Skip to Content

Sastra untuk Kebangkitan Peradaban

Foto pandu

Sastra untuk Kebangkitan Peradaban

Oleh A Mujib El Shirazy


Mungkinkah sastra memiliki kemampuan dalam membentuk peradaban Islam yang penuh cinta? Tema ini oleh kalangan tertentu dianggap sebagai simplifikasi persoalan dan terkesan mengada-ada lantaran bagi kalangan tertentu, sastra tidak ada kaitannya dengan peradaban, apalagi masalah keislaman. Bagi kalangan ini, sastra seharusnya disunyikan dari kepentingan apapun, termasuk kepentingan peradaban. Cukuplah sastra untuk sastra.

Padahal antara sastra, peradaban, dan Islam memiliki kaitan cukup erat. Sastra dalam Bahasa Arab disebut pula dengan istilah adab yang artinya sopan, penuh dengan keindahan. Manusia yang beradab artinya manusia yang menampilkan cara hidup yang indah, hidup dengan keluhuran budi pekerti. Sebaliknya, manusia yang tidak beradab adalah manusia jauh dari cara-cara hidup yang indah, manusia bengis, yang diliputi kebencian. Peradaban sendiri bisa diartikan sebagai pandangan hidup, aktivitas, dan buah karya manusia yang di dalamnya mengandung nilai-nilai keindahan.

Islam menyebutkan bahwa misi utama diutusnya Rasulullah SAW di muka bumi ini adalah untuk menjadikan manusia beradab. Sementara, Alquran sebagai kitab panduan hidup umat muslim merupakan kitab suci yang mengandung kedahsyatan sastra menakjubkan. Alquran diturunkan dengan bahasa yang mengandung nilai sastra tinggi, yang membuat pujangga jahiliyah takjub terheran-heran. Kandungan sastranya menjadi legenda yang tidak bisa diungguli oleh sastrawan manapun hingga saat ini. Dari sini saja, bisa dilihat begitu terang hubungan antara sastra, peradaban, dan Islam. Ketiganya bermuara pada titik yang sama, yaitu keindahan. 

Sebagai agama yang peduli pada keindahan, Islam menghendaki dakwah dengan cara-cara indah. Seorang ulama, selain dituntut hidup dengan keindahan budi pekerti, juga dituntut mampu mendakwahkan kebenaran agama dengan kata-kata yang menawan jiwa. Di sinilah sastra memiliki peran tak terpisahkan dalam Islam. Maka tidak perlu heran, bila kemudian dalam rentan sejarah peradaban Islam banyak sekali ulama besar yang juga sastrawan      
Pada masa Rasulullah ada kisah waktu itu Nabi SAW meminta Hasan ibn Tsabit, sahabat yang terkenal piawai mengarang puisi, untuk membuat puisi-puisi sebagai balasan atas orang-orang kafir yang menjelekkan orang Islam (Fethullah Gullen, 2011) 


Penyemangat Perjuangan

Sahabat Ali Ra, salah satu khulafaurrasyidin, dikenal sebagai sahabat yang memiliki kepiawaiaan meramu kata dalam tiap pidatonya yang memikat jiwa. Pidato-pidato yang kini dapat kita nikmati bersama dalam buku sastra mengagumkan, Nahjul Balaghah.

Imam Syafi’i, yang hidup sesudahnya, salah satu dari empat imam mazhab fikih, penggagas ilmu ushul fikih, ternyata juga adalah seorang sastrawan yang terkenal piawai merangkai kata. Beliau meninggalkan banyak sekali petuah kehidupan yang tersusun dalam kalimat puitis yang abadi hingga saat ini. Tidak berlebihan, jika Dr Muhammad Ibrahim Al Fayyumi, dalam bukunya menjuluki Imam Syafi’i sebagai pelopor fikih dan sastra (Fayyumi, 2009).    

Pada era dinasti Ayyubiah, Perang Salib III menjadi saksi bisu lahirnya Al-Barjanji, kitab sastra yang berisi Sirah Nabi. Waktu itu, di bawah komando Salahuddin al-Ayyubi, kitab karya Syaikh Ja’far al Barzanji ini sanggup menggerakkan pasukan muslim untuk membebaskan Baitul Maqdis. Begitu pula di Indonesia, sekitar 1880-an, lahir karya Hikayat Prang Sabi karya ulama Aceh, Teuku Cik Panti Kulu yang menjadi obor penyemangat perjuangan rakyat Aceh dalam mengusir kolonial Belanda.

Masih banyak ulama sastrawan yang tidak mungkin disebut dalam tulisan ini. Ulama yang telah meresapi betul hakikat jalan agama yang ia tempuh, jalan yang penuh dengan keindahan, yang semestinya didakwahkan dengan cara yang indah pula. Mereka begitu tulus mendedikasikan seluruh hidupnya dalam upaya membangun peradaban melalui jalan keindahan. Ulama yang melahirkan karya-karya sastra yang memikat jiwa, karya yang begitu berpengaruh dalam membentuk peradaban Islam.

Dari mereka, kita belajar bahwa membangun peradaban Islam tidak bisa tidak kecuali dengan menempuh jalan keindahan, salah satunya jalan sastra.

(A Mujib El Shirazy, dosen Peradaban Islam Fakultas Agama Islam Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang)


Sumber: Suara Merdeka, 31 Mei 2011

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler