tulang diserang bayu perubahan. Memadat jelma inti bermekaran, menemui takdir digariskan.

Sungguh takjub fosil-fosil dikeduk, bangunan purba diperkirakan di letak tertentu lalu dibongkar dari kedalaman sambil mencari padanan sesuai. Apa saja pematang kebekuan, tipisnya desir bayu serta bergerombol, juga kering menyengat kulit. Di carinya gegaris ketinggian, kemiringan; semua berjalin merangkul dan membeletat, memeluk bersidekap pun lepas lingkaran, sehabisnya energi bintang tidak lagi memijar-patulkan cahaya.

Sebanding pergolakan ombak, lengkung planet, batas pandangan mengerami pemahaman, mendiami sudut-sudut pilihan. Mungkin keterbatasan bahasa yang hidup di jaman purba, darinya ada yang condong memikirkan. Wewarna lembah, bebukit, gegunung, bening sungai, bebatu licin, hingga tragedi mematikan serangan kawanan lain. Dipelajarinya teliti yang jamak menelan kurban. Ini mengalir bertahun-tahun, beratusan tahun, dan reribuan tahun lamanya.

Saya tidak bercerita makluk luar angkasa, kemungkinan fosil terganjil pun berasal hewan purba yang telah binasa tak berketurunan. Dimensi kematian dan kehidupan sangat dipengaruhi jarak ketinggian, keuletan, kecerdikan. Pula bisa saya katakan mereka tak sebodoh kita gambarkan, adalah semua terpancang pada tiang-tiang derajat diikhtiarkan.

Batas tertentu kelemahan jelma kekuatan, kelebihan menyusut keterlenaan. Nafas hidup itu wajar, dapat diusap-usap sambil perkirakan kemungkinan dipastikan. Perihal sederhana bebatu ditumpuk menjadi bangunan, keseluruhan berasal menjajal. Pada beberapa masa lebih maju menyelidiki tetumbuhan getir, pahit juga mengenyangkan. Keterbatasan untuk memerdekakan jiwa-jiwa, bukan lantas menghalalkan segala, tetapi mencari celah demi lanjut usia.

Memang hukum alam berangkat dari awam, namun sudut sinahu berbeda lain terapan. Maka tak bisa digebyah uyah, semua harus diselidiki, jikalau berharap sampai tujuan berkelanggengan. Sudah banyak asal-asalan menyia-nyiakan waktu. Di dinding keinsafan mereka hadir kembali, tangisan sesal berjejak perasaan nalarnya membidik dimaui. Dan keberhasilannya ditentukan Sang Penguasa.

***

Kembali ke dongeng saya ceritakan, selepas dari mulut ular penguasa Nuca Nepa. Di sini saya ambil ‘Syair Bikon Blewut,’ versi Krowe-Sikka, sebagai garis ke masa silam, masanya, hingga tuntas inilah kisah:

Saing Gun Saing Nulun 

Saing Bikon Saing Blewut 

Saing Watu Wu’an Nurak 

Saing Tana Puhun Kleruk 

De’ot Reta Wulan Wutu

Kela Bekong Nian Tana Lero Wulan.

Terjemahan bebasnya:

Sejak zaman purbakala

ketika bumi masih rapuh

batu berupa bebuah muda

tanah sekuntum baru sumekar,

Tuhan di angkasa menciptakan

bumi, matahari, dan rembulan.

Untuk memudahkan riwayat saya jumput terlebih dulu sepadan purba. Saya ambil dari buku “Sejarah Tiongkok Selayang Pandang” karangan Elizabeth Seeger, diterjemahkan bebas oleh Ong Pok Kiat dan Sudarno, terbitan J.B. Wolters ~Groningen, Djakarta 1951. Mengisahkan Fu-Hi pemimpin pertama bangsa “Berambut Hitam” yang juga dikenal “Keluarga Seratus,” yang menuturkan adanya orang sakti bernama Pan Ku sebagai tuhan mereka. Beginilah terciptanya alam semesta dengan gubahan saya, atau tengok di halaman 13-14 di buku tersebut:

“Ketika bumi, langit dan air 

masih bercampur menyatu

belum ada matahari juga rembulan.

Pan Ku berdiri di tengah-tengah

dengan sebuah pahat serta palu

mencipta langit, memahat bumi.

 

Sementara ia bekerja

tubuhnya membesar;

akhirnya mengangkat langit 

diletakkan pada tempatnya

pun membentangkan bumi.

Tangan kiri memegang matahari

tangan kanan memegang bulan.

Sesudah semuanya selesai 

dengan teratur dan tertib,

matilah Pan Ku;

tetapi kematiannya itu 

bahkan menyempurnakan pekerjaannya.

 

Kepalanya menjadi gunung

napasnya menjelma angin dan awan

suaranya membentuk gedoran guntur 

darahnya mewujud sungai-sungai

lalu dagingnya adalah tanah;

tulang-belulangnya padat membatu

sumsum-tulangnya menjelma logam 

serta batu mutiara; yang tersimpan 

di kedalaman gunung tersebut.”

***

Kembali tubuh saya bergetar bergejolak. Deru angin bau batu, decak air tanah liat melumpur meluap merajalela. Tiba-tiba menemukan versi lain bagaimana keluar dari mulut penguasa Nuca Nepa. Untuk yang pernah dicekoki teori evolusinya Darwin, model perubahan ini tidaklah sulit diterima, simaklah:

Saya jumputi lelembar naskah tercecer di lantai kedalaman perut ular. Getaran berasal, dikala membaca Syair Bikon Blewut bersama pendar nyanyiannya; sedari huruf-huruf ganjil. Tubuh Rera Wulan Tana Ekan penjelma ular kepanasan, menggeliat keras. Atau inikah kata-kata menggetarkan ketertinggalan masa? Ataukah pegapesane terjamah kesungguhan purna, berdecak mengundang balak.

Dirasai tak mampu lagi sembuyikan saya, dilempar persis di lereng gunung. Tubuh ular besar panjang itu melingkari gugusan pulau, kepalanya ditaruh di Gunung Kelimutu. Ada yang berubah, gunungnya tidak setinggi sebelum saya masuk ke perut Nuca Nepa. Seperti habis meletus, serpihan debunya masih melayang di angkasa.

Entah berkekuatan apa, mungkinkah terselubungi Lubang Cacing Hawking? Sebab tak bisa berpelesiran ke sini tanpa suatu pun; ruh-mengudara, sedang tubuh di lereng bebatu. Ruh membaca ketinggian Kelimutu; ada dedanau wewarnanya indah berbeda rupa. Terlintas segerombol manusia ketakutan, Kelimutu masih menggelegarkan suara. Sedang saya takjub danaunya, saya tulis beberapa kata merekamnya; ruh mengudara serupa menggunakan layang-layang raksasa.

Tubuh saya di lereng bebatu berkekuatan lain daripada waktu-ruang nyata. Bukan berlari namun jalannya cepat, pembaca coba membayangkan lajunya rekaman film. Demikian berkomunikasi dengan apa saja yang saya temui, memberikan kabar tanpa kendala adalah bencah Nuca Nepa telah merestui.

Burung-burung kabarkan keadaan Gunung sebelum meletus, pepohon lewat dedaunannya tersadar dari sekarat, mengisahkan betapa daun-daun sengsara tertimpa musibah, tapi ada merasai nikmat kematian. Saya berjumpa kepala suku Naru, yang hendak berselametan demi kembalikan daya bumi sehabis bencana. Tubuh ini lantas bergerak melesat, ruh tetap melayang mengudara sejenis pengendali jarak di alam nyata.

Sedari suku Naru dititipi sebilah keris berbahan perunggu, saya tak tahu persis apakah sudah masuk jaman perunggu. Yang jelas dari senjata itu, diperintahkan kepala suku untuk diberikan kepala suku Larantuka. Kelak jauh terbilah tahun 1952, keris tersebut diketemukan Peter Mommersteeg SVD yang masih di daerah Naru, Ngada.

Saya melintasi padang memantabkan keyakinan, masuk wilayah Ola Bula mendapati bergerombol gajah raksasa. Ini agaknya lain daripada kawanan gajah kerdil yang sebelumnya berjumpai di perlintasan. Gajah terbesar mengajak menunggangi punggungnya yang bidang. Saya turuti sambil mendengarkan suaranya parau menyibak pepohonan, menyusupi pinggiran hutan, ruh serasa senang menyaksikan.

Di hutan lebih sedap pandangan, hewan tetumbuhan menakjubkan sewarna mimpi. Bunga-bunga liar menghiasi celah renggangnya pepohonan, lengkap surga di pelupuk kagum. Aliran air gunung bening memberi kabar gembira, semua terekam seluruh tubuh berniatan ruh bercampur kejadian, kesaksian.

Selepas lawatan di punggung gajah menuju daratan Sikka, muasal Syair Bikon Blewut diwedarkan sang empu pemilik mana luar biasa. Sekokoh magnetik tebal menjamah sekujur badan dirasai ruhiah udara, saya hadapi tetuanya demi mohon restu teruskan kembara. Di kediamannya dihidangkan sejenis minuman toak paling nikmat sebelum lanjutkan langkah, didekatkan ubun-ubun saya diasmak. Tiba-tiba sampai di Lia Natanio, Ngada, kembali di pungguh gajah, menyaksikan orang-orang besar bekerja membangun tempat ibadah. Saya kedipkan mata kepada mereka, sepadan pandangan pertama langsung sejantung nyawa.

Tak jenak di punggung gajah, melesat menyerupai terbang menuju Gua Liang Bua, di dekatnya rawa-rawa dihuni bangau-bangau besar berwarna putih. Oh, limpahan Nuca Nepa memberi nirwana tiada duanya. Kawanan bangau itu tidak mampu terbang jauh. Setidaknya kalah cepat, dibanding lesatnya raga ini dikala ruh mengudara. Menurut arkeolog, kemungkinan masa saya tempuh memasuki bilangan angka lima puluh ribu atau dua puluh ribu tahun sebelum masehi. Saya girang mengingat itu, setidaknya mendekat masanya, meski waswas berarti banjir di jaman Nabi Nuh AS belum datang. Yang imbasnya sampai Sumatra, Kalimantan, sewaktu pulau tersebut satu akar. Ataukah perlintasan ini tak runut kejadiannya? Saya tak bisa katakan lebih kebenarannya persis, sebab berada dalam kenikmatan kembara. Jangan-jangan yang suka berimajimasi, sebagaimana saya rasai kini? Ah bukan.

***

Karena beberapa hari saya tinggalkan catatan ini ke luar kota, olehnya bertutur pelan sebelum kembali; memberi kabar prosesnya terbentuk ‘dongengan purba.’ Setidaknya mengingat kemarin menyusupi lelipatan waktu bersama ruang antara perlintasan peristiwa. Siapa tahu mewujud cermin kekayaan demi mengolah jarak pengalaman terikat keterbatasan. Atau kemungkinan tumbuh luar biasa, kala dipikirkan jauh membentang.

Jalan ke luar kota mengakrapi bayu lebih dekat daripada angin duduk dalam perpustakaan, seperti gerak mencipta perubahan. Kita terkurung ruang-waktu ataukah ruang-waktu terlepas, ataupun berpindah-pindah searah hasrat dari topangan napas, agar tidak menuju pembusukan. Di sini perkiraan disebar namanya ‘nasib.’ Walau tak dapat menghidangkan separipurna atas suara kata-kata, meski dengan sorot benderang pada obyek garapan. Semisal tidak tahu warna energi magnetik secara langsung di sebelah batang besi yang bergetar.

Di keheningan bersuara nging di telinga. Lembar bacaan berenergi sama saya dekat-rekatkan, kondisi kejiwaan memaksa memahami jalan kesungguhan. Lelintasan dedaunan, pepohonan, pebukitan, batu terjal, pegunungan kapur digergaji persegi empat besar-besar diangkut truk ke kota-kota besar, tambang pasir dikeduk habis-habisan membuat sedih laksana pembantaian untuk keindahan? Alam dirusak sangat sadis oleh makluk berkaki dua; manusia. Detik-detik itu saya dilempar ke masa silam, tiada yang tahu kecuali ingatan ganjil menyelubunginya.

Bayangkan kisah di atas saya hentikan di sini. Tentu rerongga dada pembaca sesak lantas mengumpat kecewa? Begitu pun saya dihadapkan kebuntuan, dimana sebelumnya pepintu ke masa silam terbuka hingga masuk hidup di sana? Maka merawat ingatan, persis mengelus nafas berharap usia panjang. Umpama tiba-tiba meninggal dunia atau data ini lenyap, tidakkah menjadi hantu, teror memperkuat mitos? Atau kecelakaan memberi goresan abadi. Tapi karena masih bernapas, ruh berdendang seikat daging menggumpal, darah mengalir segemericik ketinggian air menghidupkan pegunungan.

Sebelum menulis semua dipersiapkan di letak tertentu demi pendukung, memilih rokok dihisap pun menjelma rumusan. Dengan batas kegusaran menangkap kelupaan, juga ungkapan kawan masih bertengger membentuk gugusan, atau diapungkan bersama kesunyian perjalanan diam. Wewaktu mengikuti perkiraan; lambat, cepat, mengalir atau menggelantung mandek sekeraguan mendera, dan ruangan menghadiahi butir masalah. Keduanya membentuk peristiwa; ruang-waktu menafsirkan, jalan cerita diteruskan. Tentu dalam kondisi berbeda, pun tidakkah kekhusyukan berarti sama?

Duduk di tempat lain sambil menggembol sebuah pikiran, cecabangnya bertemu jumpa taksiran sebelumnya, kecuali hianat sedurung tuntas. Dan menghafal rasa tertentu, penting bagi manfaat kesadaran. Atau ia hadir di atas keterjagaan sejauh jala terlempar. Umpama kasih sayang kerinduan, kata-kata sehangat ketenangan indah selepas pergumulan dari jalan-jalan.

Kondisi ragawi memungkinkan derajad kepada gejolak kejiwaan, maka saya teruskan sebelum mati rasa, menarik jala menemukan gemilang. Harapannya ke alamat baik memadatkan ingatan. Duduk tenang dalam pikiran pembaca penasaran; begitukah kasih yang engkau impikan? Menuangkan kelanjutan.

Bebayang gambaran silam seperti di layar televisi; kemudahan hadir setelah napas rapat menemui perkiraan purba, ataukah terperangkap di dalamnya? Dengan diam menulis serupa sebelumnya ramai di dalam kesunyian suci, setingkat kesaksian peneliti meninggalkan jejak tanda, menanjak naik-turun dengannya. Tanda dan bentuk rekaman memperkaya kedudukan ingatan lain, ada napas berbeda terlewat juga bersisipan menyapa. Dan sepertinya dengan cuap-cuap ini pembaca sudah puas jika dihentikan. Tapi tentu tak keberatan diteruskan, demi melengkapi penasaran yang sama? Ataukah bertambah dari waktu mengalir pelahan?

***

Sebagai sketsanya saya ambil keterangan dari buku karangan Prof. H. Muhammad Yamin, bertitel “6000 Tahun Sang Merah-Putih,” diterbitkan Balai Pustaka Djakarta 1958, halaman 342 seterusnya; isinya Tarich Sang Merah-Putih. Saya menjumput seperlunya dibutuhkan tambahan yang saya tuliskan pula, sebelum menjelajahi kekisah di kedalamaannya.

Tarich Sang Merah-Putih: I. Pra-sedjarah Indonesia. Sebelum Nabi Isja.

600.000 tahun dahulu. Orang Modjokerto (Homo Modjokertensis). Tengkorak anak ini didapat di Djetis dekat Modjokerto. Inilah bekas tulang tengkorak manusia yang tertua dalam sedjarah dunia.

300.000 tahun dahulu. Orang Terinil dekat Ngawi (Pithecanthropus erectus) dan Orang Sangiran dekat Surakarta (Meganthropus palaeojavanicus). Kedua orang ini sama tuanja dengan Orang Peking (Sinanthropus pekinensis).

40.000 tahun dahulu. Orang Ngandong (Homo Soloensis). Orang ini meninggalkan beberapa perkakas batu dan tulang, jaitu benda kebudajaan jang tertua diatas dunia.

15.000 tahun lalu. Orang Pelaut (Oceania; Indonesia-lama) bertebaran mengisi ruangan Austronesia, menurut pendapat sardjana Perantjis Rivet.

12.000 tahun lalu. Orang Wadjak (Homo Wadjakensis) di sebelah tenggara kota Madiun. Orang ini ialah aslinja penduduk Australia dan Tasmania asli.

6.000 tahun dahulu. Perpindahan orang Purba-Indonesia dari Asia-Tenggara melalui Semenandjung-Sumatera dan Filipina-Sulawesi. Mereka itu menghormati warna Merah-Matahari dan Putih-Rembulan. Dari zaman itulah berasalnja penghormatan Aditia-tjandera, jang bertebar di Nusa Indonesia dan diseluruh kepulauan-Austronesia di lautan India dan Pasifik.

4.000 tahun dahulu. Perpindahan-kedua orang Purba-Indonesia dari Asia-Tenggara menudju Indonesia. Ketiga lapisan (Orang-asli Purba-Indonesia, Purba-Indonesia gelombang pertama dan Purba-Indonesia gelombang kedua) berpadu mendjadi Bangsa Indonesia, sebagai petjahan-djurai rumpun-bangsa Austronosia. Tanah-airja ialah Nusa Indonesia.

1.500 tahun s.n.I. Bangsa Austro-Asia, petjahan bangsa Austria dan belahan rumpun-bangsa Austronesia (Purba-Indonesia), bertebar dari benua Indo-tjina menudju ke tanah India, yang pada waktu itu belum lagi didatangi bangsa Arja.

1000 tahun s.n.I. Bangsa Arja (Hindu) pandai menulis dan membatja bahasa Sangsekerta berpindah dari benua Asia sebelah ke pusat benua Asia menuju ke arah selatan tanah dataran jang dibasahi sungai Indus dan Gangga; perpindahan ini mendesak bangsa Austro-Asia berpindah ke pihak pegunungan India, sampai sekarang ini.

500 tahun s.n.I. Gelombang pertebaran bangsa Austronesia menudju ke arah kepulauan Austronesia dan Nusa Indonesia. Sebagai hasil perpindahan bangsa di atas ini, maka pada penghabisan zaman pra-sedjarah Indonesia didapatlah penghormatan warna Merah-Putih di seluruh kepulauan Austronesia, terutama di daerah Nusa Indonesia. Di kaki gunung Dempo (Sumatera-Selatan) didapat petilasan-waruga terbuat dari pada batu jang berlukiskan berwarna-warna dan seorang perwira memanggul bendera Merah-Putih; dalam kuburan purba kala itu didapat manik-tanah berwarna Merah-Putih pula. Sesudah pra-sedjarah ini maka bermulalah babakan mula-sedjarah (proto-historia) Indonesia.

Dan saya petik pula dari pelbagai sumber guna mendekatkan pengamatan di dataran Nuca Nepa (Flores):

Didapati fosil gajah raksasa di Ola Bula, Ngada, 1956 oleh Tim Ekspedisi Verhoeven. Fosil ini dinamai Stegodon Trigonocephalus Florensis karena ditemukan di Flores. Diperkirakan hidup pada periode 400.000 sampai 10.000 SM. Fosil tersebut juga ditemukan di Mengeruda, Matamenge, dan Boaleza di Ngada. Lokasi penemuan dari satu titik ke titik lain diperkirakan seluas 10 kilometer.

Pada 1998, Tim Ekspedisi Museum Ledalero yang dipimpin Piet Petu SVD dan Ansel Doredae SVD, menemukan fosil tengkorak manusia raksasa (a mythical gigantic skeleton) di Lia Natanio, Ngada, 12 kilometer dari lokasi fosil Stegodon di Ola Bula.

Theodor Verhoeven SVD, tahun 1954 menemukan fosil manusia purba penghuni goa di Liang Toge, utara Manggarai berbatasan Riung, Ngada. Fosil sejenis manusia kerdil. Usianya diperkirakan di atas 40 tahun dengan tinggi 46 sentimeter. Fosil itu diperkirakan 300.000 SM.

Profesor Huizinga dari Universitas Utrecht Belanda dan Prof Koeningswald menyimpulkan; fosil ini berasal dari jenis manusia ras Negrito yang pernah berdiam di Flores. Karena jenisnya lebih tua, maka disebut Proto Negrito. Lalu menurut Zoological Journal of the Linnean Society, fosil bangau putih raksasa ditemukan di Pulau Flores, diberi nama Leptoptilos robustus, tinggi 1,8 meter, berat hingga 16 kilogram.

Paleontolog Hanneke Meijer dari National Museum of Natural History di Leiden, Belanda, menemukan fosil tersebut bersama koleganya, Dr Rokus Due dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional di Jakarta. Mereka menemukan empat tulang kaki di Gua Liang Bua. Tulang-tulangnya diyakini bagian dari seekor bangau yang hidup antara 20.000 dan 50.000 tahun lalu. Adapun Homo Floresiensis ditemukan tahun 2004. Sampai kini para peneliti memperdebatkannya. Apakah manusia kerdil yang hidup 12.000 – 8.000 tahun lalu itu termasuk Homo erectus atau Homo sapiens.

Tulang bangau putih raksasa seperti juga gajah kate serta manusia kerdil, ditemukan di bawah lapisan tebal debu vulkanik. Kemungkinan ada erupsi gunung api. Kedua, bangau putih raksasa dan makhluk sezamannya punah sebelum manusia modern muncul di gua itu,” pungkas Dr Meijer.

***

Catatan ini banyak menyerupai kata pengantar, maafkan. Tak lebih betapa sulit memasuki abad-abad sebelum masehi. Pun kondisi kejiwaan, tepatnya ruh dalam diri betapa berpengaruh luar biasa kala menuliskannya. Mungkin pembaca tak menyangka, setiap kata-kata tertuang berimbas besar, minimal bagi yang tercinta. Ketika saya ungkap kata ‘alibi’ di bagian lalu, kejadiannya pun muncul. Saat terjerumus ke masa lampau kini, serasa kalbu terdekat menjauh, serupa resiko yang harus ditanggung.

Kondisi sekarang sangat parah sehingga saya mengambil ruhnya sementara, saya ganti ruh dirinya daripada milik saya dengan kesementaraan pula. Agar paham betapa jalan di alas tali keseimbangan amat ngeri. Di samping beban berat juga waswas tergelincir yang pasti menentukan laju tulisan selanjutnya.
Sampailah ruh saya pinjam memasuki pedalaman suku Manggarai. Orang-orang daerah ini menyebut pulau Nuca Nepa dengan perkataan Nuca Nepa Lale atau Pulau Ular yang Indah. Melalui lelangkah kaki asing, karena ruh tersebut belum terbiasa menjelajah jauh. Tapi atas keayuannya semoga lekas sampai. Bertemulah ia dengan kepala suku yang bertuturkan legenda; kenapa pulau ini dinamai Nuca Nepa Lale. Kenapa orang Ngada dan Ende menyebut Nusa Nipa. Juga hikayat pada suku Larantuka menuliskan Nuha Ula Bungan yang maknanya Pulau Ular yang Suci.

Ia (ruh pinjaman) banyak menimba pengetahuan mereka; rahasia ungkapan sakral penentu denyut alam sekitarnya, serta misteri lain menyelubungi takdir manusia. Ibarat gunung terselumuti ketinggian kabut, cahaya kesadaran prosesi perubahan, mematangkan jenjang usia pemikiran. Atas terbang berbeda ruh membaca, sementara kaki-kakinya masih menginjak tanah melincah, gemulai membawa berita. Menembus pekabutan menyusupi lelapisan cahaya rasa nan suara makna. Untaian rambutnya kini taklah panjang selepas dipangkas, sesyarat memasuki napas suku Manggarai. Mempermudah menyusuri padanan daun-daun jua kerikil bergetar oleh perangainya.

Ahai, ia akrab mengisi raga saya dan padanya ruh saya dirasai. Dengan lesatan seperti burung terbang tercepat yang belum pernah ada manusia menyaksikannya. Ruh berpindah-pindah dari Gunung Ranaka, mencapai ubun-ubun Mandosaawu, dilanjutkan kepada puncak Inerie. Menjamahlah kelembutan alam Ruteng, kesuburan pegunungan Ambulembo. Sampai di Pulau Sumba dengan napas santun menggapai suara Gunung Wanggameti merdu desir anginnya. Keheningan khusyuk melagukan dendang keceriahan menemui kepemudaan segar serasa terlahir kembali; alisnya melengkuk tebal menandai setiap perjalanan bagi tafsir hukum alam. Pipinya sintal senyuman menawan, bersedekah untuk siapa menyaksikan. Hidung tidaklah mancung menambah sedap dipandang. Yang bibirnya aduhai isyarat pengetahuannya telah tanak menyeluruh ke bagian tak terjamah, kecuali diapungkan rahmat merindu balasan. Janggutnya seimbangkan seluruh air muka mengharuskan wibawa turut serta, dikala kedipan matanya memudahkan segenap diingini. Dan satu andeng-andeng menikam kata-kata mengejawantah.

Dengan perangai itu kedirian ruhnya meneruskan kembara menuju Gunung Anajeke, memetik peputik kembang bersenda ria dengan kupu-kupu ribuan warna. Tanah subur memercikkan sedikit lumpur ke pakaiannya dibiarkan, mungkin amat bahagia. Tiada terasa sampai Gunung Iwing, dilanjutkan ke Kabaau, tidak luput ke Pahulubandil. Tiap-tiap detakan lelangkah, jantung blingsatan, mukanya kemerah jambu matang. Sementara ruh saya yang dirasai tenang menyelidik apa gerangan dipikir, disaat cerita ini melaju berkehusyukan. Senada bercampurnya pasangan, timbul-tenggelam di kedalaman kerahasiaan.
Babakan berlanjut menghirup napas menghimpung segenap pengalaman, memasuki panca indra dijadikan kekayaan. Pengetahuan yang kelak tidak habis dipunggah untuk puisi-puisinya mendatang. Ruh bersama jasadnya terbang ke Pulau Timor mendaki Gunung Mutis diiringan bayu sedenyar gending Jawa mengalungi lembah. Ia teringat masa-masa kecilnya di kampung halaman bermain jaratan, dakon. Dan nyanyian yang disyiarkan Kanjeng Sunan Kalijogo; ler iler.

Wewaktu dilipat-lipat, diudar sesuai kalbu kayungyung berat. Sebab apalah saya tanpa kebesaran kalbunya merelakan dengan tidak menyebut namanya nan elok sehingga saya segan menyapa. Senandung ini seberkas sinar cahya menggelinjak menemui Gunung Nefomat. Tidak lama kaki-kaki gemulainya dengan ruh pesonakan mata telinga ke punggung Kekneno, sebelum ke batas Wehaf, dan Gunung Timau yang anggun serta.

Sedurung ke Pulau Alor saya berujar; entah reaksi apakah percampuran ini atau perpindahan beransur cepat. Berbolak-balik berkelembutan tak tampak mata. Memberi efek berlimpah tak terdetak sebelumnya. Jika memakai kata ‘gentayangan,’ tetaplah fokus merajalela, sekuat tanda berbauran memberkah. Rasanya diruapi ketinggian agung memendarkan lapisan nikmat sel-sel darah berdenyut kencang sekaligus pelan tak terbantah. Mengikuti bintik-bintik air menuangkan senjakala mulai temaram di sana.

Sebelum berhenti di tenggang masa yang masih bergelayut dalam selubung ruang-waktu demi maujud bagian nol ini. Pulau Alor sebagai titik tolak ruh menyimak denyutan air sungai-sungai menghidupkan kepulauan keramat Nuca Nepa. Ruh saya pinjam beranjak ke Gunung Muna, merasai lembut bersentuh lelapisan mega, tepatnya malam diterangi rembulan juga kunang-kunang dihiasi padang dataran. Langkahnya pelahan kelelahan, bau keringat nikmat dijilat angin tipis sedataran tinggi, setepat masa takdir menuntunnya berkeadaan bijaksana. Sebajik nilai utama diperdengarkan orang mulia yang ditemuinya di jalan kembara. Dengan kesadaran imbang, kepak sayap-sayap nalurinya menciumi Gunung Apengmana serta Blikmana. Sebelum hentikan lawatannya paling ganjil namun genap makna pada Gunung Fokala.

***

Hikayat lain disebut raganya hanya berada di ketinggian Gunung Ranaka, sementara ruhnya senantiasa mengembara separas di puncak kegilaan. Jari-jemarinya menuang apa saja didengar telinga, dipandang batinnya berdecak dalam. Dapat dikata banyak versi mengenai lawatannya, ada mengatakan di muara Sungai Aisesa. Begitulah legenda menutupi kekurangajarannya lewat misteri nan membalut, mempurna menggumuli alam dikandugnya. Di muara Aisesa ia pelajari masa memantul-mantul oleh cahaya surya, seumpama hati terpaut dedaun pagi memelanting embun kelembutan belia. Betapa jujurnya waktu memberi bacaan membening sehingga hijab semesta terbuka mewah merestui indranya.

Ruh terus membaca alam menyimak nyanyiannya di arus Sungai Reo. Ia diajarkan memperteguh hati-pikiran, menyikapi bebatuan terjal terpukul kesungguhan dari kelembutan. Kepatuhan hukum alam membuka lembar kitab menyelidiki ayatnya kepada biru langit membentang. Desiran bayu, cecabang pepohonan lentur mencium kening permukaan sungai. Peputik kembang berjatuhan mengikuti arus. Suara-suara hewan liar menambah derajad kesaksian. Ketakjuban selalu melekati batin mempertebal iman. Keyakinan bertumpuk setinggi tapakan ruh mengejawantahi keseluruh dirasa. Bersyukur meningkatkan pemahaman perdalam penyelidikan, menguras rasa memakmurkan jiwa kesejatian.
Manakala tibanya di Sungai Moke, berjalan cepat di muka air berselancar seimbangkan gravitasi ondakan angin. Firasatnya cemerlang mengedarkan cabang isyarat yang diberikan padanya. Waktu dilewati berkemantaban tiada sedikit pun tercecer. Bagai santapan lezat bagi ruhani terus dahaga, diserang kehausan rindu mendera. Kangennya ke alamat-alamat ceruk terdalam, celah daun sorotan cahaya. Dan ruang tempat penyadaran kala semua digerakkan. Maka tidak sekadar pesona diperoleh, namun jua martabat sedari tirakat di atas tabaruknya, kepada keseluruhan hidup menghidupkan.

Teringat dirinya, kelembutan Sungai Leo Ria nan pernah berpapasan gadis-gadis ayu sama dengannya. Menikmati untaian tubuh di dalam tarian syukur kehadirat Yang Esa, pemberi berkah panen berlimpah. Sampailah ke Sungai Jamal, di sana ia mengunci diri. Merasai dingin menggigil oleh kesaksian, meringkuk di bawah pohon. Setingkat pulung kapujanggaan menimpanya, pencerahan mengisi sekujur ruh berhawa batin menyejukkan sukma. Makna-makna bersusulan menghampiri. Permudah penalaran meneliti hayati sedari keuletan menghayati tetingkap nyawa. Semua di luar jangkauan saya, yang diberi sejumput di sini. Tak ada lain ketulusanlah pemampu memerdekakan ruh di ambang batas tak terkira, yang masih dalam lingkup kuasa Pencipta. Lalu senyala perintah mengulangi lawatannya ke Pulau Sumba, mungkin hanya ingatan-ingatannya dilayarkan ke sana.

Di muara Kambaniru dari kelokan memanjang, ia diberi penghormatan para penduduk dengan menampilkan tari-tarian Kandingangu. Upacara adat demi memohon kehadiran pencipta alam semesta. Tak dilupakan kebiasaannya di bencah Jawa ‘mengampuh;’ menjumput tanah dikunyah demi restu moyang merambahi partikel pribadinya sampai ke warna alami. Yang sisa tanahnya diambil sedari mulut untuk diusapkan di kening. Selepas itu memancarkan cahaya ke mereka di sekitanya. Mereka terus menarikan tarian Yappa Iya nan cekatan menggambarkan masyarakat Mbarambanja menangkap ikan. Dan tetarian lain dengan ditutup tarian Hedung Buhu Lelu dari kampung Lembata. Nan mengisahkan betapa erat kekerabatan penghalusan larikan kapas dipisah dari bijiannya. Para gadis-gadis menerbangkan sampurnya berwarna-warni menandai kemakmuran.

Sebelum menuju Sungai Kadaha, badannya ditaburi kembang dari berbagai jenis. Mungkin sebagian kini tak tumbuh di sana yang aromanya menambah restu bumi atas kaki memakmurkan langkah. Menapak tilas dongengan ini yang masih cikal bakal menghiasi telinga-telinga merindu kedamaian. Di Sungai Melolo didapati beragam bunga-bunga putat -kalau di Jawa. Yang bergelantungan menyentuh aliran air sebagian dicecap ikan-ikan berenang menambah sedap pandang halus berbinar mempertajam matanya memaknai air hidup, rahmat sekalian alam. Tidak kecuali di Sungai Baing berjenis-jenis kembang menjalarkan lentik cecabangnya. Isyaratkan cahaya surya menanak perikehidupan, untuk turut rela kesaksiannya kepada ruh pererat sendi-sendi yang ada pada diri paling berserah.

Akhirnya ke Sungai Kalada yang kanan-kirinya ditanami palawija nun jauh di antara penyeberangan. Ia berniat ke Pulau Timor demi mengulang balik ingatannya terawat, mengekalkan pengetahuan yang sebelumnya didamba. Misalkan membuka lelembaran buku pernah ditelusuri jauh kala keraguan menggoda. Dan kini peroleh kemantaban tampan keayuan mekar semerah senyuman kelopak-kelopak kembang membuat kekumbang hutan kepincut menghisapnya. Turunlah ruh pelahan di ujung Sungai Benain, segambaran Dewi Kwan Im berselendangkan sutra halus permai, atau separas arca Ken Dedes di Candi Shingosari. Meski jarak waktu berbeda jauh, kelembutan bermakna sama. Seni paling unggul atas tahap pengetahuan, sebagaimana umat manusia merindu ketentraman dibalik runcingan tajam mata. Waktu berlenggang ataukah bersijingkat dalam hutan menyibak ilalang menanjaki bukit terjal. Jika ada luka serta darah tercecat, dianggap ganjaran lain oleh pesona kekayaan direguknya.

Pada kupasan sepadan menyebutkan, ketika ruh saya pinjam menyentuh lapisan Sungai Mina, dipandangnya selaksa cermin menghadap kedirian. Tiap denyut alirannya merambah kerling gaib sekembaran rahayu napas-napasnya sebuhul sama dalam tarikan sentausa. Kesamaan waktu tapi lain wujudnya saat berada di Sungai Termanu, Muke dan Mena. Lantas hadirlah hentakan keras di hati tidak siap. Belum merela dicabut secepat kilat, tiba-tiba di ketinggian Kelimutu. Ada suara riuh seramai sedekah bumi di sana.

***

Sebelum memasukinya, saya kan menguak selubung kepercayaaan sedaya bantul penalaran jaman prasejarah akhir. Ini menyeluruh atau tak hanya di Nuca Nepa. Ingin mewujud cerita seluruh, tentu memakan waktu panjang. Sementara sudah menelan luas halaman, padahal niatnya sekadar sampiran memahami pola penalaran di kemungkinan lain berdetak nyata terkandung dalam pun pula lama mengerami bumi yang melahirkan IK. Tulisan ini bisa dikategorikan abstraksi, setidaknya gemawannya nan berkreasi dapat ditarik menjelma hujan pengetahuan awal pada sistem kesadaran. Atau saya sering mengganggap temuan filsuf pertama yang mewedarkan jagad raya, serupa kejelian bocah pertanyakan bulan, matahari, bumi, gemintang dan lainnya.

Mungkin suku Sikka atau jangan-jangan penduduk Larantuka, peranakan manusia dari dataran Asia Kecil (Asia Minor, Anatolia) lebih jauh bangsa Grik yang suka kembara. Atau orang-orang pedalaman Manggarai pernah menimba pengetahuan di Yunani? Barangkali juga, paham hikmah begitu fitri berasal kandungan hati pikiran tercerah. Selepas memandang gunung warna lembah, pula keajaiban alam rupa-rupa meniup kabar meluas bagi yang insyaf; bahwa kehidupan di jagad raya ada penciptanya. Temuan-temaun awal betapa serempak memberi makna ataukah mereka takjud perikehidupan. Didesak kesaksian dahsyat, hujan menderas menderai, kemarau melandai dataran berpasir, pun temuan lain sebatuan digesek memercik api. Pegunungan berapi, batuan granit, dan sebangsanya. Pola-pola tersebut tertanam di benak; dibalik benda ada kehidupan. Puncaknya bersebut Animisme.

Ditemukan besi berani, batuan penyimpan magnetik. Dan kesunyian malam bergemintang menghadiahi kesegaran nalar. Selalu diteliti di musim tertentu gemintang berubah arah, kemuncul dongengan sebelum alat tulis didapatkan. Atas ketakjuban dan tak puas terawat di tiap generasi, mematangkan jenjang selidik, sebagian hianat didorong dahaga yang lambat laun pasti pergeseran ada. Dapat dibilang filsuf Thales yang mengatakan asal semuanya dari air ataupun di bawah garis tekan semuannya satu. Ketetapannya tak lebih hasil lawatannya kerap melihat permukaan air, pun kembara ke Mesir mendapati sungai Nil menghidupi orang-orang sekitar alirannya. Pola itu sedaya pantul terus meneliti setingkap kejadian lalu dirumuskan menjadi kebakuan temuan bagi sesama. Ada melalui dongeng, bisik merebak pada keseluruhan telinga takjub perkirawan awal sebelum terbentuknya bumi.

Saat banjir besar melanda, pepohonan tumbang, bebatuan berbenturan keras, gunung meledakkan dadanya. Tetumbuhan disebarkan samudra ke dataran lain dan tumbuh di lahan baru, demikian peputik bunga ikut terhempas. Di senggang masa, beburung lain warna-jenisnya mendiami kepulauan baru. Semua beranak pinak di rimba belantara berbalik melebatkan dedaunan. Perubahan menetaskan telur pekabaran, terus digali yang suntuk mengisi kalbu pikirannya melewati penyelidikan berlarut. Kadang lupa makan mata berkunang, kejadian itu juga diselidiki sebelum Aristoteles memberi cabang Psikologi pada jejiwa letih pengetahuan, kedahagaan fisik serta kekenyangan biologis. Saya teringat ungkapan Herakleitos; “Hidup berpikir ialah pangkal kesenangan” (Alam Pikiran Junani, susunan Dr. Mohammad Hatta, terbitan Tintamas Djakarta, cetakan ketujuh Desembar 1964).

Yang berpaham semuanya berawal air, masih ikan-ikan yang hidup di sana (semasa Thales, 625-545 SM). Ketika para pelayar mendapati kejadian ganjil di laut lepas, mungkin sebangsa jin menyerupakan dirinya menjelma manusia, kini umum bersebut dongengan putri duyung. Atau sesuatu yang tidak ternama muasal kehidupan. Menurut Anaximander (610-547 SM) adalah “Apeiron,” ini menambah yakin kelas-kelas mempercayai teori evolusi Darwin, jenjang sedari ikan sampai terbentuknya tubuh manusia kini. Baca sanggahan saya di sini http://sastra-indonesia.com/2009/06/bahasa-kausalitas-yang-rahmatan-lil-alamin/ http://sastra-indonesia.com/2009/08/kajian-sebab-atas-subyek/

Sebuah bangsa terbit makmur atas penduduknya tekun perpikir giat bekerja. Senantiasa mencari kebenaran terdekat menggayuh alam besar (semesta raya, makrokosmos), memeluk alam kecil (diri, mikrokosmos) antara itu direntang benang-benang keseimbangaan. Namun hadirnya keserakahan, menggalang kekuatan bersenjata ribuan pasukan merebut wilayah lain. Kerap menghapus temuan meruntuhkan nilai sebangsa banjir besar, musibah mencekik leher kehidupan. Muncul watak perbudakan, penjajahan, kembali berpegangan pada bau tahayul semisal datangnya Ratu Adil. Pendangkalan tidak lebih tekanan keterbatasan yang dibumihanguskan musuh besar kemanusiaan; ketamakan, licik, adu domba &ll. Hanya berjarak di bidang penelitian di bangku keobyektifan, di bawah lampu temaram sunyi dari keriuhan tapi ramai membuka hijab terahasia. Berbekal niatan bening meluruskan nilai, mereka mengembalikan yang terhapus atas berkah indra tajam dari malam berlarut siang ditangkap keselebatan. Sehingga pengetahuan berkumandang sekarang, dengan kepurnaan menakjubkan.

Di sini saya dihardik keraguan besar. Lawatan saya timba bukan melalui Lubang Cacing Stephen Howking, yang mungkin ada kesamaan manakala menyebut pikiran Tuhan? Namun saya sebut melalui Lubang Kesucian, ini barangkali meretas di alam kandungan ibu, yang kelak tercermin pada jalan takdir menempuh hidup di bumi. Ada jangkauan harap, ikhtiar kuat menggali kemungkinan. Menyebarlah rahmat pemahaman bagi turut menggaduk lahan nurani sebagai ciptaan-Nya. Pembaca bisa merujuk ke buku ‘Filsafat Shadra’ yang dipengantari Armahedi Mahzar, terbitan Pustaka Bandung 2000, karya Fazlur Rahman, judul aslinya “The Philosophy of Mulla Shadra,” diterbitkan State University of New York, Albany, New York, 1975. Ringkasnya, agar tidak merambah ke mana-mana yang dapat lepas terlupa pokok paragraf IK ke tiga juga telisikan mesrah akhir prasejarah. Saya jumput sepucuk paragraf pengantarnya serupa keragu-raguan, ataupun keyakinan terlepas Howking?

“Jadi, menurut filsafat proses yang benar-benar ada adalah peristiwa-peristiwa dan hakekat proses itu adalah kreativitas. Tampaknya dengan ini, semua terjelaskan dan bisa memuaskan semua orang. Yang ideal dan yang material tak lain dari aspek-aspek saja dari setiap proses. Bagi orang yang beragama jika proses itu adalah semesta, maka keseluruhan hukum-hukum alam merupakan aspek ideal bagi alam semesta. Dan ini menurut ilmuwan atheis Stephen Howking, dapat diibaratkan sebagai pikiran Tuhan.”

Dan atas lawatan saya peroleh di bukunya Muhammad Yamin serta temuan fosil-fosil di Flores sebagai jembatannya. Sebelum mematenkan beberapa kemungkinan penyelidikan. Inilah yang terterakan sebentuk pertanyaan:

Ahli ilmu pasti Swalle Rubich dalam “Ilmu Pengetahuan Kudus” menunjukkan 11.000 SM, Mesir pasti telah mempunyai sebuah kebudayaan hebat. Pada saat itu Sphinx telah ada, hal ini bisa terlihat pada bagian badan Sphinx yang jelas sekali ada bekas erosi. Diperkirakan akibat banjir dahsyat tahun 11.000 SM? Menurut sejarawan, Abu Said El Balchi, peristiwa banjir Nabi Nuh terjadi sekitar 73.300 tahun yang lalu (: Forbidden archeology)? Sementara wikipedia menyebut keberadaan Adam (sekitar 5.872-4.942 SM)?

Berdasarkan metode analisis radioaktif, diketahui batuan bulan, meteorit dan batuan bumi tertua, pernah ditemukan berusia sekitar 4,6 miliar tahun. Dan Nabi Nuh (sekitar 3993-3043 SM) (:wikipedia)?

Siapa Swalle Rubich? Siapa Abu Said El Balchi? Siapa pula Dr. H.M. Nasim Fauzi yang merayakan teorinya Stephen Hawking menyoal Isra’ Mi’raj Rasulullah? Bumi-Bulan-Matahari bertanggungjawab atas terjadinya fase-fase Bulan yang berulang setiap 29,5 hari (periode sinodik) (: wikipedia).

Sebagai akhir pertanyaan saya petik ungkapan teorinya Roger Penrose: “Bintang yang telah kehabisan bahan bakarnya akan runtuh akibat gravitasinya sendiri serta menjadi sebuah titik kecil dengan rapatan, dan kelengkungan ruang waktu yang tak terhingga, sehingga menjadi sebuah singularitas di pusat lubang hitam (black hole).“

Secara garis besar kerap terjadi perbedaan jauh; hasil penyelidikan mengenai tahun antara arkeolog, paleontolog dengan sejarawan. Yang satu berdasarkan analisa radioaktif, geologi, stratigrafi atau studi komposisi umur relatif serta distribusi perlapisan tanah, dan interpretasi lelapisan bebatuan menjelaskan sejarah bumi, disamping keimanannya turut menentukan jawabannya. Dan para sejarawan lebih condong temuan teks (tak luput keimanannya andil). Sebalik itu ada kemungkinan lain misalkan teks terbentuk atas dongengan pujangga, tertulis setelah kejadian, apalagi sebelum kejadian serupa teks penujuman. Di sini terlebih condong hasil-hasil teks, hikayat lama, selain tatapan astronomi, antropologi, pun penggalian alam penalaran filsuf yang didedikasikan demi martabat manusia atas tetahap pengetahuan digalinya.

Dan botani, dapat bilang menyukai tetumbuhan; berinteraksi, lebih khusus kala bertamu ke rumah kawan, ke tempat-tempat baru yang saya singgahi. Dari kedekatan batin ke tetumbuhan menghadirkan banyak informasi yang kerap persis jika ditanyakan pada tuan rumahnya. Lewat diamlah menyapa atau dengan membawa jiwa merasa kosong tidak memiliki suatu apa, dapat menyerap lebih terkandung alam sekitar, begitulah saya belajar. Mungkin di antara pembaca berminat meneliti usia bebatuan yang merujuk data sejarah; jalan yang pernah saya tempuh membaca buku-buku menyoal peninggalan bersejarah, sambil mengamati seksama misalkan karakter batuan di Candi Prambanan, Borobudur, Shingosari, &ll. Membaca ulang lembar riwayat berdirinya percandian, maka segera terbit kejelian sederhana dari wewarna kerutan, teksur bebatuan di atas usianya, untuk meneruskan penelitian pada bangunan walas lainnya.

***

Dari bentangan sebelumnya, dilihat dari populasi gajah di jaman purba pada bencah Nuca Nepa. Ada dugaan Pulau Jawa gabungan Sumatra tidak sebatas di ujung dataran dihuni suku Osing (Banyuwangi). Namun melingkupi Pulau Seribu Pura (Bali) hingga Nuca Nepa yang kemungkinan pulaunya berwujud cincin atau ular. Di antara pulau Flores, Alor, Timur, Sawu dan pulau Sumba menyatu. Yang lepasnya semua itu sederajatan meletunya Gunung Kelimutu. Lebih jauh kalimat saya senada perkataan Prof. Dr. H. Priyatna Abdurrasyid, Ph.D. kala mengemukakan buku Atlantis, The Lost Continent Finally Found{The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization, 2005} karangan (temuan) ilmuan Arysio Santos menyoal benua Atlantis, ini ringkasannya:

“Santos menampilkan 33 perbandingan, seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara bertani, yang akhirnya menyimpulkan bahwa Atlantis adalah Indonesia. Sistem terasisasi sawah yang khas Indonesia, menurutnya ialah bentuk yang diadopsi oleh Candi Borobudur, Piramida di Mesir, dan bangunan kuno Aztec di Meksiko.”

“Merujuk penelitian Santos, pada masa puluhan ribu tahun yang lalu wilayah negara Indonesia merupakan suatu benua yang menyatu. Tidak terpecah-pecah dalam puluhan ribu pulau seperti halnya sekarang.”

“Santos menetapkan bahwa pada masa lalu itu Atlantis merupakan benua yang membentang dari bagian selatan India, Sri Lanka, Sumatra, Jawa, Kalimantan, terus ke arah timur dengan Indonesia (yang sekarang) sebagai pusatnya. Di wilayah itu terdapat puluhan gunung berapi yang aktif dan dikelilingi oleh samudera yang menyatu bernama Orientale, terdiri dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.”

“Teori Plato menerangkan bahwa Atlantis merupakan benua yang hilang akibat letusan gunung berapi yang secara bersamaan meletus. Pada masa itu sebagian besar bagian dunia masih diliput oleh lapisan-lapisan es (era Pleistocene). Dengan meletusnya berpuluh-puluh gunung berapi secara bersamaan yang sebagian besar terletak di wilayah Indonesia (dulu) itu, maka tenggelamlah sebagian benua dan diliput oleh air asal dari es yang mencair. Di antaranya letusan gunung Meru di India Selatan dan gunung Semeru/ Sumeru/ Mahameru di Jawa Timur. Lalu letusan gunung berapi di Sumatera yang membentuk Danau Toba dengan pulau Somasir, yang merupakan puncak gunung yang meletus pada saat itu. Letusan paling dahsyat di kemudian hari adalah gunung Krakatau (Krakatoa) yang memecah bagian Sumatera dan Jawa dan lain-lainnya serta membentuk selat dataran Sunda.”

“Dalam usaha mengemukakan pendapat mendasarkan kepada sejarah dunia, tampak Plato telah melakukan dua kekhilafan, pertama mengenai bentuk/ posisi bumi yang katanya datar. Kedua, mengenai letak benua Atlantis yang katanya berada di Samudera Atlantik yang ditentang oleh Santos. Penelitian militer Amerika Serikat di wilayah Atlantik terbukti tidak berhasil menemukan bekas-bekas benua yang hilang itu. Oleh karena itu tidaklah semena-mena ada peribahasa yang berkata, ”Amicus Plato, sed magis amica veritas.” Artinya, ”Saya senang kepada Plato tetapi saya lebih senang kepada kebenaran.””

“Namun, ada beberapa keadaan masa kini yang antara Plato dan Santos sependapat. Yakni pertama, bahwa lokasi benua yang tenggelam itu adalah Atlantis dan oleh Santos dipastikan sebagai wilayah Republik Indonesia. Kedua, jumlah atau panjangnya mata rantai gunung berapi di Indonesia. Di antaranya ialah Kerinci, Talang, Krakatoa, Malabar, Galunggung, Pangrango, Merapi, Merbabu, Semeru, Bromo, Agung, Rinjani. Sebagian dari gunung itu telah atau sedang aktif kembali.”

Geolog dan fisikawan nuklir asal Brazil, Arysio Santos menenggelamkan usianya dalam pelitian tersebut selama 30 tahun. Dan saya dapat dibilang sekadar menjumputi permukaaannya saja, baru melewati putaran bulan mengelilingi bumi yang hampir genap dua kali pada kisaran Nuca Nepa. Kebetulan tahun ini kan terjadi gerhana bulan total dua kali, melingkupi wilayah Indonesia. Pertama malam 16 Juni 2011 lalu (tulisan di bagian kedua) pun kan terjadi gerhana bulan total lagi tanggal 10 Desember 2011 nanti, menurut Hakim L. Malasan.  Ini mengingkatkan penujuman gerhana matahari awalkali dilakukan filsuf Thales ke tahun 585 SM. Ingatan-ingatan, informasi bertebaran menguatkan rerabahan (remote sensing, penginderaan jauh). Kecondongan saya lalu selaku penelitian M. Yamin, kalau kita berasal bangsa Austronesia, dan bangsa Grik kian jauh kemungkinannya. Ataukah napasan berbangsa di bumi tuhan sangat berkait kala pada derajat tertentu menyembulkan pengertian. Dan selisih paham dapat dilarungkan teruntuk rahmat terindah penelusuran berliku di kedalaman insan.

Mula saya simak esainya IK dalam kurun kemarau hingga mengawali ini (akhir tulisan sebelumnya bagian XIII terposting di facebook 28 Sep 2011). Kini musim penghujan merambati bencah saya diami. Hawa angin sumber mata air mengendus ke permukaan. Sekelebat bayang Dami N. Toda (1942-2006) menghampiri, ia sedaerah Ignas Kleden hanya lain suku. Terekamlah lawatan saya sebelumnya di sukunya Dami, Manggarai. Kini mari mendekat walau pun sepintas warna budaya di sana. Setelah lalu mencium ketinggian pegunungan, juga desir arus sungai-sungainya.

***

Di atas pelbagai bacaan di jendela maya, khususnya blog dikelola Marsi Ragaleka yang memosting catatan Inang, dari buku “Hidup dan Baktiku” Penerbit TP. PKK Provinsi Nusa Tenggara Timur1989, Penyunting: Alo Liliweritaman sebagai sketsa. Maka saya beranikan menghentak, seperti duga tak bersalah ataupun kemungkinan lain merambah mengejawantah:

Di pulau Adonara, Solor dan Lembata didiami suku berbahasa Lamaholot. Suku pendatangnya Mehen, disusul Ketawo. Ada ungkapan indah di dalam kekerabatan bermasyarakatnya: “Ola tugu, here happen, ILua watana, Gere Kiwan, Pau kewa heka ana, Geleka lewo gewayan, toran murin laran.” Artinya: Bekerja di ladang, mengiris tuak, berkerang (mencari siput di lautan), berkarya di gunung, melayani keluarga (istri dan anak-anak) mengabdi kepada ibu pertiwi atau tanah air, menerima tamu asing.

Jantung kitab mitos membuka lelembarannya di hadapan saya. Ujung senjakala di bencah tanah Jawa beristilahkan “Sandi Olo” yakni dekat keburukan. Kisah Rera Wulan Tana Ekan semakin mematangkan kesakralan, penguasa langit bumi tersebut sedang bercinta demi sempurna esok harinya. Suara-suara burung petang mendengkur, ratusan kelelawar menebarkan pesona. Penduduk menutup pintu rapat-rapat, hawatir mengganggu para dewata tengah memadu asmara. Ini tak berlangsung lama, sampai ujung tombak tak tampak di jarak sasaran. Mulailah mereka keluar menikmati malam, sebab para dewa sudah menaburkan bintang-gemintang keceriahan.

Rera Wulan Tana Ekan, dewa agung bersifat dualistis. Rera Wulan (rera = matahari, wulan = bulan) penguasa langit. Tana Ekan (tana = dataran, ekan = bumi) dewi bumi. Hubungan ini menyerupai pasangan suami-istri. Keduanya bercinta di petang masa, waktu tidak pantas untuk dewata. Karena melanggar pantangan janji keduanya, lahirlah putra-putra dewa yang kelak menciptakan bencana. Mitos berkembang menjelma sandungan bagi pernah mendengar tetapi melampauinya, menjadi nyanyian gunda untuk para empu waskito.

Tatkala mitos suku-suku berjalin, ruhnya pertebal cerita, bernafas di setiap degup dada percaya. Keyakinan menambah takjub memenuhi sambungan nyawa. Saat orang-orang tua tak lagi menuturkan sebab kesibukan di ladang, malamnya lelah istirah. Tinggal sebagian bebocah mendengar itu kisah, pun melalui jalur-jalur lupa hingga sebagian terhapus dari ingatannya. Kesibukan ragawi menuai ganjaran hampa. Tiada berdaya nyanyian lama lenyap ditelan hawa pancaroba, kini tinggallah tulisan tak bermakna, kecuali hiasa semata.

Membaca suku Sikka yang saya perkirakan tertua dari suku di sekitarnya, lapisan sosialnya terbagi tiga derajad, pertama Ine Gete Ama Gahar terdiri para raja dan bangsawan. Tandanya memiliki pemerintahan tradisional dan harta warisa moyang. Lapisan kedua Ata Rinung bercirikan melaksanakan fungsi bantuan terhadap para bangsawan, melanjutkan amanat terhadap umat lapisan ketiga para insan awam; Mepu atau Maha. Secara umum masyarakat Sikka terinci beberapa suku; ata Sikka, ata Krowe, ata Tana ai. Di samping suku pendatang; ata Goan, ata Lua, ata Lio, ata Ende, ata Sina, ata Sabu/ Rote, ata Bura. Mata pencaharian mereka umumnya bertani. Saya sebut tertua tersebab menemukan sistem penanggalan pertanian: Bulan Wulan Waran – More Duru (Okt-Nov); bulan membersihkan kebun, menanam. Bulan Bleke Gete-Bleke Doi – Kowo (Jan, Peb, Maret) masanya menyiangi kebun (padi, jagung) memetik. Bulan Balu Goit – Balu Epan – Blepo (April – Juni) masa memetik juga menanam palawija. Dan akhir kelender kerja di bulan Pupun Porun Blebe Oin Ali-Ilin (Agu – Sep).

Wengi sempurnakan gelapnya, tetua ahli di bidang perbintangan terus mencermati edarannya. Dupa kemenyan mematangkan mantra, asapnya melekat ke dedaun pandan. Mata terjaga, alis melirit sebilah sau (pedang panjang) memasukkan kekayaan dewa langit ke tengah malam kesaksian, jauh dari nyala obor perkampungan. Beberapa empu berada di ketinggian gunung memetik kemungkinan awan mencium pucuk bibir perbintangan. Ada kesurupan tiba, suara-suara dewata ke ragawinya memberi penujuman mulia. Kisah lain disebutkan mereka berendam di sendang hangat, sambil membawa beberapa kayu ditancapkan sebagai tanda letak bebintang dan pergeserannya. Hikayat berbeda mengatakan di tengah padang, dengan tongkat bersimpan mana, mengatur derajat tertentu perpindahan edarnya gemintang. Sebagian membuat gundukan tanah, menggaris hasil-hasilnya. Ini dilakukan sampai purnama dua belas kali rasanya. Sementara ibu-ibu menyiapi perbekalan, anak-anak bermain di pelataran. Yang menginjak dewasa menjaga batas-batas perkampungan.

Membiaknya suku di kepulauan Nuca Nepa tak lebih pertemuan penduduk setempat dengan pendatang. Meski menaruh kasih sayang, kecurigaan pun datang, lantas terpenuhi kala sama beradu kesaktian. Hasilnya perundingan menjelma pecahan sepadan. Di antaranya, terbentuk gugusan pengetahuan atas persilangan pengalaman. Batu diruncingkan seujung mata panah demi menghalau suku di luar lingkaran Sikka. Para pemuda dilatih ketangkasan berkuda. Kaum pemudi menggiling hasil pertanian, mereka beranak pinak. Hanya peperangan ataupun bencana memburaikannya.

Kini ke dataran Ende dan masyarakat Lio, paku buminya Gunung Kalimutu, Detusoko serta Welamosa. Nama Ende ada menyebutkan Endeh, Nusa Ende, dalam literatur kuno Inde atau Ynde. Ada dugaan nama itu diberikan sekitar abad XIV, sewaktu orang melayu berlayar memperdagangkan tenunan besar, Tjindai yang sejenis sarung patola. Ende ataupun Lio sering dikata kesatuan tidak terpisah. Meskipun demikian sikap ego menyebut diri sendiri; Jao Ata Ende atau Aku ata Lio, menunjukan batas jelas kekhasan keduanya. Walau bermukim dalam batasan terang, nyata wilayah kebudayaannya lebih luas Lio daripada Ende. Pola pemukiman mereka umumnya dari keluarga batih atau inti baba (bapak), ine (mama), ana (anak-anak) dan diperluas sesudah menikah, anak laki-laki tetap bermukim di rumah induk. Rumahnya terbuat bambu beratap daun rumbia, alang-alang. Lelapisan bangsawan Lio bertitel Mosalaki ria bewa, bangsawan menengah Mosalaki puu, Tuke sani kaum biasa. Pada Ende bangsawannya Ata Nggae, turunan raja Ata Nggae Mere, yang menengah Ata Hoo, dan budak dati Ata Hoo disebut Hoo Tai Manu.

Mencermati Endeh saja betapa lapisan masyarakat bertumpuk membentuk kebudayaan. Endeh ialah letak pembuangan beberapa tokoh politik semasa perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Salah satunya Soekarno yang sempat membikin panggung teater di sana. Ikatan bathiniah memberkahi kesungguhan dan kesantausaan kala menyulam pengertian merentangkan sayap kemungkinan. Menerbangkan wujud kemakmuran sedari penghayatan hidup rukun saling menopang.

Kerasnya watak kukuh menentukan pilihan menjelma identitas-identitas sama mengikat satu tujuan. Tajamnya pemikiran, lembutnya penyelidikan, perasaan kasih sayang disisi kecurigaan dalam, demi menutupi kelemahan membentuk segugusan pengetahuan. Semuanya berkebaikan menginsyafi tapak langkah kemanusiaan. Ruh mengendarai makna berjalin hingga fajar kebaharuan. Memajukan kemurnian, kecuali dihempaskan bayu kesilapan yang meruntuhkan bekal sebelumnya membuyar tak tersisa. Maka ikatan batin berhadap tenggang rasa ialah pranata menimbang, menerbangkan, melebur bersesuaian hukum alam.

Atas tanah Endeh dan Soekarno. Saya pernah menggurat sepucuk puisi, setelah membaca buku tebal susunan Cindy Adams bertitel “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” yang tertulis diawal tahun semasa saya di Yogyakarta, berikut nyanyiannya:

SANDIWARA SOEKARNO DI ENDEH FLORES

Menyaksikan kulit-kulit lumut terkelupas

dari daging karang atas sobekan mentari.

Batuan cadas terlempar membisu panas

ditempa besi baja tapal kuda ke jalanan.

Semakin jauh pilunya seperti para janda

tetangkai kelapa diderai angin kembara.

Melumpuhkan debu-debu kemarau

tangisannya sampai daun rumput

pulau Bunga.

Nafas tersengal udara menyumbat

lempengan padat awan-gemawan

terhempas ke kaki-kaki senjakala.

Menapaki tanjung ujung pesisir

atas tubuh lusuh tenggelam

dalam riak duri-duri malam.

Tanpa peduli gemintang

bulan berkaca samudra

kala danau matanya

menjadikan muara.

Lalu wilayah Ngada ada daerah bernama Bajawa. Kini sebagai ibu kota di ujung bukit seribu meter atas permukaan gelombang laut. Masyarakatnya dikenal empat kesatuan adat memiliki tanda berbeda; antaranya Nagekeo, Ngada, Riung, Soa. Semua pertahankan ciri kekerabatan dengan mendukung tanda kesatuan. Arti kekerabatan Ngada umumnya selain terdekat berbentuk keluarga inti Sao. Lebih luas satu simbol pemersatu (satu Peo, satu Ngadhu, Bagha). Ikatan nama membawa hak kewajiban. Anggota kekerabatan dari kesatuan adat harus tunduk kepala suku, terutama atas tanah. Masyarakat pendukung berumah adat dengan seorang mengepalai pangkal Ngadhu ulu Sao Saka puu. Rumah tradisional disebut juga Sao, bahanya seperti di Ende / Lio. Rumah adat ditandai Weti (ukiran). Terdiri dari tetingkatan; Keka, Sao Keka, Sao Lipi Wisu, Sao Dawu Ngongo, Sao Weti Sagere, Sao Rika Rapo, Sao Lia Roda. Pelapisan masyarakat teratas Ata Gae, menengah Gae Kisa, terbawah Ata Hoo.

Sumber lain menyebutkan tiga, Gae (bangsawan), Gae Kisa = kuju, golongan rendah (budak). Ada membagi empat strata, Gae (bangsawan pertama), Pati (bangsawan kedua) Baja (bangsawan ketiga), Bheku (bangsawan keempat). Para istri lapisan terutama atas dan menengah dinamai Inegae / Finegae bertugas mengepalai rumah memutuskan segala sesuatunya. Masyarakat Nagekeo berkebudayaan Paruwitu (berburu), Soa pendukung Reba (tahun baru, pesta panen), yang bertani dalam arti luas Ngadhu / Peo, terjadi di sebagian kesatuan adat Nagekeo, Riung, Soa dan Ngada. Setiap wilayah memiliki adat istiadat serupa musim membentuk pelapisan tanah yang dihinggapi. Perubahan hadir atas persinggungan selempeng tanah bergeser adanya gempa, derasnya tsunami. Manusia mendiami bumi menua langit merapuh, tersebab hukum waktu berjalan. Melingkar ukurannya mengikuti gejala perjanjian mewujud cabang teori pembiakan juga pemusnahan. Tetonggak tersebut diuji kekekalan masa berkendara beringas bersama deru yang kerap menghardik kemanusiaan tersentak terperanjak. Ada tafakkur memunajat demi aturan keseimbang terpelihara, demikian nyanyian dirindu di sebidang tanah anak manusia.

Sedari tak mengerti bergiat memahami hayati dan titik-titik pemberhentian bukanlah saklek rupanya. Karena ruh pengetahuan terus menafaskan makna untuk kesegaran batin dahaga menyambut ikatan perbendaharaan kebenaran. Begitu pun alat musik, tari-tarian mengalami kenaikan drajat oleh pencarian. Kesuntukan mengudar benang panjang kemungkinan bagai dituntun rahmat agung. Pelahan memastikan bekas perjalanan meninggalkan tanda, dipelajari demi tingkatan makmur, memperkaya sandangan jiwa raga. Budhi pekerti membuka selubung khijab agar bayu kemungkinan bertambah. Seluaslah padang perubahan mendekatkan ruang-waktu pada sebuah inti pengertian, bahwa bebangsa mendiami jagad ini bersaudara. Sedangkan perbedaan bahasa, karakter ucapan tetap menujah damai berangkat dari ketulusan. Tiada penyangkalan, kecuali adanya melenceng perlu ditegakkan kukuh pada perenungan dalam; sesal mempurnakan.

Akhirnya menuju tanah kelahiran Dami Ndandu Toda (Pongkor, Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur, 20 Sep 1942 – meninggal di Leezen, Jerman, 10 Nov 2006). Wilayah Manggarai bisa dikata subur, areal pertanian meluas perkebunan kopi membentang mewah, curah deras hujan sejukkan mata. Terletak seribu dua ratus meter atas ombak lautan, di bawa kaki Gunung Pocoranaka. Bentuk keluarga batih terdiri bapak, mama, dan anak-anak disebut Cak Kilo. Perluasannya klen kecil Kilo, kemudian klen sedang Panga, klen besar bertitel Wau. Beberapa istilah dalam sistim kekerabatan; Wae Tua (turunan kakak), Wae Koe (turunan adik), Ana Rona (turunan mama), Ana Wina (turunan saudara perempuan), Amang (saudara lelaki mama), Inang (saudara perempuan bapak), Ema Koe (adiknya bapak), Ema Tua (kakaknya bapak), Ende Koe (adiknya mama), Ende Tua (kakaknya mama), Ema (bapak), Ende (mama), Kae (kakak), Ase (adik), Nana (saudara lelaki), Enu (saudara wanita atau istri).

Strata masyarakatnya ada tiga; Kraeng (Raja / bangsawan), kedua Gelarang (menengah), kelas ketiga Lengge (rakyat jelata). Raja mempunyai kekuasaan absolut, upeti yang tidak dapat dibayar rakyat diharuskan bekerja rodi. Kaum Gelarang bertugas memungut upeti dari Lengge. Para Gelarang merupakan penjaga tanah raja, penyambung lidah golongan Kraeng dengan Lengge. Status Lengge selalu terancam, karena harus membayar pajak, pekerja rodi. Dan kemungkinan besar menjadi hamba sahaya, sewaktu-waktu dibawah ke Bima, kebanyakan tidak bisa balik melihat kampung halaman.

Dalam bukunya Muhammad Yamin, “6000 Tahun Sang Merah Putih,” di halaman 91 tertulis “Lemang-tjerai Merah-Putih di pulau Flores:” Sedjak berapa lama sudahlah ada perhubungan baik antara daerah Goa (Gowa) dipulau Sulawesi Selatan dengan tanah Manggarai dipulau Flores. Begitu pula sangatlah rapi perhubungan daerah itu dengan keradjaan Bima. Perhubungan dengan Goa dapat dibuktikan karena adanja beberapa gendang pusaka (gendang-gelang), jang biasanja dimiliki oleh tua tana. Selainnja dari pada gendang-gelang itu, maka kepada kampung Lema dekat Leda Liur diberikan oleh Tiwu kerajaan Goa setangkai bendera sebagai tanda mendapat djawatan gelarang. Perhubungan adat menyampaikan persembahan kepada Goa barang-barang hasil bumi seperti ubi merah (uwi wara dan sedjan wara), selendang pampang dan makanan berwarna Merah Putih, jang bernama dea naa lone dalo belang wara; hidangan ini jalah nasi putih bertumbuk dalam bambu berwarna merah (belang wara = bambu merah; wara, warangan, barang, bang, abang = merah). Pusaka dan upeti diatas menunjukkan bahwa Merah Putih memang dihormati pula pada perhubungan daerah dengan daerah di Indonesia Timur.

***

Tak terasa musim hujan menancapi jari-jemarinya, halaman ke halaman bertambah. Yang awal niat catatan ini singkat saja, telah menempuh dua puluh halaman sudah. Di kala memasuki lelapisan pertama, seolah sulit merambah dataran masehi. Tapi kebenaran data, menyeret dalam kesadaran luar biasa. Tidak tersangka yang meski ada sangkaan sebelumnya; gumpal tekat menujah kandungan alam. Mungkin yang tertulis semacam Babad, Lontara, Tambo, Hikayat atau Me-mitos (kerja meranggeh, merangkai, menggayuh aura lama). Lalu terbentuk formula, serupa kemendadakan atas rentangan sayap kata-kata terudar sedari mulanya. Meringkus ruang-waktu berabad nyata pun belum ter-nyana, memang berat jikalau menginginkan kepurnaan. Setidaknya keraguan selalu menguntit jiwa oleh sapaan ini ke ubun-ubun pendengar?

Ada bayang lembaran ini saya namai “Babad Nuca Nepa” atau “Kitab Rera Wulan Tana Ekan.” Ya, itulah godaan kemarin, meski lembarannya belum rampung, tapi rayuannya harus ditulis kini, agar tak menghentikan langkah. Demikianlah energi melimpah sekitar diri, menarik-narik hingga sulit apa yang dilaksanakan dulu, kadang malah hal tersebut menyumbat kreatifitas. Gelombang deras disusul data-data menerjang pola penalaran, seakan tidak berdaya, terperanjak, umpama linglung mabuk kepayang. Syukurlah bertetap duduk di kursi kesadaran. Meski abstraksi terbangun sejenis tambal sulam membuka kemungkinan lain, ada rabahan meyakinkan itu yang diharapkan.

Harapan meringkas ruang-waktu satu sentuhan napas kalimat menempuh kurun masa setahun dari 600.000 tahun dahulu misalnya, ialah kebodohan, mungkin? Tapi betapa meriwayatkan sesuatu kehendaknya mencecap madu perih terkandung, jelas memakan rentang umur dunia. Kian cepat daripada dibungkus keraguan terlalu, kefanatikan buta, sikap menutup rahmat sebesar-besar-Nya. Apalagi data tidak sekadar teks, pula pesona jernih menebarkan cabang penginderaan tinggi sejauh membumbung. Sekelembutan bayu sepoi kerlingan mata takjub, air mata menetes terharu. Keinsyafan menjaga detik jiwa merambah dataran gurun nyata. Kadang diri berpikir kata ‘tersesat’ pun ‘menyesatkan’ yang menelan ruang-waktu berlebih. Meski peroleh limpahan hikmah menjumputi wewarna tercecer, ini melenceng dilihat garis ketetapan alami. Namun semua kembali dalam diri, nyatanya kepercayaan mendiami reruang pribadi, terahasia bagi senantiasa merenungi nasib besar manusia.

Ingin setiap kata bersimpan tetumpukan partikel aura tidak bosan-bosannya dipelajari. Sekali renung membuka rerongga ruh kelenjar bernapas di alam pemikiran, sampai drajat tertentu menyetujui larik-larik dipunggah. Dialog nyambung pun yang mengsle bergayuh, sehingga getarannya mempurnakan batuan magnetik hati juga isi kepala. Umpama gasing pada loncatan pertama ada kemugkinan belum jenak nasib di putaran akhir pada satu titik. Apalagi lapangan belum terkuasai, meski bertenaga jika kasar papannya, terjungkal tak lama. Tetapi jika medan tak halus terketahui, barangkali sedikit-banyak mampu menguasai seberapa jauh napas ditempuh daripada takdir permainan.

Saya teringat beberapa tulisan Dami N. Toda yang bertebaran bersimpan mawujud filsafat proses yang awal tiupan terompetnya oleh Alfred North Whitehead (1861–1947), juga rekannya Henri Bergson (1859–1941), yang ujung-ujungnya pada Stephen Hawking? Mungkin hanya itu kesamaan atas saya. Karena di antaranya manakala menyoal mantra rasa plin-plan; antara mengandung mana di sisi lain tampak profan. Maka kemungkinan selepas mengupas esainya Ignas Kleden, kan berlayar ke sana.

***

Saya ingin menelepon dia, tetapi selalu saja tak mampu berkata-kata. Ini menyakitkan, menyebalkan, membosankannya -mungkin. “Tapi sungguh saya merasa senang dengan perasaan kepadanya,” dan berharap dia (ruh yang pernah saya pinjam), menjadi guru menunjukkan kepada saya tentang Alam dalam keselarasannya di kedalaman Rasio, mengenai tujuan khusus setiap fenomenon partikular serta dalam keseluruhannya, tujuan agung Alam Semesta. Saya tidak akan melepaskan harapan ini. Namun betapa murung kali ini, mungkin karena kesalahan saya seperti kefatalan yang dilakukan Anaxagoras, sehingga dia kecewa (mengoplos kerkataan Sokrates dari buku karangan Hegel yang berjudul The Philosophy of History).

Saya jumput kata “pohon,” yang di bencah Jawa disebut “wit-witan” dalam arti lain “permulaan, awal kejadian.” Jika saya masukkan dalam peristilahan “sejarah” adalah tepat, sebab memiliki akar, batang, dedahan, reranting, dedaunan, bebuahan. Kita ambil sepintas, dedaunan masa menebar kabar menjadikan pohon mendewasa, akhirnya melahirkan kuntum kembang juga bebuahan segar sekaligus menantang. Misalkan dedaunan di sebrang dataran Cina bersebut Lao Tse (604 SM), Confucius (551 – 479 SM), sisi lain Thales (625 – 545 SM), Anaximandros (610 – 547 SM) pada rating Yunani. Sekitar 600 SM dalam upacara keagamaan mengadakan festifal tarian dan nyanyian demi menghormati Dewa Dionysius. Menyelenggarakan sayembara drama untuk dewa tersebut pada 534 SM di cabang Athena.

Sementara itu Muhammad Yamin menyebutkan 500 SM di kaki gunung Dempo, didapat petilasan-waruga terbuat dari batu berlukiskan berwarna-warna dan seorang perwira memanggul bendera Merah – Putih; dalam kuburan purba kala itu didapat manik-tanah berwarna Merah-Putih, pula dedahan lain di sebatang pohon sejarah dunia. Di antaranya belahan dahan cecabang lain mengalami kekosongan buah kenabian; Nabi Sulaiman (1034 SM mendirikan masjid) sampai Nabi Isa terlahir (1 M); terisi dengan tertancapnya kekuasaan Siria yang mengalahkan bangsa Israil (740 SM), Nebukhadnezar menjadi raja Babilonia (625 SM), berdirinya kekuatan Persia (539 SM), Raja Cyrus menguasai Babilonia 537 SM, merupakan cabang dedaunan juga. Lantas terbit bangsa Griek dibawah Iskandar Zulkarnain 332 SM, hadir kerajaan Rumawi (63 SM) merebut Palestina dari cengkeraman Griek, pula bermakna sama sepohon kejadian.

Sungguh mengakhiri tulisan ini terasa menyakitkan, seumpama perpisahan atau lenyapnya cita-cita, meski diganjar legenda. Perubahan terus memulai ataukah akhir mengiris hati. Setidaknya saya sudah membuat riwayat Nuca Nepa yang tentunya bukan murni. Hanya sejenis refleksi atau jangan-jangan kekisah yang mampu memilah, menembus batas kesadaran ke ambang dasar pemikiran. Guna tak kecewa berat, saya turunkan dongeng ini menghadirkan ruh saya pinjam bersama saya. Yang sempat tersentak demi memasuki pesta sedekah bumi, ataukah pelepas sebelum semuanya balik ke hadirat pembaca.

Dengan mengendarai desiran angin muson, saya diingatkan seorang bocah peniup seruling nan pernah bertemu dalam perut Rera Wulan Tana Ekan. Ia kini berdendang, sambil melantunkan untaian kata: “Di keropon tawa gere ipek gike sulung Sina” artinya “Sebagai pemuda yang telah tumbuh gigiku, kutiup seruling Cina dengan mulutku sendiri.” Bersamaan itu suara riuh dan umbul-umbul terangkat tinggi. Lalu ritual persembahkan tarian kepada saya yang gundah. Ataukah wujud lestari sedurung pulang ke kampung halaman?

Wajah bulan sabit mengecil, dan hampir dua kali memutari bumi. Gong, gendang juga tambur ditabuh, para penari Hopong dari penduduk Helong mewujud upacara tradisi yang mengijinkan kaum petani menuai panen di ladangnya. Syair-syair dikumandangkan atas syukur kehadirat Tuhan serta kepada nenek moyang. Para tetua adat, dan lapisan masyarakat berduyun-duyun berkelompok diterangi nyala api obor. Kawasan Gunung Kelimutu benderang atas lidah api menyala-nyala, asapnya menuju puncak. Pemilik jemari lentik melentur menyabit udara, memetik bayu, diangkutnya ke pundak halus sentausa menjaga keseimbangan, sedalam kedipan mata pecinta. Tarian ini biasanya dilakukan di sebuah rumah yang sebelumnya disepakati warga. Namun kini ada semacam ritual besar-besaran, jikalau di Yunani pada ketinggian Gunung Olympus demi penghormatan dewa Zeus, sang penguasa halilintar.

Dilanjutkan tarian Manekat (pemberian tempat sirih berisi pinang, sirih beserta kapurnya) oleh para penari dari suku Dawan (salah satu suku asli penghuni daratan Pulau Timor); melambangkan penghormatan, memberi harkat martabat seseorang. Sekuat kepulan dupa kemenyan meningkatkan kesakralan. Membumbung menarik janur angkasa, membelai usapan tipis sewarna garis katulistiwa. Ada raut sulit terbaca seakan takdir entah; masa silam bangkit dari kandungan alam. Sederet kemungkinan welas asih tanda kepatuhan pada yang dialamatkan. Dedaun sirih aromanya menyambut ruh moyang. Menebalkan udara meninggikan hisapan, serasa candu dikulum dalam jumlah besar kesungguhan. Bau pengurbanan atas para kesatri, bau keberaian menyusupi tiap derap langkah kepanditaan. Dan tiada lain yang mati diruapi ribuan kembang kepahlawanan.

Pada tari Peminangan ala Dawan, pakaiannya terlihat rapi selenggok gemulai penari setandan pisang tersusun agung mengungkap perasaan sayang tulus. Kepolosan kalbu sepasang kekasih yang mengikat junjungan nasib sepenuh guratan telapak tangan terbuka. Pun bermakna penyambutan kehadiran tamu istimewa. Jenjang kaki lentur cekatan, merawat tekukan lengan tangkas memakmurkan persilangan lahir-batin mengisi ruang kosong diberkahi persetujuan kelembutan penerimaan; sulaman benang berwarna-warni tenunan maha karya abadi. Napas-napas menggiring ke ujung jawaban, diperkuat hadirnya kebaktian sukma kayungyung mengeruk pembuktian. Sapaan mesrah merestui mimpinya menggugah harapan timbul-tenggelam pada kelurusan pandang. Bayang menegakkan isyarat lingga kekayaan untuk cawan-cawan merindu perjumpaan hangat, menanti elusan mata air gunung.

Kini persembahan dari masyarakat Belu, Atambua, menarikan tari Likurai, para gadis selebah keluar sarang. Sayap sampur berkelembutan menyambut senyuman tamu terhormat, pahlawan sepulang dari medan perang. Adanya keceriahan berasal ikatan terpendam kekangan kuntum kembang semerbak. Menawarkan nirwana kemenjadian keluhuran pekerti selalu dirawat setiap lipatan. Umpama kertas ungu dibentuk angsa-angsa kecil digantung udara. Bayu muasal percepatan, kaki-kaki gemerincing berbinggel di atas goyangan kepadatan pinggul. Suhu menapaskan ruang-waktu percampuran menitahkan sepadu padan memberkahi keterjagaan. Melumat keraguan, waswas digerus tuntas. Kelopak kemerdekaan terbukanya timbangan keadilan yang berayun dalam kewaspadaan, di titian terang disoroti keseluruhan cahaya kehidupan.

Dari dataran Alor, penarinya menunjukkan tarian Dodakado (di tanah Jawa permainan ini bersebut engkle). Dibawakan muda-mudi dengan keceriahan utuh, kesantunan guyub berlompatan pada persilangan bambu dimainkan. Bersyair pada lompatan kecil antara jepitan bilah bambu selalu bergerak. Setiap gerak menyandang ketepatan hitungan menjaga kumandang syair, berputar menerus sebelum berganti lawan pemain. Senyum simpul tanda kesejahteraan, keayuan elok kebahagiaan takdir ketundukan ritme. Musik disepakati memakmurkan nilai-nilai pekerti, memantabkan makna tanggul kecermatan. Yang telah meruh dalam persetubuhan senyawa, pandangannya seolah mengejek, kadang malah pemain bambunya serba salah. Dan sangsi diberikan berbatas penyadaran. Kepatuhan nyanyian alam melestarikan hukumnya mendiami keadiluhungan permai tergayuhlah kemakmuran.

Disusul tarian Teotona dari kerajaan Oenale (tari perang suku Rote Oenale) di Rote Ndao. Termasuk upacara sakral menyambut kaum pria sekembali berlaga, seperti Likurai dari Belu. Pria-wanita menunjukkan kegembiraan, bergerak ekspresif bercampur genderang alat-alat ditabuh. Penyambutan pahlawan, para pencari jejak patriotik nenek moyang. Bukan kegaduhan tatkala denting menyerap bersesuaian irama tubuh memeluk kedalaman. Setingkat ruh pada lawatan tak terkira, tapi bertetap hati penjaga pikiran. Isyarat dan strategi, luk badan tekukan kaki. Untaian lengan memainkan jemari, meloloskan perikehidupan setatap peribadatan persembahan. Bagi pemberani mematuhi garis wilayah, benteng pertahanan, jalur kuasa. Nama-nama diabadikan, peristiwa berdarah ditulis ulang demi membuka lembaran baru. Sejarah berangkat dari tekad membulat, kesempurnaan ragawi berolah mentalitas menyibak semak terdepan, rupa bebatuan terjal menyobek daging, menyerikan tulang.

Ditingkatkan tarian Ledo Hawu dari Sabu Raijua yang melambangkan upacara kematian kepala adat atau penghormatan akhir. Juga mengusir dedemit di tengah laluan para leluhur. Agar perjalanan arwah kehadapan Pencipta tidak dihadangi. Auranya beruapan spiritual, aroma angker kental mewarnai makna diigelarnya. Istilah lainnya bersebut penyapu jebakan, air bersimpan mana selepas diasmak mantra penghalau, dicipratkan. Kembang kejayaan berbau keabadian mengisi sudut penciuman. Menidurkan kelicikan, melenakan kepicikan, menyilapkan telik sandi sederap kemajuan. Bukanlah kesedihan tapi keteguhan, bukan rasa takut tapi keberanian terima kekalahan, demi langkah balasan merawat tanah nan dijanjikan. Burung gagak berkoak memusar di ubun-ubun cakrawala. Pakaian serba gelap sematang keteguhan, setua hasrat merangsek mencecap menghirup bertuah. Sedalam sedap maut menitisi bayi terkandung gunda gulana. Pancaran mata harapan tidak habis-habisnya, krentekan kalbu mengawali terbitnya cahaya. Ibunda matahari bagi bersikap merdeka dari penjajahan ruang-waktu pembodohan, menutup mata acuh tak acuh atas penguasa keblinger disusupi hantu serakah.

Malam-malam menanjak sesiang menanak keberhasilan. Suku Sikka Krowe tampilkan tari Leke, diiringi tabuhan Gong Waning bersetia berkumandang mengikuti lantunan syair adat. Awal tariannya seakan kurang teratur, setiap penari mengikuti kemandirian tubuh masing-masing diri. Tapi masih dalam ruh ritmis kebahagiaan, keceriahan naik sederap alat musik ditabuh ke batas maksimal menyatui melodi. Para tetua yang pandai bersyair berganti-ganti membaca ayat-ayat babad suci. Lembar demi lembar memberikan wejangan pekerti bagi kelangsungan tradisi. Ketika untaiannya tersimak seperti alam bergetar bersaksi atas kandungannya mewedarkan keunggulan dewa-dewa komodo. Kekuasaan elang, kecantikan bangau putih, pun kekokohan tebing menjulang serta sifat gotong-royong semut hutan. Tak luput kesaktian dewa ular pun kesunyian batu terudar di dalam kalimatnya. Betapa ibunda pertiwi memberi gambaran melalui wakil-wakilnya di bumi. Orang utama direstui memetik kemuliaan demi kelangsungan keadaban bersambung-sinambung ke depan terpijak kini. Malam memberkah, terbukanya kerudung rembulan menuangkan hidup berkasih sayang tulus ke pepucuk damai lestari di sisi.

Dari Ende menyuguhkan tari Poto Wolo (Poto bermakna mengangkat, kata Wolo; gunung atau bukit). Tari ini dihajatkan menjemput tamu agung atau kepala suku, tokoh adat diangkat secara tradisi. Dipilihnya penari mahir serta rahayu jiwanya. Selendang kain tenunan dikibas-kibaskan bak burung merak tengah menghadapi marabahaya, atau berjemur saja menyaksikan matahari. Gending-gending ditabuh, lengan dan kaki tak henti berlenggok suguhkan purnanya tubuh berprosesi besar menjunjung tinggi derajat orang dirahmati. Para tamu mulia kadang larut senandung decak kagum, menambah lengkap berkendi-kendi toak, anggur lama mengisi kerongkongan dahaga. Nyala obor menjulang, wilayah Kelimutu menambah wibawa. Dedanau berwarna seakan berdendang waktu selalu berlalu. Malam memanjang, sekedipan gemintang melengkapi sedapnya perjamuan. Satu antara penari seperti bermain pandang bersama tatapan mata saya nan jitu, semoga ianya berkenan.

Kerajaan Manggarai mengetengahkan tari Wasa Wojarana. Dilaksanakan seupacara adat menjelang tanaman padi menguning. Mengisahkan luapan syukur melihat bebuliran padi menjanjikan keberkahan. Serta ungkapan gembira pada Dewi Sri, sekaligus memohon agar panen tak gagal akibat bencana alam dan hama. Irama pelan terkadang bertempo cepat, penari bergayuh ikuti ruh tertinggi memantabkan waktu mengisi kematangan buliran padi, seasap jerami mengepul sedoa mengundang rahmat Ilahi. Kayu-kayu lesung ditabuh berkotekan, menghimpun semarak seturut malam memantuli suara dari pelosok keheningan ke jantung sanubari. Awan tipis di ketinggian merambah maklumat setiap sendi irama dilakonkan. Gerakannya persandiwaraan; adanya mewakili Dewi Sri, petani pun hama atau bencana. Sungguh para penonton terhibur olehnya. Dalam nuansa khitmat jiwa saya melambung ke entah, sekembara jauh yang masih berpijak kesadaran nyata. Seelok mimpi dalam mimpi, di kedalaman hidup menghidupi. Sebutir padi nan tunduk atas fitrohnya bagi kemakmuran insani.

Disusul tarian Todagu asal Ngada melambangkan keperkasaan pemuda Nage Keo dalam berperang. Kumandangnya membangkitkan semangat dasar jiwa, diiringi alat musik bambu serta tambur. Tarian merancap nyaring bersama teriakan kepahlawanan. Tubuh-tubuh terlatih siap bertarung ke medan laga, hentakan yang menggencang menggedor tanah diperebutkan. Tetesan darah tercecer dari pedang penari atas kurba sembelihan berkehendak merangsek lawan. Detik-detik tidak luput perhitungan, sekali silap terputus tumbang. Tarian ini berbahaya disamping bertetap kesakralan. Musik dijejali padat mengundang para kurban berlaga tempo dulu. Jejiwa penari disusupi arwah leluhur, para kesatria pemilik kekebalan, sehingga tak hawatirkan timbulnya cedera. Pemuda Nagekeo terkenal serampangan, selain strateginya matang. Tarian ini dilaksanakan disaat menghimpun kekuatan, pula selepas peroleh kemenangan. Saya seakan tak mampu membedakan; kelicikan dengan taktik, seperti kalimat filsuf bertumpuk-tumpuk makna menopang gagasan diuntah. Dari tekat bulat membobol kemungkinan pun pula dibelakang ide besarnya.

Serasa terbangun dari tidur tak disengaja, tersentak mimpi baru teralami. Bebulir padi menetas bidadari muda yang tiada tumbuh bulu. Ketiaknya mewangi. Menyaksikan pagelaran semalam suntup tarian, menimbulkan kebiasaan segelombang menonton wayang kulit. Ada masa terkantuk berat sedalam ketakmampuan oleh hisapan besar sang dalang. Lamat-lamat saya merapikan kesadaran, meski ingatan tersebut bergayuh pada angan terindah. Entah masih malam, atau langit diselimuti awan-gemawan menebal tapi tak menghawatirkan. Adakah endapan sekepasrahan ikhlas merelakan ruh saya pinjam mampir ke sini lagi? Mungkinkah babad ini patut diterima? Namun semuanya kadung terjadi di lembar-lembar kesaksian malam rabo kliwon. Pelahan tapi pasti, mengangkat keseluruhan diri. Atau Sang Hyang Widhi benar-benar turun merestui. Menanjaklah direbut peredaran angin muson, terlihatlah di bawah; Maumere, Endeh, Bejawa, Ranakah, Rinca hingga Pulau Komodo. Sekejap pula berada di kepunden jiwa, letaknya saya di bencah tanah Jawa.

 

Lamongan, Jawa Dwipa.

23 Nopember 2011, Rabu Budha Masehi,

26 Besar 1944, Rebo Kliwon Jawa,

26 Dzul Hijjah 1432 Hijriah,

28 Cap Gwee, Xiao Xue: Xin Mao, Shio Kelinci, 2562, Imlek.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler