Skip to Content

MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA (BAGIAN 24/4)

Foto SIHALOHOLISTICK

Oleh: Nurel Javissyarqi

 

(IV)

M. Yamin: “Ambilkan pengertian Sumpah Palapa lebih dulu di Wikipedia, sebelum larut berkelana.”

Nurel: “Ya Bapak: Sumpah Palapa ialah suatu pernyataan atau sumpah yang dikemukakan Gajah Mada pada upacara pengangkatannya menjadi Patih Amangkubhumi Majapahit, 1258 Saka (1336 M).Sumpah ini ditemukan pada teks Jawa Pertengahan Pararaton, berbunyi, “Sira Gajah Madapatih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa.” Terjemahannya, “Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gajah Mada, Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa.”

Dari naskah ini diketahui masa diangkatnya Gajah Mada, sebagian wilayah Nusantara yang disebut pada sumpahnya belum dikuasai Majapahit. Arti nama-nama tempat atas keterangan dalam sumpah: Gurun = Nusa Penida, Seran = Seram, Tañjung Pura = Kerajaan Tanjungpura, Ketapang, Kalimantan Barat, Haru = Kerajaan Aru Sumatera Utara (Karo), Pahang = Pahang di Semenanjung Melayu, Dompo = sebuah daerah di pulau Sumbawa, Bali = Bali, Sunda = Kerajaan Sunda, Palembang = Palembang atau Sriwijaya, Tumasik = Singapura.”

Sebagai pijakan kasar saya jumput pernyataan Idi Subandy, sebelum menuju kelembutan menawan Nadine Gordime. Ini seibarat gerakan ‘menyelam sambil minum air:’

Bagi Barthes, mitos mendistorsi realitas demi efek ideologis. Ideologi adalah inti dari mitologi. Mitos mengubah bias dan prasangka menjadi sejarah. Namun, ia adalah sejarah yang sudah “dibengkokkan.” [Idi Subandy Ibrahim, Maret 2006, Memahami Mitos-mitos Budaya Populer dalam “Masyarakat Komunikasi” Mutakhir: Arti Penting, Kritik Ideologi Barthes (sebuah pengantar). Roland Barthes, Membeda Mitos-Mitos Budaya Massa (edisi terjemahan), terbitan Jalasutra, Cetakan I, Februari 2007].

***

M. Yamin: “Melihat susunan kutipan di atas, sepertinya agak melompat-lompat (?)”

Nurel: “Ibarat kata kutipan-kutipan bagus itu postur tubuh perempuan sintal, maka wewaktu permenungan pembaca di antara dialog sebagai lemaknya makna. Belum lagi saya cerna ke dalam satuan tarikan nafas, serupa peragawati berlenggak-lenggok di sepanjang catwalk, misalkan.”

M. Yamin: “O begitu ya…” (sambil agak pesimis, sejenis menyindir dalam nada kata-katanya).

Nurel: “Pak, tanggal 22 Desember 2012 saya pulang ke Lamongan, maka referensi sedari buku Bapak bisa ditulis nanti.”

M. Yamin: “Hati-hati di jalan Nurel.”

Nurel: “Ya Pak, ini sedang mampir di Jombang pada kediamannya Sabrank untuk menginap barang semalam. Besok pagi melanjutkan perjalanan ke kampung halaman.”

M. Yamin: “Salam untuk Ahamad Syauqillah, lewat gelombang yang kita rasakan.”

Nurel: “Ya Bapak. Oya, bulan-tahun depan 2013 saya mungkin kembara ke tlatah Banten, tepatnya Tanara. Jadi, sebelum ke pembahasan arsip di atas, saya ingin sedikit tulis beberapa pengalaman dari Ponorogo, meski tiada hubungan langsung. Lagian buku ini semacam catatan perjalanan, semi novel barangkali, namun tetap tertuju kritik. Dan tidak mengelak jikalau ada anggapan pendekatan kurang fokus. Terpenting perihal inti sudah terjabar, yakni beberapa pokok keberatan saya yang masih mereka suarakan hingga kini.”

M. Yamin: “Santai Nurel, silahkan…”

***

Hampir persis pengelanaan masa silam tahun 2001, di tahun 2012 menuju akhir, saya mendekam di bumi Reog selama setengah tahun lebih, dan hingga kini. Dulu menanti datangnya hari bahagia, kemarin seolah melenyapnya wewarna pelangi di angkasa jiwa. Dalam balutan fisik sama bertirakat, sealiran nada doa dalam epilog yang saya tulis di bukunya Sutejo, Pembacaan lain “Senarai Pemikiran Sutejo” yang di waktu itu sedang naik cetak.

Rasanya belajar atas ketiadaan itu berdekatan kehendak Tuhan, begitu jelas, seterang hati berkeyakinan, meski di antara waktu terserang badai keimanan. Alhamdulillah tidak sampai senasib Faust yang hampir dulu di tahun 2000 saya tertimpa batuan raksasa tersebut. Seirama bait ke XXXVIII dalam Balada di Bukit Pasir Prahara yang berbunyi:

Pentas mulai digelar,

para pelukis sedikit menorehkan keberanian warna,

dan para penyair baru menggores beberapa aksara,

seakan merangkum dunia dengan kesombongan;

mereka rasa telah unggul dari Sang Pencipta.

Separuh dari mereka berucap;

“bila Tuhan masih ada, Ia punya rencana!”

Bunyi bait selajutnya:

(XXXIX) Sementara itu,

aku tetap duduk di rerumputan hijau perawan,

sambil memahat waktu di atas batu,

menujum takdirku untuk mereka.

(XL) Sesekali untaian rambut mengenai mukaku,

aku biarkan, dan terkadang kuseka lembut

dengan jemari tangan yang ada cincin setia darinya.

(XLI) Lalu ia berjalan, sambil mengunyah makna batu nisan;

berkali-kali senja menyeret matahari,

jam-jam kembali terhenti di embun daun kalbumu.

Serupa malam-malam sebelumnya,

kesepian tanpa seorang teman,

juga tiada lagi, kata mereka;

“raut yang patut dibayangkan!”

(21 September 2000, Parang Tritis Yogyakarta).

Perbedaannya, tahun 2001 saya masih memanjangkan rambut di tanah Batoro Katong, selaksa berpanjangnya harapan kepada hidup. Menjadi terkenang, awal sampai terminal Ponorogo lawas, karena tampang saya mungkin, bertanya ke alamat Tegalsari. Seorang tukang ojek berucap, “Wah, ndak mempan dibacok iki!” Saya tersenyum saja mendengarnya, sambil mengingat perjalanan dari Watucongol saat itu. Sedangkan tahun 2012 di Ponorogo, saya memotong rambut ikal memanjang, entah kelak memanjangkan atau tidak. Di sini kelingan ungkapan M. Yamin di atas, “…semua ada waktunya.”

Seperti bait akhir nomor XXXVII, “bila Tuhan masih ada, Ia punya rencana!” Saya terdampar di bumi Hasan Basri, bertemu saudara batin (saya menyebutnya begitu) pada Loco Mahendra, yang dulu saya kenal sewaktu ia jadi mahasiswa ISI Jogjakarta, seangkatan Satmoko Budi Santosa, Marhalim Zaini, dan Raudal Tanjung Banua. Adanya rasa kesamaan dalam proses pencarian jati diri meski berbeda bidang, ianya ke musik, dan saya bersyukur kini mulai menulis. Berjumpa Mahendra kembali, ibarat membetulkan timbangan, mengoreksi di sisi berbagi pengalaman reruang melecutkan pandangan ke bentuk kegilaan lebih. Barangkali selukisan Barthes terhadap selera makan raja Louis XVII dalam pengantar bukunya L’aventure Sémiologique:

 “Orang mengatakan bahwa raja Louis XVII, seorang yang memiliki selera makan yang sangat tinggi, memerintahkan tukang masaknya untuk mengolah masakan berupa daging iga sapi dengan cara dipanggang tumpuk-tumpuk. Lalu yang dimakan oleh sang raja adalah daging iga terbawah yang di dalamnya terkumpul resapan kelezatan yang telah tersaring oleh tumpukan-tumpukan yang di atasnya.” (Terjemahan: Stephanus Aswar Herwinarko, terbitan Pustaka Pelajar, Cet I September 2007, “Petualangan Semiologi,” karya Roland Barthes). Di sini pun, saya ucapkan terima kasih kepada Sutejo yang menemani petualangan kedua di Ponorogo, tepatnya memberi racun penawar untuk permasalahan menggelayuti badan-jiwa, di bawah terik nasib mendera.

Permisahan saya dengan Mahendra hampir seumurnya Louis XVII (lahir 27 Maret 1785, meninggal 8 Juni 1795) yakni 10 tahun lebih. Samar-samar antara waktu itu pernah bertemu, seolah kesamaran Louis XVII yang tidak pernah benar-benar menjadi Raja Perancis. Karena waktu tersebut, kadang berkabar lewat sms namun tidak rutin, juga berhubung saya beberapa kali ganti nomor pun sempat tidak ingin memiliki nomor kontak, maka kerap saling kehilangan jejak. Tetapi diam-diam merawat proses panjang sama mengalami keterkejutan timpang sejenis timbangan njomplang. Atau disaat saya sedang tenang, ianya mengalami “blenk,” ini berlaku balik. Dan pengelanaan selama setengah tahun di Ponorogo seakan menyatukan ketimpangan menjelma nada. Iramanya yang dulu tercatat sepintas, saya berpentas di TB Solo tahun 2001, Mahendra berpentas di kampusnya, ini berbeda namun memiliki aura sama.

Kata “blenk” di atas mengingatkan pada orang yang secara balutan fisik edan, yang sering saya singgung di bebagian depan. Tanggal 22 Sapar 1946, Setu Wage, orang itu memakai capil (Ini tidak pernah terbayang sebelumnya, meski memasuki musim hujan. Dan saya tidak tahu sedari mana caping itu diperolehnya), ianya menuju ke timur (seakan menanti saya balik ke arah barat). Warna mendung kelabu mendekati hujan tak datang-datang, angin enggan berbisik, hanya melepas napas ringan oleh lelahnya sedari pantai harapan.

Ketika di Ponorogo saya berpapasan dengan “kembarannya,” ianya lebih muda kira-kira sepuluh tahun sedari orang yang saya ceritakan. Biasanya melalui jalur alun-alun (turusan Jeruksing) ke daerah Pulung. Menyoal kembarannya, saya agak ragu memasukkannya ke dalam catatan, sampai saat turunan kali ini. Tanggal 8 Januari 2013 / 25 Shafar 1434 H / 25 Sapar 1946 J, Selasa Pahing (malam Rebo Wekasan) saya bersiap berangkat ke al Bantani.

***

Mampir ke rumah teman semasa sekolah Aliyah di Denanyar, Jombang, Ahmad Yani di desa Gebang Kulon, Babakan, Cirebon, Jawa Barat. Di sana melihat para ahli pembuat perahu, yang hasil karyanya mampu berlayar ke pantai pulau Jawa bagian timur, menyeberangi gelombang laut menuju pulau Sumatera serta Kalimantan. Perahu yang mereka ciptakan dengan panjang bagian bawah 7,5 meter, panjang bidang atas 12,5 meter. Ketinggiannya 1,10 cm, lebar 2,70 cm, atau tergantung pemesan, yang rata-rata harganya tidak sampai 30 juta rupiah.

Dinding perahu terbuat dari kayu jati, dan pembatas antar dinding demi membentuk badan kapal, menggunakan kulit kayu putih, yang disaat terkena air mengembang, jadi tidak menggunakan pendempul. Patek merekatkan kayu-kayu tersebut sedari kayu Besi (ada yang dari kayu Pung). Para pembuat perahu, ada yang sudah berketurunan di perairan Sumatera (Lampung), pula tetap membuat perahu berukuran lebih besar.

Sayangnya di daerah sendiri Lamongan, saya belum menelisik jauh apa saja kegiatan para nelayan di Paciran pun di Ujung Pangkah (Gresik), di sini mengingat tempat tersebut. Ada yang bisa saya petik atas perkataan seorang nelayan, “Yang membahayakan dikala berlayar, ketika menghadapi gelombang laut yang pecah, atau tidak bergulung-gulung secara sempurna.”

***

Malam menuju tanggal 15 Januari 2013, bertemu Si Lugu dan Pak Gordon (penganut Jansenisme). Bukan di penjara, tetapi dalam bus.

M. Yamin: “Lo, kok bisa?”

Nurel: “Yang jelas kisah kidup saya semenarik kekisah yang ditulis filsuf Voltaire. Doakan saja, Tuhan memberikan umur panjang bagi saya, untuk menuliskannya.”

M. Yamin: “Ya Nurel. Terus apa tidak jadi ke telatah Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi?”

***

Setelah menghatamkan “Al-Insan Al-Islam wa Madaris Al-Gharbi” karya Ali Syari’ati. Dan membaca ulang “L’Ingénu atau Si Lugu” karangan Voltaire, 1767, saya melanjutkan perjalanan.

M. Yamin: “Ke mana?”

Nurel: “Ke tempat yang saya ingini.”

M. Yamin: “Benar kau inginkan?”

Nurel: “Ya.”

M. Yamin: “Aku tak bisa berkomentar apa-apa, setelah tahu perjalanan tulisanmu tidak sekadar lewat nalar, hati juga fisik. Sepertinya, langkah-langkahmu penuntun sekaligus pembentuk putusan memandang keseluruhan permasalahan yang kau teliti.”

Nurel: “Doakan pak, meski pelahan menuju kerampungan.”

M. Yamin: “Tentu…”

Nurel: “Pak, ada yang menyelidiki lahirnya kata Sumpah Pemuda lebih jauh, namanya Haekal Afifa (President Joint Committe of the Aceh People). Dirinya menulis di theglobejournal.com 28 Okt 2011 dengan judul “Kebohongan Sumpah Pemuda Indonesia.” Bagaimana Pak?

M. Yamin: “Jumput saja keterangan darinya yang kau anggap perlu. Aku percaya kau seimbang dalam menyodorkan perihal sejarah.”

Nurel: “Ya Bapak.”

“Maka pada hari ini (28 Oktober 2011), Penulis ingin menguak pemikiran Muhammad Yamin yang sangat berperan penting dalam “memutarbalikkan” sejarah Sumpah Pemuda. Muhammad Yamin membelokan kata “Poetoesan congres’ menjadi ‘Sumpah Pemuda’. Peralihan kata ini berawal dari Kongres Bahasa Indonesia II di Medan pada 28 Oktober 1954.”…

“Pada Hari minggu, 28 Oktober 1982, Muhammad Yamin di depan 750 peserta rapat menggiring organisasi pemuda yang hadir saat itu untuk berikrar bersama. Dan Muhammad Yamin-lah yang menulis teks “Poetoesan Pemoeda”. Dengan Deklarasi inilah semua organisasi peserta “dijajah” ideologi daerahnya masing-masing sehingga melebur menjadi satu organisasi yakni “Indonesia Muda”.”…

“Tabrani, perwakilan dari organisasi Jong Jawa menolak usul itu, menurut dia harus ada satu bahasa persatuan yang sesuai dengan tujuan awal peserta kongres, yakni satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Seandainya saat itu Muhammad Yamin bersikeras mempertahankan konsepnya, maka bahasa Indonesia saat ini akan menjadi “Bahasa Jawa” dan inilah dasar pemikiran pertama saat penulis menggugat “Keberadaan Indonesia sebagai suatu Bangsa” di Seminar Sejarah yang diadakan University of Malaya tahun 2009.”

“Sumpah tersebut awalnya dibacakan oleh Soegondo dan kemudian dijelaskan panjang-lebar oleh Yamin. Setelah disahkan, ikrar pemuda itu pun menjadi tonggak bersatunya bangsa Indonesia. “Yamin-lah yang mengubah kata Ikrar menjadi Sumpah,” [sejarawan Anhar Gonggong].”

M. Yamin: “Coba kau amati Nurel.”

Nurel: “Yang jelas saya belum tahu apakah benar ungkapan Haekal Afifa, bahwa Bapak “Muhammad Yamin membelokan kata “Poetoesan congres’ menjadi ‘Sumpah Pemuda’. Peralihan kata ini berawal dari Kongres Bahasa Indonesia II di Medan pada 28 Oktober 1954.” Namun kesalahan fatal terjadi saat Haekal menulis tahun 1982 (yang seharusnya 1928, sumber di atas saya ambil tertanggal 19 Januari 2013). Haekal pun mengutip perkataan Anhar Gonggong yakni “Yamin-lah yang mengubah kata Ikrar menjadi Sumpah.” Esai bertitel “Kebohongan Sumpah Pemuda Indonesia” menurut saya sangat serampangan penulisannya, maka saya tak mungkin bertopangan data-data yang secara penulisan gegabah, meski mungkin ada sebersit kebenaran. Yang terang, saya lebih percaya kepada penulis buku “6000 Tahun Sang Merah Putih.”

M. Yamin: “Ya sudah teruskan Nurel, sebab kepentinganmu tak hanya di sini. Oya, terimakasih telah menyimpan bebuku karanganku, semoga yang belum kau peroleh kelak mendapatkannya, meski rupa fotokopian dari teman.”

Nurel: “Ah Bapak, tahu kebiasaan saya, hehe…”

Nurel: “Pak, saya kok diseret ke dalam peristiwa sejarah yang lain, dan tentu Bapak sudah tahu, saya tertarik mengenai kata ‘pemberontakan,’ apakah pemberontakan Ken Arok, pemberontakan Diponegoro pun PKI. Tak apa kan Pak? Lagian pemberontakan PKI, pula meletus di Sumatera Barat?”

M. Yamin: “Santai Nurel. Aku tahu kau pernah membuat tulisan bertitel ‘Ras Pemberontak,’ jadi tak apa-apa. Setidaknya masih dalam lingkaran tuturan masa-masa akan lahirnya Sumpah Pemuda. Dan kau tahu kan, aku pernah menulis tentang Ken Arok, Diponegoro, pun Tan Malaka. Semuanya itu penting, agar tidak hanya jongkok pada imajinasi semata. Maka sekarang kau baca buku dulu, serta beberapa tulisan yang barusan kau posting, tak luput tulisan Tan Malaka yang berjudul ‘Pemberontakan Komunis 1926’ yang ditulisnya pada tahun 1948.”

Nurel: “Matur nuwon atas kelonggarannya Pak…”

M. Yamin: “Oya, ringkaskan sedari wikipedia akan sejarah nama Indonesia, biar tidak sering mengira kalau kata ‘Indonesia’ awal kali tertuang pada Sumpah Pemuda. Apalagi mengiranya dariku, kan kacau.”

Nurel: “Ya Pak, dengan senang hati menambahi halaman buku, hehe…”

Catatan masa lalu menyatakan kepulauan di antara Indocina dan Australia beraneka nama. Kronik-kronik bangsa Tionghoa menyebut kawasan ini Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). Catatan kuno di India menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), yang diturunkan dari katabahasa Sanskerta dwipa (pulau) lalu antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Dewi Sinta, istri Rama diculik Rahwana sampai Suwarnadwipa (Pulau Emas, diperkirakan Pulau Sumatera) terletak di Kepulauan Dwipantara.

Bangsa Arab menamai wilayah kepulauan itu Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latinkemenyanbenzoe, berasal dari bahasa Arabluban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab peroleh kemenyan sedari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatera. Sampaijemaah haji kita sering dipanggil ‘orang Jawa’ oleh orang Arab, termasuk orang Indonesia dari luar Jawa. Dalam bahasa Arab juga dikenal nama-nama Samathrah (Sumatera), Sholibis (Pulau Sulawesi), Sundah (Sunda), disebut kulluh Jawi (semuanya Jawa).

Bangsa-bangsa Eropa pertama kali beranggapan Asia hanya terdiri sedari orang Arab, PersiaIndia, dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya Hindia. Jazirah Asia Selatan mereka sebut ‘Hindia Muka’, daratan Asia Tenggara dinamai ‘Hindia Belakang’, kepulauan ini peroleh nama Kepulauan Hindia (Indische ArchipelIndian Archipelagol’Archipel Indien) atau Hindia Timur (Oost IndieEast IndiesIndes Orientales). Nama lain kelak dipakai‘Kepulauan Melayu’ (Maleische ArchipelMalay Archipelagol’Archipel Malais).

Unit politik di bawah jajahan Belanda bernama resmi Nederlandsch-Indie (Hindia-Belanda). Pemerintah pendudukan Jepang1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur), untuk menyebut wilayah taklukannya di kepulauan ini.

Multatuli(Eduard Douwes Dekker1820-1887) pernah memakai nama spesifik menyebut kepulauan Indonesia,‘Insulinde’ artinya ‘Kepulauan Hindia’ (bahasa Latin’insula’ berarti pulau). Nama ‘Insulinde’kurang populer, walau pernah menjadi nama surat kabar dan nama organisasi pergerakan di awal abad ke-20.

Pada tahun1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA, BI: Jurnal Kepulauan Hindia dan Asia Timur) yang dikelola James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Di tahun 1849, seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865) bergabung sebagai redaksi majalah JIAEA.

Dalam JIAEA volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations (Pada Karakteristik Terkemuka dari Bangsa-bangsa Papua, Australia dan Melayu-Polinesia). Dalam artikelnya, Earl menegaskan sudah tiba saatnya penduduk Kepulauan Hindia (Kepulauan Melayu) untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat, dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (“nesos”dalam bahasa Yunani berarti “pulau”). Di halaman nomor 71 artikelnya tertulis (diterjemahkan keBahasa Indonesiasedari Bahasa Inggris):“… Penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu masing-masing akan menjadi Orang Indunesia atau Orang Malayunesia’ .”

Earl menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa digunakan untuk Ceylon (sebutan Srilanka saat itu). Dan Maldives (sebutan asing Kepulauan Maladewa). Earl berpendapat,bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Ia menggunakan istilah Malayunesia, dan tidak memakai istilah Indunesia.

Dalam JIAEA Volume IV halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago (Etnologi dari Kepulauan Hindia). Awaltulisannya, Logan menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, tersebab istilah Indian Archipelago (Kepulauan Hindia) terlalu panjang membingungkan. Logan kemudian memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, huruf“u” digantinya huruf “o”, agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.Itu membuktikan kalangan Eropa tetap meyakini penduduk di kepulauan ini Indian, julukan yang dipertahankan, karena terlanjur akrab di Eropa.

Pertama kalinya kata ‘Indonesia’ muncul di dunia dengan tercetak di halaman 254 dalam tulisan Logan (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia):“Mr Earl menyarankan istilah etnografiIndunesian, tapi menolaknya dan mendukung Malayunesian. Saya lebih suka istilah geografis murni Indonesia, yang hanya sinonim yang lebih pendek untuk Pulau-pulau Hindia atau Kepulauan Hindia.

Ketika mengusulkan nama ‘Indonesia’ agaknya Logan tidak menyadari dikemudian hari, nama itu menjadi nama resmi. Sejak saat itulah Logan secara konsisten menggunakan nama ‘Indonesia’ dalam tulisan-tulisan ilmiahnya. Lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi.

Tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin, Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku bertitel: Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel (Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu) sebanyak lima volume, memuat hasil penelitiannya kalamengembara di kepulauan itu, tahun 1864-1880. Buku Bastian memopulerkan istilah ‘Indonesia’ di kalangan sarjana Belanda,sehingga timbul anggapan istilah ‘Indonesia’ itu ciptaan Bastian. Pendapat tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indië 1918. Kenyataannya, Bastian mengambil istilah Indonesia’ dari tulisan-tulisan Logan.

Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah ‘Indonesia’ialah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913, ia mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Persbureau. Nama Indonesisch (pelafalan Belanda untuk ‘Indonesia’) juga diperkenalkan sebagai pengganti Indisch (Hindia) oleh Prof. Cornelis van Vollenhoven (1917). Seiring sejalan, inlander (pribumi) diganti Indonesiër (orang Indonesia).

Dasawarsa 1920-an, nama ‘Indonesia’ yang merupakan istilah ilmiah di etnologi dan geografi, diambil alih para tokoh pergerakan kemerdekaan, sehingga nama ‘Indonesia’bermakna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Akibatnya, pemerintahan Belanda mulai curiga,serta waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.

Tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (terbentuk tahun 1908 bernama Indische Vereeniging), berubah jadi Indonesische Vereeniging (Perhimpoenan Indonesia). Majalah mereka, Hindia Poetra berganti menjadi Indonesia Merdeka.

Bung Hatta menegaskan di tulisannya, “Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut “Hindia-Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruandengan India yang asli. Bagi kami, nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan, dan mencita-citakan suatu tanah air pada masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesiër) akan berusaha dengan segala tenaga, dan kemampuannya.

Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club tahun 1924. Pada tahun itu juga, Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Tahun 1925Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama ‘Indonesia’. Akhirnya nama ‘Indonesia’ dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa, dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia 28 Oktober1928, yang kini dikenal sebutan Sumpah Pemuda.

Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; parlemen Hindia-Belanda), Muhammad Husni ThamrinWiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda, agar nama Indonesië diresmikan sebagai pengganti nama ‘Nederlandsch-Indie’. Permohonan ini ditolak. Sementara itu, Kamus Poerwadarminta yang diterbitkan tahun yang sama,mencantumkan lema nusantara sebagai bahasa Kawi untuk ‘kapuloan (Indonesiah)’.Dengan pendudukan Jepang tanggal 8 Maret1942, lenyaplah nama ‘Hindia-Belanda’. Dan pada tanggal 17 Agustus1945, menyusul deklarasi Proklamasi Kemerdekaan, lahirlah Republik Indonesia.

 

Rujukan: David Chandler, et al. 2005. “The Emergence of Modern Southeast Asia: A New History“, disunting oleh Norman G. Owen (U. Hawai‘i Press, 2005).

***


(kupasan ke tiga dari paragraf lima dan enam, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)

Suber: http://pustakapujangga.com

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler