Skip to Content

SESUATU YANG LESAP DALAM PUISI

Foto SIHALOHOLISTICK

Maman S Mahayana

Aceh adalah sebuah sejarah panjang. Di sana terjadi rangkaian pergolakan dan pergumulan sebuah puak dalam berhadapan dengan bangsa asing, dengan bangsanya sendiri, dan belakangan, dengan dirinya sendiri. Sudah sejak entah kapan peradaban ditegakkan di sana. Dalam berhadapan dengan bangsa-bangsa asing, misalnya, jika kita coba menelusuri, tidak terelakkan, catatan heroisme akan menjadi begitu panjang, betapa Aceh, dalam keadaan apa pun, tak pernah berjalan tertunduk. Ia tegak menatap bangsa asing yang datang dari penjuru mana pun. Bahkan, ia pun tiada segan coba menangkis-menepis, dan melawan ketika harga kemanusiaan diabaikan. Aceh sebenarnya menyimpan peradaban masa lalu yang agung yang menjadikan Nusantara sangat dihormati bangsa-bangsa lain.

D. Kemalawati bukanlah Laksamana Keumalahayati yang berhasil membangun Kesultanan Aceh menjalin jaringan hubungan diplomatik begitu luas ke berbagai negara kesultanan lain di mancanegara. Kemalawati juga bukan Nyut Nya’Dien yang tegak bertahan menghadapi gempuran tentara Belanda. Kemalawati hanyalah seorang penyair. Dengan puisi-puisinya, ia coba mengalunkan suara hatinya sebagai wanita; sebagai warga puak Aceh, dan sebagai manusia yang meyakini, bahwa kemanusiaan harus ditegakkan kapan, di mana pun berada, dan dalam situasi apa pun.

Meskipun Kemalawati tak merasakan desing peluru, ia tentu tak lupa peristiwa tragis ketika Aceh berada dalam tekanan militer bangsanya sendiri: Daerah Operasi Militer (DOM) zaman rezim Orde Baru. Lalu terjadilah di sekitarnya rentetan kematian yang aneh dan penuh misteri. Selepas DOM tidak diberlakukan lagi, hingar bingar ternyata belum juga reda. Tiba-tiba saja muncul kecemasan yang lain, ketakutan yang tak masuk akal, juga sama: penuh misteri. Gerakan Aceh Merdeka (GAM) seperti datang memanfaatkan momentum. GAM mungkin berada di antara sanak keluarga, tetangga, atau entah siapa. Mereka bagai makhluk gaib yang bisa datang tiba-tiba atau tiba-tiba menghilang. Mereka ada dan tak kunjung padam.

Lalu, sampailah pada puncak bencana: Tsunami! D Kemalawati tentu tidak dapat menghilangkan bayang-bayang bencana mahadahsyat itu. Bukankah masyarakat dunia pun, meski berada nun jauh dari Tanah Aceh, merasakan pula kengerian luar biasa ketika melihat lebih dari seratus ribu manusia merenggang nyawa dalam bencana mahadahsyat itu. Segala tentang hidup seketika lenyap. Bagaimana mungkin bicara harapan dan masa depan ketika semuanya tumpas-lesap, dan Aceh ketika itu dikepung kehancuran yang nyaris tak bersisa.

Bukan perkara mudah menegakkan kembali semangat hidup dan harapan menatap masa depan saat segalanya dalam seketika hilang; ketika kita berada di tengah kuburan massal; atau manakala sepanjang mata memandang, kita hanya melihat hamparan kehancuran. Dari mana harus dimulai pada saat udara Aceh dibayang-bayangi kegelapan. Bagaimana pula memulainya ketika angin dari penjuru Aceh membawa aroma kematian. Tsunami sempurna mencampakkan warga Aceh dalam kubangan ketakberdayaan. Pada saat itu, satu dua warga Aceh coba merayap, meraih apa yang ada, dan berusaha tegak kembali.

D. Kemalawati bersama sejumlah sastrawan Aceh, coba berbuat, melakukan apa pun dengan segala keterbatasannya. Mereka berbuat sesuai dengan apa yang mereka miliki. D Kemalawati “hanya” punya puisi. Maka ia pun berbuatlah melalui puisi.

Lalu, ketika dalam banyak hal Aceh mulai berani menatap masa depannya dengan lebih tegak, mulai mengubur satu-dua peristiwa dari serangkaian tragedi traumatis, rencana Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) belakangan, seperti hendak mengembalikan lagi trauma itu. Meskipun terjadi secara insidental, setidak-tidaknya, Kemalawati coba mencatatnya, menuliskannya sebagai puisi.

Begitulah penyair. Senjatanya adalah puisi. Dengan puisi pula ia dapat menjadi pencatat sejarah, menjadi individu yang galau oleh dunia sekitarnya, menjadi pengkhotbah dalam kemasan metafora, atau sebagai perempuan yang rindu berada di tengah keluarga.

Itulah yang dilakukan D Kemalawati. Ia memanfaatkan puisi untuk menyampaikan banyak hal. Puisi menjadi sebuah dunia yang berisi berbagai peristiwa. Maka, penyikapan setuju atau tidak setuju, kemarahan pada janji-janji kosong aparat atau siapa pun, atau tanggapannya atas apa yang terjadi di sekitarnya, dapat disampaikannya dengan leluasa, bahkan juga dengan begitu tersembunyi. Boleh jadi Kemalawati memilih cara seperti itu, agar ia dapat lebih bebas mengumbar pesan-pesannya. Atau mungkin saja ada kecemasan lain, jika pesan itu tampak lugas, tanpa selimut. Maka, ia memilih sesuatu yang lebih tersembunyi dari sekadar serupa dara di balik tirai.

Langkah yang dipilih Kemalawati memang paling aman dan nyaman, meski di sana tak terhindarkan pesan yang hendak disampaikan menjadi sangat terbuka dimasuki berbagai tafsir. Perhatikan, misalnya, puisi berikut ini.

AKU BERHARAP KAU TIADA

di antara seribu sua aku berharap kau tiada
terbenam seperti batu di dasar bumi
tak terlihat lagi

celotehmu membuat kupingku jemu
memandangmu seperti serangga mati
mengambang di kuah hitam

hidangan jelaga yang paling garam

di meja rundingan kukira kumismu sudah renta
mengabu tak berdaya

kau memanah bulan di waktu pagi
dengan busur melengkung ke diri
kau mengepung pelangi
kicau burung di kaki langit
peluru-peluru seperti sabit
hingga cemeti di punggung kuda
pelana yang dipenuhi jarum berbisa
kau coba seribu mangsa

berharap kau tiada karena kau rencana petaka
bagaimana menjadi tuan di ambang duka
berebut perca membalut luka

kau mengatasnamakan diriku
dengan rasa agung yang tak pernah kuberikan
seperti harapmu

Banda Aceh, 20 Januari 2012

Puisi ini menampilkan narator aku yang tidak menginginkan keberadan engkau lirik. Tidak terlalu sulit sesungguhnya memahami puisi ini, mengingat dalam setiap bait puisi itu, kuncinya berada di larik pertama. Perhatikan misalnya, larik awal pada bait pertama: di antara seribu sua aku berharap kau tiada. Larik berikutnya: terbenam seperti batu di dasar bumi/tak terlihat lagi// lebih menyerupai keterangan atau penegas larik pertama itu. Demikian juga bait-bait berikutnya, kata kuncinya berada pada larik awal itu. Tetapi persoalannya: siapa yang dimaksud engkau itu? Engkau yang membuat kupingku jemu, yang kumisnya sudah renta, yang memanah bulan di waktu pagi, dan yang mengatasnamakan diriku.

Boleh jadi engkau di sana tidak lain adalah seorang politikus, anggota GAM, pejabat pemerintah, gubernur, atau entah siapa? Tetapi sangat mungkin, dia biang kerok, pembuat rusuh, pencipta kematian, dan segala yang brengsek. Oleh karena itu, aku lirik berharap: sudahlah mati saja kau! Jadi, puisi ini seperti sebuah protes dan penolakan atas keberadaan seseorang yang dianggap kerap bakal menciptakan keburukan. Tetapi siapa? Pengumbar janji seperti politikus yang sudah tua, tokoh yang kerap melakukan perundingan, pemanah bulan di waktu pagi sebagai kesia-siaan atas tindakan seseorang, atau seseorang yang selalu mengklaim atas nama rakyat?
Begitulah Kemalawati bersuara menyampaikan kritiknya, tetapi ia merasa bahwa sasarannya harus disembunyikan sedemikian rupa. Dengan begitu, ia merasa aman-nyaman, sebab puisi yang hakikatnya berada dalam medan tafsir, terbuka untuk dimaknai melalui berbagai penafsiran. Dan penyair terhindar dari segala tudingan yang mungkin datang.

Mari kita mencoba melihat puisi lainnya. Sebutlah puisi berjudul “Kita Kembali ke Terowongan Berbau Maut” berikut ini:

KITA KEMBALI KE TEROWONGAN BERBAU MAUT

mendengar derap mendekat

detak jantung berubah-ubah

seperti terkepung dalam terowongan

nafas berbau maut, kecut

 

berpucuk laras panjang mengejang di pinggang

sabuk mengencang garang

mereka telah kembali mengendap di bawah jendela

seperti bayang hitam bersangkar di mata

 

kalau ada yang menang

menanggalkan jubah bara

kami telah menjadi abu pembakaran

mengambang hitam di permukaan genangan

 Banda Aceh, 18 Desember 2011

Puisi ini pun pada dasarnya sebagai ekspresi penolakan atas kerusuhan atau ketegangan yang terjadi entah kapan. Meskipun demikian, kita dapat menduga terjadinya peristiwa itu berdasarkan tarikh yang terdapat dalam kolofon: 18 Desember 2011. Ada peristiwa apakah sekitar pertengahan bulan Desember itu? Sebagaimana pola yang dipilih penyair, kata kunci pada bait pertama dan kedua terdapat pada larik awal: mendengar derap mendekat/ berpucuk laras panjang mengejang di pinggang. Larik lainnya dalam bait itu sebagai penegas atau keterangan pesan yang terdapat pada larik awal. Di sana ada derap yang seperti hendak membawa maut. Lalu, ada laras panjang mengendap di bawah jendela.

Tidak terlalu sulit untuk mengaitkan teks (puisi) itu dengan konteks peristiwa sebagai kenyataan faktual. Lalu, bait ketiga menegaskan tentang posisi kami yang menjadi abu (pembakaran). Pertanyaannya: siapakah yang (melangkah) berderap itu? Tentulah sejumlah orang; sekelompok orang; gerombolan. Siapa pula yang (membawa) laras panjang itu? Pastilah bukan petani, pedagang atau penyair. Jadi sasarannya jelas: mereka yang biasa memanggul senjata. Maka, sesiapa pun mereka, kami tetap akan menjadi abu, korban dari segala kerusuhan itu. Kembali, penyair mencoba memotret sebuah peristiwa kerusuhan. Tetapi, ia seperti dihadapkan pada kecemasan lain, jika ia mengatakannya secara lugas. Maka, penyair cukup dengan memanfaatkan metafora: berderap dan laras panjang. Siapakah mereka? Silakan cantelkan teks dengan konteksnya. Jadi, teks sesungguhnya hendak membangun kisah yang berada di luar bahasa; sebuah fakta, sebuah peristiwa!

Sejumlah puisi lainnya yang terdapat dalam antologi ini mengesankan sebuah pola yang semacam, yaitu hasrat penyair untuk menyampaikan sesuatu –yang disetujui atau ditolaknya— dan sekaligus juga ingin menyembunyikan objeknya. Dengan begitu, objek yang menjadi sasaran bisa mengacu pada berbagai pihak. Penyembunyian objek itu, sangat mungkin berkaitan dengan posisinya sebagai warga Aceh, atau boleh jadi berkaitan dengan problem psikologis. Maka, yang hadir kemudian adalah serangkaian puisi yang hendak mewartakan banyak hal, dan sekaligus sengaja menyembunyikan berbagai hal itu. Jadi ada semacam ekspresi paradoksal: hendak mengatakan begini tentang sesuatu dan sekaligus berusaha menyembunyikan sesuatu itu sebenarnya begitu. Tujuannya, agar sesuatu itu cukup terlihat sama-samar saja.

Jika paradoks situasional menggambarkan sesuatu yang bertentangan antara ekspresi dan situasi peristiwa (dalam puisi), maka yang terjadi pada puisi-puisi Kemalawati adalah paradoks ekspresional. Metafora yang maknanya mengatakan begini, maksudnya begitu,   memang banyak dimanfatkan penyair untuk mengacu pada objek yang menjadi sasaran pesan tematiknya. Tetapi, objek itu seolah-olah sengaja dibiarkan terbuka sedikit. Akibatnya, objek itu selain bisa mencantel pada berbagai pihak, juga seperti ada persoalan psikologis di belakangnya. Jika begitu, apa maknanya penyair mewartakan berbagai peristiwa itu, jika ia sendiri bermaksud menyembunyikan objeknya? Apakah ada kecemasan terselubung sehingga objek yang menjadi sasaran si aku lirik senantiasa begitu disamarkan?

Tentu saja itu perkara pilihan. Penyair bersikap: mengatakan sesuatu, tanpa perlu menegaskan secara transparan, siapa pelakunya. Bagaimanakah dengan puisi-puisi yang mengangkat tema lain? Mari kita coba telusuri lewat puisinya yang berjudul “Aroma Ganggang” berikut ini:

AROMA GANGGANG

Top of Form

Bottom of Form

Top of Form

Bottom of Form

 

izinkan aku menyelam

di hangat air kolam

kubiarkan aroma ganggang

menggelinjang tubuh

kupejamkan mata

kubawa rembulan dalam dada

kupetik redupnya

kujadikan sajadah cinta

izinkan aku sembahyang

dalam aroma ganggang

di kedalaman kolam

makrifat-Mu

 Banda Aceh, 4 Desember 2011

Berbeda dengan dua puisi yang dibincangkan di bagian awal, puisi “Aroma Ganggang” bukankah sebuah potret peristiwa sosial. Ia sebagai bentuk refleksi ketika si aku lirik mencoba memaknai ganggang di sebuah kolam. Bukankah makhluk atau tumbuhan apa pun di dunia ini punya makna untuk manusia? Setidak-tidaknya, begitulah sabda Tuhan. Penyair mencoba memaknai keberadaan ganggang. Maka yang dilakukannya adalah menempatkan subjek aku lirik sebagai bagian dari objek (ganggang). Puncak kebersatuan subjek—objek itu sampailah pada makrifat-Mu. Apakah pola puisi itu berbeda dengan dua puisi sebelumnya?

Jika dicermati, sesungguhnya tidaklah begitu terlalu berbeda. Kuncinya terdapat pada larik awal: izinkan aku menyelam. Larik-larik berikutnya adalah peristiwa setelah proses menyelam itu terjadi. Meski pola yang digunakannya tidak berbeda jauh, secara tematik ia lebih kuat menggambarkan hasrat penyatuan –aku—ganggang; subjek—objek. Dengan begitu, puncak penyatuan itu sampai kepada persoalan makrifat menjadi sesuatu yang memperlihatkan proses penghayatan yang mendalam, intens; reflektif.

Dibandingkan dengan puisi-puisi yang coba menyampaikan peristiwa sosial, puisi ini tampak lebih kental dan kuat sebagai bentuk refleksi subjek mencoba memasuki objek. Ekspresinya seperti lepas begitu saja, tanpa ada bayangan hendak menutup-nutupi sesuatu. Boleh jadi dalam wilayah inilah kekuatan kepenyairan D Kemalawati, sebagaimana yang dapat kita cermati dalam sejumlah puisinya yang terhimpun dalam antologi ini.

Bagaimanapun pula puisi-puisi lainnya? Tentu saja itu wilayah pembaca untuk coba menangkap kedalamannya, menyelami ekspresinya, dan berusaha menelusuri sejauh mana paradoks ekpresional dimanfaatkan Kemalawati dalam puisi-puisinya?

***

D. Kemalawati, sekali lagi, penyair yang lahir dan dibesarkan dalam lingkaran kebesaran sejarah dan kultur Aceh. Di balik latar historis dan kultural yang memang tak dapat dihindarinya itu, ada perjalanan waktu yang membuatnya terkepung oleh situasi traumatik: probem politik dan bencana mahadahsyat tsunami. Dalam situasi itulah Kemalawati merayap, merangkak, hingga kembali tegak menatap masa depannya. Dan Kemalawati memilih puisi sebagai lapangan pengabdiannya. Dengan puisi pula ia berbuat dan menunjukkan jati dirinya sebagai penyair Aceh. Dalam konteks kepenyairan Indonesia, Kemalawati adalah penyair Indonesia yang tanpa disadarinya, latar kultur Aceh seperti lesap begitu saja dalam puisi-puisinya. Di situlah sesungguhnya kekhasan puisi (: sastra) Indonesia yang tak pernah lepas dari bayang-bayang kultur etnik.

Begitulah sastra Indonesia, begitulah puisi Indonesia!

Seoul, 2 April 2012

Maman S Mahayana

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler