Skip to Content

Nilai Seni Budaya Melayu dalam Konteks Kekinian

Foto Hafash Giring Angin

Oleh: Hafash Giring Angin*


Masyarakat Melayu merupakan lembaga sosial yang terbilang sangat patuh dalam menjaga adat tradisinya. Sikap keterbukaan ini selaras dengan filosofi yang dicanangkan dalam nilai-nilai seni budayanya, sehingga ungkapan adat "Alam menjadi guru" tidak hanya sekedar menjadi penghias bibir semata, tetapi benar-benar terefleksi dalam sikap keseharian. Semua itu mengindikasikan ilmu padi yang menunjukkan sikap pribadi yang membumi dan santun dalam setiap pergaulan. Ilmu padi itu dikonotasikan dengan pemaknaan merakyat dalam lapis-lapis pergaulan tanpa ada perbedaan status, kelas dan kepentingan. Seperti yang termaktub dalam semboyan Wira Melayu "Hang Tuah" menunjukkan bahwa perlunya menjaga hubungan nilai-nilai silaturrahim yang berasas pada semangat tauhid dan kemurnian nilai-nilai sosial, yaitu Islam.

 

Islam adalah sebuah keyakinan dan kebulatan tekad yang bersendi pada "Kitaabullah Wasunnati Nabiyyina Muhammad". Sebuah ungkapan yang bernadakan syarak agama dan perintah untuk setia pada apa yang telah digariskan. Semangat ini menunjukkan sebuah makna, bahwa nilai-nilai  universal dalam hidup seraya bergandengan dengan nilai humanisme, di mana pengaruh terbesar ke-Islaman sudah sedemikian merasuk dalam jiwa masyarakat Melayu, termasuk dalam sektor kesenian dan kebudayaannya. Hal ini tercermin pada sebagian besar pantun sampiran dan isi yang senantiasa menjadi ciri dalam tradisi lisan yang dipertunjukkan ke dalam seni lakonan di atas pentas. Dalam hal ini, Muhammad Takari (2001:1) menuturkan filosofi budaya Melayu sebagai berikut :

 

Budaya Etnik Melayu adalah etnik yang dinamik yang selalu mengikuti perkembangan zaman. Mereka secara budaya memiliki gagasan-gagasan bagaimana menentukan kebijakan yang baik dan melakukannya secara fasih dan benar dalam rangka menjaga harmoni alam, baik alam makrokosmos maupun mikrokosmos. Ke semua gagasan budaya itu terangkum ke dalam tunjuk ajar Melayu atau kadang disebut juga dengan butir-butir adat budaya Melayu. Sebagai asas yang paling utama, tunjuk ajar Melayu adalah agama Islam yang tercermin dalam konsep adat bersendi syarak-syarak bersendi Kitaabullah. Pada intinya, tunjuk ajar Melayu ini meliputi empat kategori. Pertama, adat sebenar adat yaitu hukum Allah terhadap kehidupan di alam, misalnya adat api panas yang membakar. Kedua, adat yang diadatkan, merupakan sistim kepemimpinan atau diraja berdasarkan musyawarah mufakat. Ketiga, adat yang teradat, yaitu kebiasaan-kebiasaan yang lama-lama menjadi adat, misalnya penggunaan peci menggantikan destar. Ke empat, adat istiadat, yaitu dimaknakan dengan upacara-upacara adat. Ke empat kategori tunjuk ajar Melayu ini merupakan satu kesatuan wujud budaya yang integral dan saling berkaitan.

 

Seni budaya Melayu sebagaimana disinggung di atas, memiliki kekayaan tradisi yang terbentuk dalam ekspresi kebudayaan. Hal demikian terlihat pada sebagian besar tema-tema besar yang terkandung di dalamnya, bernilai pendidikan dan moralitas yang berguna bagi masyarakat lingkungan, bernilai sejarah yang meliputi arus kebudayaan nasional dan internasional serta bernilai budi daya santun sebagai media refleksi dan hiburan masyarakat lingkungan.

 

Salah satu yang menjadi kekuatan dasar nilai seni budaya ini adalah terletak pada nilai-nilai simbolik dan unsur perlambangan yang berkenaan pada ruang, waktu, peristiwa, tempat dan kejadian. Seperti yang terlihat pada penamaan masing-masing pemeran yang diadaptasi dalam lingkup budaya setempat. Semisal Dulmuluk (penamaan yang diambil dari nama tokoh utama), Makyong (penamaan kesuburan yang diambil dari nama sejarah agama Hindu), Mamanda (sebutan penghormatan yang biasa dipergunakan dalam percakapan resmi antara Sultan dan Wazir), Mendu (penamaan menunggu dan merindu dari personifikasi kasih sekampung), yang ke semuanya memiliki dominasi kesejarahan yang sangat holistis yang berakar pada nilai seni budaya setempat.

 

Kita bisa melihat, Dulmuluk adalah sebutan pergaulan yang nama aslinya adalah Abdul Muluk. Sebagian besar mayoritas penduduk tempatan atau pun yang penduduk hasil silang, sebutan-sebutan tentang penamaan ini nyaris kita dengar dalam berbagai kesempatan, baik dalam keluarga, masyarakat maupun dalam majlis-majlis ke agamaan. Nama adalah sebutan sekaligus tanda pengenal seseorang. Sebagian besar penamaan yang biasa dipakai oleh budaya lisan Melayu, singkat dan terpatah-patah yang menunjukkan suasana keintiman,  keakraban dan kekerabatan dalam rasa persaudaraan. Tapi bagi orang-orang Arab Timur Tengah dalam menyebut nama seseorang sering memanggil dengan panggilan lengkap Abdul Muluk. Karena nama yang disingkat akan merubah struktur dan makna.

 

Dalam bahasa Arab, Abdul itu artinya hamba. Jadi kalau nama "Abdul" diputus dengan nama "Dul", maka nama Dul akan memiliki makna lain. Seperti kata Paman berubah menjadi "Maman" di beberapa tempat seperti Pegayaman Bali, Situbondo, Bondowoso adalah penisbatan yang bertolak pada kultur tempatan. Dalam teater tradisi Mamanda Kalimantan Selatan ini adalah juga demikian halnya tidak terlepas dari budaya dan kultur yang menyangganya. Hal ini menjadi maklum. Dalam masyarakat ladang dan kelautan, penamaan untuk menyingkat nama seseorang adalah berdasar pada kebiasaan yang sudah berakar dalam masyarakat tradisi ketimuran sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Apakah karena ini dimaksudkan untuk memudahkan pengingatan atau menunjuk pada sebuah sebutan penghormatan kepada yang lebih tua. Tapi yang jelas Mamanda berasal dari kata Paman yaitu sebuah sebutan anak saudara sekandung dalam satu garis keturunan. Dari uraian di atas, mengindikasikan sebuah ilustrasi bahwa penamaan dan sebutan adalah merupakan "isim" (bahasa arab) yang berarti panggilan untuk menyebut sebuah identitas agar seseorang yang dipanggilnya memiliki laqob atau julukan yang jelas sesuai dengan fungsinya.

 

Pada aspek yang lain, mengapa eksitensi teater tradisi Melayu[1] dihargai dan digemari oleh masyarakat pendukungnya, adalah karena misinya yang berbau pendidikan. Seperti yang tampak dalam perkataan dan perbuatan. Dengan bismillah menguraikan pantun dan nyanyi adalah unsur agama Islam, kalau salah jangan dikesalkan, kami budak baru belajar, kalau tersalah mohon tunjukkan adalah unsur adat Melayu. Mari beremas, beremaslah pula setelah pulang ingatkan kami, adalah unsur sopan santun. Unsur baik dan buruk tidak saja terdapat dalam jalinan cerita tetapi perkataan dan perbuatan dijadikan contoh dan suri tauladan yang menunjukkan nilai-nilai kemanusiaan yang mewadahi sikap kebersahajaan dalam lingkungan seniman pendukungnya.

 

Sebaliknya nilai-nilai yang legam seperti serakahnya Raja Laksamalik, liciknya Mika Bandan, sombongnya Raja Hindi dan lain-lain diartikan sebagai sifat yang dikutuki. Dengan spontanitasnya, pemain tradisi Melayu dapat memantulkan refleksi masyarakat yang ikut dihayati, misalnya tentang kepincangan kehidupan sehari-hari dalam bentuk kritik yang humoristik. Bahkan ajaran-ajaran moral pendidikan dan filsafat juga dilontarkan sebagai teladan bagi masyarakat senimannya. Tema-tema tentang kepahlawanan dalam teater tradisi Melayu ini nyaris menjadi ikon sosio masyarakat yang kental yang mana sumbernya dipetik dalam cerita dan hikayat legenda[2] tentang Dewa, Mambang, Jin dan Putri seperti disadur lakon Komedie Stamboel dan Wayang Bangsawan dari hikayat 1001 malam. Di samping lakonan yang bertolak pada cerita panji, Ramayana dan folklor setempat juga menjadi ikon sosio masyarakat tempatan dengan unsur rakyat lokal. 

 

Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya adalah nilai seni budaya yang juga menjadi ikon penyerta masyarakat, seperti yang terlihat dalam budaya masyarakat modern. Semua yang menyangkut dengan tradisi, kebiasaan dan adat istiadat yang berlaku, memiliki nilai seni budaya yang tidak terlepas dari konteks lingkungan masyarakat asalnya. Seperti yang tergambar dalam peran masing-masing penokohan. Para pelakon dirias dan diberi pakaian gemerlapan. Dewa Mendu, Angkara Dewa, Raja Laksemalik, Sultan Abdul Muluk, Sultan Hindi, Puteri Cempaka Emas,  dan pemain-pemain yang lain berbaju jas bersulam benang emas, manik-manik dan atribut lain menggambarkan setting, suasana dan keadaan tempo dulu sesuai dengan sejarah dan zamannya. Hal tersebut karena pengaruh luaran seperti Arab, India, Cina, Belanda dan Portugis, yang mempengaruhi kebudayaan Melayu sehingga berpengaruh pada adat dan tradisi setempat. Seperti yang nampak pada celana berles emas dan hiasan kepala yang dipakai oleh beberapa tokoh sentral seperti Dewa Mendu,  Angkara Dewa, Dulmuluk, Siti Rafiah dan Siti Mahdewi. Hiasan serupa yang berbeda sedikit dengan Raja dipakai oleh Para Menteri. Putri dan Inang berbaju kebaya panjang warna-warni berhiaskan mahkota, gelang, dokoh, kembang goyang dan selempang. Pakaian bernuansa Arab seperti sorban yang dipakai oleh para saudagar Hindi dan Kerajaan Berbari. Begitu pula dengan kostum pengaruh Eropa yang menghiasi para serdadu dan pemeran lain, sehingga teater tradisi Melayu nampak kaya dengan nilai-nilai budaya global.

 

Sementara itu pengaruh etnik setempat juga menjadi bagian yang menyatu dengan aspek-aspek pemanggungan seperti yang terlihat pada penggunaan tabir daun kelapa sebagai alat pemisah antara penonton dan pemain, di mana antara kehidupan nyata dan kehidupan ilusi terbentang di lingkungan ruang permainan. Di samping itu penggunaan pohon pulai merupakan sarana transformasi hubungan horizontal dan vertical. Nilai-nilai seni budaya yang terbentang dalam spasial pertunjukan ini menunjukkan, bahwa kultur Indonesia dan kultur Eropa berbaur menjadi sebuah ikatan yang menyatu.

 

Nilai seni budaya dalam konteks kekinian menandai diberlakukannya sebuah keragaman pada babak seperti yang terlihat pada teater modern, antara lain nyanyian dan tarian tidak berpadu dengan jalan cerita. Tapi merupakan pemisah antara situasi yang satu dengan situasi yang lain. Salah satu yang mendasari mengapa kesenian ini memiliki potensi dan prospek kesenian yang sangat gemilang? pertama, teater tradisi Melayu merupakan warisan dari zaman ke zaman dan masih disenangi oleh masyarakat pendukungnya. Kedua, masih serumpun dengan teater rakyat yang terdapat di beberapa negara Asean seperti Malaysia, Muangthai, dan Singapore. Ketiga, merupakan kesenian khas yang bisa dijadikan aset untuk turis-turis mancanegara dan domestik. Hal serupa bisa kita tenggok pada tarian yang mendapat pengaruh Jawa. Dalam gerak tari yang dimainkan, pemain wanita nampak gerak dan gaya yang menjadi dasar tarian Jawa yaitu pada gerak bahu, tangan terangkat dengan memegang selendang serta silang kaki. Dalam tarian perang misalnya, para pelakon menggunakan gerak kaki yang serentak dengan tangan. Hal ini terlihat dalam wayang wong dalam tarian modern dan klasik Jawa. Begitu halnya dengan musik seperti dalam lagu Wangkang pecah, iramanya sangat jelas seperti yang terdapat di Siam Manora.

 

Bukti lain kita melihat pada acara pembukaan yang disebut berladun, bermadah dan beremas. Berladun adalah merupakan salah satu acara pokok dalam permainan.  Adegan ini adalah pembukaan dan perkenalan untuk meminta izin kepada masyarakat yang menunjukkan adat dan sopan santun. Betapa tinggi budi pekerti yang ditanamkan pada masing-masing pemain yang merupakan ajaran sekaligus teladan bagi masyarakat. Hal ini dapat kita lihat pada lagu beremas dalam acara penutupan, di mana semua pemain berkumpul dalam sebuah barisan memanjang dengan menyanyi koor dalam paduan suara serentak dengan bersalam-salaman dan saling memaafkan satu sama lain. Nilai seni dan budaya yang lain terletak pada bunyi peranta[3] di mana suara gong dan bunyi kendang serentak berbunyi memunculkan irama yang harmonis dengan ditingkahi bunyi biola yang iramanya sangat menggugah dan menyatu dengan lakonan yang ditampilkan. Nilai-nilai seni budaya dalam lakon-lakon ke empat tradisi ini, kiranya menjadi pedoman, karena dalam teater tradisi Melayu ini berkait dengan soal kemanusiaan yang melekat dalam lingkup seni pertunjukan dan kehidupan sosial masyarakatnya. Muhammad Takari (2001:4) menyebut nilai seni budaya Melayu memiliki akar seni pertunjukan yang sangat kental. Hal ini terlihat dari aspek-aspek tradisi yang melingkupi semua aparatus didalamnya. Ia menandaskan beberapa hal bahwa:

 

Akar budaya Melayu dapat dilihat dari segi seni pertunjukannya. Misalnya dalam bidang musik, dikenal konsep-konsep sebagai berikut. “Adun” yaitu sistim pelarasan alat-alat musik, baik itu gendang maupun yang memakai dawai. Adun ini secara etimologis, adalah menyatu padukan berbagai unsur menjadi sebuah adunan yang siap untuk dimatangkan. Dalam alat musik rebab dan biola misalnya, senar yang paling kecil diadun sebagai menirukan bunyi meresik, senar-senar berikutnya disebut dengan garau, dan garau alang/gaung. Sebuah lagu dalam musik Melayu selalu memiliki nilai-nilai estetika dengan garapan hiasan melodi yang disebut gerenek (memakai nada-nada hias dengan durasi yang relatif padat), cengkok (mengayunkan nada dalam bentuk legato) dan patah lagu (hiasan menguatkan nada-nada pada pukulan kuat).

 

Selain itu, pantun, syair dan nazam sebagai genre sastra Melayu mendapat peran penting pula dalam lagu-lagu Melayu. Pantun sangat banyak dipergunakan dalam musik vocal lagu-lagu Melayu. Pantun yang biasa digunakan adalah pantun empat baris (kuatrin). Dalam seni ronggeng atau joget bahkan pantun, mendapat peran dan konteks utama dalam bentuk jual beli pantun yang dinyanyikan. Sementara kalau dalam dimensi ruang dipergunakan terminologi lagu, maka dalam dimensi waktu digunakan istilah rentak. Yaitu sebuah konsep musik tradisional Melayu yang mengatur jalannya waktu, di dalamnya termasuk istilah cepat, sedang, lambat, induk (dasar), peningkah (anak), onomatopeik (misalnya tak, ding, dang, tung, pam, bin) dan sejenisnya. Selain akar budaya yang bersifat inovatif ini, etnik Melayu juga menerima berbagai sistem musik Dunia, misalnya sistem maqamat dan iqa'at dari Timur Tengah, sistem raga dan tala dari India atau sistem tangga nada (scale) mayor-minor budaya Barat dan lainnya. Biasanya unsur serapan budaya luar ini diolah kembali sesuai dengan cita rasa musik Melayu.

 

Dalam bidang tari pula ditemukan genre-genre tari sebagi berikut: 1. Tari-tari yang mengekspresikan kegiatan yang berhubungan dengan bertani, contohnya tari ahoi (mengrik padi), Mulaka ngerbah (menebang hutan), Mulaka nukal (menanam benih padi ke lahan pertanian ladang), Tari balai dan tari pulau (saat merumput di sawah), tari ketam padi (mengetam padi). 2. Tari-tarian Melayu yang mengekspresikan kegiatan yang berhubungan dengan nelayan, seperti tari Lukah menari (mempergunakan jala untuk menangkap ikan), Tari Jala (membuat jala), Tari Gubang (tarian yang mengekspresikan nelayan yang memohon kepada Tuhan agar angin diturunkan supaya mereka dapat berlayar kembali pada saat mengalami mati angin di laut), Mak Dayu (tarian yang mengekspresikan hubungan nelayan dengan kehidupan ikan-ikan di laut). 3. Tari-tarian Melayu yang menirukan (memesis) kegiatan alam sekitar, misalnya ula-ula lembing (menirukan gerakan-gerakan ular). 4. Tari-tarian yang berkaitan dengan agama Islam seperti hadrah (puji-pujian kepada Allah dan Nabi-Nabi), Zapin (tarian yang diserap dari Arab dengan pengutamaan pada gerakan kaki). 5. Tarian yang berkaitan dengan kekebalan seperti dabus. 6. Tari-tarian yang fungsi utamanya hiburan dan mengadopsi berbagai budaya luar misalnya Ronggeng dan Joget, Dondang Sayang, Mak Inang pulau Kampai, Melenggok, Lenggang Patah Sembilan, Persembahan , Campak Bunga, Anak Kala dan Cek Minak Sayang. 7. Tari yang mengekspresikan percintaan sepasang kekasih sampai membentuk mahligai rumah tangga seperti Tari Serampang Dua Belas. 8. Tari yang berkaitan dengan kegiatan olah raga (sukan) seperti Silat dan Inai. 9. Tari garapan baru yaitu tarian yang dicipta sesuai dengan semangat budaya kontemporer.Sementara itu dalam tari Melayu dikenal pula beberapa teknik gerak seperti 1. Legar yaitu gerakan badan berputar menyambar. 2. Geser yaitu gerak menggeser kaki. 3. Limbung yaitu gerak membentuk pola lantai setengah lingkaran. 4. Jengket, yaitu penari berdiri diatas kaki. 5. Jengget yaitu gerakan seperti orang yang berjalan pincang. 6. Jingkat, yaitu gerak telapak bagian ujung jari kaki dicecahkan dilantai. 7. Sambar yaitu gerak luncur berpapasan. 8. Melayah yaitu gerak membungkukkan badan. 9. Agah-agih yaitu gerakan badan bergoyang  seperti pinang ditiup angin. 10. Angguk-angguk yaitu gerak kepala ditundukkan. 11. Buka yaitu gerakan memperlihatkankeseluruhan telapak tangan  dan beratus teknis gerakan lainnya.Dalam bidang seni teater pula etnik Melayu memiliki genre-genre seperti : Makyong, Mekmulung, Bangsawan, Wayang Parsi, Wayang Kulit, Opera, Kuda Kepang dan lainnya. Perkembangan teater di dunia Melayu, umumnya ditentukan oleh faktor geografi. Misalnya Makyong sangat berkembang di Kawasan Patani dan Kelantan. Sementara itu, wayang kulit berkembang di Seantero Semenanjung Malaya dan mempunyai hubungan erat dengan wayang kulit di Jawa dan berpadu pula dengan wayang kulit Siam. Di Malaysia terdapat tiga jenis wayang kulit, wayang gedek, wayang siam dan wayang jawa.

 

Dari semua rangkaian nilai akar seni budaya Melayu yang disebut di atas merupakan spasial seni pertunjukan yang amat luas dan sangat berkaitan dengan khazanah kekinian dalam skala regional, nasional dan global. Hal ini menunjukkan bahwa terjadinya akulturasi dari berbagai genre seni budaya ini menjadi aset nasional bahkan dunia yang tak bernilai harganya. Semua hasil kebudayaan ini tidak terlepas dari swadaya dan swakarya masyarakat yang merupakan sosialisasi dari para warga desa[4] yang berkomune di dalamnya. Seperti juga dalam kegiatan merayakan hari nikah kawin[5] atau acara-acara lain yang berhubungan langsung dengan kegiatan sosial, secara tidak langsung memberikan pengaruh yang besar bagi tumbuhnya nilai-nilai kesadaran umat manusia dari generasi lapis pertama ke generasi lapis berikutnya yang tentu akan sangat berperan bagi tumbuhnya kesenian dan kebudayaan Melayu sebagai transformasi material-spritual dalam jagat tradisi Melayu.

 

 

Catatan Kaki:

 

[1] Tradisi dalam masyarakat komunal pedesaan, masih merupakan kebenaran yang terus dipelihara oleh para individu senimannya, meskipun para seniman tersebut berusaha menghidupkan dan menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakatnya. Seni tradisi menembus zaman melalui para seniman dan seniman mentransformasikannya untuk lingkungannya. (Sumardjo, 2002:230). Teater tradisi merupakan sebagian dari kenyataan dalam dunia kesenian Indonesia. Dalam kebanyakan kasus, ia terdapat hidup dalam lingkungan dua alam budaya. Di satu pihak, ia ditumbuhkan oleh suatu kebudayaan tertentu yang dalam kontek kenasionalan Indonesia, ini disebut kebudayaan daerah yang mempunyai sejumlah ciri khas yang dibina lewat keajegan tradisi. Di pihak lain, ia juga disadur dan dibentuk kembali oleh kebutuhan suatu hamparan kebudayaan yang lebih luas yang tidak semata-mata menganut cita rasa tradisi asalnya. (Sedyawati,1981:39)

[2] Legenda adalah prosa rakyat yang mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan mithe yaitu dianggap pernah benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci. Legenda ditokohi manusia walau pun adakalanya mempunyai sifat-sifat luar biasa dan seringkali juga dibantu mahluk-mahluk ajaib. Tempat terjadinya adalah di dunia seperti yang kita kenal kini, karena waktu terjadinya belum terlalu lampau.(Danandjaja, 2002:50)

[3] Peranta ini maksudnya adalah pemberitahuan bahwa acara akan dipentaskan. Mendengar peranta, orang-orang kampung segera berduyun-duyun. Anak-anak, orang dewasa, lelaki dan perempuan bahkan kakek dan nenek pun ikut serta meramaikan hajatan budaya itu. Walau pun tidak diundang, mereka tetap datang karena menurut kebiasaan di Natuna, bahwa peranta merupakan undangan bagi umum.

[4] Para pemain teater tradisi merupakan tenaga-tenaga amatir. Mereka ini rakyat biasa yang setiap harinya hidup dari bertani, pekerja atau penyandang jasa. Mereka bermain berdasarkan tradisi pementasan yang telah mereka kenal secara luas dalam lingkungan masyarakatnya. Bentuk pementasan sederhana dan spontan, penuh improvisasi baik dalam pemeranan, tarian maupun dalam cerita. Tidak ada latihan dan persiapan yang sifatnya khusus. Dengan demikian sifat teater rakyat ini amat dinamik dan cepat sekali berkembang keragamannya. Teater berkembang sesuai dengan perubahan-perubahan masyarakatnya. Masyarakat berubah dan menerima unsur-unsur budaya baru dan menyesuaikan diri dengan perubahan. (Sumardjo,1997:18).

[5] Dalam acara pesta kawin ini seseorang yang merayakan anaknya sanggup mengadakan pertunjukan Mendu selama 7 malam lebih terpandang dari seseorang lainnya yang hanya sanggup mengadakan pertunjukan 3 malam, apalagi cuma hanya semalam. Biar pun mereka itu juga sanggup memotong sapi atau kerbau sama dengan kesanggupan yang mengadakan pertunjukan 7 malam itu. Besar kecilnya perayaan 17 Agustus diukur dengan jumlah malam pertunjukan. Tujuh belas Agustus yang hanya mengadakan pertunjukan 3 malam, dianggap lebih kecil dari dari perayaan 17 Agustus yang mengadakan pentas selama 7 malam. Camat yang bijaksana selalu mendahulukan anggaran perayaan untuk pertunjukan. Begitu juga kampung-kampung yang lain sanggup mengadakan pertunjukan selama merayakan hari-hari besar agama Islam, dianggap lebih makmur dari kampung lainnya yang tidak mengadakan pertunjukan mendu. (BM.Syamsuddin,1976:15).

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA


B. M Syamsuddin, dan A. Hasan, Teater Tradisional Daerah Riau dalam Pesta Seni,  Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 1976.

Edi Sedyawati, Pertumbuhan seni pertunjukan, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1981.

Jakobus Sumardjo, Arkeologi Budaya Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002.

_______________, Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia, Bandung: STIS Press, 1997.

James Danandjaja, Folklor Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2002.

 

 

*Penulis adalah Kreator di Panggung Budaya Nusantara Bogor. Alumnus Seni Urban dan Industri Budaya pada Program Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta.   

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler