Skip to Content

“SASTRA KORAN BEKAS”: PROBLEM KOMUNIKASI SASTRA DI DUNIA JURNALISTIK

Foto SIHALOHOLISTICK

Abdul Wachid B.S.*)

 

 

 

PENDAHULUAN

Syahdan, sejarah mengatakan bahwa perkembangan sastra di dunia jurnalistik seperti perkembangan dunia percetakan. Tatkala mesin cetak ditemukan tahun 1450 di Eropa, yang dicetak pertama kali justru buku, dan bukan jurnalistik. Para jurnalis saat itu justru menerbitkannya dalam bentuk tulisan tangan. Persuratkabaran dicetak barulah 150 tahun setelah mesin cetak ditemukan.[1]

Demikian pula sastra Indonesia di awal pertumbuhannya. Tatkala awal abad 20, Komisi Bacaan Rakyat didirikan oleh pemerintahan kolonial Belanda sebagai bagian dari strategi politik etis Belanda, yang banyak diterbitkan justru buku bacaan sastra. Itulah permulaan munculnya karya sastra Indonesia modern. Di saat yang sama terjadi euforia tumbuhnya kaum intelektual, dan formulasi-formulasi nasionalisme yang dihembuskan oleh kelas menengah-atas. Mereka merasa urgen untuk mensosialisasikan ide-ide nasionalisme melalui bentuk sastra, dan memanfaatkan penerbitan Komisi Bacaan Rakyat yang pada perkembangannya menjadi Balai Pustaka di sekitar tahun 1917.

Namun, karya sastra yang diluluskan dan diterbitkan oleh Balai Pustaka pada saat itu pun yang dinilai tidak membahayakan bagi kepentingan kolonialisme, “isi”-nya diseleksi agar tidak meracuni pikiran “kaum Inlander” (sebutan Belanda kepada Bumiputera). Karenanya, pada masa 1920-an-1930-an, yang kemudian kita kenal sebagai Angkatan Balai Pustaka, karya sastra “resmi” yang direstui penerbitannya melalui Balai Pustaka senafas dengan Azab dan Sengsara karya Merari Siregar, Siti Nurbayakarya Marah Rusli, Salah Asuhan, Salah Pilih, Sengsara Membawa Nikmat, dan semacamnya.

Di dalamnya, perihal penolakan atau tidaknya tradisi kawin-paksa sekalipun nadanya masih berat sebelah, yakni berakhir kepada keputusan nilai dari kaum tua (tradisionalisme). Namun demikian, itu pun sesungguhnya dapat dibaca sebagai penebaran virus nasionalisme sekalipun baru sebatas pencarian bentuk, menerima, atau menolak, bahkan mensintesakan antara Barat dan Timur. Sayangnya, editor Balai Pustaka (di pihak Belanda) tidak menyadari hal itu. Penentuan nasib sendiri terhadap dunia perkawinan pun dapat menjadi spirit penentuan nasib bangsa sendiri sehingga terbitlah fajar nasionalisme melalui Sumpah Pemuda 1928.

 

PENCARIAN NASIONALISME

Konon, Armijn Pane menulis novel adalah suatu upaya menjawab pencarian formulasi nasionalisme Indonesia tersebut, melalui roman Belenggu. Dalam Belenggu, dengan kalimat ending “Pintu kemanakah itu”[2] ingin memberikan kebebasan bahwa formulasi kebudayaan bukan semata hitam-putih, Barat atau Timur, dan bukan tergantung kepada kaum elit, atau cendekiawan belaka. Tentu saja, antara kedua hal tersebut ada baik dan buruknya sekalipun tidak dieksplisitkan, melainkan suatu pilihan untuk memasuki “pintu” itu semakin dapat dibayangkan.

Dari ilustrasi itu, tentu kesadaran budaya manusia Indonesia umumnya tatkala membaca novel-novel tersebut, di saat itu apresiasi mereka pada umumnya belum memadai. Akan tetapi, bagi sebagian elit Belanda, dihembuskannya nasionalisme dalam sastra itu dapat menjadi ancaman. Oleh karenanya, ada penolakan terhadap sastra yang tidak segaris dengan “estetisme” versi Balai Pustaka, seperti kepada Student Hijau karya Mas Marco Kartodikromo, yang dinilai terlampau menghasut, dan “kiri”.

Di samping itu, persoalan teknis bahwa teknologi cetak masih langka untuk persuratkabaran, karenanya menjadikan penyebaran sastra tidak melaluinya di awal abad 20, bahkan justru melalui buku (“sastra buku”). Hal itu sebab persuratkabaran menjadikan kian cemasnya kolonial Belanda akan kian cepatnya ke-melek-hurup-an bangsa di Nusantara ini. Bukankah harga koran lebih murah karena dicetak dengan kertas merang itu, karenanya akan lebih dapat dicetak secara meluas jika berbagai informasi dicetak melalui persuratkabaran? Karena rakyat belum melek-huruf, maka pilihan sosialisasi sastra justru melalui jalur buku, hal yang perlu dimanfaatkan mumpung ada kebijakan pengembangan bacaan rakyat oleh pemerintah Hindia Belanda. Dengan begitu, sekalipun rakyat baru paham di permukaan soal penolakan kawin-paksa, namun setidaknya spirit nasionalisme itu dapat dihembuskan lewat seruan kemandirian di saat menyikapi kawin-paksa melalui novel-novel atau roman.

 

SASTRA MAJALAH

Kita membuka lembaran sejarah sastra, pada masa bersamaan dengan Angkatan Balai Pustaka, bukankah cerita bersambung yang berkembang di kalangan sejumlah majalah, justru dicap sebagai bacaan liar? Sebagaimana hal itu terjadi kepada beberapa penulis roman dari Medan, demikian ungkap Subagio Sastrowardoyo dalam bukunya Sosok Pengarang Modern sebagai Manusia Perbatasan.[3]

Barulah kemudian, tradisi mempublikasikan sastra melalui majalah (“sastra majalah”) itu berlangsung pada masa (majalah) Pujangga Baru, bersamaan terjadinya dengan polemik kebudayaan secara berkepanjangan (1932-1939), antara kubu Sutan Takdir Alisyahbana yang menolak jahiliah Indonesia, dan kubu Sanusi Pane yang merasa perlu berkiblat kepada India sebagai induk kebudayaan Timur. Pada masa Pujangga Baru ini ekspresi sastra lebih didominasi oleh sajak-sajak, dan dimuat di majalah Pujangga Baru.[4]

Sejak masa (majalah) Pujangga Baru itulah, sastra beranjak dari “sastra buku” kepada “sastra majalah”. Demikian pula dengan munculnya Surat Kepercayaan Gelanggang sebagai manifesto dari Angkatan ‘45 oleh Chairil Anwar bersama dengan “Tiga Menguak Takdir” (Rifai Apin dan Asrul Sani) di majalah Gelanggang. Di tahun 1940-1950-an ini majalah umum yang membuka rubrik budaya secara popular mulai merebak, seperti majalah Pancaraya yang banyak memuat sajak Chairil Anwar.

Hal tersebut memungkinkan sebab kemerdekaan Indonesia sehingga kiblat sastra Indonesia tidak hanya ke Belanda, melainkan ke banyak negara Eropa lain, dan Amerika. Simak saja pengaruh perpuisian Chairil Anwar di antaranya dari T.S. Eliot (Inggris), Hsu Chih Mo (China), dan seterusnya. Di samping itu, informasi juga kian transparan, seirama “politik mercusuar” Soekarno.

Pada dekade 1960-an, tatkala terjadi penajaman polemik ideologi antara kubu LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dan Manikebuis, majalah Sastra yang diredakturi H.B. Jassin, itu telah mati, dan berganti dengan munculnya majalah Horison. Pada edisi perdana Horison itulah kaum Manikebuis melakukan pernyataan sikap politik kebudayaan melalui Manifes Kebudayaan-nya sehingga menjadikan ketersinggungan kelompok LEKRA yang dipayungi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada masa itu “sastra majalah” justru dominan, sampai-sampai Subagio Sastrowardoyo menasbihkan lahirnya Generasi Horison.[5]

Tentu saja, ada beberapa kesamaan antara “sastra majalah” dan “sastra buku”. Secara teknis, buku dan majalah hampir sama, yakni menyediakan ruang yang lumayan lapang. Dampak dari media ini, pada masa “sastra buku” maupun masa “sastra majalah” dalam hal ekspresi memungkinkan penulisan berpanjang-panjang. Tidak mengherankan jika pada dekade Balai Pustaka maupun Pujangga Baru, sastra yang merebak ialah roman atau novel.

Pada saat munculnya tradisi majalah, kita juga dapat menjumpai berkembangnya satu genre sastra yaitu cerita pendek. Simak saja prosa yang dominan dan monumental pada masa Angkatan ‘45, seperti “Corat-coret di Bawah Tanah” yang dikumpulkan dalam Dari Ave Mariasampai Jalan Lain ke Romakarya Idrus, bentukan cerpen itu justru banyak dipakai.[6]

Majalah, setidaknya mempuyai keterbatasan halaman, tidak seperti halnya buku. Di samping itu, sifat majalah yang informatif, serius, namun dengan penyampaian ringan, sifatnya “news”, setidaknya terbit satu kali dalam seminggu. Hal itu berpengaruh kepada sastra yang hidup di dalamnya, sifat-sifat dari majalah itu berpengaruh kepada karakter teknis maupun “isi” dari sastra. Oleh karenanya, kita melihat bahwa cerpen-cerpen Idrus berbicara soal penderitaan hidup yang diakibatkan oleh romushaJepang, terombang-ambingnya hidup olehnasionalisme semu, dan aktualitas serupa pada saat itu.

Ada fenomena sehubungan dengan “sastra majalah” ini, kita menjumpai eksplorasi estetika sastra, dan sastra yang demikian banyak dimuat di majalah sastra Horison. Akan tetapi, hal serupa tidak kita jumpai pada majalah umum. Karya eksperimentasi, seperti puisi-mantra Sutardji Calzoum Bachri, cerpen-puitis Danarto, cerpen-surealisme Iwan Simatupang, puisi-multilingual Darmanto Jatman, puisi imajisme Sapardi Djoko Damono, dan eksperimentasi lainnya, dimuat di majalah sastra Horison. Hal ini diakibatkan bahwa pembaca Horisonmemang pembaca yang sudah siap dengan sastra, namun tidak demikian dengan pembaca majalah umum.

Akan tetapi, di surat kabar harian Rakyat yang menjadi corong Partai Komunis Indonesia (PKI), melalui rubrik “Lentera”-nya juga sibuk dengan tangkisan, ejekan, bahkan provokasi Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA). Di samping itu, mereka menasbihkan aliran sastra baru yang menurutnya sejalan dengan “revolusi Bung Karno” yaitu sastra realisme sosial, sebagai tandingan terhadap Manikebuis lawan politiknya. Sejak saat itulah bahasa sastra menjadi “saling menyelinap” di antara bahasa jurnalistik. Dari sinilah, kita boleh menandai bahwa koran menyediakan diri bagi wacana sastra.

 

REALITAS DAN HEGEMONI

Apakah dengan koran menyediakan diri bagi wacana sastra, dengan demikian timbal-baliknya bahwa sifat-sifat koran akan mempengaruhi “bentuk” dan “isi” wacana sastra? Ada perbedaan sekaligus kesamaan antara sastra dan jurnalistik. Dari segi objek, boleh jadisama, yakni realitas, manusia, maupun realitas alam semesta, yang pada pokoknya ialah kehidupan. Hanya saja, pada saat memposisikan dan mempersepsikan realitas itulah yang kemudian di antara keduanya memiliki sudut pandang yang berbeda. Tidak setiap realitas bagi seorang jurnalis dapat dituliskan, misalkan melihat sekadar wanita semok lantas membuat tulisan jurnalistik. Pernah diungkapkan oleh jurnalis Soendoro (1915-1981), “Wanita cantik an sich tidaklah newsworthy.”[7]

Namun, seorang sastrawan melihat objek yang sama, boleh jadi, terinspirasi kepada kenyataan dunia tentang nilai-nilai wanita. Masalahnya, sastra tidak sekadar menghadirkan realitas secara telanjang, melainkan memerlukan imajinasi. Imajinasi memiliki karakteristik, itulah pasalnya yang kemudian menghubungkan dengan gaya personal kebahasaan seseorang sehingga kita menjadi makfum, “Oh, ini stylepuisi Goenawan Mohamad. Oh, ini gaya novel Ayu Utami…”

Sekalipun pada seorang jurnalis, yang disebut hinggapnya inspirasi juga mirip dengan yang terjadi pada sastrawan. Akan tetapi, inspirasi bagi seorang jurnalis ialah hasrat untuk mengusut persoalan sesuai dengan fakta. Semantara itu, inspirasi bagi sastrawan mendorong untuk mencipta, ispirasi itu boleh jadi hanya berposisi sebagai rangsangan belaka. Oleh karenanya, Teguh Winarsho AS, cerpenis dan novelis asal Kulonprogo-Yogyakarta, tatkala akan menyelesaikan novelnya, Orang-orang Bertopeng, penulis bertanya, “Ini nanti bagaimana ending-nya?” “Nggak tahu…,” jawabnya sembari tersenyum.

Berhubungan dengan realitas itu, ada hasrat sastrawan untuk “mengabadikan” sesuatu ke dalam bahasa sastra, bukan sekadar dokumentatif layaknya klipingan koran, melainkan karya sastra itu setiap saat memiliki makna yang berdimensi baru, sesuai perkembangan wawasan pembaca. Kita membaca The Prophetkarya Kahlil Gibran, tidak akan bosan-bosan, selalu ada makna baru yang terengkuh. Sementara itu, hasil pekerjaan jurnalistik sangat dipengaruhi oleh news, dan validitas berita. Surat-kabar merupakan hasrat mengetahui berita dalam 24 jam. Bahkan, di London, setiap sehari untuk koran yang sama dapat terbit sampai 4-5 kali.

Oleh karena berhubungan dengan news, karenanya tidak salah jika selera publik mempengaruhi jurnalistik, “Give the news the public wants” sebab jika kalah cepat, maka kalah tepat penyampaian beritanya, jauh dari aktualitas yang diminati publik, atau berubahnya bidikan segmen realitas, dan akan ditinggalkan pembacanya. Karenanya, tatkala suatu surat-kabar Mingguan (Minggu Pagi), yang berjargon “Enteng Berisi”, mencoba-coba memetamorfosis diri sebagai Mingguan berita politik, maka kontan saja oplag-nya turun drastis. Sementara itu, sastrawan memilikikemerdekaan dari sekadar pemenuhan selera publik, seperti halnya jargon “l’art pour l’art”.

 

GAYA HIDUP DAN MIKROFON

Namun demikian, tatkala industrialisasi kebudayaan kian merebak, dan kapitalisme mulai dipoles dan diterapkan oleh rejim Orde Baru, ekonomi dan pembangunan adalah panglima, senyampang dengan hal itu karena proses alamiah industrialisasi maka jurnalistik tambah hidup. Bersamaan itu, adanya kebutuhan gaya-hidup modernis akan informasi oleh kelas menengah-atas, karenanya koran kian menjamur. Harian, aktual, bermacam berita, warna-warni, iklan, abrakadabra berita selebritis, yang semua itu dibentuk oleh kapitalisme-semu. Di samping itu, tentu saja harga kertas merang memang lebih murah sehingga koran menjangkau seluruh strata ekonomi masyarakat.

“Dunia modern adalah dunia citra,” demikianlah yang diyakini oleh Amir Yasraf Piliang dalam Sebuah Dunia yang Dilipat,[8] dan koranlah yang mewadahi dunia tersebut. Oleh karenanya, sastra, film, musik, teater, dunia seni juga ditempatkan seagai bagian dari gaya-hidup. Karenanya pula, mau tidak mau, sastra menjadi bagian dari gaya-hidup, ekspresi budaya dari “orang-ramai” (terimakasih Afrizal Malna atas istilah ini) sekaligus mengikut pola-pola aktualitas, news, dunia 24 jam; di samping itu juga terbatasnya ruang budaya.

Media massa secara luas pun bagian dari gaya hidup, karenanya rejim Orde Baru perlu membangun keberhasilan citra pembangunannya ke dalam berbagai elemen pendukung gaya-hidup. Dibuatlah saluran Televisi Republik Indonesia (TVRI) sebab dijadikan bagian mikrofon dari gaya-hidup. Sarana-sarana informasi sebisa mungkin menjadi corong dari keberhasilan pemerintah untuk membentuk gaya hidup manusia Indonesia yang modern. Sarana informasi bukan untuk informasi itu sendiri, bukan demi pemaparan fakta-fakta. Setiap terjadi laporan yang menjelaskan fakta, pengungkapan borok Busang, Freeport, tragedi Dilli, Aceh, Ambon, Papua, justru dilakukan pembredelan oleh pemerintah Orde Baru. Hal itulah yang terjadi pada majalah Jakarta-Jakarta(JJ) melalui laporannya tentang “Insiden Dilli” 12 November 1991; juga kepada Tempo, Editor, Detik, dan banyak lagi lainnya.

Departemen Penerangan menjadi tentakel untuk menyebarkan berita versi pemerintah, dan melakukan kontrol secara ketat kepada siapapun yang dinilai berseberangan versi beritanya atas realitas, hal ini dengan mengalamatkan tuduhan sebagai provokasi komunisme.

 

SASTRA JURNALISTIK

Pengaruh jurnalistik, semula hanya sebatas pada aktualitas dan terbatasnya ruang sastra di koran sehingga mempengaruhi panjang-pendeknya cerpen, puisi, dan kritik sastra. Tetapi, tersebab hegemoni negara ke setiap lini, tak terkecuali pers, kemudian sastra memposisikan diri terlibat dalam persoalan sosialnya, karenanya Ariel Heryanto dan Arief Budiman mentahbiskan “sastra kontekstual”. Hal itu sebab jurnalistik telah dimusnahkan hakikat ke-pers-annya oleh rejim Orde Baru. Sampai-sampai Seno Gumira Ajidarma menulis cerpen dalam buku Saksi Mata[9] sebab merasa bahwa fakta insiden Dilli 1991 itu tidak mungkin dia tulis di majalah Jakarta-Jakarta. Majalah yang dia kelola itu dipermasalahkan oleh pemerintah Orde Baru sebab memuat berita foto-foto peristiwa Dilli itu.

Dengan begitu, pers melakukan eufemisasi atas realitas sedemikian rupa sehingga tidak terancam oleh Departemen Penerangan, dengan pencabutan SIUPP dan SIT-nya. Semantara itu, sastra menggantikan posisi pers, untuk melakukan pembocoran fakta. Hal itu terjadi di sepanjang tahun 1974-1998, dari peristiwa Malari, sampai runtuhnya rejim Jendral Besar Soeharto.

Sastrawan hidup di dalam realitas yang sama dirasakan oleh manusia Indonesia pada saat itu, di bawah penindasan struktural sampai kultural oleh negara, karenanya realitas menjadi sedemikian dekat bagi sastrawan. Peran jurnalistik yang tak sepenuhnya dapat mengungkap fakta itu, kemudian diperankan oleh sastra. Hal ini dapat berhasil sebab antara jurnalis dan sastrawan sama-sama menyentuh realitas yang sama. Peran tersebut dapat selamat sebab sentimen negara terhadap sastra hanya sebatas kepada perilaku ideologi sastrawan, misalnya Pramoedya Ananta Toer dibredel karyanya lebih disebabkan bahwa dia seorang LEKRA-is. Jadi, negara sebenarnya tidak cukup cerdas membaca fenomena di dalam sastra.

Simaklah karya sastra di sepanjang tahun itu, tema-tema pelecehan Hak Asasi Manusia sedemikian merebak. Tentu saja, fenomena tersebut bukan pada karya sastra yang dicipta dalam situasi 1960-an atau sebelumnya, yang kemudian baru diterbitkan di tahun 1970-an. Namun, sastra yang ditulis dalam situasi peristiwa di sepanjang tahun 1970-1990-an, dan diterbitkan di tahun 1980 sampai tahun 2000. Kita akan merasakan suasana represif itu tatkala membaca karya sastra berikut, dari buku puisi Bulan Tertusuk Lalang (1982) karya D. Zawawi Imron, Abad yang Berlari (1984) karya Afrizal Malna, Para Peziarah (1985) karya Soni Farid Maulana, Nikah Ilalang (1995) karya Dorothea Rosa Herliany, Celana (1999) karya Joko Pinurbo, Sumpah WTS karya F. Rahardi, Yang Maha Syahwat (1997) karya Mathori A. Elwa; juga pada puisi Eka Budianta, puisi Kriapur, dan banyak lagi lainnya. Dari sisi cerpen, kita menjumpai hal yang sama pada Kali Mati (1999), Kastil Angin Menderu (2000), dan Air Kaldera (2000) karya Joni Ariadinata, Penembak Misterius karya Seno Gumira Ajidarma, Yang Terhormat Presiden karya Agus Noor, dan banyak lagi lainnya. Dari sisi novel, ada Saman karya Ayu Utami, dan banyak lagi lainnya. Karya sastra yang disebutkan ini, tentu hanya sedikit contoh saja.

Pada konteks itu, sastra mempunyai andil dalam memotret fakta yang tak tersentuh oleh pers. Hal itu dapat terjadi sebab sastrawan di masa rejim Soeharto ikut merasakan realitas yang represif sehingga sentuhan sastrawan terhadap realitas tidak terkesan klise. Ada senasib sependeritaan antar-elemen yang hidup dalam masyarakat di bawah rejim Orde Baru pada saat itu.

Dengan begitu, jurnalistik menjadi formula bentuk maupun pikiran dari ekspresi sastra. Realitas memang mengalami sublimasi, tetapi idiom yang diangkut dari realitas itu masih dapat dikenali sehingga membaca sastra merupakan alternatif cara menyadap fakta yang dicecerkan oleh “Dunia dalam Berita” (siaran berita resmi versi pemerintah rejim Orde Baru). Tentu saja, setiap sastra yang baik tidak lepas dari nilai universalitas, seperti religiositas, humanisme universal, dan semacamnya, dan hal itu di dalam sastra yang dipengaruhi oleh jurnalistik sekali lagi tidak hadir telanjang-bulat.

 

PENUTUP: SASTRA KORAN BEKAS

Akan tetapi, tatkala rezim Orde Baru telah runtuh, maka nilai kemanusiaan, dan hak-hak sipil untuk mengaktualisasikan diri, berpolitik, yang semula dipasung, menjadi terbuka. Sementara itu, sastrawan tidak lagi dapat sepenuhnya melakukan kontak langsung dengan pembantaian di Aceh, Maluku, Papua, Sampit, Madura, hiruk-pikuk partai politik dan parlemen, Bruneigate, Buloggate, dan semacamnya. Sastrawan kalah dalam hal kecepatan memperoleh informasi dibanding dengan jurnalis. Padahal, realitas yang maunya digarap juga sama. Karenanya, sastrawan kini terkesan lamban, formula-formulanya klise sebab menyontek informasi dari jurnalistik, yang kemudian dibahasakan di dalam sastra juga dengan perspektif sama, perspektif jurnalistik. Karenanya pula, nilai-nilai yang dibangun sastrawan terkesan abstrak sebab memang tidak bersentuhan langsung terhadap kehidupan di sekelilingnya.

Rasakan saja, jika kita membaca sajak-sajak “Peduli Bangsa” yang belakangan ini merebak di banyak koran; sebab peran pembocoran fakta itu kini dengan lebih baik diperankan oleh pers, karenanya jika sastra memilih formula yang masih sama dengan pers yaitu formula jurnalistik, maka sastra hanya akan jadi“sastra koran bekas”.

Pada hemat penulis, jurnalistik tetap penting bagi perkembangan sastra di Indonesia, tetapi formula jurnalistik telah waktunya ditawar oleh sastra. Dengan begitu, sastra akan menarik “orang-ramai”, dengan kembali melakukan sublimasi, dengan jalan (antara lain) mentransendensikan persoalan-persoalan manusia dari pandangan “orang-ramai”, kepada Jati-Diri Manusia.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Ajidarma, Seno Gumira. 1994. Saksi Mata. Yogyakarta: Bentang.

Idrus. 1989. Corat-coret di Bawah Tanah, dalam Dari Ave Maria sampai Jalan Lain ke Roma. Jakarta: Balai Pustaka, Cet. VIII.

Pane, Armijn. 1988. Belenggu. Jakarta: Balai Pustaka, Cet. XIII.

Piliang, Yasraf. 1999. Sebuah Dunia yang Dilipat. Bandung: Mizan.

Sastrowardoyo, Subagio. 1972. Bakat Alam dan Intelektualisme. Jakarta: Balai Pustaka.

----------------. 1989. Sosok Pengarang Modern sebagai Manusia Perbatasan. Jakarta: Balai Pustaka.

Soendoro, “Pers dan Kesusastraan”, dalam Sejumlah Masalah Sastra, Ed. Satyagraha Hoerip (Jakarta: Sinar Harapan, edisi revisi, 1982), hal. 58-59.

Wachid B.S., Abdul. 2002. Religiositas Alam: dari Surealisme ke Spiritualisme D. Zawawi Imron. Yogyakarta: Gama Media.

 

[1] Bandingkan dengan artikel Soendoro, “Pers dan Kesusastraan”, dalam Sejumlah Masalah Sastra, (Ed.) Satyagraha Hoerip (Jakarta: Sinar Harapan, edisi revisi, 1982), hal. 58-59

[2] Armijn Pane, Belenggu (Jakarta: Balai Pustaka, Cet. XIII, 1988), hal. 164.

[3] Subagio Sastrowardoyo, Sosok Pengarang Modern sebagai Manusia Perbatasan (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hal. 67-85.

[4] Bandingkan dengan penelitian Abdul Wachid B.S., Religiositas Alam: dari Surealisme ke Spiritualisme D. Zawawi Imron (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hal. 35-44.

[5] Subagio Sastrowardoyo, Bakat Alam dan Intelektualisme (Jakarta: Balai Pustka, 1972).

[6] Idrus,Corat-coret di Bawah Tanah, dalam Dari Ave Maria sampai Jalan Lain ke Roma (Jakarta: Balai Pustaka, Cet. VIII, 1989), hal.77-108.

[7] Soendoro, dalam Sejumlah Masalah Sastra, hal. 48.

[8] Yasraf Piliang, Sebuah Dunia yang Dilipat (Bandung: Mizan, 1999).

[9] Seno Gumira Ajidarma, Saksi Mata (Yogyakarta: Bentang, 1994).


*) Penulis adalah Magister Humaniora (M.Hum.). Dia lulus S-1 Jur. Bahasa dan Sastra Indonesia, dan lulus S-2 untuk Prodi yang sama di UGM. Kini dia menjadi dosen tetap di Jur. Komunikasi (Dakwah) STAIN Purwokerto. Tulisan ini dikutip dari JURNAL DAKWAH DAN KOMUNIKASI; Jurusan Dakwah STAIN Purwokerto KOMUNIKA ISSN: 1978-126 Vol.2 No.2 Jul-Des 2008 pp.194-203.

Dikutip sesuai perubahan.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler