Skip to Content

SASTRA SUFI MELAYU DAN GEMANYA DALAM SASTRA MODERN INDONESIA

Foto SIHALOHOLISTICK

Oleh: Abdul Hadi W. M.

Kamis, 05 Mei 2011 19:37

 

Sastra Sufi merupakan bagian penting dari keseluruhan khazanah intelektual Islam, baik di Dunia Arab, Persia, Melayu Nusantara dan lain-lain. Ia juga merupakan salah satu dari warisan peradaban Islam yang relevan dan diminati hingga sekarang. Namun selama beberapa puluh tahun, khususnya di Indonesia, khazanahnya yang kaya itu telah diabaikan oleh kaum terpelajar Muslim dan jarang dijadikan bahan kajian oleh sarjana-sarjana sastra. Akan tetapi bersamaan dengan tumbuhnya kembali minat terhadap tasawuf dewasa ini, tumbuh pula minat untuk meneliti  teks-teks tasawuf dan wacana sastra sufi di Asia maupun Eropa serta Amerika. Sebelumnya, selama lebih kurang tiga dasawarsa (sejak 1970an) telah muncul kecenderungan sufistik atau kesufian dalam penulisan karya sastra. Ini tampak misalnya dalam karya penulis terkemuka seperti Danarto, Kuntowijoyo, Sutardji Calzoum Bachri, Taufiq Ismail,  Hamid Jabbar, Emha Ainunnadjib, Ahmadun Y Herfanda, Jamal D. Rahman, Ajamuddin Tifani, Juftazani, Acep Zamzam Noor, dan banyak lagi penulis yang lain.

Tentu saja saya tidak ingin terburu-buru  menyebut mereka sebagai sufi atau penganut ajaran tasawuf tertentu seperti Sunan Bonang, Hamzah Fansuri, Syekh Yusuf Makassari,  Raja Ali Haji dan K. H. Hasan Mustafa. Namun dengan tampaknya jejak estetik dan pandangan sufi dalam karya penulis-penulis Indonesia mutakhir itu menunjukkan bahwa sastra sufi masih wujud dan relevan sebagai sumber rujukan atau ilham penciptaan sastra modern.

Secara umum karya penulis sufi mengungkapkan jenis-jenis pengalaman kerohanian seorang sufi dalam perjalanan mereka mencari kebenaran, atau keadaan-keadaan jiwa yang mereka alami dalam menempuh jalan kerohanian di jalan tasawuf atau cinta ilahi. Dalam setiap tahapan perjalanan rohani atau pencariannya itu seorang penulis berikhtiar menafsirkan makna keadaan jiwa dan peristiwa-peristiwa batin yang mereka alami, serta kemudian berusaha mengungkapkan pemahaman dan penafsirannya dalam ungkapan estetik sastra.  Ungkapan estetik mereka penuh dengan tamsil dan perumpamaan yang simbolik dan imaginatif.

Tamsil-tamsil atau perumpamaan-perumpamaan yang dijadikan sarana untuk mengungkapkan gagasan atau pengalaman kesufian mereka itu ada yang diambil dari al-Qur`an atau kisah-kisah dalam al-Qur`an, ada yang diambil dari sejarah zaman Islam dan pra-Islam, ada yang diambil dari cerita rakyat, budaya lokal dan peristiwa semasa yang penting. Ada pula yang diangkat dari alam lingkungan sekitarnya dan kehidupan sehari-hari masyarakat.  Karena ilham penulisan sastra sufi dan bangunan estetikanya didasarkan pada kandungan falsafah perenial Islam yang universal – terutama gagasan cinta (`isyq dan mahabbah), makrifat, iman, penglihatan rohani, hakikat manusia sebagai khalifah Allah di bumi dan hamba-Nya, akibat-akibat buruk cinta berlebihan pada dunia dan gagasan lain – maka tak mengherankan apabila pesan moral dan kerohanian penulis sufi senantiasa relevan dan melampaui zamannya. Kehampaan rohani yang dirasakan manusia modern akibat tekanan peradaban dan kebudayaan material, membuat sastra sufi kian relevan di mata beberapa penulis yang telah karib dengan tasawuf.

Tulisan ini bertujuan antara lain membahas kesinambungan sastra sufi Melayu, khususnya kepenyairan Hamzah Fansuri, dalam sastra Indonesia modern. Yang hendak dibahas terutama ialah kesinambungan wawasan estetiknya sebagaimana tampak dalam karya beberapa penulis Indonesia 1930an dan 1970an – dua periode penting dalam sejarah sastra Indonesia modern, ketika sastra sufi  merupakan bacaan dan rujukan penting sebagian penulis Indonesia terkemuka.

 

ROMANTISME SUFISTIK PUJANGGA BARU

Telah sering dikemukakan bahwa Pujangga Baru sebagai gerakan sastra modern yang muncul pada dasawarsa 1930an dipengaruhi oleh aliran romantisme yang berkembang pada abad ke-19 di Negeri Belanda dan Inggris. Namun para penulis sering mengabaikan hubungan romantisme Inggeris dengan gerakan pemikiran lain yang tumbuh pada waktu itu seperti transendentalisme dan mistisisme. Seperti kaum transendentalis dan mistik, kaum romantik percaya kepada pengaruh alam adikodrati terhadap kehidupan manusia, dan berusaha mendapatkan ilham penciptaan dari kekuatan adikodrati melalui sarana intuisi dan imajinasi. Ini terlihat dalam gagasan dan karya penyair romantik Inggeris terkemuka seperti Coleridge, Wordsworth, P. B. Shelley dan lain-lain.

Di Indonesia gerakan romantik muncul bersamaan dengan bangkitnya semangat kebangsaan dan hasrat memadukan semangat kebudayaan Barat modern yang individualistis dan semangat kebudayaan Timur yang religius dan spiritualistis. Romantisme modern lantas bertemu dengan tradisi sastra mistik dan sastra sufi yang telah berakar lama dalam budaya masyarakat Nusantara. Bukan pula suatu kebetulan apabila pertemuan Timur Barat tersebut nampak dalam karya dua penulis Pujangga Baru terkemuka, Sanusi Pane dan Amir Hamzah.

Sanusi Pane, penyair kelahiran Muara Sipongi di Sumatera Utara pada tahun 1908, adalah  seorang ahli sejarah dan falsafah Timur. Dalam karangan-karangannya ia mengakui bahwa pengaruh romantisme Belanda (Tachtigers) baru terjadi kemudian setelah dia membaca karya-karya Rumi dan ahli-ahli mistik India. Beberapa sajaknya dan wawasan estetik yang melatari sajak-sajaknya,  misalnya pendapatnya yang menyatakan bahwa puisi merupakan “Gerakan sukma yang mengalir ke indah kata”, ternyata memiliki hubungan batin yang erat dengan puisi penulis Sufi seperti Jalaluddin Rumi dan Hamzah Fansuri.

Sebagaimana dikatakan Teeuw (1994) pernyataan tersebut merupakan awal dari munculnya gerakan sastra yang mengutamakan individualitas dalam penciptaan, suatu pernyataan yang kemudian lebih ditegaskan lagi oleh Chairil Anwar pada tahun 1940an. Namun Teeuw juga menegaskan bahwa pernyataan semacam itu telah didahului oleh Hamzah Fansuri tiga abad sebelumnya pada abad ke-16 M. Dalam setiap bait penutup ikat-ikatan syairnya Hamzah Fansuri senantiasa menekankan bahwa semua yang diungkapkan dalam syairnya merupakan pengalaman pribadinya. Misalnya sebagaimana  dalam  beberapa  bait penutup sajaknya berikut ini:

 

Hamzah  miskin hina dan karam

Bermain mata dengan Rabb al`alam

Selamnya sangat terlalu karam

Seperti mayat sudah tertanam

 

(Ikat-ikatan III Ms. Jak. Mal. 83)

 

Hamzah Fansuri anak dagang

Melenyapkan dirinya tiada sayang

Jika berenang tidak berbatang

Jika berlabuh pada tempat tiada berkarang

 

(Ikat-ikatan VII Ms. Jak. Mal. 83)

 

Hamzah `uzlat di dalam tubuh

Ronanya habis sekalian luruh

Zahir dan batin menjadi suluh

Olehnya itu tiada bermusuh

 

(Ikat-ikatan XVIII Ms. Jak. Mal. 83)

 

Bagi penulis sufi puisi merupakan tangga naik menuju pengalaman transendental. Agar tercapai maka peralatan-peralatan dari ungkapan puitik seperti citraan, tamsil dan metafora dijadikan simbol yang memuat gagasan kerohanian melalui cara tertentu, misalnya meletakkan penanda kesufian tertentu seperti ’anak dagang’ atau istilah teknis tasawuf atau agama seperti Rabb al-`Alam dan lain-lain.

Salah satu tema yang disukai penyair Sufi ialah tema ’pencarian hakekat diri yang batin, universal dan tidak berjejak di mana pun selain dalam wujud diri manusia yang terdalam’. Sajak Sanusi Pane ”Mencari” menunjukkan kepada kita bahwa puisi merupakan sarana atau tangga naik menuju pengalaman transendental, walaupun menggunakan ungkapan-ungkapan yang diambil dari perjalanan lahir. Sajak tersebut juga memiliki kaitan dengan tema ’pencarian hakekat diri batin manusia’ yang digemari para penulis Sufi. Sanusi Pane menulis:

 

Aku mencari

Di kebun India

Aku pesiar

Di taman Yunani

Aku berjalan

Di tanah Roma

Aku mengembara

Di benua Barat

 

Segala buku

Perpustakaan dunia

Sudah kubaca

Segala filsafat

Sudah kuperiksa

 

Akhirnya `kusampai

Ke dalam taman

Hati sendiri

Di sana Bahagia

Sudah lama

Menanti daku

 

(Madah Kelana 45).

 

Pencarian dalam sajak tersebut tidak berbeda dengan yang diungkapkan Jalaluddin Rumi dalam sebuah sajaknya yang terkenal. Dikatakan dalam sajak itu bahwa Rumi mengembara ke bukitt Qaf, mencari di palang salib dan pagoda-pagoda Buddhis, agar menjumpai hakekat dirinya yang batin dan asal-usul kerohaniannya, namun yang dicari itu dijumpa dalam taman kalbunya sendiri. Citraan simbolik taman  yang digunakan Sanusi Pane juga  sudah lazim digunakan oleh penulis-penulis Muslim, terutama penulis Sufinya.

Bandingkan pula sajak Sanusi Pane dengan bait syair Hamzah Fansuri berikut ini:

 

Hamzah Fansuri di dalam Mekkah

Mencari Tuhan di Bait al-Ka`bah

Di Barus ke Quds terlalu payah

Akhirnya dapat di dalam rumah

 

(Ikat-ikatan XXI Ms. Leiden Cod. Or. 2016)

 

Gema puisi sufi Melayu tidak hanya terasa gaungnya dalam wawasan estetik tetapi juga dalam puitika atau sistem persajakan. Salah satu sajak Sanusi Pane yang terkenal ”Dibawa Gelombang” (Madah Kelana 16) memperlihatkan keterikatan penulis Pujangga Baru pada sistem persajakan klasik Melayu:

 

Alun membawa bidukku pelahan

Dalam kesunyian malam waktu

Tidak berpawang tidak berkawan

Entah ke mana aku tak tahu

 

Jauh di atas bintang kemilau

Seperti sudah berabad-abad

Dengan damai mereka meninjau

Kehidupan bumi yang kecil amat

 

Aku bernyanyi dengan suara

Seperti bisikan angin di daun

Suaraku hilang dalam udara

Dalam laut yang beralun-alun

 

Alun membawa bidukku perlahan

Dalam kesunyian malam waktu

Tidak berpawang tidak berkawan

Entah ke mana aku tak tahu

 

Walaupun pola sajak yang digunakan dalam ”Dibawa Gelombang” ialah a.b.a.b. sebagaimana lazim dalam pantun, namun sajak tersebut lebih mirip syair. Selain tidak tersirat adanya sampiran dan isi atau pembayang dan maksud pada setiap baitnya, seperti halnya syair pada umumnya sajak ”Dibawa Gelombang” berkecenderungan naratif, menceritakan  bukan sekedar melukiskan sesuatu. Ceritera yang disajikan adalah serupa dengan ceritera dalam syair-syair sufi berupa pengalaman atau perjalanan rohani penyair dan keadaan jiwa yang dialaminya dalam perjalanan mencapai unio-mystica (persatuan mistik) dengan jiwa alam semesta, yang tak lain adalah keluasan tak bertepi.

Hubungan sajak tersebut dengan syair-syair Hamzah Fansuri dapat dilihat pula pada motif penggunaan tamsil laut dan perahu. Di antara sajak Hamzah Fansuri yang dapat dirujuk ialah bait-bait dalam ikat-ikatan XVIII Ms. Jak. Mal. 83:

 

Jika hendak engkau menjeling sawang

Ingat-ingat akan ujung karang

Jabat kemudi jangan kaumamang

Supaya betul ke bandar datang

 

Anak mu`alim tahu akan jalan

Da’im (senantiasa) berlayar di laut nyaman

Markabmu (geladak kapal) tiada berpapan

Olehnya itu tiada berlawan

 

Indah-indahkan  Abu al-Qasim (Nabi Muhammad s.a.w.)

Di dalam markab da’im ia qa`im (mendirikan salat)

Lagi tukang (piawai) lagi ia mu`alim

Ke bandar tauhid markabnya salim (selamat)

 

Bait syair Hamzah Fansuri lain yang menggunakan tamsil laut dan mengandung gagasan tentang fana’ atau persatuan mistik menurut pandangan sufi ialah bait dalam ikat-ikatan XXIII Ms. Jak. Mal. 83:

 

Di laut `ulya (maha tinggi) yogya berhanyut

Dengan hidup suwari (khayali) jangan berkabut

Katakan Ana al-Haqq jangan kautakut

Itulah ombak kembali ke laut

 

Laut `ulya yang dimaksud dalam sajak tersebut ialah lautan wujud atau kewujudan yang tinggi, yaitu alam ketuhanan (`alam lahut). Di sini hakekat atau asal-usul kerohanian diri manusia yang sebenarnya. Untuk mencapai hakekat tersebut manusia tidak boleh dikacaukan oleh kehidupan serba duniawi (hedonisme material) yang bersifat khayali, karena kesenangan yang didapatkan bersifat sementara dan cepat berlalu. Dalam dua bait berikutnya tergambar gagasan sufi tentang unio-mystica, yaitu persatuan kembali diri (secara batin) dengan hakekat atau asal-usul kejadiannya, yaitu sebagai sarana kreativitas Tuhan (Bersambung ke bagian 2, Kesinambungan Estetika Sufi)

 

KESINAMBUNGAN ESTETITKA SUFI DAN DAN GEMANYA DALAM SASTRA INDONESIA MODERN

 Kesinambungan estetika sufi Melayu lebih ketara lagi dalam sajak-sajak Amir Hamzah. Bahkan melalui sajak-sajaknya seorang penafsir dapat menemukan rujukan tentang bangunan estetika sufistik modern. Sebagaimana telah sering dilukiskan dalam buku-buku sufi, estetika sufi berkaitan dengan ajaran ahli tasawuf tentang tatanan berperingkat wujud dari yang tertinggi sampai terendah, yaitu dari alam lahut (alam ketuhanan) yang bersifat tanzih (trasendental), lantas alam jabarut dan alam malakut (kerohanian) yang merupakan perantara alam atas dan alam bawah, hingga alam nasut (alam kemanusiaan, dunia jasmani) atau alam syahadah (alam inderawi). Namun apabila metafisika atau ontologi menekankan pada tatanan alam kewujudan  yang di atas, serta hakekat dan isyarat kehadirannya di alam yang lebih rendah; maka estetika menekankan pembicaraan pada tatanan alam zhahir yang lebih rendah sebagai ide-ide citraan atau bentuk-bentuk simbolik dari  alam kewujudan di atasnya yang bersifat batin dan tanzih.

Dengan demikian estetika sufi sebenarnya merupakan sistem pengetahuan bagaimana menjadikan fenomena-fenomena alam kemanusiaan dan inderawi sebagai tangga naik menuju alam kewujudan yang lebih tinggi. Agar  bisa dijadikan sarana atau tangga naik, maka fenomena-fenomena kehidupan atau alam itu mestilah diubahsuai menjadi ide-ide citraan yang  simbolik. Dengan cara demikian maka ide-ide citraan itu akan  menjelma ungkapan estetik yang berperanan membawa kita pergi dari alam dunia ke alam rohani. Yang dikemukakan para penyair sufi sebenarnya ialah perjalanan batin mereka menuju alam hakekat. Karena perjalanan tersebut perjalanan naik dari alam bawah menuju alam atas, atau dari alam zahir menuju alam batin, maka ia sering sering diungkapkan sebagai perjalanan dari tempat yang rendah menuju tempat yang tinggi (puncak bukit  atau gunung) atau dinyatakan secara simbolik dalam ungkapan penyelaman ke dalam lautan maha dalam.

Sebagaimana telah sering dilukiskan, di antara sajak-sajak Amir Hamzah yang ketara ciri sufistiknya ialah ”Berdiri Aku”.  Namun karena telah sering dibicarakan saya ingin menunjukkan sajaknya yang lain, yaitu ”Hanya Satu”. Dalam sajak ini perjalanan naik ke alam rohani digambarkan dengan naiknya Nabi Nuh a.s. ke dalam kapal yang dibuat atas perintah Tuhan untuk menyelamatkan kaum beriman, jadi kapal dilambangkan sebagai keimanan yang dapat menyelamatkan manusia di tengah bencana dan malapetaka.

Penyair juga menggunakan tamsil-tamsil dari al-Qur`an, yaitu kisah Nabi Ibrahim a.s. dengan dua putranya tercinta yang berbeda ibu, yaitu Nabi Ismail a.s. dan Nabi Ishaq a.s. yang masing-masing menurunkan Nabi Muhammad s.a.w.  dan Nabi Isa a.s.

 

Terapung naik jung bertudung

Tempat berteduh nuh kekasihmu

Bebas lepas lelang lapang

Di tengah gelisah, swara sentosa

 

Bersemayam sempana di jemala gembala

Juriat julita bapaku ibrahim

Keturunan intan dua cahaya

Pancaran putera berlainan bunda

 

Kini kami bertikai pangkai

Di antara dua, mana mutiara

Jauhari ahli lalai menilai

Lengah lengang melewat abad

 

Aduh kekasihku

Padaku semua tiada berguna

Hanya satu kutunggu hasrat

Merasa dikau dekat rapat

Serupa musa di puncak tursina

 

(Nyanyi Sunyi 4-5)

 

Ungkapan berkenaan pertikaian  dua umat beragama  pengikut Nabi Isa a.s. dan Nabi Muhammad s.a.w., sebenarnya memiliki konteks sejarah yang jelas. Pada masa Amir Hamzah benih persengketaan Islam dan Kristen memang sudah mulai terasa, hal yang kembali diungkapkan oleh Umar Kayam dalam novelnya Para Priyayi yang  tempat ceritera berlangsung antara lain ialah Solo pada tahun 1930an tempat Amir Hamzah belajar pada waktu muda.

Tiga abad sebelumnya Hamzah Fansuri menulis sajak menggunakan tamsil yang sama, khususnya mengenai pengalaman mistikal yang dijumpai Nabi Musa a.s. di puncak Bukit Sinai atau Tursina:

 

Kunhi-Nya itu bukannya diya’ (cahaya zahir)

Jangan kauantarkan di atas Tursina

Sungguhpun Musa di sana liqa’ (berjumpa dengan-Nya)

Bukan bukit itu tempatnya lena

(Ikat-ikatan XIII Ms. Jak. Mal. 83)

 

Penyair menyatakan di situ bahwa walaupun Nabi Musa a.s. dapat berjumpa dengan-Nya di Tursina, yaitu dengan mendengar suara-Nya, namun perjumpaan sebenarnya dengan Tuhan terjadi dalam kalbu atau penglihatan rohaninya karena telah mencapai makrifat dan memperoleh kasyf (penyingkapan rohani). Bukit Sinai, walaupun dialami secara jasmani, tetap merupakan tamsil dan misal dari pencapaian rohaninya yang tinggi di jalan tauhid dan makrifat, atau semata-mata sarana bagi perjumpaannya. Dari kisah Nabi Musa a.s. ini penulis-penulis sufi mengambil tamsil puncak bukit atau gunung sebagai maqam tertinggi dalam tasawuf, yaitu qurb atau kedekatan diri seseorang secara batin dengan Tuhannya.

Bahwa Amir Hamzah sangat dekat dengan tradisi sastra sufi Melayu, dan juga Jawa, dapat dilihat pada sajaknya ”Sebab Dikau” yang menggunakan tamsil wayang. Pada abad ke-16 M di Jawa Sunan Bonang telah menggunakan tamsil wayang secara intensif dalam Suluk Wujil, begitu pula pada abad ke-17 M seorang murid Hamzah Fansuri bernama Abdul Jamal dalam syair tasawufnya. Dalam syairnya itu Abdul Jamal menulis:

 

Wahdat itulah bernama bayang-bayang

Di sana nyata wayang dan dalang

Muhitnya lengkap pada sekalian padang

Musyahadah di sana jangan kepalang

(Doorenbos 1933:71)

 

Bandingkan sajak tersebut dengan puisi Amir Hamzah ”Sebab Dikau” berikut ini:

 

Maka merupa di datar layar

Wayang warna menayang rasa

Kalbu rindu turut menurut

Dua sukma esa – mesra –

 

Aku boneka engkau boneka

Penghibur dalang mengatur tembang

Di layar kembang bertukar pandang

Hanya selagu, sepajang dendang

 

Golek gemilang ditukarnya pula

Aku engkau di kotak terletak

Aku boneka engkau boneka

Penyenang dalang mengarang sajak

(Nyanyi Sunyi 14)

 

Teeuw (1979:99) hanya mengatakan bahwa sajak tersebut mengungkapkan hubungan manusia dengan Tuhan, dan A. H. Johns (1964) hanya mengatakan bahwa pengaruh kebudayaan Jawa sangat jelas dalam sajak tersebut. Namun dengan membandingkan sajak tersebut dengan syair Abdul Jamal, menjadi lebih jelas lagi hubungan Amir Hamzah dengan tradisi sastra sufi Melayu dan bukan hanya dengan tradisi sastra Jawa. Bahkan juga dengan tradisi sastra sufi Arab dan Persia yang tidak jarang menggunaan ide-ide citraan wayang dalam sajak-sajak mereka sebagaimana nampak dalam karya Umar Khayyam, Ibn Farid, Fariduddin `Attar dan Jalaluddin Rumi.

Dalam salah satu ruba’inya misalnya Umar Khayyam menulis seperti berikut:

 

Kita adalah wayang dan langit dalangnya

Ini bukan kiasan tetapi kenyataan

Sesaat kita diberi peran di layar ini

Lalu kembali ke kotak satu persatu dan dilupakan

 

(Abdul Hadi W. M. 1999:150)

 

PENDAKIAN DAN TRANSFORMASI DIRI

Telah dikemukakan bahwa salah satu tema penting sastra sufi ialah pengenalan diri batin yang hakiki di jalan cinta ilahi (`isyq). Karena pencarian tersebut bersifat vertikal, ia sering digambarkan dengan perjalanan mendaki dan penerbangan ke puncak gunung atau bukit, seperti penerbangan burung-burung dalam Mantiq al-Thayr karya Fariduddin al-`Attar. Di situ burung-burung, yang merupakan tamsil kalbu atau jiwa manusia yang merindukan Yang Haqq, melakukan penerbangan ke puncak bukit Qaf – tempat Simurgh, raja diraja burung bersemayam, yang merupakan lambang hakekat ketuhanan dan sekaligus lambang hakekat diri manusia.  Pendakian ke atas gunung atau bukit juga menemukan perumpamaan dalam kisah nabi-nabi. Misalnya Nabi Nuh a.s. setelah melakukan pelayaran panjang tak tahu tujuan dengan bahteranya, pada akhirnya tiba dengan selamat di atas bukit Ararat;  Nabi Musa a.s.  mendengar seruan Tuhan di puncak Tursina.

Tidak jarang perjalanan naik perjalanan naik atau penerbangan ke puncak bukit dipadankan dengan gejala-gejala alam pada saatnya terjadinya perubahan, misalnya perubahan waktu dari siang ke malam hari. Di sini angin, hujan, perubahan cuaca dan udara dan munculnya bintang-bintang, berperan sebagai sarana untuk melukiskan keadaan jiwa atau rohani penulis dalam menempuh perjalanan kerohanian.

Di sini dapat diambil contoh sajak Amir Hamzah ”Berdiri Aku”. Dalam sajak itu pencapaian rohani dan keadaan jiwa dalam perjalanannya menuju alam transenden digambarkan melalui citraan ide ((idea image) seperti camar yang melayang ”menepis buih” (mungkin maksudnya melepaskan diri dari yang zahir atau yang formal), pohon bakau yang ”mengurai puncak”, ”ubur terkembang” (setelah berjulang datang); angin yang ”memuncak sunyi” dan seterusnya.  Inilah keadaan leka, hapus atau fana’ dalam lukisan puisi, suatu tahapan yang dalam tasawuf sering dikatakan terjadi setelah tahapan kemabukan mistikal dan ketakjuban pada keindahan ilahi. Maka selain keindahan (jamal) atau keelokan, gagasan tentang ketakjuban (haybah, ajib) merupakan hal penting dalam estetika sufi. Hanya melalui tahapan-tahapan kerohanian (maqam) semacam itu dapat mengenal dirinya atau tempat dirinya dalam dunia ciptaan, dan hanya setelah melalui tahapan-tahapan tersebut seseorang dapat melakukan transformasi diri.

Demikianlah, seperti elang yang  leka  setelah dimabuk warna berarak-arak (yakni mabuk dalam rasa takjub menyaksikan keindahan Yang Maha Indah), seseorang mengalami transformasi diri. Oleh Amir Hamzah  dilukiskan sebagai  jiwa yang dirasuk kerinduan mendalam:

 

Dalam rupa maha sempurna

Rindu sendu mengharu kalbu

Ingin datang merasa sentosa

Mencecap hidup bertentu tuju

 

Dalam  ‘Syair Burung Pingai ‘ (Ikat-ikatan XIV Ms. Jak. Mal. 83)  Hamzah Fansuri melukiskan bentuk transformasi diri yang dicapai oleh seorang yang menempuh  jalan kerohanian, sebagai berikut:

 

Sufinya bukannya kain

Fi al-Makkah da’im bermain

`Ilmunya zahir dan batin

Menyembah Allah terlalu rajin

 

Suluhnya terlalu terang

Harinya tiada berpetang

Jalannya terlalu henang

Barang mendapat dia terlalu menang

 

Pada akhir buku Mantiq al-Tayr (Musyawarah Burung) Fariduddin al-`Attar menggambarkan lebih kurang keadaan burung-burung yang telah mencapai tujuan perjalanannya menjumpai Smurgh, sebagai berikut:

 

Melalui kesukaran dan kehinaan jiwa burung-burung itu menyusut

Ke dalam kefanaan, sedangkan tubuh mereka menjadi debu.

Setelah dimurnikan mereka menerima hidup bari dari Cahaya Hadirat-

Nya.

Laku dan diam mereka di masa lalu enyah dan lenyap dari lubuk dada

mereka.

Matahari Kehampiran bersinar terang dari diri mereka, jiwa mereka

diterangi oleh cahayanya.

Dalam pantulan wajah tigapuluh burung (si-murgh) dunia, mereka

lantas menyaksikan wajah Simurgh

Jika mereka memandang, itulah Simurgh: Tak diragukan Simurgh

adalah tiga puluh (si-murgh) burung

Semua bingung penuh takjub, tak tahu siapa diri mereka sebenarnya

Mereka memandang diri mereka tak lain adalah Simurgh.

 

Citra bercorak sufistik yang menggambarkan pendakian rohani ke puncak hakekat diri juga tampak dalam beberapa sajak Sutardji Calzoum Bachri. Misalnya dalam sajak ”Para Peminum”:

di puncak gunung mabuk

mereka berhasil memetik bulan

mereka menyimpan bulan

dan bulan menyimpan mereka

di puncak

semuanya diam dan tersimpan

 

(Kapak 14)

 

Nada sufistik juga ketara dalam sajaknya yang lain ”Silakan Judul” (Kapak 17):

 

di atas anggur

di bawah anggur

gugur waktu

rindu rindu

 

di atas langit

di bawah langit

janji puncak

tak menunggu

 

di atas bibir

di bawah bibir

kamus tak sanggup

mengucapku

 

Hakekat diri manusia, menurut penyair, tidak dapat difahami hanya dengan bersandar pada ilmu-ilmu formal, juga tidak hanya melalui jalan rasional yang diumpamakan sebagai ”kamus”. Namun sajak Sutardji Calzoum Bachri yang paling menarik dalam kaitan ini ialah sajak ”Sampai”.

 

Rumi menari bersama Dia

tapi kini di mana Rumi

Hamzah jumpa Dia di rumah

tapi kini di mana Fansuri

Tardji menggapai Dia di puncak

tapi kini di mana Tardji

 

kami tak di mana mana

kami mengatas meninggi

kami dekat

 

Kalau kalian mabuk Tuhan

kami mabuk sama kalian

kalau kalian rindu Dia

rindu kalian bersama kami

kalau kembali ke rumah Diri

kalian kembali ke rumah kami

sampai kalian ke puncak nurani

kalian pun sampai sebatas kami

 

Dalam prosa gagasan sastra sufistik tampak dalam cerpen-cerpen Danarto (dalam antologi seperti Godlob, Adam Makrifat, Berhala, Gergazi dan Setangkai Melati di Sayap Jibril) dan M. Fudoli Zaini (dalam antologi Arafah, Batu Setan dan Potret Manusia), serta dalam novel Kuntowijoyo (Khotbah di Atas Bukit) dan Danarto (Asmaraloka). Namun karena keterbatasan ruang dan waktu, di sini hanya akan dikemukakan estetika sufistik yang diterapkan Kuntowijoyo dalam novel Khotbah di Atas Bukit. Perjalanan mencari hakekat hidup dalam novel ini digambarkan dengan perjalanan tokoh protagonis Barman ke tempat peristirahatan di lereng bukit, dan perjumpaan dengan tokoh antagonis Humam, yang tak lain adalah kembaran dirinya.

Pada mulanya Barman berniat menghabiskan masa tuanya dengan beristirahat di sebuah vila di lereng gunung. Dia pergi ditemani seorang wanita muda cantik, Poppy. Namun suatu  peristiwa terjadi secara tak disangka-sangka dan merubah jalan hidupnya. Ketika dia berjalan-jalan di gunung, membersihkan badan di sungai yang jernih, tiba-tiba dia berjumpa seorang lelaki bernama Humam. Humam, yang tidak lain adalah kembaran dirinya, muncul sebagai seorang guru kerohanian yang wejangan-wejangannya tentang hidup sangat menarik perhatian Barman. Barman yang semula hidup dalam gelimang hedonisme material, kini tenggelam dalam spiritualitas. Ini membuat Poppy putus asa dan akhirnya mereka berpisah. Barman sendiri pada akhirnya jatuh ke dalam jurang bersama kuda putih yang ditungganginya.

Pemakaian simbol-simbol sufistik seperti pendakian ke gunung untuk menggambarkan perjalanan rohani mencari hakekat diri;  penyucian diri di sungai yang airnya jernih sambil merenung dan menghanyutkan diri dalam keheningan air sungai;  perjumpaan dengan Humam yang tak lain adalah alter-ego nya, atau sisi kerohanian dari kehidupan pribadinya; serta kematiannya setelah kuda putih yang ditungganginya jatuh ke dalam jurang dan lain-lain – semua itu menunjukkan estetika sufi yang dapat ditransformasikan ke dalam  berbagai bentuk pengucapan modern.

Pertemuan dua tokoh kembar Barman dan Humam di hutan dekat sungai di lereng gunung, dapat dirujuk pada kisah perjumpaan Iskandar Zulkarnaen dan Khaidir dalam Hikayat Iskandar Zulkarnaen; juga dengan pertemuan Bima dengan Dewa Ruci dalam alegori mistikal Jawa terkenal Serat Dewa Ruci. Bedanya dalam Hikayat Iskandar Zukarnaen dan Serat Dewa Ruci perjalanan mencari hakekat diri dan makrifat (dilambangkan dengan air hayat atau ma`al-hayat) digambarkan melalui perjalanan ke dalam lautan wujud. Di dalam lautan wujud dirinya itulah Bima berjumpa Dewa Ruci, makhluk kerdil yang menyerupai dirinya. Walaupun secara jasmani Dewa Ruci kelihatan kecil, namun Bima yang bertubuh besar dapat masuk ke dalam diri Dewa Ruci melalui telinganya. Ini melambangkan luluhnya diri jasmani dalam diri rohani. Pengalaman serupa dialami Barman setelah berjumpa Humam. Peleburan diri Barman dengan Humam terjadi setelah kematian Barman ke dalam jurang bersama kuda putihnya. Kuda putih melambangkan kendaraan kematiaan Barman menuju pencapaian keruhanian yang lebih bersih dibandingkan dengan kehidupannya sebelum bertemu Humam.

 

Senarai Rujukan

A.E. I. Falconar (1991). Sufi Literature and the Journey to Immortality. Delhi: Motilal Banardssidass Publishers PVT. LTD.

Abdul Hadi W. M. (1999) Kembali ke Akar Kembali ke Sumber. Jakarta: Pustaka Firdaus.

---------------------    (2001) Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri. Jakarta:  Yayasan Paramadina.

Amir Hamzah (1969). Buah Rindu. Jakarta: PT. Dian Rakyat.

-----------------  (1978). Nyanyi Sunyi. Jakarta: PT. Dian Rakyat

Annemarie Schimmel  (1981). Mystical Dimensions of Islam. Chapel Hill: The University of North Carolina Press.

A.Teeuw (1979). Modern Indonesian Literature. 2 vols. Leiden: Martinus Nijhoff.

----------  (1994). Indonesia: Antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya.

E. G. A. Browne (1928-30). Aliterary History of Persia. Vol. II. Cambridge: Cambridge University Press.

Javad Nurbakhs (1984). Sufi Symbolism. Vol. 1. London:  Khaniqah-I Nikmatullah Publications.

Johann Doorenbos (1933). De Geschriften vam Hamzah Pansoeri. Leiden: NV VH Batteljes & Terpstra.

Kuntowijoyo (1976). Khotbah Di Atas Bukit. Jakarta: Pustaka Jaya.

Th.  G. Pigeaud (1967-80). Literature of Java, Catalogue Raisonne of Javanese

Manuscripts in the Library of the University of Leiden and Other Public Collections in the Netherlands. 4 vols. The Hague: Martinus Nijhoff.

R. Mas Ngabehi Purbatjaraka (19931). “De geheime leer van Soenan Bonang (Soeloek Woedjil)”. Jawa 18:  145-81.

Md. Salleh Yaapar (1993). Mysticism and Poetry: A Hermeneutical Readings of the Poems of Amir Hamzah. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Sanusi Pane (1932). Madah Kelana. Jakarta: Balai Pustaka.

Sutardji Calzoum Bachri (1979). O, Amuk, Kapak. Jakarta: Sinar Harapan.

V. I. Braginsky (1993), Tasawuf dan Sastera Melayu: Kajian dan Teks-teks. Jakarta: Rijkuniversiteit Leiden.

 ----------------   (1998). Yang Indah, Berfaedah dan Kamal.: Sejarah Sastra Melayu Dalam Abad 7-19. Jakarta: INIS.

Sumber: http://horisononline.or.id/esai/sastra-sufi-melayu-dan-gemanya-dalam-sastra-modern-indonesia

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler