Skip to Content

menulis dan bersastra

Foto arif cansaz

Menulis dan Bersastra

16 Desember 2010 pukul 10:42

"Kalau kamu bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis." (Al Ghazali).

Hakikat Menulis

Hakikat menulis sesungguhnya adalah untuk menata pikiran, untuk membuat tekanan-tekanan hidup dan untuk mengungkapkan gagasan secara bebas. Lalu pada akhirnya menemukan konsep "mengikat makna" yang prinsipnya tak bisa kita hanya melakukan membaca saja atau menulis saja. Dua kegiatan ini harus dipadukan agar kita langsung dapat merasakan manfaat membaca dan menulis. Itulah beberapa hal yang lantas membuat saya dapat mengaktualisasikan diri.

Sebenarnya sering sekali saya merasakan kegelisahan melihat kenyataan bahwa kampus-kampus kita hampir kehilangan gairah dalam mendorong para dosen dan mahasiswanya untuk membaca dan menulis guna mengaktualisasikan diri. Saya tidak tahu kenapa? Oleh karena itu bagi siapa pun yang punya syahwat menulis, menulislah sekarang juga, yakinkan diri anda bahwa anda pasti bisa, jangan pernah ditunda, karena jika anda menunda untuk menulis berarti anda menunda untuk jadi penulis hebat. Ingat, selalu ada awal bagi yang baru oleh karena itu buang semua keraguan ketika anda baru memulai menjadi penulis.

Menurut Stephen King "ketika seorang penulis hanya menunggu waktu yang tepat atau menunggu datangnya inspirasi ketika hendak memulai menulis, maka sebenarnya ia belum menjadi dirinya sendiri." Dalam arti yang lain "kita tidak harus menunggu datangnya inspirasi itu, kita sendirilah yang menciptakannya." Maka untuk menjadi penulis, dibutuhkan kesungguhan, keseriusan, konsistensi dan kerja keras. Tidak ada alasan untuk tidak ada ide, karena sesungguhnya kemandekan kita itu adalah ide, ketidaktahuan kita itu juga merupakan ide, maka tulislah kemandekan itu. Tulislah karena nantinya akan menjadi solusi dari kemandekan ide tersebut.

Mungkin secara sederhana dalam menulis hal yang perlu diperhatikan untuk pertama kali adalah "apa" lalu "bagaimana" dan yang paling penting adalah isi dari tulisan, dalam artian, anda memang menulis karena kepentingan itu agar anda tidak kaku dan jumuh, biarkan tulisan anda mengalir sesuai dengan kemauan ide yang ada di kepala anda, lanjutkan terus kalau masih ada sisa di benak anda, jangan berhenti. Kebenaran tata bahasa jangan dulu diperhatikan, demikian juga keindahan dan gaya. Karena hal itu akan dapat mengganggu konsentrasi menulis anda. Biarkan otak dan tangan anda terus menulis merangkaikan kata demi kata.

*

Ada tiga hal yang setidaknya memengaruhi perkembangan pribadi seseorang. Tiga hal itu yaitu bakat, lingkungan, dan buku yang dia baca. Bakat mengarah pada suatu pembawaan sejak lahir. Sedangkan lingkungan merupakan stimulan dalam merangsang bakat sebagai kesempurnaan perwujudan. Sementara buku adalah ruang hidmat untuk menandaskan ide dan gagasan-gagasan yang menawarkan ruang inspirasi.

Salah satu bakat yang dimiliki oleh seorang yaitu kemampuan untuk berbahasa. Secara normal, semua orang yang dilahirkan ke dunia, kemampuan berbahasa menjadi bekal pokoknya. Hal itu menjadi sarana dalam mengembangkan potensi kepribadiannya yang lain. Tinggal di mana orang tersebut berada, maka bahasa yang terbentuk adalah sesuai dengan lingkungannya.

Sementara yang berkait dengan bahasa dan merupakan sebagian bentuk dari pengembangan kemampuan berbahasa adalah sastra. Dalam mencipta karya sastra konstruksi bahasa tidak akan terlepas darinya. Bahasa sastra merupakan bahasa pengembangan pribadi manusia yang mengarah pada nilai estetis. Bahasa ini pada dasarnya dibentuk sama dengan bahasa-bahasa pada umumnya, yaitu melalui proses interaksi dengan lingkungan yang bertumpu pada pembawaan.

Seseorang menuturkan bahasa disebabkan oleh adanya wacana lingkungan, baik lingkungan fisik maupun psikis. Lingkungan itulah yang menjadi media pemicu akan hadirnya ujaran bahasa termasuk sastra. Orang tersebut bermaksud ingin menyampaikan pesan tertentu atas fenomena yang telah ditangkapnya. Oleh sebab itulah, estetika bahasa dalam sastra merujuk pada dua hal yaitu estetika struktural dan estetika semiotik. Estetika struktural (puisi) diwakili dengan adanya perwujudan nilai puitis yang berhubungan dengan diksi, rima, irama, aliterasi, asonansi, permajasan, enjambemen, tipografi. Estetika semiotika berorientasi pada makna dan nilai-nilai yang hendak disampaikan pengarang melalui karya sastra yang diguratnya.

Untuk mencapai kedua estetika tersebut, seorang pengarang tidaklah sertamerta atau spontanitas menggenggamnya. Seorang pengarang harus menempuh proses tertentu dalam menggauli dan mengintimi sastra. Proses tersebut dapat ditempuh dengan dua jalan, yaitu menghujani pikiran dengan bacaan-bacaan dan bertukar pikiran atau bertukar pengalaman dengan kawan yang sama-sama gandrung dengan sastra. Kedua hal itu tentunya tidak terlepas dari faktor lingkungan juga. Sebab fenomena lingkunganlah yang mengilhami akan hadirnya sebuah karya dari pribadi seseorang.

Kedua estetika di atas pada gilirannya akan menjelma sebagai suatu kekuatan yang sungguh luar biasa dalam karya sastra. Dapat dikatakan bahwa dua hal itu seiring sejalan. Yang satu sebagai jasad dan yang lainnya sebagai ruh. Jasad tanpa ruh maka tak ada kehidupan. Ruh tanpa jasad maka tak tampak jejak keberadaannya.

Kehendak Bersastra

Karya sastra adalah karya seni yang berbicara tentang masalah hidup dan kehidupan, tentang manusia dan kemanusiaan yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Esten, 1980). Seirama dengan itu (Rusyana, 1982) menyatakan, "Sastra adalah hasil kegiatan kreatif manusia dalam pengungkapan penghayatannya tentang hidup dan kehidupan, tentang manusia dan kemanusiaan yang menggunakan bahasa." Dari kedua pendapat itu dapat ditarik makna bahwa karya sastra adalah karya seni, yang menggunakan alat ungkap bahasa sebagai alat penyampainya, yang esensinya adalah tentang hidup dan kehidupan, tentang manusia dan kemanusiaan. Dari simpulan itu kemudian dapat dimunculkan pertanyaan, "Apakah seseorang perlu belajar sastra?" Jika ya, apa hasil akhir yang diharapkan dari pembelajaran itu? Bagaimana pembelajaran itu dilaksanakan? Logikanya pembelajaran sastra memang tidak dapat dipisahkan dengan pembelajaran bahasa. Namun, pembelajaran sastra tidaklah dapat disamakan dengan pembelajaran bahasa. Perbedaan hakiki keduanya terletak pada tujuan akhirnya.

Menurut (Oemarjati, 1992), seperti berikut ini. "Pengajaran sastra pada dasarnya mengemban misi efektif, yaitu memperkaya pengalaman dan menjadikan (lebih) tanggap atau peka terhadap peristiwa-peristiwa di sekelilingnya. Tujuan akhirnya adalah menanam, menumbuhkan, dan mengembangkan kepekaan terhadap masalah-masalah manusiawi, pengenalan dan rasa hormatnya terhadap tata nilai – baik dalam konteks individual, maupun sosial."

Jika disimak ketiga pendapat di atas, dapat diungkapkan bahwa pembelajaran sastra sangatlah diperlukan. Hal itu bukan saja ada hubungan dengan konsep atau pengertian sastra, tetapi juga ada kaitan dengan tujuan akhir dari pembelajaran sastra. Dewasa ini sama-sama dirasakan, kepekaan manusia terhadap peristiwa-peristiwa di sekitar semakin tipis, kepekaan terhadap masalah-masalah manusiawi semakin berkurang. Apakah ada celah alternatif melalui pembelajaran sastra untuk menyentuh kembali kekurangpekaan itu? Perihal inilah barangkali yang perlu menjadi bahan renungan sebagai dasar untuk pembelajaran sastra.

Perspektif Tentang Sastra

Pembelajaran sastra adalah pembelajaran apresiasi. Menurut Efendi (1998), "Apreasisi adalah kegiatan mengakrabi karya sastra secara sungguh-sungguh. Di dalam mengakrabi tersebut terjadi proses pengenalan, pemahaman, penghayatan, penikmatan, dan setelah itu penerapan." Pengenalan terhadap karya sastra dapat dilakukan melalui membaca, mendengar, dan menonton. Hal itu tentu dilakukan secara bersungguh-sungguh. Kesungguhan dalam kegiatan tersebut akan bermuara kepada pengenalan secara bertahap dan akhirnya sampai ke tingkat pemahaman.

Pemahaman terhadap karya sastra yang dibaca, didengar, atau ditonton akan mengantar ketingkat penghayatan. Indikator yang dapat dilihat setelah menghayati karya sastra adalah jika bacaan, dengaran, atau tontonan sedih ia akan ikut sedih, jika gembira ia ikut gembira, begitu seterusnya. Hal itu terjadi seolah-olah ia melihat, mendengar, dan merasakan dari yang dibacanya. Ia benar-benar terlibat dengan karya sastra yang digeluti atau diakrabinya.

Setelah menghayati karya sastra, lantas masuk ke wilayah penikmatan. Pada fase ini ia telah mampu merasakan secara mendalam berbagai keindahan yang didapatkannya di dalam karya sastra. Perasaan itu akan membantunya menemukan nilai-nilai tentang manusia dan kemanusiaan, tentang hidup dan kehidupan yang diungkapkan di dalam karya itu. Menurut Rusyiana (1984:322), "kemampuan mengalami pengalaman pengarang yang tertuang di dalam karyanya dapat menimbulkan rasa nikmat pada pembaca." Selanjutnya dikatakan, "Kenikmatan itu timbul karena: (1) merasa berhasil dalam menerima pengalaman orang lain; (2) bertambah pengalaman sehingga dapat menghadapi kehidupan lebih baik; (3) menikmati sesuatu demi sesuatu itu sendiri, yaitu kenikatan estetis."

Fase terakhir dalam pembelajaran sastra adalan penerapan. Penerapan merupakan ujung dari merasakan kenikmatan pengalaman pengarang melalui karyanya, adalah mencoba menerapkan nilai-nilai yang ia hayati dalam kehidupan sehari-hari. Penerapan itu akan mempengaruhi perubahan perilaku, memperkaya pengalaman dan pengetahuan." Maka tidak ada kata tidak sebenarnya untuk belajar bersastra; kalau tidak bisa dikatakan bahwa belajar sastra itu hukumnya wajib.

*

Menurut Sumardjo dan Saini (1986:13), "Ada tiga hal yang membedakan karya sastra dengan karya-karya (tulis) lain yang bukan sastra, yaitu sifat khayali (fictionality), adanya nilai-nilai seni (esthetic values), dan adanya cara penggunaan bahasa yang khas (special use of language)."

Sifat khayali karya sastra merupakan akibat dari kenyataan bahwa sastra dicipta dengan daya khayal. Walaupun sastra hendak berbicara tentang kenyataan dan masalah kehidupan yang nyata, karya sastra terlebih dahulu menciptakan dunia khayali sebagai latar belakang tempat kenyataan-kenyataan dan masalah-masalah itu dapat direnungkan dan dihayati oleh pembaca. Melalui dunia khayal itu pembaca dapat menghayati kenyataan-kenyataan dan masalah-masalah di dalam bentuk kongkretnya, dan yang tersentuh oleh masalah-masalah itu bukan hanya pikirannya saja, akan tetapi juga perasaan dan khayalannya. Dengan demikian pembaca dapat menjawab (merespon) kenyataan atau masalah dengan seluruh kepribadainnya. Respon seperti itu berbeda dengan yang diberikan pembaca kepada karya-karya yang bukan sastra seperti karya ilmiah atau filsafat.

Adanya nilai-nilai seni (estetis) bukan saja merupakan persyaratan yang membedakan karya sastra dari yang bukan sastra. Melalui nilai-nilai seni (estetis) itu sastrawan dapat mengungkapkan isi hatinya dengan sejelas-jelasnya, sedalam-dalamnya. Nilai-nilai seni itu adalah keutuhan (unity) atau kesatuan dalam keragaman (unity in variety), keseimbangan (balance), keselarasan (harmony), dan aksen yang tepat (righ emphasis).

Penggunaan bahasa secara khusus sangat jelas tampak pada karya-karya puisi. Walaupun begitu, sebenarnya di dalam novel dan naskah lakon pun penggunaan bahasa seperti itu dilakukan para sastrawan dengan sadar dan seksama. Para sastrawan berusaha agar melalui pengolahan terhadap bahasa akan meningkatkan daya ungkap dan sekaligus keindahan bahasa itu. Baris-bait dalam puisi bukan saja diusahakan dapat mengungkapkan pikiran dan perasaan penyairnya, tetapi menjadi daya tarik pula melalui keindahan rima dan bunyinya. Bahasa dalam sebuah novel diolah begitu rupa, sehingga dengan beberapa kalimat saja sastrawan dapat menggambarkan dengan jelas dan menarik suatu peristiwa.

Demikian pula halnya dalam bahasa naskah lakon. Ucapan seorang tokoh yang tampaknya sederhana dan alamiah kalau diperiksa dengan seksama ternyata berbeda dengan ucapan seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Ucapan tokoh dalam naskah lakon sekaligus mengungkapkan pikiran dan perasaan tokoh itu dan suasana serta keadaan di mana tokoh itu berada.

Secara tekhnis, yang disebut sastra adalah apa saja yang diucapkan dan ditulis dengan logika tersendiri. Terkait dengan definisi tersebut kemudian muncul istilah sastra lisan dan sastra tulis. Sebagai produk kebudayaan, sastra memiliki kekuatan tertentu bagi pendengar dan pembacanya, antara lain menghibur, memotifasi semangat hidup, memperluas cakrawala berfikir dan memuliakan nilai-nilai kemanusiaan. Dan dalam praktiknya, karya sastra dapat dibagi menjadi 3 genre: (1) prosa fiksi (2) puisi (3) naskah drama/lakon. Bentuk-bentuk ini memiliki ciri-ciri tersendiri. Semuanya merupakan bentuk seni sastra, dan masing-masing memiliki persyaratan internal yang menyangkut struktur dan gaya yang konstruktif.

Jejak Langkah

Mungkin tidak berlebihan jika saya kemudian mengatakan bahwa belajar bersastra adalah merupakan satu hal yang teramat bijak untuk dilakukan. Menulis kemudian membekali diri dengan lebih banyak ilmu pengetahuan bahasa dan sastra, lantas menjadikan segala bakat, segala kreatifitas yang dimiliki akan lebih bernilai.

Jujur, menurut saya secara pribadi; sebenarnya tidak ada metode atau saran terbaik yang dapat digunakan untuk menulis sebuah karya sastra. Setiap orang memiliki cara tersendiri, gaya dan pengalaman sendiri-sendiri dan kekuatan tertentu dalam mengekspresikan kadar estetis simbolis yang dimilikinya. Sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya pula. Sementara apa yang saya kemukakan di atas anggaplah hanya semacam pengantar, dan bukan sebuah teori, tips atau metode untuk menulis atau menjadi seorang penulis yang baik.

Saya optimis, selama manusia masih mencintai kehidupan dan ingin memahami kehidupan secara lebih baik, ia tidak akan segan-segan membaca dan belajar dari banyak pengalaman orang lain. Pengalaman yang dimiliki orang lain terkadang lebih berwarna dari kehidupannya sendiri. Sastra sebagai salah satu bentuk karya rekaan telah menyediakan kebutuhan itu. Oleh karena itu saya percaya, sastra dan sastrawan akan tetap muncul di tengah kehidupan manusia karena masih akan ada manusia yang membutuhkan keberadaannya. Melalui karya sastra, manusia akan lebih membaca dan memahami eksistensi dirinya.

Pada akhirnya hidup adalah pertaruhan. Maka saya dan juga anda harus berani memilih dan tegas mengambil tindakan. Profesi apakah yang sebenarnya anda inginkan. Apakah anda lebih mencintai menulis dari kesenangan-kesenangan anda yang lain? Jika iya, maka menulislah tanpa henti. Percayalah, setiap usaha yang baik pasti menuai hasil terbaik. Selamat Bersastra…

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler