Skip to Content

PUISI-PUISI YANG MENGGODA

Foto SIHALOHOLISTICK

Maman S Mahayana*

Aspar Paturusi (Andi Sofyan Paturusi) mengawali kiprah kepenyairannya tahun 1960 melalui puisinya yang berjudul “Mereka Tercinta” dan “O, Anak, Kemana Kau” (Mimbar Indonesia, 1960). Setelah itu, sejalan dengan hiruk-pikuk politik 1960—1965, ia seperti tidak ikut ingar-bingar itu. Atau, mungkin juga ia menggunakan nama samaran, karena Aspar termasuk pendukung Manifes Kebudayaan yang ketika itu menjadi buruan kelompok sastrawan Lekra dan rezim penguasa. Baru awal tahun 70-an, tiga puisinya, “Debu Dunia,” “Ketika Pintu Terbuka,” dan “Maut” muncul lagi di media nasional (Esensi, 1971). Setelah itu, beberapa puisinya dimuat di majalah sastra Horison dan beberapa media yang terbit di Jakarta.

Aspar yang kepenyairannya termasuk generasi Rahman Arge dan Sinansari Ecip atau setelah generasi Husni Jamaludin dan Arsal Al-Habsyi, tercatat telah menghasilkan antologi puisi Sukma Laut (1985). Ia juga menulis novel eksotik, Arus (1976) yang memenangkan Hadiah Dewan Kesenian Jakarta (1974) dan Pulau (1976) yang bercerita tentang nelayan yang tingggal di sebuah pulau terpencil. Novel ini sarat mengungkapkan kultur etnik nelayan. Sayang sekali, kedua novel penting itu, tidak dicetak ulang. Padahal novel yang saya bayangkan sebagai Robinson Crusoe-nya Indonesia itu, tentu akan sangat pas jadi bahan pembelajaran di sekolah.

***

Ketika kini bermunculan fenomena puisi-puisi yang lahir dari jejaring sosial facebook (fb), sebagian besar penyair mapan tampak enggan memasuki ruang dunia maya dan menyumbangkan puisi-puisinya di sana. Keengganan itu tentu saja dapat dipahami, lantaran di dunia maya, dalam fb, sesiapa pun bebas menulis puisi dan seolah-olah mereka hendak melegitimasi dirinya sendiri sebagai penyair. Boleh jadi para penyair mapan itu tak merasa perlu ikut-ikutan latah: mengobral puisinya lalu mendapat tanda jempol atau beroleh komentar model Tino Sidin: Bagus! Sangat mungkin pula mereka punya kekhawatiran: puisi-puisinya dituding terlibat pencemaran atas puisi yang sebenar-benarnya puisi.

Menyikapi fenomena itu, pada awalnya, saya mencoba melihatnya sebagai sekadar ajang pesta-pora puisi saja. Di satu sisi, puisi makin terbuka menjadi hak segala bangsa, dan di sisi yang lain, puisi menjadi sesuatu yang cair, instan dan meriah, penuh bunga dengan warna-warna pucat dan semerbak pula dengan aroma minyak wangi yang banyak dijual di pinggir-pinggir jalan. Belakangan, kemeriahan itu seperti menceburkan saya terjebak dijejali berbagai puisi yang hinggap dan menguap begitu saja. Nyaris saya membutatulikan puisi-puisi yang berterbangan di dunia maya. Terlalu cair, terlalu kencang aroma minyak wanginya, dan warna-warna pucat itu sering kali menyilaukan mata. Nyaris lagi saya kehabisan kesabaran. Tetapi, itu kan hak segala bangsa. Jadi, biarlah, nikmati sajalah.

Saya memaklumi, sebagai sebuah ajang untuk belajar menulis puisi, ruang  facebook (fb) sangat terbuka untuk siapa saja, berbicara apa saja, kapan saja, dan dengan siapa saja. Akibatnya, jika puisi itu tak menjelma pengumuman atau propaganda, ia berubah menjadi curhat, keluh-kesah tentang perasaan hati yang artifisial, meriah dengan semangat merayakan majas yang diindah-indahkan. Meski berbeda dengan model puisi Pujangga Baru, ciri romantik yang mengumbar perasaan hati sebagai problem diri sendiri itu telah menjerumuskan puisi-puisi dalam fb sebagai puisi yang –seperti telah disebutkan—cenderung bermain dengan warna-warna pucat. Kecenderungan umum karakteristik puisi dalam fb yang sifatnya spontan, instan, dan cair tanpa pengendapan, tanpa pendalaman itu, niscaya akan ditanggapi secara salah kaprah jika para penyair mapan tetap menjaga jarak dan melakukan pembiaran.

Dalam situasi antara harapan puisi menjadi sesuatu yang meriah dan kecemasan puisi menjadi makin begitu cair, pelibatan sejumlah penyair mapan dalam ikut memeriahkan pesta puisi di ruang fb memberi optimisme lain, bahwa puisi-puisi mereka akan memberi pencerahan dan jalan terang: Inilah puisi yang sebenar-benarnya puisi. Sebutlah beberapa penyair, di antaranya: Abdul Hadi WM, Acep Zamzam Noor, Agus R Sarjono, Ahda Imran, Aspar Paturusi, Dimas Arika Mihardja, Hendry Ch Bangun, Kurniawan Junaedi, atau Soni Farid Maulana. Keterlibatan mereka tentu saja menjadi penting, sebab kiprah kepenyairan mereka sudah melewati perjalanan panjang, teruji oleh waktu dan terpajang dalam sejumlah penghargaan.

Meski begitu, saya berusaha untuk tidak silau pada kiprah kepenyairan mereka. Sebab, kontribusi kepenyairannya, tetaplah sangat ditentukan oleh kualitas karyanya, dan bukan oleh panjang—pendeknya usia kepenyairan mereka. Bukankah tidak sedikit penyair mapan yang kini seperti sengaja pensiun sebagai penyair dan pergi ke mana-mana dengan berteriak lantang tentang masa lalunya yang gilang gemilang? Jadi, jika mereka sekarang ikut terlibat dalam menyemarakkan ruang fb, apakah karya-karya yang disebarkan di sana sebagai karya nostalgia masa lalu atau ada usaha tetap menjaga kualitas dan stamina kepenyairannya sebagaimana yang dikatakan Chairil Anwar: menggali kata hingga ke putih tulang.

Adakah capaian-capaian estetik atau mereka pun terjebak untuk sekadar mendapatkan tanda jempol dan komentar Tino Sidin. Jika tidak ada capaian estetik, kepenyairannya patutlah digugat kembali. Sikap itu pula yang coba saya pancangkan ketika saya membacai puisi-puisi Aspar Paturusi sebagaimana yang terhimpun dalam buku antologi puisi ini. Meskipun sejumlah puisinya –yang dipublikasikan di ruang fb selalu dua buah puisi: puisi lama dan puisi baru—pernah saya nikmati dalam beberapa kesempatan di ruang fb, sebagai teks puisi yang sudah punya kelengkapannya sendiri, otonom, dan terbuka dimasuki gelombang tafsir, kita (: pembaca) terpaksa bertindak konservatif. Memperlakukan puisi sebagai puisi lalu mencoba mengungkap konteksnya yang lazim berkaitan dengan segala roh budayanya. Puisi dalam antologi ini jadinya sebagai teks yang tidak lagi terkait dengan media tempat puisi-puisi itu dipublikasikan.

Selain itu, diyakini bahwa puisi (: karya sastra) yang baik, meski secara sosiologis dianggap sebagai potret sosial budaya yang memperlihatkan semangat zaman, juga senantiasa memancarkan karakteristik universalitas. Artinya, selain tema-tema yang diangkatnya berbicara tentang problem kemanusiaan dalam pandangan subjektif penyair, ia sesungguhnya berbicara tentang problem manusia sejagat. Maka, problem itu tidak terikat oleh dimensi ruang dan waktu. Dengan begitu, meski Aspar Paturusi menyebarkan puisi-puisinya dalam ruang fb dengan pananda puisi lama dan puisi baru, kita (: pembaca) tetap saja memperlakukannya sebagai teks (sastra) yang secara tematik, berlaku universal, dan secara kontekstual, tidak terikat oleh ruang dan waktu. Setiap kali kita membacai puisi (: karya sastra), selalu setiap kali itu pula kita akan menemukan tafsir baru, makna baru. Karakteristik ini pula yang membedakan puisi –dan karya sastra (yang sebenar-benarnya sastra)— dengan berita di media massa atau dengan teks referensial lainnya.

Konsep puisi sebagai puisi sebagaimana yang diusung para penganut the new criticism yang juga sejalan dengan gagasan dasarnya yang disuarakan strukturalisme, menempatkan antologi puisi ini —seperti telah disebutkan—tidak lagi terikat oleh media tempat puisi-puisi itu dipublikasikan, yaitu ruang fb. Memposisikan setiap puisi dalam antologi ini sebagai sebuah teks mandiri, tidak hanya berimplikasi pada kewajiban evaluasi yang objektif dan terhindar dari sikap suka tidak suka, tetapi juga dapat digunakan sebagai batu uji: apakah puisi-puisi Aspar Paturusi tetap memancarkan kekuatannya, alih-alih menunjukkan capaian estetiknya, atau redup menuju senjakala? Jika Aspar Paturusi sudah merasa puas dengan masa lalunya dan puisi-puisinya yang tersebar di ruang fb sekadar berharap mendapat tanda jempol dan komentar Tino Sidin, maka selesailah capaian estetiknya. Jika begitu, kiprah kepenyairannya mulai memasuki wilayah lereng yang landai dan kita pun layak pula menyampaikan kata bertuah: adios!

Dengan kesadaran itu, sebagai pembaca, saya bebas memperlakukan setiap puisinya sebagai teks yang sudah lengkap; pembacaan kritis dengan semangat menempatkan konsep puisi sebagai puisi adalah langkah objektif yang secara akademis dapat dipertanggungjawabkan.

Mari kita mulai!

***

Seperti kebanyakan sastrawan Indonesia yang lahir dan besar dalam lingkungan ibu budaya masyarakatnya, dan tak hendak melupakan keluhuran budaya puak dan kearifan lokalnya, Aspar seperti tidak dapat melepaskan diri dari roh kultur etniknya. Maka, yang muncul kemudian adalah kekhasan sebuah identitas etnik, dan sekaligus universalitas kemanusiaan sejagat. Aspar telah memperkenalkan kebudayaan Bugis dan Makassar secara geografik, dengan sangat menawan dan proporsional. Beberapa puisinya, antara lain, “Tidurlah Tidur,” “Ode buat Ibu” atau “Badik” menunjukkan sebuah identitas etnik yang ternyata juga semangatnya mempunyai banyak persamaan dengan etnik lainnya di Nusantara ini.

Puisi “Tidurlah Tidur” selain tegas diilhami oleh lagu nina bobok masyarakat Bugis, di dalamnya terkandung sebuah filosofi, bagaimana orang Bugis mengantarkan anak-anaknya menuju kehidupan dunia. Anak adalah titipan Allah yang dikatakannya: tidurlah engkau titipan Allah … Dalam konteks ini, si ibu menyadari betul tanggung jawabnya, dan ia ingin anaknya siap lahir-batin menghadapi gelombang kehidupan dunia yang penuh cobaan. Anak sebagai titip Allah, bagai kapas putih-murni, bagai kupu-kupu yang belajar terbang yang sayapnya tipis, yang mudah tercabik, dan gampang patah. Ia bagai embun pagi yang mengkilap yang segera akan jatuh atau mengering ketika matahari datang mengganti pagi menuju siang. Anak bagai bunga jelita tanpa dosa, tetapi juga bagai kaca bening mudah pecah. Begitulah, secara metaforis Aspar menempatkan posisi anak dalam pandangan ibu, sebagaimana dikatakannya berikut ini:

tidurlah kemurnian

tidurlah kapas

tidurlah kupu-kupu

tidurlah embun

tidurlah bunga jelita

tidurlah kaca bening

tidurlah eeeeeeeee

 

Itulah penggambaran anak sebagai harapan masa depan. Maka, si ibu mengingatkan tentang pentingnya kesadaran soal waktu, perlakuan bersahabat dengan alam, dengan harapan dan cita-cita. Muaranya adalah kelak ia dapat bahagia didekap malaikat.

tidurlah dalam pelukan malam

dalam pelukan waktu

dalam pelukan alam

dalam pelukan mimpi

dalam pelukan padang hijau

dalam pelukan malaekat

dalam pelukan eeeeeeee

 

Perhatikan larik terakhir:  tidurlah eeeeeeeee/ dan /dalam pelukan eeeeeeee/  Apa maknanya? Itulah ibu budaya. Anak lahir dari rahim ibu budaya dan ibu budaya itu pula yang akan mengantar dan melindungi si anak menuju kehidupan mahaluas. Pola repetisi yang dibangun penyair: dalam pelukan … berfungsi sebagai metafora tentang makna perlindungan. Maka kata tidurlah … tidak bermakna sebagai sesuatu yang diam—statis, tetapi imbauan sugestif, persuasif, dan sekaligus kebertanggungjawaban seorang ibu untuk mengantarkan anaknya ke kehidupan lain yang penuh tantangan dan ancaman. Di situlah imbauan sugestif seorang ibu penting artinya untuk menanamkan nilai-nilai cinta-kasih, bahwa dengan cinta-kasih itu si anak akan selalu mendapat perlindungan.

songsong harimu

songsong matahari

songsong langit

songsong ombak

songsong bunga-bunga

songsong segala yang boleh

songsong segera eeeeeeee

 

Dua larik terakhir: songsong segala yang boleh/songsong segera eeeeeeee//  menunjukkan bahwa si ibu tidak segera hendak mengantarkan anaknya, melindunginya dengan ibu budayanya, tetapi juga mengingatkan bahwa dalam kehidupan ini ada yang boleh dan ada yang tidak boleh. Maka, sejauh ibu budaya, aturan dan agama membolehkan, songsonglah semuanya itu. Jika tidak, jangan lakukan, karena ibu budaya dan agama tidak mengizinkannya.

Dengan kesadaran itu, maka si anak akan mempunyai bekal lahir batin dalam menghadapi dunia ini. Di sana, dalam dunia yang mahaluas ini, si anak tidak hanya akan berhadapan dengan manusia lainnya dengan segala keberbedaannya, tetapi juga dengan berbagai macam aturan yang dikatakannya: tidak boleh ini/tidak boleh itu/harus ini/harus itu// dan segalanya kemudian terpulang pada /… wajah orang tuamu/ dan dalam suaranya yang eeeeeeee//

Di balik larik-larik nyanyian nina bobok itu, ada lautan mahaluas, hamparan langit tak terbatas, gerak yang tak pernah selesai: cinta ibu yang begitu dalam, tak pernah berhenti, tak terukur oleh dimensi ruang dan waktu. Cinta ibu selesai setelah Tuhan memanggilnya.

***

Kecintaan ibu pada anak atau pengagungan anak pada ibu, sebagaimana yang digambarkan dalam puisi itu, dapatlah dikatakan sebagai representasi budaya yang telah melahirkan dan membesarkan pengarangnya. Di sana, ibu tidak sekadar sosok perempuan yang melahirkan anak, tetapi juga ada tanggung jawab mengantarkan anaknya menuju kehidupan sosial (horisontal) dan pertanggungjawabannya pada Tuhan (vertikal). Maka, implementasinya, si anak harus punya kesadaran sosial, kesadaran lingkungan dan persaudaraannya dengan alam, dan kesadaran spiritual sebagai khalifah di bumi.

Pesan penyair tentang keagungan ibu dan tanggung jawabnya kepada anak sebagai titipan Tuhan, juga tidak mungkin lahir seketika jika si anak tidak merasakan kedalaman cinta ibu. Jadi, puisi itu sesungguhnya sebagai semacam pantulan pengagungan anak pada ibu. Dalam hal ini, kecintaan si aku lirik (: penyair) pada ibu tentu saja tidak datang begitu saja. Ada proses panjang yang berkaitan dengan lingkungan sosial budaya. Hal tersebut tampak lebih menukik dalam puisi “Ode buat Ibu”. Puisi ini merupakan ekspresi dan ungkapan diri penyair dalam menempatkan sosok ibu sebagai perempuan yang di dalamnya sifat-sifat Tuhan memancar, mengilhami, inspiring, dan menjadi panji yang terus berkibar dalam setiap denyut jantungnya.

Perempuan adalah ibu

di hatinya ada mata air

mengalirkan kasih sayang

 

Perempuan adalah lilin kehidupan

di matanya ada cahaya

menyorotkan cinta

 

Perempuan adalah gunung

tegak menjulang

menyiratkan ketabahan

 

Berbeda dengan pola repetisi yang terdapat pada puisi “Tidurlah Tidur”, dalam “Ode buat Ibu” repetisi itu hadir sebagai pembuka bait: perempuan adalah … Dengan begitu, pola repetisi tidaklah mesti dimaksudkan untuk menciptakan efek kesamaan bunyi sebagaimana yang terjadi pada mantera, tetapi juga sebagai pokok atau hal utama berkenaan dengan tema yang hendak disampaikan penyair.  Meski begitu, puisi bukanlah berita suatkabar atau teks referensial. Di sana permainan metafora dan citraan mesti ikut memainkan peranan.

Persamaan perempuan sebagai ibu, analogi perempuan sebagai lilin kehidupan dan gunung yang tegak menjulang adalah sarana puitik yang akan mendesak saklar imajinasi dan asosiasi kita (: pembaca) membayangkan mata air bening-sejuk memancar dari hati (ibu) dan mengalir pada hati (anak); hidup yang penuh dengan cahaya cinta; dan ketabahan sebagai gunung yang tegak menjulang (penyair lebih memilih gunung dibandingkan karang yang diterjang ombak yang cenderung klise lantaran metafora ini sudah kerap digunakan para penyair).

Kata-kata: sayang, cinta, dan ketabahan dari seorang perempuan yang bernama ibu, tentu saja tidak dapat mewakili keseluruhan gejolak jiwa sang ibu. Tetapi, penyair, dengan segala keterbatasan bahasa manusia yang tidak dapat mengungkapkan secara lengkap keseluruhan jiwa manusia, cukuplah dengan membangun metafora: mata air kasih sayang, lilin kehidupan yang menyorotkan cinta, dan gunung yang menyiratkan ketabahan.

Ketika si anak lepas bagai anak panah menerabas kehidupan, ibu masih saja tidak melalaikan perhatiannya pada anak. Ia masih saja merasa ada tanggung jawab yang tidak mungkin dapat dicampakkan begitu saja. Maka …

Dengan tangis ia menyapa bulan

dengan senyum ia menatap matahari

dengan cinta ia memetik bunga-bunga

dengan rindu ia melagukan kenangan

dengan tabah ia menunggu

 

Apa pula maknanya? Ketika ada duka, ia menyelinap dalam malam, dan berdoa pada Tuhan: Dengan tangis ia menyapa bulan. Ketika ada harapan, ia membayangkan anaknya menyinari alam, memberi kehidupan kepada kepada manusia lain dunia ini: dengan senyum ia menatap matahari. Begitulah, dalam suka, duka, cinta, dan rindu, sosok ibu senantiasa memancarkan kasih sayang, doa, dan pengharapan pada anaknya. Dan ia tidak meminta apa-apa, kecuali tabah menunggu dari jauh.

Dalam kehidupan apa pun, ibu tetaplah menempati singgasana cinta-kasih-sayang yang tiada henti menyentuh gerak perjalanan si anak. Maka, ketika kehidupan sebuah bangsa ditaburi bintang jasa dan segala macam predikat pahlawan disematkan pada entah siapa, semuanya tidak berarti, tak bermakna. Sebab, di belakang segala tanda jasa itu, di sebalik nama-nama pahlawan itu, sosok ibu bertahta dengan lautan cinta-kasih-sayangnya yang tidak dapat tergantikan oleh apa pun! Aspar telah menyuguhkan  cinta-kasih ibu dan pengagungan anak pada ibu, dengan kekuatan metafora yang indah dan inspiring. Ia tidak menyampaikannya secara artifisial dan letterlijk, tetapi dengan kepiawaian melakukan pilihan kata yang kaya nuansa makna, asosiatif, dan menyentuh. Keseluruhannya ditempatkan dalam bangunan metafora dan simbolisme yang kokoh. Jadilah puisi itu seperti menciptakan sihir.

***

Dua buah puisi Aspar Paturusi, sungguh telah menunjukkan jalan terang kedamaian kehidupan umat manusia, jika pancaran cinta-kasih pada ibu tidak dilalaikan. Cinta-kasih-sayang ibu adalah representasi dari beberapa sifat Tuhan. Maka, jika manusia menjalani kehidupan di dunia ini dengan pancaran cinta-kasih-sayang ibu, mustahillah terjadi peperangan dan keangkaramurkaan.

Bukankah Rasulallah juga sudah mengingatkan umat manusia, ketika salah seorang sahabat bertanya: “Nabi, siapakah orang yang harus dicintai, setelah Nabi?”

Nabi tegas menjawab: “Ibu … Ibu … Ibu! Setelah itu, ayah!”

***

Uraian singkat tadi yang memilih dua puisi berjudul: “Tidurlah Tidur” dan “Ode buat Ibu” sekadar contoh bagaimana pola repetisi menjadi salah satu karakteristik kepenyairan Aspar Paturusi. Uraian itu juga sengaja lebih menekankan aspek apresiasi untuk menunjukkan, bahwa repetisi bukanlah sekadar pengulangan kata-kata yang sama, melainkan punya fungsi lain berkenaan dengan tema yang hendak disampaikan dan rangkaian kata yang menjelma metafora.

Kedua puisi itu dan beberapa puisi yang lain dalam antologi ini cukup banyak yang coba memanfaatkan pola repetisi. Penciptaan efek bunyi akan terasa lebih kuat ketika puisi itu dibacakan. Puisi-puisi model itu memang akan memancarkan kekuatan magis –karena adanya perulangan bunyi yang sama atau mirip—sebagaimana yang terjadi pada mantera. Meski begitu, puisi sering diperlakukan sebagai teks yang dapat dinikmati orang per orang dalam kesendirian atau di dalam ruang kamar (close reading). Jika repetisi itu sekadar tempelan-tempelan kata yang sama, ia dapat disimpan di tempat lain lantaran tak mendukung tema dan sarana puitik lainnya. Oleh karena itu, jika kesamaan bunyi itu sekadar perulangan bunyi, tanpa mempertimbangkan penekanan pada aspek tema (yang hendak disampaikan), perulangan itu sekadar duplikasi kata-kata, frasa, klausa atau kalimat yang sama, tetapi gagal menjadi repetisi.

Perhatikan repetisi kata dengan dan ia dalam bait puisi berikut ini:

Dengan tangis ia menyapa bulan

dengan senyum ia menatap matahari

dengan cinta ia memetik bunga-bunga

dengan rindu ia melagukan kenangan

dengan tabah ia menunggu

 

Jika kata dengan dan ia itu dihilangkan, maknanya tentu akan lain: tangis menyapa bulan/ senyum menatap matahari/ cinta memetik bunga-bunga/ rindu melagukan kenangan/ tabah menunggu//. Dengan begitu, repetisi dengan dan ia menjadi bagian integral larik-larik itu, karena penyair hendak menempatkan makna ibu (ia) secara metaforis. Oleh karena itu, repetisi di sana penting dihadirkan untuk menegaskan pesan tematiknya.

Begitulah repetisi yang kerap dimanfaatkan Aspar Paturusi adalah bagian dari kesadaran penyair untuk membangun metafora yang tidak terjebak pada bentuk klise. Uraian atas dua buah puisi itu sekadar contoh, bahwa repetisi bukan sakadar melakukan perulangan pada kata-kata yang sama, tetapi hadir justru untuk menambah kualitas makna metafora yang menjadikan puisi itu sebenar-benarnya puisi.

Hal lain yang penting dibincangkan dari sejumlah besar puisi Aspar Paturusi ini adalah kemampuannya mengemas puisi dengan bahasa sederhana dan secara tekstual mudah ditangkap maknanya, tanpa perlu mengerenyitkan dahi. Jika begitu, apa lagi keistimewaan puisi-puisi pendek Aspar Paturusi yang sebagian besarnya dibangun dengan bahasa sederhana? Itulah yang dalam istilah Cleanth Brooks disebut sebagai paradoks (the language of paradox)* yaitu majas bahasa yang makna denotatif dan makna konotatifnya mempunyai kualitas yang sama. Artinya, di balik segala pilihan kata dan majas yang tampaknya sederhana itu, ada kualitas lain yang mesti ditarik ke dalam konteks sosio-kultural. Puisi itu tidak berhenti hanya pada makna tekstual (denotatif), melainkan melayang jauh pada makna kontekstual (konotatif). Di situlah kualitas puisi sering sangat ditentukan oleh kemampuan penyair melakukan pilihan kata yang maknanya mempunyai kualitas yang sama antara makna denotatif dan makna konotatif.

Kesimpulan atas perbincangan dua puisi itu adalah: Aspar Paturusi sudah sampai pada maqom-nya sebagai penyair. Ia sama sekali tidak terjebak pada usahanya merumit-rumitkan rangkaian larik-larik puisinya agar terkesan canggih. Ia juga sudah melewati jauh golongan penyair romantik yang cenderung berkutat pada pengungkapan perasaannya yang diterjang cinta dan rindu dendam murahan. Aspar Paturusi telah sampai pada apa yang dikatakan Chairil Anwar sebagai: menggali kata hingga ke putih tulang.

***

Antologi ini memuat 100 puisi yang dalam publikasinya di ruang fb kerap dikatakannya: “Dua puisi untukmu: satu lama, satu baru.” Jika begitu, diandaikan bahwa ke-100 puisi itu, separohnya adalah puisi yang boleh jadi pernah dipublikasikan di berbagai media atau yang terhimpun dalam beberapa antologi puisinya, sebagaimana dua puisi yang dibincangkan di awal. Meskipun tindak perlakuan kita atas keseluruhan puisi yang terhimpun dalam antologi ini tetap dengan sikap konservatif yang menempatkan puisi sebagai puisi, pewartaan ini setidak-tidaknya dapat pula digunakan sebagai salah satu parameter untuk melihat perkembangan capaian estetik perjalanan seorang penyair.

Salah satu karakteristik yang sekaligus menjadi style atau kekhasan model ekspresi Aspar Paturusi—selain repetisi tadi—adalah permainan bahasanya yang sederhana, terkesan biasa, bersahaja, dan sepertinya secara tekstual, dapat diapresiasi, tanpa perlu berkerut dahi. Dalam antologi ini pun, kita tidak menjumpai adanya permainan tipografi. Sangat mungkin penyair ini masih mempercayai, bahwa kekuatan puisi bukanlah terletak pada bentuk tipografi, melainkan pada kualitas bahasa puisi itu sendiri. Artinya lagi, bentuk menjadi tidak penting. Bukankah bentuk tipografi yang menyerupai gambar apa pun, tidak akan bermakna apa-apa, jika pesan tematiknya disampaikan dengan bahasa artifisial atau lebih menyerupai pengumuman atau propaganda?

Selain permainan pola repetisi yang tidak terjerembab pada pengulangan kata-kata yang sama sekadar memperpanjang bait-bait yang mubazir, sebagian besar puisi yang terhimpun dalam antologi ini sangat mengandalkan larik-larik pendek. Jika ada larik yang (mungkin dirasakan) panjang, penyair membuat enjambemen untuk menciptakan efek bunyi. Atau bahkan, bisa bermakna ganda: ia betul sebagai enjambemen—pemenggalan kalimat dalam larik puisi untuk membangun persajakan atau efek bunyi yang puitis—, tetapi bisa juga memang sebagai larik baru untuk melanjutkan larik sebelumnya dan sekaligus mendukung larik sesudahnya.

Perhatikan puisi pendeknya berikut ini:

 SEBAIT DOA

ada sebait doa
dari hening malam
bergegas
menuju Diam

meski paham
pintu tak tertutup
sebait doa,
tegak tersipu

1982

Puisi yang dibangun dalam dua bait ini, sesungguhnya bisa saja disusun sebagai berikut:

 

ada sebait doa

dari hening malam
bergegas/menuju Diam

meski paham
pintu tak tertutup
sebait doa/tegak tersipu

Bahkan, bisa juga puisi itu disusun seperti ini:

 

ada sebait doa/dari hening malam
bergegas/menuju Diam

meski paham/pintu tak tertutup
sebait doa/tegak tersipu

 

Jelas di sini, pemenggalan larik pada akhirnya tidak sekadar untuk menciptakan efek bunyi dan persajakan yang tidak jatuh pada bentuk yang konvensional. Aspar tampaknya juga hendak bersiasat agar puisinya tidak seperti pembaitan puisi yang banyak dilakukan para penyair lain: hening malam/menuju Diam atau pintu tak tertutup/tegak tersipu sebagai usaha untuk mendapatkan kesamaan bunyi akhir, melainkan hendak memberi penegasan pada tema: ada sebait doa/dari hening malam/bergegas/menuju Diam//

Penciptaan suasana doa, hening, malam, Diam adalah wilayah yang penuh sunyi, tersendat, lambat, lama, dan diam sempurna. Maka, bait pertama dan kedua yang disusun dalam empat larik itu adalah kontemplasi yang tanpa suara, khidmat, merenung pada kedalaman hati, dan pasrah sempurna menghadap atau menyampaikan sesuatu kepada-Nya. Jadi, larik pertama: ada sebait doa, tidaklah perlu buru-buru melanjutkan pembacaannya ke larik berikutnya. Di sana harus ada jeda sebagai perhentian beberapa jenak, harus ada diam sebagaimana yang terjadi di sekelilingnya dalam keadaan tidak ada gerak, kecuali suara hati. Harus tercipta pula suasana sepi ketika suara hati tak terucapkan. Di sana, tak ada gerak untuk segera selesai, sebab penyair hendak menciptakan suasana diam, sepi, khidmat, meski kata hati tak mati, lantaran ada doa hendak disampaikan.

Dengan pola pembaitan yang pendek-pendek begitu, pembacaannya bukan berarti harus diselesaikan seketika, seperti ketika kita membaca berita, tetapi justru untuk memberi ruang penghayatan kepada pembaca melakukan perenungan pada setiap kata –dalam larik itu—sebagai ajakan kontemplatif. Itulah ruang kosong yang banyak disediakan Aspar dalam sejumlah besar puisinya yang terhimpun dalam antologi ini. Dengan demikian, penciptaan suasana diam menjadi begitu terasa, begitu kuat menghadirkan segalanya menjadi sepi-sunyi-diam. Pola pembaitan itu ditegaskan lagi pada bait berikutnya. Jadi, secara struktural, puisi ini akan bermasalah jika ada satu atau dua kata yang coba dihilangkan dari sana. Setiap kata membangun kisahnya sendiri untuk menghadirkan pesan tematik. Tak ada kata mubazir di sana. Kepadatan puisi ini, sekaligus mampu menggerakkan saklar imajinasi kita (: pembaca) untuk turut merenung dan melayangkan asosiasi kita manakala kita melakukan hal yang sama: berdoa!

Bait pertama, misalnya, yang disusun dengan larik: ada sebait doa: sebuah frasa yang belum menjadi kalimat, atau sebuah kalimat yang belum selesai, lantaran tersedia ruang kosong. Secara sintaksis, bisa saja penyair menyusunnya dengan: sebait doa atau ada doa atau bisa juga dengan satu kata saja: doa. Ingat, secara sintaksis penghilangan satu atau dua kata itu tidak bermasalah, lantaran di sana ada larik berikutnya: dari hening malam. Tetapi secara semantik, penghilangan kata(-kata) itu bakal merontokkan makna keseluruhan pesan yang hendak disampaikan bait itu. Penghilangan itu juga dapat menghambat gerakan asosiasi dan saklar imajinasi kita.

Bandingkan, misalnya, frasa ada sebait doa dan sebait doa. Kata ada di sana menunjukkan sebuah perhentian; sesuatu yang tinggal, diam, tak bergerak, dan netral. Sementara frasa sebait doa menunjukkan sesuatu yang (mungkin) bergerak, berpihak, dan subjektif. Dengan begitu, penciptaan suasana yang serbabergeming, tidak bergerak hingga sampai pada titik kulminasi: menuju Diam (dengan D kapital), larik ada sebait doa terasa menjadi begitu pas, mantap, kokoh, bernas, dan padat dibandingkan dengan frasa sebait doa, meski jumlah katanya lebih sedikit. Jadi, larik yang dibangun melalui tiga kata itu: /ada/ /sebait/ /doa/ fungsional menempati posisinya masing-masing. Setiap kata pada larik /ada/ /sebait/ /doa/ di belakangnya mempunyai peristiwa sendiri dengan kualitas maknanya yang sejajar, yang sama pentingnya, dan sekaligus kokoh menempati posisinya masing-masing. Dengan demikian, tiga kata dalam larik itu hadir dengan peranannya yang saling mendukung, komplementer, dan fungsional.

Larik kedua: dari hening malam menunjukkan doa tak datang dari kehingarbingaran atau dari keriuhan, tetapi dari suasana yang sepi, diam, dan segalanya seperti berhenti seketika. Penyair tak menyebutnya dengan: dari tengah malam atau dari sepi malam. Tengah (malam) menunjukkan waktu, sepi menunjukkan diam yang belum tentu khidmat dan takzim. Itulah sebabnya, pilihan kata hening lebih muwakil—representatif. Hening menyembunyikan sepi, diam, khidmat dan takzim. Dengan begitu, pemaknaan larik pertama dan kedua tidak sekadar komplementer—saling melengkapi, tetapi juga saling mendukung. Pemaknaan larik pertama menjadi terasa sangat mendalam, menukik ke inti makna–yang dalam bahasa Chairil Anwar—hingga ke putih tulang lantaran bait kedua mendukung dan menghidupi suasana yang hendak disampaikan.

Lalu, muncul larik ketiga: bergegas! Mengapa pesan yang hendak menciptakan segalanya serbahening, tiba-tiba ada sesuatu yang bergegas, ingin segera sampai. Inilah contoh paradoks. Keinginan untuk segera sampai, bukan menuju sesuatu yang meriah, melainkan lesap pada diam sempurna yang dikatakan penyair: menuju Diam. Bergegas adalah gerak langkah cepat agar segera sampai dengan segala kesadaran, dengan segala kehati-hatian. Ini berbeda dengan tergesa-gesa atau terburu-buru yang cenderung asal segera sampai, tetapi melalaikan kehati-hatian, bahkan juga kesadaran. Tetapi mengapa bergegas menuju Diam? Itulah bahasa paradoksal. Sesuatu ingin segera sampai pada diam, dan itulah yang terjadi pada sebait doa.

Kembali kita melihat, bahwa bangunan puisi itu begitu kokoh, tak ada kata mubazir, tak  ada kata yang asal nongkrong begitu saja. Kata-kata itu jalin-menjalin membentuk sebuah ikatan yang bernama bait. Bahkan, setiap kata hadir dengan makna denotatif dan makna konotatif dengan kualitas yang sama pentingnya; makna denotatif menyampaikan pesan tekstual secara jernih, makna konotatif menyampaikan pesan kontekstual lantaran setiap kata dan urutan katanya menjelma metafora dan citraan (image) yang berhasil menghidupkan saklar asosiasi. Begitulah, secara tekstual, setiap kata menempati posisi yang tepat dalam keseluruhan bait itu, dan secara konotatif, setiap kata dan urutan kata menciptakan citraan yang kuat, metaforis, dan asosiatif.

Bait kedua menunjukkan sebuah capaian: tegak sebagai kemantapan, keteguhan, keyakinan, dan tersipu sebagai sebuah kemenangan, perolehan, sampai, berhasil. Pilihan kata tersipu dan tidak tersenyum, sekaligus menegaskan kembali kualitas kepenyairan Aspar Paturusi sebagaimana dikatakan Chairil Anwar itu: menggali kata hingga ke putih tulang. Tersipu tetap tidak beranjak pada kerendahhatian, kekhidmatan dan ketakziman; cukup dengan menunjukkan sedikit gerak bibir atau pipi; bahkan tidak juga pada kecenderungan ujub—takabur.

Begitulah, puisi pendek, kemas, padat, mudah dipahami dan tampak sederhana itu, telah berbicara sangat banyak tentang seseorang yang takzim berdoa, bersimpuh khidmat, dan pasrah—lesap dalam doa yang tidak berkepanjangan, tetapi juga tidak terlalu amat singkat (sebait). Doa tidak perlu juga disampaikan dengan cara bergemuruh, apalagi teriakan lantang (seolah-olah Tuhan, takut tak mendengar), tidak perlu juga disampaikan secara berkepanjangan, sehingga mulut berbusa-busa, lantaran segala urusan tetek- bengek dan remeh-temeh pun merasa perlu disampaikan. Doa pun hendaknya tidak disampaikan dengan sesingkat-singkatnya dan terkesan asal berdoa. Cukuplah sebait saja, yang maknanya sangat situasional, relatif, dan bergantung pada tujuan dan keperluan berdoa.

Uraian ringkas tentang puisi “Sebait Doa” yang coba ditelusuri dari aspek kebahasaannya sekadar hendak menunjukkan, bahwa kualitas puisi tidaklah semata-mata ditentukan oleh bergentayangannya metafora yang terkesan canggih, rumit, dan membuat pembacanya terpelanting lantaran tak dapat beroleh kebahagiaan menikmati puisi itu. Bagaimana mungkin dapat dipahami pesannya, jika komunikasi antara teks puisi dan apresiasi pembaca tidak terjalin dengan baik. Puisi (yang baik—dan yang sebenar-benarnya puisi) bukanlah pameran metafora yang penuh selimut dan bertabur istilah canggih, sehingga yang dapat mengetahui pesannya hanya penyairnya sendiri (dan Tuhan). Bagaimanapun juga, meski kebebasan kreasi diizinkan, teks puisi (yang baik) bukanlah lorong gelap yang di sana, pembaca dibiarkan begitu saja melepaskan diri dari ketersesatannya. Mesti ada sinyal dan tongkat pemandu yang menggiring pembaca dapat memasuki wacana puisi dengan segala rasa kepenasarannya.

Pada bagian lain, puisi juga bukanlah ingar-bingar teriakan lantang, kemarahan dan propaganda atau gelora curhat yang artifisial. Bahasa puisi adalah wacana yang pembacanya dapat menceburkan diri ke dalamnya dan sekaligus melakukan identifikasi, seolah-olah ia (: pembaca) menjadi bagian dari wacana itu.

Aspar Paturusi dalam antologi puisi ini telah berhasil mewartakan model puisi yang sebenar-benarnya puisi. Sejumlah puisi pendeknya, sebutlah puisi “Musalla Tua” atau “Badik” atau puisi lainnya dalam kumpulan ini, menempatkan diri berada pada jalur tengah di antara puisi gelap dan puisi yang terang-benderang.

***

Dalam perkembangan puisi Indonesia, sejak Chairil Anwar menghancurkan model estetik puisi Pujangga Baru, kecenderungan penyair Indonesia berjalan dalam tiga jalur utama. Pada satu sisi sengaja mengikuti jejak pemberontakan Chairil Anwar dengan coba melanjutkan dan memasang metafora dengan berbagai cantelan referensial. Sekadar menyebut beberapa: puisi-puisi Toto Sudarto Bachtiar, Dodong Djiwapradja, Saini KM, Toeti Heraty Noerhadi, bahkan Sutardji Calzoum Bachri dan Afrizal Malna, hingga ke Jamal D Rahman dan Cecep Samsul Hari, berada pada jalur ini. Bentuk pembaitan dan penciptaan metafora yang lebih berbagai adalah bagian dari usaha capaian estetik mereka. Penyair lain di luar nama-nama itu yang coba mengikuti jalur ini, tentu saja ada yang berhasil, setengah berhasil, dan sebagiannya lagi, gagal. Bahkan tak sedikit yang secara sadar terjerembab masuk jaringan epigonisme Afrizal Malna yang lalu terjebak pada konsep asal tersembunyi. Munculnya ingar-bingar kategori puisi gelap pada dasarnya dimeriahkan oleh para penyair dalam kategori ini.

Pada sisi yang lain, ada penyair yang cenderung memanfaatkan kelugasan bahasa Chairil Anwar dengan metafora yang dibangun dalam larik-larik melalui frasa atau kalimat-kalimat lengkap. Di sana usaha menjaga persajakan dan rima akhir, menjadi sesuatu yang sangat diperhatikan. Intensitas kesamaan bunyi adalah bagian yang kerap sangat dipentingkan. Pada kelompok ini, dapatlah disebutkan penandanya pada puisi-puisi Rendra, Ajip Rosidi, Taufiq Ismail, Hamid Jabbar, sampai ke Agus R Sarjono dan sejumlah penyair lain yang berada di belakangnya. Tentu saja kategorisasi yang simplitis ini masih boleh dipertanyakan kembali. Kita pun patut pula mencari jejaknya pada puisi-puisi mereka. Di luar perkara itu, tidak sedikit pula penyair yang gagal memaknai kelugasan puisi Chairil Anwar itu, sehingga teks dan konteks puisinya menjadi sebuah kisah yang terang benderang.

Berada di antara kedua sisi itu, sejumlah besar penyair lain lebih memilih berada di jalur tengah: merayakan metafora dengan frasa atau kalimat yang belum lengkap sebagai usaha memberi ruang kosong yang biar pembaca sendiri mengisi ruang kosong itu. Maka, usaha melakukan eksplorasi pada makna kata, setengahnya berada pada kata itu sendiri, sebagiannya pada konstruksi frasa atau kalimat, dan sebagiannya lagi pada asosiasi pembaca yang tergoda untuk mengisi ruang kosong itu. Capaian estetik para penyair yang berjalan pada jalur ini adalah keberhasilannya tidak jatuh pada lautan kegelapan yang lalu menjelma puisi gelap dan tidak juga tergoda pada eksplisitasi pesan-pesan hingga menyerupai berita yang terpajang di papan pengumuman. Sekadar menyebut beberapa di antaranya, dapatlah kita cermati puisi-puisi Sapardi Djoko Damono, Sitor Situmorang, Abdul Hadi WM, Acep Zamzam Noor sampai ke Joko Pinurbo.

Tentu saja, seperti telah disebutkan, simplikasi kategori ketiga jalur utama itu tidaklah sesederhana yang dibayangkan. Kadang-kala penyair merasa perlu memasuki jalur lain dan mencoba menapak di jalan itu. Jika ia merasa kerasan dan lebih nyaman, ia akan terus melanjutkan perjalanannya. Jika tidak, bisa saja ia pindah jalur dan mencari jalan lain yang lebih mewakili ekspresi kreatifnya. Bagaimanapun, perjalanan kepenyairan seseorang kadangkala sengaja menabrak-nabrak, terpeleset atau licin menghindar dan masuk jalur lain. Dinamika kepenyairan seseorang tidaklah terjadi secara linier. Kerap menciptakan benturan-benturan. Sangat mungkin penyair yang pada mulanya berada di jalur yang diyakininya pas, tiba-tiba masuk ke jalur lain melewati garis tengah. Atau, bolak-balik di antara dua jalur meski lebih sering berada di jalur tengah. Begitu juga sebaliknya. Sangat mungkin pula malah sengaja pindah jalur dan merasa nyaman berada di jalur barunya.

Mencermati puisi-puisi Aspar Paturusi, tidak pelak lagi, penyair ini secara sadar cenderung memilih berada pada jalur tengah. Maka, lihatlah repetisi pada sejumlah puisinya, tidaklah sekadar perulangan kata atau duplikasi yang memaksakan pesan, melainkan keniscayaan lantaran repetisi itu, justru bagian dari struktur pesan tematiknya. Lihat pula, puisi-puisi Aspar Paturusi yang lain yang tampak sederhana. Sejumlah besar puisi pendeknya, sebutlah, “Bait Kehidupan” atau “Musalla Tua” dibangun dalam larik-larik yang terdiri dari frasa, klausa atau kalimat yang sengaja berakhir tak selesai, menggantung, dan seperti sengaja menyediakan ruang kosong, agar pembaca tergoda mengisinya sendiri. Dalam ekspresi yang segalanya tampak sederhana itu, ada kekayaan makna terpendam pada kata atau frasa tertentu; ada ruang kosong yang sesungguhnya merupakan kekuatan sarana puitik untuk menciptakan metafora, citraan, asosiasi, bahkan juga simbolisme, sebagaimana yang dapat kita cermati pada puisinya yang berjudul “Badik”.

Dalam puisi itu, kata badik menyimpan makna yang berkaitan dengan peristiwa budaya: tentang Bugis—Makassar, tentang harga diri, bahkan tentang siri. Badik bukan sekadar senjata tajam tradisional khas Bugis, tetapi simbol marwah sebuah masyarakat etnik yang tidak mudah melalaikan tradisi, sikap budaya, semangat hidup, bahkan juga ideologi etnik. Maka, badik yang kukuh tegak dalam hati, dan tidak lagi terselip di pinggang, sesungguhnya sebuah pewartaan tentang perjalanan panjang sebuah puak; tentang dinamika sosial, perubahan paradigma, dan penyikapan pada tradisi ketika berhadapan dengan modernisme.

Aspar Paturusi dalam “Badik” adalah penyikapan seorang Bugis yang tak hendak meninggalkan tradisi dan pandangan hidup budaya etniknya, tetapi punya kesadaran visioner tentang perubahan zaman, tentang harapan masa depan puaknya yang tidak dapat menghindar dari derasnya pengaruh globalitas. Maka, konsep badik sepatutnya dimaknai dari perspektif konteks masa kini. Dengan begitu, perubahan paradigma dalam memaknai filosofi badik diyakini akan memancarkan persaudaraan (keindonesiaan) dan perseimanan sebagai khalifah di bumi. Penyikapan ini mengingatkan saya pada “Clurit Emas” D Zawawi Imron yang menerjemahkan clurit sebagai filosofi manusia Madura dalam kehidupan keindonesiaan dan dalam kehidupan kemanusiaan.

Kesederhanaan puisi-puisi Aspar Paturusi adalah capaian estetik berkenaan dengan bahasa paradoksal (the language of paradox) yang justru sering digunakan para penyair sebagai fondasi. Lihat saja puisi-puisi Sapardi Djoko Damono, Sitor Situmorang, Abdul Hadi WM atau Zawawi Imron. Kesan kebersahajaan dengan tema-tema tentang kehidupan di persekitarannya, di dalamnya tersimpan kedalaman makna dan tema subjektif tentang problem individual itu, juga sesungguhnya berbicara tentang problem manusia. Dengan demikian, kebersahajaan dan kesederhanaan tidaklah berarti deretan larik yang bermakna artifisial, letterlijk. Demikian juga, eksplorasi bahasa hingga ke putih tulang, tidak pula mesti menghadirkan metafora yang maknanya hanya diketahui tuhan dan penyairnya sendiri.

Meskipun demikian, tentu saja perkara jalur kiri, jalur kanan, atau jalur tengah adalah sikap penyair dalam melakukan pilihan yang menjadi hak mutlak penyair. Kebebasan kreatif adalah hak penuh sesiapa pun. Jadi, apa yang dilakukan Aspar Paturusi adalah juga perkara pilihan yang ternyata telah berhasil menunjukkan kualitas kepenyairannya sebagaimana yang ditekankan Chairil Anwar: menggali kata hingga ke putih tulang atau dalam bahasa Sapardi Djoko Damono: sebermula adalah kata/baru perjalanan dari kota ke kota.

Dari sedikit penyair yang mencapai keberhasilan itu, Aspar Paturusi adalah bagian dari sedikit penyair itu. Sejumlah besar puisinya yang terhimpun dalam antologi ini, selalu tersedia ruang kosong yang menggoda kita mengisinya dengan asosiasi, citraan atau sebuah dunia imajinatif yang saklarnya dihidupkan oleh larik-larik pendek, menggantung, dan menggemaskan. Jadi, puisi pendek bukanlah sekadar puisi yang dibangun oleh larik-larik satu kata atau frasa, melainkan bagaimana kata, frasa, atau kalimat yang menggantung itu menggoda pembaca seketika mengklik saklar imajinasi, asosiasi dan citraan untuk mencantelkan teks dengan dunia yang berada di luar teks. Atau, kualitas teks itu sendiri yang memaksa pembaca mencari dan menemukan konteksnya.

Meskipun sangat boleh jadi Aspar Paturusi tidak berniat menciptakan mantera, puisi-puisinya cenderung menjadi doa mantera yang menggoda. Boleh jadi begitu! Semoga begitu! ***

Bojonggede, 3/2/2011

 

* Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Kini bertugas sebagai dosen tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan.

* Cleanth Brooks, The Well Wrought Urn, New York: Harcourt Brace and Company, 1947. Periksa juga: Cleanth Brooks and Robert Penn Warren, Understanding Poetry, New York: Holt Rinehart and Winston, 1967

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler