Skip to Content

SAJAK-SAJAK RELIGIUS BAHRUM RANGKUTI

Foto SIHALOHOLISTICK

Maman S. Mahayana

Konon, puisi adalah ragam karya sastra yang dianggap paling mewakili ekspresi perasaan penyair. Bentuk ekspresi itu, mungkin saja berupa kerinduan, kegelisahan, atau pengagungan kepada kekasih, kepada alam, atau kepada Sang Khalik. Oleh karena itu, bahasa dalam puisi terasa sangat ekspresif, lebih padat, kental, dan langsung.

Jika penyair hendak mengagungkan alam, maka bahasa sebagai sarana ekspresi-nya cenderung memanfaatkan imaji-imaji atau majas dan diksi yang hendak menggambar-kan panorama keindahan alam. Sementara jika ekspresinya merupakan kegelisahan dan kerinduan kepada Sang Khalik, ia cenderung bersifat kontemplatif (perenungan) atau penyadaran akan eksistensinya dan hakikat keberadaan dirinya sebagai makhluk Tuhan. Inilah yang terjadi dalam sejumlah puisi Bahrum Rangkuti.

Bahrum Rangkuti memulai dunia kesastrawanannya lewat sebuah cerpen “Dito-long Arwah” yang dimuat majalah Pandji Poestaka (1936). Sedangkan kepenyairannya dimulai dari majalah Poedjangga Baroe (1941). Barangkali karena itulah, Linus Suryadi dalam Tonggak 1 (Gramedia, 1987) memasukkan Bahrum Rangkuti sebagai salah seorang pengarang dari periode Pujangga Baru.

Puisi awal yang ditulis Bahrum, “Rindoe” yang dimuat Poedjangga Baroe, No. 7, VIII, Januari 1941 –E.U. Kratz dan Anita K. Rustapa menyebut karya ini sebagai cerpen– mempelihatkan kerinduan aku lirik kepada sang kekasih yang berada di seberang lautan; kegelisahannya sebatas terpisahnya dua anak manusia yang sedang dirundung asmara. Puisi kedua “Basa Indonesia” yang juga dimuat Poedjangga Baroe, No. 9, VIII, Maret 1941 –yang oleh Kratz dan Rustapa disebut cerpen– mengungkapkan pengagungan aku liris pada bahasa Indonesia sebagai bahasa kepulauan Nusantara. Dalam hal ini, nada religius mulai kelihatan, meskipun masih dalam bentuk pernyataan: “Engkau lagukan alam dengan dendangmu, engkau pujikan Tuhan dengan tasbihmu!

Dalam puisi ketiga, “Tuhan” kegelisahan aku liris diejawantahkan dalam bentuk kerinduannya kepada Sang Khalik. Nada religius yang hendak diangkat terasa kental: “Hanyut aku Tuhanku/Dalam lautan kasih Mu// atau hasratnya untuk menyatu dengan Tuhan: “Tuhan, bawalah aku/Meninggi ke langit rohani …” Di sini, ada pergeseran ekspresi yang dilakukan Bahrum. Jika dalam puisi pertama, Bahrum masih menekankan hubungan antara manusia, maka dalam puisi kedua, hubungan itu antara masyarakat dan bahasa yang mempersatukannya. Jadi, ada pesan nasionalistik di sana. Dan dalam puisi ketiga, hubungan itu benar-benar masuk dalam kualitas rohani yang pengagungannya kepada Tuhan dinyatakan dengan: “Ta’ dapat kusifatkan/Suka hatiku Kasih//.

Meskipun demikian, kegelisahan dan kerinduan Bahrum pada Sang Khalik, bukanlah ekspresi seorang pencari atau seorang yang mabuk dan ingin menyatu dengan Tuhan, sebagaimana yang dirasakan Amir Hamzah. Bahrum sudah menemukan apa yang diyakininya. Akibatnya kemudian, ekspresi kerinduan atau kegelisahan itu memantul kembali dalam kehidupan. Inilah religiusitas Bahrum yang tidak dapat melepaskan dirinya dari realitas kehidupan.

Puisi “Doa Makam” adalah gambaran yang mencitrakan suasana ketika seseorang sedang berdoa di hadapan sebuah pusara orang yang dicintainya. Penekanan pada citra suasana itulah yang justru menjadikan pesan religiusnya terasa lebih kontemplatif; perlahan hilang warna hijau/dunia dan langit mengudus sunyi/kenang melayang ke alam rohani//

Dalam puisi “Insyaf” religiusitasnya justru muncul lantaran si aku liris kembali melanjutkan perjalanannya mencari kebenaran hakiki yang bermuara ada Iqbal: Insan kaca Ilahi. Jika di akhir puisi itu si aku liris menyatakan: Aku ini pengembara padang pasir/berjalan dari mata air ke mata air!// tidak pula itu berarti ia masih terus mencari. Ia sudah menemukan pada Iqbal, tetapi ia masih perlu untuk melengkapinya dengan pemikir lain dengan wawasan keislaman.

Suasana yang seperti itu justru tidak tampak pada puisi “Kembali” yang menggambarkan penyesalan si aku liris. Keluh-kesah dan penyesalan di hadapan Tuhan, seolah-olah menjadi pengakuan dosa, lantaran tidak ada perenungan di sana. “Rabbi, bawa daku ke jalan lurus/aku sudah letih dari cinta dunia, menghamba rasa …” Bagi si aku liris, tidak ada jalan lain untuk kembali, kecuali dengan pertolongan-Nya. Jika

Kontemplasi religius yang diejawantahkan dalam realitas kehidupan, digambarkan secara baik dalam dua puisi panjang “Haiyya ‘Alash Shalaah Haiyya ‘Alal Falah” dan “Miraj”. Dalam puisi yang disebut pertama, makna salat untuk menuju kemenangan, justru mestinya diwujudkan juga dalam perilaku kehidupan sosial. Doa harusnya diikuti pula dengan perbuatan, dan itu tidak terjadi pada kaum muslimin Indonesia: “Mana Mujahidin Indonesia membanting tulang/dari subuh ke isya tengah malam/ melenyap-kan dosa dan aniaya…” Dalam “Miraj” perenungan kontemplatif itu cenderung berupa abstraksi-abstraksi yang malah kurang memantulkan aspek religiusitasnya.

Sejumlah puisi Bahrum Rangkuti yang kemudian yang dimuat dalam Horison, memerplihatkan perpaduan penghayatan keagamaan dengan kepedulian sosial. Sikap religiusitasnya justru jadi bermuara pada realitas kehidupan sosial. Itulah puisi-puisi yang saya anggap mewakili sikap kepenyairan Bahrum yang religius, sekaligus juga responsif atas kehidupan di sekelilingnya.

Periksalah puisi-puisi “Lebaran di tengah Gelandangan”, “Mercon Malam Takbiran” atau “Anak Anakku”. Dalam “Lebaran di tengah Gelandangan” kontras antara harapan dan kenyataan menjadi sebuah tindakan. “Tuhan inilah persembahan kami/ Tanah, empang, kebun, dan bukit-bukit ini/ bagi mereka yang kehilangan jalan// Sementara itu, dalam “Mercon Malam Takbiran” kontras itu terjadi di malam takbiran. “berminggu minggu di taman Ilahi, nafsu dikekang/rajin mengaji. Doa dan sembah-yang malam hari// Namun, ketika perjuangan itu memperoleh kemenangan di malam takbiran, yang dilakukan bukanlah pengagungan kebesaran Allah lewat takbir, melainkan ledakan mercon!

Yang muncul dalam “Anak Anakku” lain lagi. Pesan Bahrum sesungguhnya merupakan tumpuan harapan bagi generasi bangsa ini: “Tuhan membina kalian jadi tiang tiang padu/rumah kita dirikan/bersama Khatulistiwa/wilayah pantai, pulau dan lautan// Meskipun barangkali pesan ini hendak disampaikan kepada orang-orang terten-tu, kenyataan yang terjadi di negeri ini sekarang, menjadikan puisi ini tidak lekang ditelan waktu; relevan dan kontekstual. “Resapilah ayat ayat Quran/dalam cita cita dan amal berilmu/agar Jibril datang membantu//

***

Pembicaraan ringkas mengenai puisi-puisi Bahrum Rangkuti ini, tentu saja sebatas bentuk luarnya saja. Ada banyak hal yang sesungguhnya menarik, dan pembahas-an mengenai hal-hal yang menarik itu, tidak cukup hanya dikupas sepintas lalu. Meskipun begitu, pembicaraan ini setidak-tidaknya sebagai langkah awal untuk mengupas lebih jauh karya-karya Bahrum rangkuti. Bagaimanapun juga, Bahrum dengan cara dan gayanya sendiri, telah ikut memperkaya peta perpuisian di Tanah Air.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler