Skip to Content

REALISME-SOSIALIS REBORN

Foto Niken Manis

REALISME-SOSIALIS REBORN

Oleh : Anjrah Lelono Broto *)

 

 

Raihan Panasonic Award 2009 oleh acara reality show ‘Termehek-Mehek’ produksi Trans TV membuktikan semakin kuatnya trend reality show yang mengangkat tema problematika sosial masyarakat, lebih-lebih yang menyentuh ranah pribadi yang sekian lama dianggap ‘tabu’ untuk diblow up ke media massa. Layaknya sebuah trend acara di media, kemiripan tema dan konteks acara pun berlomba dimunculkan, ada ‘Seandainya Aku Menjadi ...’, ‘Uang Kaget’, ‘Bedah Rumah’, ‘Orang Ketiga’, dll. Tapi sadarkah kita bahwa acara-acara tersebut membawa pesan untuk ‘peduli’ dengan lingkungan di sekitar kita? Kepedulian adalah materi esensial dalam sosialisme, sadarkah kita bahwa kita lama terperosok dalam individualisme? Sebagai sebuah hasil karya dan cipta, acara-acara tersebut masuk dalam barisan karya seni, sebuah karya seni yang terikat pada persajakan realisme-sosialis. Ya, Pramoedya. Sejenak kita akan mengenali realisme-sosialis dari Pramoedya.

 

Ada kekaguman yang diselipi dengan gangguan-gangguan menggelitik di ruang benak ketika membaca karya-karya Godfather Realisme-Sosialis Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, Kekaguman tersebut mencuat ke permukaan karena karya-karyanya secara konsisten menyanyikan requiem Humanisme dengan penuh penjiwaan dan tone yang tepat. Pramoedya sedikit mengamini pendapat Dr. Douwes Decker Setyabudi (Multatuli), penulis Max Havelaar, yang mengatakan bahwa ‘tugas manusia adalah menjadi manusia’. Melalui karya-karyanya, Pramoedya senantiasa menghadirkan sosok revolusioner, pembawa perubahan, dan penentang arus yang memberikan perlawanan terhadap situasi dan kondisi mapan yang tidak memanusiakan manusia. Perlawanan-perlawanan terhadap situasi dan kondisi yang telah mapan seperti tradisi lokal (feodalisme priyayi Jawa), tradisi import (perbedaaan kelas produk kolonialisme dan imperialisme), hierarkhi sistem pemerintahan, dll inilah yang sedikit mengganggu di dalam ruang benak. Karena apa, konsep perlawanan tersebut cenderung melahirkan paradigma anti-kemapanan dan anarkhisme.

Betapa feodalisme dalam kultur Jawa tidak memanusiakan manusia bisa dibaca dalam Bumi Manusia, yakni ketika Minke, anak Bupati yang telah belajar pengetahuan Eropa, merasa terhina sekali waktu bertemu ayahnya: "harus merangkak, berengsot seperti keong, dan menyembah seorang raja kecil yang, barangkali, buta huruf pula…." Kolonialisme juga tidak manusiawi karena, di samping sistem itu sendiri menindas dan mengisap, ia membentuk orang semacam Sa'aman (dalam Blora), yang lahir kembali akibat penindasan kolonial akhirnya dikuasai dendam sehingga menjadi jahat. Kolonialisme jugalah yang melahirkan pegawai yang korup (dalam Korupsi) dan Pangemanan, polisi pribumi yang mengontrol Minke dan gerakan kebangsaan (dalam Rumah Kaca).

Gangguan dalam ruang benak tersebut semakin menjadi-jadi ketika membaca pandangannya tentang berkesenian dan berkebudayaan. Tulisannya yang bertajuk "Realisme-Sosialis dan Sastra Indonesia" (1963), Pramoedya berseru lantang bahwa paham realisme-sosialis dan mengganyang humanisme-universal. Dalam perspektif  Pramoedya, humanisme-universal adalah humanisme individualis-borjuis yang melemahkan cita-cita revolusi karena membawakan pesimisme dan negativisme, cerminan paradigma dan opini Kapitalisme Barat yang kehilangan sapi perahannya yaitu wilayah jajahanya. Di sisi lain, realisme-sosialis berwatak optimistis dan menentang kapitalisme dan imperialisme. Statement Pramoedya yang terakhir inilah yang semakin menobatkan konsep berkesenian dan berkebudayaannya sebagai raja diraja gangguan dalam peta pemikiran pembaca karya-karyanya. Salah satu perwatakan realisme-sosialis adalah militansi ala Maxim Gorky: ‘if the enemy does not surrender, he must be destroyed’.

Militansi ala Gorky inilah yang mungkin dipakai sebagai pedoman Pramodeya ketika duduk sebagai dewan redaksi di Lentera. Hasilnya, beda persepsi dan stilistika penulisan karya sastra ditransformasikan ke ranah publik hingga melahirkan konflik-konflik yang berujung pada terali penjara. Kelompok sastrawan yang tidak seide dan seiman dengan barisannya ‘terpaksa’ berkonsolidasi dan melahirkan Manifesto Kebudayaan (Manikebu). Di akhir hayatnya, ketika Pramoedya ditanya kenapa dulu di Lentera menyerukan agar penulis yang tidak berpihak pada the perspiring and toiling masses ‘dibabat’ dan ‘tidak perlu diberikan ruang sekecil-kecilnya’, pledoinya ternyata mambu-mambu security approach dan paradoks dengan pesan humanisme yang ada di dalam karya-karyanya. Pramoedya membuat kesepakatan keberpihakan dengan penguasa, menurutnya, saat itu Soekarno sedang terancam dan negara dalam bahaya. Karena itu, seni yang tidak seiring-sejalan dengan revolusi harus ‘dibabat’.

Di sisi lain, Godftaher Realisme-Sosialis ini ternyata membawa pertimbangan-pertimbangan pribadi ke dalam intrik pemikiran berkesenian dan berkebudayaan Indonesia kala itu. Pramoedya memaparkan sebuah alasan pribadi bahwa ketika dirinya duduk di beranda Lentera, ia sangat marah pada militer dan semua yang diperalat oleh militer karena penahanan atas dirinya yang semena-mena. Dan Lentera adalah alat yang tepat dan masuk akal untuk digunakannya sebagai media balas dendam kepada ‘musuh-musuh’nya yang sekarang berbaris rapi dalam kubu Manikebu.

Tentu saja, alasan-alasan pribadi yang dilontarkan Pramoedya tersebut tidak  bisa kita simpan begitu saja di dalam laci meja kita. Namun, alangkah indahnya kalau seandainya perbedaan konsep berkesenian dan berkebudayaan antara Realisme-Sosialis (Lekra) dan Humanisme-Universal (Manikebu) tidak hanya berhenti pada ranah pribadi "oknum yang itu-itu saja". Konsep berkesenian dan berkebudayaan bukan milik Pramoedya pribadi, atau Sutan Takdir Alisyabana (STA) pribadi. Perbedaan konsep berkesenian dan berkebudayaan seyogyanya diangkat pada level diskusi teoretis. Pertarungan ini bukan melibatkan individu –sebagai pribadi- yang ada di dalamnya secara holistik, melainkan hanya berbicara tentang perbedaan yang ada di dalam tataran konsep pemikiran. Untuk menjawab kenapa realisme-sosialis membawa militansi ala Gorky dan kenapa mereka menganggap humanisme-universal dekaden, ada baiknya kita melihat perdebatan pada awal abad ini di Eropa antara realisme-sosialis dan modernisme dalam seni. Pandangan realisme-sosialis tentang humanisme-universal sejajar dengan pandangan mereka tentang seni modern.

Militansi ala Maxim Gorky sebenarnya tidak menjadi komponen mendasar dalam realisme-sosialis. Realisme-sosialis adalah bagian dari mitologi emansipasi manusia, yakni komunisme. Dalam komunisme, kemerdekaan kini dan kebebasan hari ini harus ditunda dan dikorbankan demi kemerdekaan bersama hari depan. Andrei Zhdanov, konseptor realisme-sosialis, menegaskan, sastra harus melukiskan kenyataan historis-kongkret dalam perkembangan revolusionernya demi pembentukan ideologi dan semangat sosialisme kaum buruh. Sastra harus bertendens dan optimistis. Jargon yang sering dipakai adalah ‘politik sebagai panglima’. Ketika kemudian realisme-sosialis menjadi ‘paham resmi’ komunisme, di sinilah totalisasi terjadi dan militansi Gorky berulah. Sastra yang tidak membawa pesan untuk membuang kebebasan hari ini demi kebebasan bersama di hari depan, sastra yang tidak menempatkan politik sebagai panglima bukan saja bakal tidak mendapat tempat, tapi juga dibabat.

Jauh sebelum Zhdanov, Georgy Lukacs telah mengembangkan perspektif negatif pada sastra modern produk Eropa. Lukacs menyatakan, seni haruslah melukiskan keharmonisan totalitas kenyataan yang sekarang ini mengalami fragmentasi dan tercabik-cabik akibat sistem kapitalisme. Fragmentasi itu terjadi karena dalam kapitalisme, segala aspek kehidupan mengalami reifikasi (pembendaan) sehingga hubungan antarmanusia berubah menjadi hubungan antarbenda. Realisme-sosialis dianggap oleh Lukacs mampu mencerminkan totalitas yang hilang tersebut. Sementara itu, surealisme, Dada, dan kaum avant-garde yang asyik dengan montase, keserentakan, ambiguitas, ketidakpastian, dan lebih berkutat pada medium seni ketimbang materinya. Fenomena berkesenian dan berkebudayaan seperti ini, dalam perspektif Lukacs, hanya berhenti pada realitas yang terpecah-pecah. Lukacs juga menyerang seni modern, terutama ekspresionisme Jerman, karena dianggap mengandung cetusan irasionalisme.

Perspektif bahwa seni modern membawa pesimisme dan dekadensi ternyata tidak hanya datang dari kaum realisme-sosialis. Sutan Takdir Alisyabana, sastrawan yang menjadi salah satu target serangan Pramoedya, ternyata punya pendirian yang relatif sama. Bagi Takdir, berkesenian dan berkebudayaan harus turut dalam reconstructie arbeid, kerja pembangunan dan modernisasi sosial. Seni harus punya tanggung jawab sosial. Seni tidak boleh untuk seni itu sendiri, tidak boleh individualis. Karena itu, Takdir menyerang Chairil Anwar, Picasso, Hemingway, Rimbaud, maupun Kandinsky. Bagi Takdir, seni modern memasuki tahapan yang mencemaskan karena membawa pesimisme menjadi komoditi, puisi-puisi kamar membuat kita teralienasi dari masyarakat, dan hanya merupakan letupan minim tanggung jawab serta tanpa tujuan. Seni modern di mata Takdir sama dengan pemikiran Pramoedya : mengalami dekadensi dan mengembangbiakan pesimistis.

Perspektif miring terhadap seni modern yang disuarakan Pramoedya, Lukacs, dan Takdir dikritisi sebagai pemikiran tanpa dasar bak sumurnya Arifin C. Noer. Realisme Lukacs, misalnya, dikritik oleh Brecht sebagai paparan formal dan tak historis. Lukacs menghina seni modern karena ia tidak punya kepekaan seorang seniman dan tidak banyak masuk dalam dunia puisi, lirik, atau panggung-panggung teater. Ia juga tidak sadar, klaim bahwa realisme mencerminkan kenyataan sejati (mimesis) dalam prakteknya bisa—meski tidak selalu—dimanfaatkan oleh rezim-rezim penganut totaliter, seperti Stalin, Nazi, (mungkin juga Orde Lama dan Orde Baru) yang sedang berkepentingan dengan dorongan mimesis tersebut.

Kaum realisme-sosialis juga tidak bisa mengaku sebagai satu-satunya wakil seni Marxis. Kenyataannya, banyak pendukung seni modern yang Marxis. Andre Breton, yang memelopori surealisme, Bertolt Brecht dengan teater epik, dan pelukis Diego Riviera adalah contoh Marxis yang modernis. Bahkan, Breton, Riviera, ditambah Leon Trotsky sempat membikin manifesto yang mereka tandatangani bertiga, yang isinya mengutuk rezim totaliter Uni Soviet yang mereka anggap bukan pembawa suara resmi komunisme, dan mengecam seni resmi ala Stalinisme. Artinya, antara Marxisme dan modernisme bukanlah dua kutub mazhab yang murni berseberangan. Jurang yang tercipta di antara mereka lebih dilatarbelakangi oleh individu-individu di dalamnya yang sedang mentransformasi konflik pribadi ke peta pemikiran dan sebaliknya.

Klaim realisme-sosialis bahwa seni modern adalah seni borjuis yang dekaden juga tidak meyakinkan. Seni modern justru menggempur filosofi dan tatanan kultur borjuis. Modernisme menjadi alat perlawanan terhadap dehumanisasi dalam masyarakat modern. Masyarakat modern, yang kelihatannya tertib dan makmur, sebenarnya hanyalah selubung yang menyembunyikan proses dehumanisasi akibat dominasi rasionalitas-teknis. Nah, selubung itulah yang hendak dirobek-robek oleh pemberontakan dan pengalienasian seni modern.

Padahal, dehumanisasi jenis ini justru tidak diantisipasi oleh Pramoedya. Pandangan Pram dalam tetralogi masih menunjukkan optimisme khas abad ke-19 bahwa ilmu modern dari Eropa, seperti yang dipelajari Minke, merupakan sarana pencerahan dan membawa humanisme. Kini terbukti bahwa rasionalitas yang menjadi dasar ilmu modern tersebut tidak hanya mencerahkan. Ia juga membelenggu dan melahirkan dehumanisasi.

Identifikasi realisme-sosialis sama dengan komunisme, patut kita timbang-timbang lagi. Realisme-sosialis hanya mencoba membaca realitas di lingkungan sekitar kita dan menterjemahkan humanisasi. Kenyataan bahwa ada orang di sekitar kita yang sedang mencari orang tuanya dalam ‘Termehek-Mehek’ merevitalisasi kepedulian kita terhadap mereka yang sedang menerima cobaan. Kenyataan bahwa ada orang yang berprofesi sebagai penambang pasir liar dengan piranti sederhana dalam ‘Seandainya Aku Menjadi ….’ mengingatkan kita bahwa kepedulian tidak wajib hukumnya kita transfer ke Somalia, atau Palestina. Di dekat kita, ada yang mengharapkan kepedulian kita.

 

 

***********

 

 

 

 

 BIODATA PENULIS

 _______________________

Nama  :  Anjrah Lelono Broto

Lahir  :  Jombang, 03 Juli 1979

Alamat : Dsn Jarak, Ds. Jarakkulon No.08 RT 10 RW II, Kec. Jogoroto, Kabupaten Jombang (61485) Telp. (0321) 5181694. HP. 08563461696

Pendidikan : Alumnus Jurusan Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Jombang.

Kegiatan :

-. menulis esai, cerpen, serta puisi di sejumlah media masa lokal  dan nasional (baik berbahasa Indonesia maupun berbahasa Jawa), seperti SURYA, Surabaya Pagi, Harian Umum Pelita, Banjarmasin Post, Pikiran Rakyat, Lampung Post, Wawasan, Harian Bhirawa, Radar Surabaya, Radar Mojokerto, Kabar Indonesia, Jaya Baya, Panjebar Semangat, Jurnal Sastra dan Budaya JOMBANGANA, dll.

-. Menjadi penggagas Lembaga Baca-Tulis Indonesia (LBTI), lembaga pendidikan nir laba yang berbasis peserta didik.

-.  Sekarang aktif berkesenian dan berkebudayaan di Teater Kopi Hitam Indonesia, dan menjabat sebagai Bendahara Komite Sastra Dewan Kesenian Jombang (DeKaJo),

 

 

 

KARYA-KARYA

Pribadi :

  1. Syukuran (kumpulan naskah monolog, 1998).
  2. Lelaki Terbuang (saduran naskah teater Perampok, 1998).
  3. Blossom In The Wind (saduran naskah teater, 1999).
  4. Melati di Sanggul Mama (antologi puisi, 2001)
  5. Lilih (antologi geguritan, 2004).
  6. Negeri Di Angan (antologi esay, 2008).
  7. Esem Ligan Randha Jombang (antologi geguritan, 2010).

Bersama :

  1. PESTA PENYAIR, Antologi Puisi Jatim 2010, terbitan Dewan Kesenian Jawa Timur.
  2. PASEWAKAN, Antologi Cerkak dan Geguritan, terbitan Kongres Sastra Jawa III/PSJB.

 

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler