Skip to Content

SIKAP SASTRAWAN TERHADAP KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH DALAM MASALAH KESUSASTRAAN

Foto SIHALOHOLISTICK

Oleh: AA. NAVIS

Senin, 18 November 2013 06:16   

 

Agaknya nasiblah bagi Bangsa Indonesia menjadi bangsa beringas, suka mengamuk dan suka mengeroyok. Dalam sejarah politik, Belanda menamakannya amouk partij. Misalnya tahun 1918 dimulai dari Solo, lalu meruyak ke seluruh Jawa terjadi pengamukan pribumi atas Cina. Peristiwa semacam terus berulang sampai tahun-tahun kemarin ini. Dalam ukuran yang lebih kecil ialah pengamukan penduduk asli terhadap perantau. Atau suatu golongan profesi terhadap golongan profesi lainnya.

Di Sumatera, pengamukan dan pengeroyokan juga terjadi dalam sejarah. Pada tahun 1946, saat-saat permulaan revolusi, orang bersenjata mengeroyok kaum bangsawan Sumatera Timur. Puluhan keluarga terbunuh. Termasuk “raja penyair” Amir Hamzah. Peristiwa pengamukan itu tercatat dengan rasa bangga dalam buku sejarah sebagai “revolusi sosial”. Di Sumatera Barat pengeroyokan itu lebih ganas terhadap orang komunis pada peristiwa G-30-S. Beberapa bus dicarter oleh para perantau untuk pulang beramai-ramai dengan tujuan balas dendam.

Perilaku suka mengamuk atau mengeroyok itu selalu oleh orang banyak yang merasa kuat terhadap orang yang lemah dan sedikit jumlahnya. Pengeroyokan terhadap orang yang lebih kuat, apalagi terhadap pemerintah yang berkuasa, tidak bakal terjadi di Indonesia. Dalam sejarah politik, orang Belanda berpendapat bahwa di Indonesia tidak pernah akan terjadi pemberontakan. Kalau terjadi semangatnya tidak lain daripada amouk partij, mudah dan cepat bisa dipatahkan. Revolusi di Indonesia dimulai bukan oleh pemberontakan, melainkan karena pemerintahan sedang vakum. Abang becak terkenal beringas kalau anggotanya terinjak oleh segelintir orang. Namun ketika pemerintah mendekritkan daerah “bebas becak” total pada sebuah kota, abang becak hanya pasrah. Oleh karena abang becak merasa posisinya lemah dan pemerintah begitu kuat.

Dalam perilaku sosial ataupun individual “penyakit keroyok-mengeroyok” itu kian sering kambuh pada masyarakat kita dalam bentuk beraneka ragam. Ada banyak kasus perempuan dikeroyok oleh banyak laki-laki gatal; ada pezina ditelanjangi ramai-ramai lalu diarak di sepanjang jalan, ada tukang santet dirajam ramai-ramai, ada tentara mengeroyok polisi dan ada polisi mengeroyok rakyat.

Semua kasus pengamukan atau pengeroyokan itu bukan masalah buta atau melek hukum. Melainkan masalah tradisi, masalah budaya. Dan bangsa yang suka mengamuk atau mengeroyok itu adalah kita, termasuk pejabat pemerintah, apapun pangkat dan jabatannya.

 

PENGEROYOKAN ATAS KESUSASTRAAN

Posisi kesusastraan di Indonesia sama saja dengan posisi makhluk yang lemah. Makhluk yang empuk dikeroyok oleh siapa saja. Oleh pemerintah, oleh kelompok masyarakat, oleh murid sekolah atau mahasiswa, oleh individu termasuk oleh kritisi dan redaksi mass media, oleh penerbit dan juga oleh sarjana sastra.

Pada zaman demokrasi liberal, seorang teman saya menulis kritik atas suatu pertunjukan sandiwara suatu SMA dalam koran “Haluan” Padang. Malamnya waktu teman saya itu baru saja keluar dari bioskop, dia dikeroyok sampai babak-belur. Tidak ada orang membelanya, karena posisi teman saya itu lemah. Pimpinan koran itupun tidak, karena takut dikeroyok pula. Cerita pendek saya yang berjudul “Man Rabbuka” diprotes lisan oleh seorang pembaca. Esok harinya redaktur koran itu menyatakan bahwa cerpen itu dianggap tidak ada saja, dan redaksi meminta maaf ke seluruh pembacanya. Coba berani-berani tidak minta maaf.

Pada zaman Demokrasi Terpimpin, kantor majalah “Sastra” di Jakarta dikeroyok karena memuat cerpen “Langit Makin Mendung” dan H.B.Jassin, penanggung jawab redaksinya dihukum oleh Pengadilan Negeri. Banyak karya sastra dilarang beredar karena pengarangnya dinilai “Nekolim”. Sebaliknya buku “Di Luar Dugaan” dan “Isteri Seorang Sahabat” karya Soewardi Idris ditarik dari peredaran oleh penerbitnya sendiri, karena diprotes oleh orang-orang PRRI setelah mereka kalah perang. Kemudian setelah Demokrasi Terpimpin tumbang dan digantikan oleh Orde Baru, semua karya sastrawan yang terlibat G30S dilarang beredar. Dalam hal larang melarang sikap pemerintah Orde Lama dengan Orde Baru sama saja. Namun pemerintah Orde Baru lebih berlebihan tindakannya. Karena orang yang mengedarkan buku terlarang karya Pramudya Ananta Toer bisa dipenjarakan karena dituduh subversi. Sedangkan pengarangnya sendiri tidak diapakan. Pada zaman penjajahan Belanda, sastrawan Maisir Thaib menulis novel “Ustaz A. Ma'syuk”. Ulama tarekat memprotes pakai rapat umum segala. Pemerintah akhirnya melarang buku itu beredar, tapi tidak menyitanya. Tidak ada gerombolan yang mengobrak abrik kantor penerbit buku, Maisir Thaib pun menulis buku lain yang berjudul “Mr. Leider Semangat”. Ia terkena delik dan dipenjarakan, bukunya disita. Tapi penerbitnya boleh jalan terus. Saya tidak tahu sebuah buku tertimpa nasib malang dewasa ini, apakah penerbitnya bisa jalan terus? Apakah Hasta Mitra yang menerbitkan Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer yang dilarang beredar itu masih hidup? Yang saya tahu pasti, apabila koran atau majalah memuat artikel yang tidak disukai, maka pemerintah segera mencabut izin usaha penerbitannya, tanpa melalui hukum di pengadilan. Artinya tidak ada hak untuk membela diri.

Nampaknya pemerintah Indonesia bertindak lebih efektif dan lebih radikal dari pada pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda memenjarakan pengarang yang terkena delik melalui proses pengadilan, bukunya disita, tapi penerbitnya bisa jalan terus. Pemerintah Orde Lama bertindak lebih sengit. Penerbit bisa ditutup, pengarang dipenjarakan tanpa diadili dan kantor penerbit boleh diobrak-abrik massa.

Di kota kelahiran saya, 60 tahun yang lalu, para ulama setempat sangat risau melihat aktivitas mubaligh Ahmadiyah. Ayah Hamka, Syekh Karim Amrullah menantangnya berdebat di depan umum dalam gedung bioskop. Sepuluh tahun yang lalu Nazwar Sjamsu menulis buku agama. Ulama di Sumatera Utara ribut-ribut dan Jaksa Tinggi di sana mengeluarkan perintah sitaan. Sedangkan di Sumatera Barat sendiri, tempat Nazwar Sjamsu berada, para ulamanya tenang-tenang saja. Ulama di sana mengatakan: “Jika buku Nazwar Sjamsu itu tidak benar, tulislah buku yang benar.” Tapi sekitar sebulan lalu MUI Sumatera Barat mengeluarkan fatwa, bahwa Darul Arqam dinyatakan sebagai aliran sesat supaya dilarang di Sumatera Barat. Pemerintah setuju. Di sini terlihat, bahwa masyarakat dan pemerintah di daerah saya, sudah mulai bersikap di bawah garis intelektual. Lembaga ijtihad dalam Islam sudah mati. Mungkin jadi ulama setempat telah sangsi akan kebenaran ilmunya, maka mereka cemas pada perkembangan Darul Arqam. Karena tidak ada buku atau tulisan diterbitkan MUI, masyarakat tetap tidak tahu tentang apa yang menyimpang pada ajaran Darul Arqam itu. Kepada umat tetap dipupuk sikap: “Percaya sajalah kepada ulama”. Ada perbedaan tabiat ulama masa penjajahan dengan masa merdeka yang demokratis dimana pendidikan tinggi telah memproduk ribuan ilmuwan.

 

SIKAP APA YANG DAPAT DILAKUKAN SASTRAWAN

Jika pemerintah dan masyarakat suka main keroyok atau larang-melarang apa yang dapat dilakukan oleh sastrawan apabila karyanya terkena larangan? Ke mana sastrawan mengadu dan menyampaikan bandingan, baik secara hukum atau ilmiah?

Jika dilihat pada gejalanya pertumbuhan dan perkembangan kesusastraan menjadi kerdil. Yang berkembang pesat dewasa inilah ialah kritik dan ilmu sastra. Sekurang-kurangnya telah lahir 500 sarjana sastra setiap tahun. Apa yang dilakukan mereka ini untuk membela kepentingan kesusastraan? Dari 500 orang ini mungkin hanya 1 atau 2 saja yang jadi pakar, sedangkan yang lain jadi parasit sastra, yang kerjanya hanya mengutik-utik karya yang itu-itu saja tanpa kemampuan mengembangkan aspresiasi kepada masyarakat.

Saya pikir, ribuan sarjana sastra yang telah diproduk dengan biaya mahal itu hanyalah menjadi orang-orang yang mubazir. Ilmu yang diperolehnya tidak bermanfaat bagi dirinya sendiri, apalagi bagi orang lain dan bagi sastrawan.

Kesusastraan Indonesia nampaknya menjadi makhluk lemah di tanah airnya sendiri. Karena itu dia senantiasa terkena tradisi keroyokan semua pihak. Pemerintah tidak menyukai suburnya kesusastraan, seperti sesubur pertumbuhan bidang komersial. Redaktur mass media lebih merasa aman menjadi lembaga sensor karya sastra, supaya lapangan hidupnya tidak tergusur. Kritikus, sarjana dan lembaga perguruan tinggi sastra lebih suka mengebiri intelektualitas demi keamanan profesi mereka. Mereka seperti kehilangan nyali untuk menyampaikan kebenaran ilmiah.

Sebagai sebuah paduan suara, mereka sama berkata bahwa kesusastraan Indonesia terpencil, dan dalam nyanyian refreinnya dikatakan bahwa sastrawan sebagai orang-orang yang di atas awan. Tidak ada yang mengatakan kenapa begitu. Dan lebih tidak ada lagi yang mengatakan bagaimana supaya tidak begitu.

Menurut saya, mental serta moral kritikus dan sarjana sastra Indonesia pun sedang berada di bawah garis intelektual. Mereka seolah-olah tidak mau mengangkat masalah yang paling esensial, untuk menanyakan kenapa kesusastraan kian menjadi kerdil. Mereka menjadi bisu untuk membicarakan karya sastra yang dilarang, seperti karya Pramudya atau Utuy yang klasik, yang terbit sebelum mereka ikut Lekra. Berapa banyak kritikus atau sarjana sastra telah menjadi orang sekapal dengan para penerbit yang tahu diri, sama ikut aktif menyensor sendiri apa yang boleh atau tidak boleh diungkapkan, agar hidup bisa selamat dunia dan akhirat. Dengan demikian mereka sesungguhnya telah ikut serta membunuh kreativitas. Berpihak atau setidak-tidaknya memberi toleransi terhadap kebijaksanaan pemerintah yang keliru. Mereka sama membiarkan saja nasib yang menimpa kesusastraan sebagai objek keroyokan. Seolah-olah kreativitas dan kesusastraan Indonesia menjadi persoalan sastrawan semata, bukan masalah kebudayaan. Padahal kritikus dan sarjana sastra telah lebih banyak mengecap manfaat karya sastra itu daripada pengarangnya sendiri, baik moril ataupun materil.

 

PENUTUP

Karya sastra dewasa ini cenderung melukiskan hal yang abstrak atau imajinatif atau dengan simbol-simbol yang eufemisme, agar lolos sensor penerbit. Semua tahu, bahwa karya sastra bukan diciptakan sebagai barang yang ganjil difungsikan sebagai objek studi atau disimpan dalam rak buku perpustakaan. Padahal padanya senantiasa ada sesuatu yang disampaikannya, yang sangat esensial dari sastrawan sebagai manusia berakal budi. Karya sastra tidak terlepas dari ungkapan refleksi batin sastrawan tentang masalah manusia dan kemanusiaan. Namun para pakar sastra tidak membicarakannya secara gamblang dan kritis. Kalaupun mereka bicara, mereka bicara samar-samar dengan memakai istilah yang eufemistis. Bahasa yang lazim digunakan oleh politisi atau pejabat negara masa kini. Sehingga sastra kian tidak dipahami.

Menurut saya, pemerintah telah melakukan banyak tindakan dan kebijaksanaan yang keliru terhadap kesusastraan. Siapa yang mesti memberitahukan itu kepada pemerintah? Apakah sastrawan saja? Apakah kritikus sastra yang telaahannya sangat kritis atau sarjana sastra yang memperoleh kredibilitas sebagai pakar yang diakui oleh negara? Ataukah kita sama sepakat membiarkan pemerintah terus terperosok dalam kekeliruan dan kesalahan? Ataukah kita sama-sama membiarkan diri kita sebagai pengecut atau munafik?***

 

Sumber:

http://horisononline.or.id/esai/sikap-sastrawan-terhadap-kebijaksanaan-pemerintah-dalam-masalah-kesusastraan

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler