Skip to Content

Untuk Siapa Senimu?

Foto bikonfz

Untuk Siapa Senimu?

Oleh:

Biko Nabih Fikri Zufar

(Mahasiswa Sosiologi Fisip Unsoed 2013, DJ, Staf Penelitian dan Pengembangan UKM Remoef Unsoed 2015/2016, dan Divisi Kampanye Massa Front Mahasiswa Nasional Ranting Unsoed)

 

“Dalam huruf dan angka ada kepentingan, dalam ucapan dan tindakan ada kepentingan”

 

Segala hal yang menjadi aktivitas manusia memiliki dasar tujuan, mulai dari bangun hingga tidur lagi. Disela-sela aktivitas itu selalu hambar atau monoton jika tidak ditambahi suatu hal yang menyenangkan, menyegarkan pikiran, atau menenangkan jiwa. Salah satunya seni, banyak dari berbagai kalangan beranggapan seni adalah sebuah keindahan yang kemudian didaur ulang oleh manusia untuk dijadikan media kepentingannya.

Seni merupakan salah satu cabang dari kebudayaan. Sebuah perilaku dan tindakan manusia yang terus-menerus diulang serta disosialisasikan ke generasi selanjutnya. Tapi sebelum itu terjadi, sains membuktikan bahwasanya seni berasal dari inderawi manusia[1]. Sebut saja bunyi, getaran yang menghasilkan bunyi dari benda atau sumber bunyi apapun jika tidak pada golongan frekuensi bunyi audiosonik kisaran 20 Hz-20.000 Hz bisa dipastikan tidak bisa didengar oleh manusia[2]. Setelah itu mata tidak mampu melihat apa yang sering kita sebut suatu keindahan alam jika kekurangan cahaya. Inilah sebagai bukti manusia hanya mendaur ulang dari kondisi yang sudah diberikan oleh alam.

Secara sosial seni tidak bisa lepas dari kondisi ekonomi-politik yang ada di dalam masyarakat. Setiap lini sosial manusia tidak bisa dilepaskan oleh realitas ekonomi-politik. Oleh karenanya sangatlah penting memahami seni secara komprehensif dalam setiap fase perkembangannya. Mengambil teori perkembangan masyarakat milik Marx yang membagi perkembangan masyarakat menjadi beberapa fase mulai dari komunal primitif hingga fase masyarakat komunal modern[3].

Dalam fase komunal-primitif yang dianggap terbelakang oleh manusia modern saat ini, dari sinilah seni mulai tumbuh. Pola yang berburu dan nomaden memaksa manusia untuk lebih kreatif dalam bertahan hidup. Kehidupan yang berkolektif dengan sistem pembagian kerja yang adil menjadikan manusia di era komunal primitif mampu bertahan hidup dari kerasnya alam. Misalkan saja manusia menemukan api untuk mendapatkan kehangatan dengan cara menggesek batu atau kaum perempuan menemukan sistem bercocok tanam. Era komunal primitif menjadi cikal-bakal atau embrio lahirnya seni secara disengaja ataupun tidak.

Bahkan dari sini teater mulai lahir, bermula dari paham kehidupan primitif ini dimulai dari kondisi manusia primitif membangun kehidupannya melalui komunikasi antar manusia pada zamannya. Kesederhanaan logika yang berdampak pada cara-cara berkomunikasi manusia primitif, bisa dimaklumi bahwa pada awalnya teater sangat terikat oleh bentuk-bentuk imitasi atau peniruan karakter. Misalnya, seorang atau sekelompok manusia primitif harus mendapatkan makanan dengan cara berburu. Mereka harus menirukan cara-cara berkomunikasi binatang buruannya agar dapat memancing hewan buruannya datang. Pada era ini pula, topeng memegang peranan sangat penting untuk lebih mendekatkan objek tiruan dengan binatang buruan. Hal itu dilakukan bertujuan dalam memudahkan manusia primitif melakukan kegiatan berburu.

Akan tetapi semakin majunya kebudayaan manusia di era komunal primitif, memaksa manusia untuk terus mencari sumber daya alam sebagai bahan makanan. Berawal dari semakin sulit mencari sumber daya makanan dan terus melakukan ekspansi menyebabkan terjadi peperangan, mengakibatkan kelompok yang kalah harus dikuasai oleh pemenang perang. Mereka akhirnya saling berebut menguasai dan mempertahankan sumber daya makanannya. Dari sinilah muncul embrio fase perbudakan dimulai dalam sistem tatanan sosial manusia.

Memasuki era perbudakan adalah fase ketimpangan sosial manusia dimulai. Manusia mulai menetap meskipun masih tetap melakukan aktivitas berburu. Adanya kemajuan dari alat produksi menjadi logam yang tadinya kayu bertujuan agar lebih efisien dalam melakukan kegiatan produksi guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Katrol sederhana sudah mulai diterapkan di era perbudakan untuk mengangkat barang. Mulai lahirnya filosof atau pemikir yang sejatinya orang-orang pengangguran karena partisipasi kerja dalam produksi dilimpahkan kepada para budak. Peperangan yang mulai massif untuk menguasai teritori satu dengan teritori lainnya. Kemudian sebuah pertunjukan gladiator sebagai bentuk hiburan masyarakat dan tuan budak pada saat itu[4]. Patung, candi, atau bangunan tempat tinggal yang dibangun dari keringat dan darah budak sebagai bentuk penghisapan yang dilakukan penguasa[5]. Ada lagi lukisan-lukisan yang menggambarkan situasi ataupun kondisi perbudakan, untuk memperlihatkan bahwasanya penghisapan dan penindasan itu nyata[6]. Itulah seni mulai tarik ulur untuk digunakan oleh rezim dalam melanggengkan kekuasaan atau kepentingan rakyat.

Pecahnya revolusi yang diyakini merombak tatanan sosial masyarakat semakin mengkomplekskan sistem perbudakan yang dilegitimasi dalam wujud feodalisme. Feodalisme hadir atas penguasaan lahan atau tanah yang melahirkan dua klas yang tidak akan terdamaikan antara tuan tanah dan tani hamba. Feodalisme adalah sebuah sistem pemerintahan yang dipegang oleh tuan feodal untuk menaungi  para vassal yang telah menyerahkan fief, pemerintahan semacam itu disebut sistem feodal[7]. Tanah sebagai sasaran produksi paling utama dimiliki atau dimonopoli oleh beberapa orang saja. Akan tetapi dalam corak sistem feodal ini tanah yang dimiliki tersebut disewakan kepada tani hamba yang tidak memiliki tanah untuk digarap[8]. Corak produksi yang berkembang juga semembuat penghisapan dan penindasan semakin nyata atas kondisi sosial rakyat feodal. Hadirnya bentuk pemerintahan menghasilkan produk hukum yang melanggengkan dan mendukung penghisapan. Rakyat di era feodal dihisap melalui corak produksi dan ditindas melalui regulasi yang dikeluarkan pemerintahan untuk melanggengkan sistem tuan tanah.

Corak produksi yang menghisap dan menindas juga menghasilkan seni yang mengaburkan permasalahan rakyat, menghasilkan karya-karya yang kolot serta tidak berkembang. Penyebabnya berasal dari tidak berkembangnya ilmu pengetahuan akibat kuatnya doktrinasi sehingga seni juga tidak dapat berkembang. Mitos dan hal yang berbau mistik menjadi makanan wajib yang ada di tengah masyarakat mengkonstruk pikiran masyarakat menjadi anti ilmiah. Bahkan seni diidentikkan oleh hal-hal yang berbau keindahan dan menonjolkan sifat humanistik manusia semata.

Feodalisme melahirkan seniman semacam William Shakspeare yang terus konsisten dengan karyanya yang betul-betul jauh dari kondisi objektif masyarakat. Ia berhasil mengaburkan kondisi penghisapan dan penindasan di era feodalisme melalui karyanya, salah satunya novel berjudul Romeo dan Julia. Kisah cinta yang dibalut perseteruan horizontal memalingkan dunia akan kejamnya penghisapan dan penindasan yang dilakukan oleh tuan tanah. Belum lagi ia berhasil mengagung-agungkan kekuatan Julius Caesar lewat karyanya. Disisi lain kondisi yang parah tersebut juga menghasilkan yang tidak terduga, lahirnya parfum yang awalnya hanya bisa digunakan oleh elit bangsawan kemudian dipersembahkan untuk rakyat secara luas[9].

Pergulatan perlawanan demi perlawanan terus bermunculan selama berabad-abad lamanya akhirnya mampu meruntuhkan dominasi feodalisme yang mencengkeram masyarakat. Runtuhnya feodalisme dibarengi dengan semakin pesatnya ilmu pengetahuan di benua Eropa. Revolusi yang terjadi di beberapa negara Inggris, Jerman, Perancis, Uni Soviet, dan Tiongkok yang mampu meruntuhkan dominasi kekuasaan feodal. Disitulah penemuan-penemuan baru terus bermunculan pasca revolusi telah terjadi, salah satunya ditemukannya mesin uap oleh James Watt[10]. Setiap negara mulai memperbaharui corak produksi yang tadinya terbelakang menggunakan tenaga manusia, mulai ditemukannya mesin menggantikan tenaga manusia. Inilah era dengan kondisi yang disebut Pasar Bebas atau persaingan sempurna.

Pasar bebas adalah kondisi seluruh negara mempunyai modal dan sasaran produksi yang sama sehingga setiap negara dianggap sejajar dalam urusan persaingan perdagangan skala internasional[11]. Seiring berjalannya waktu konflik pun tidak dapat dihindarkan antar negara dalam sebuah persaingan. Mulai dari perang dunia I hingga perang dunia II menghasilkan pemenang tunggal yang berbeda. Di perang dunia I Inggris mencuat menjadi pemenang tunggal, kemudian di perang dunia II memenangkan AS sebagai negara pemenang hingga saat ini. Kondisi ini yang kemudian menghasilkan seniman-seniman yang menelurkan karya pada fokusan isu perdamaian dunia. Disisi lain juga menghasilkan teoritikus atau intelektual post-strukturalis yang pesimis akan terjadinya perubahan secara menyeluruh. Dari sinilah dimulai dengan adanya istilah seni yang mengikuti arus pasar yang dibentuk oleh borjuasi lewat industri seninya yang memaksa seniman untuk tunduk dalam aturan pasar. Karena alat produksi yang dimiliki oleh seniman diciptakan melalui borjuasi pemilik industri.

Menoropong arah seni dalam industrialisasi kapitalisme membuat seni menjadi komoditas yang berharga untuk diperjual-belikan[12]. Jika mengutip dari Marx, seni dijadikan sebagai alat atau media propaganda entah itu oleh rezim yang berkuasa atau oleh massa rakyat[13]. Sehingga perebutan keberpihakan dalam dialektika seni terus terjadi tanpa henti. Begitulah yang terjadi selama masa kapitalisme sehingga ia mencari keuntungan dalam setiap lika-liku kesenian. Di seni pertunjukkan misalnya, banyak film yang bertemakan perang untuk meraup keuntungan dari penonton. Di seni musik kita bisa dengarkan beberapa karya The Beatles yang menginginkan perdamaian, bahkan John Lennon sendiri mencetuskan melakukan gerakan Revolusi Kamar Tidur beserta dengan istrinya Yoko Ono[14]. Bahkan pergerakan rap di Amerika terus digerogoti lewat adu domba yang menghasilkan genre gangsta menghasilkan perselisihan antara sesama rapper[15]. Bentuk industrialisasi seni dalam hal ini juga menghasilkan gerakan Flower Generation yang kemudian melupakan permasalahan pokok rakyat, dampaknya adalah menciptakan pemuda-pemuda yang mayoritas pengangguran dan memutuskan untuk menjadi sampah masyarakat (hippies)[16]. Kapitalisme menciptakan pasar yang menguntungkan bagi dirinya sendiri dan menghasilkan teori-teori postmodernisme untuk melupakan metanarasi yang ada pada rakyat. Ia menghapuskan perlawanan rakyat dalam menghapuskan penghisapan dan penindasan. Sebut saja tokoh-tokoh postmo mulai dari mazhab Frankfurt Theodor Adorno hingga postmo Lyotard sebagai intetelektual diaspora.

Begitu pula dengan pentas pertunjukan teater, teater modern dapat dicirikan dengan dua komponen dasar yakni sutradara dan aktor. Prinsip teater modern dicirikan oleh pendapat Jacques Copeau pendiri Theatre du Vieux-Columbier (1913), yakni dengan manifestonya sebuah panggung kosong, sebuah ruang hampa (‘Pour l’oeuvre nouvelle qu’on nous laisse un treateau nu!). Robert Cohen juga menyebutkan bahwa teater modern dicirikan dari adanya Revolusi Politik di Amerika (1776), dan Perancis (1789) yang dengan sendirinya mengubah struktur politik dunia Barat, dan revolusi industri/teknologi yang memeriksa secara besar-besaran sistem ekonomi dan sosial banyak negara. Revolusi ini juga terjadi secara simultan pada lapangan intelektual dalam filsafat, ilmu pengetahuan, pemahaman sosial, dan masyarakat yang tak beragama.

Perkembangan ini mulai terasa berbeda ketika abad ke-19 lebih tepatnya berkembang sebuah aliran seni naturalisme yang menjamur pada saat itu di Eropa, kemudian menghasilkan cabang barunya yaitu impresionisme. Impresionisme mengedepankan seni untuk seni tanpa memandang hakikat seni sebagai alat untuk menyalurkan sebuah gagasan atau kondisi objektif. Menjadi sebuah tamparan keras bagi orang-orang naturalisme dahulu, karena ini disadur dari naturalisme dan kemudian dikembangkan oleh borjuasi menjadi sebuah aliran baru. Pengaruh ini pun semakin terasa di kalangan sesama seniman, kemudian menjadi sebuah perseteruan yang terus terjadi antara golongan realisme dan impresionisme.

            Sebagai pemenang tunggal dalam perang dunia II, AS mulai gencar menancapkan kekuatannya ke setiap negara-negara kalah perang dalam hal apapun, salah satunya ekonomi. Ia mulai menggeser kekuatan Inggris dalam segi ekonomi-politik dengan beberapa program yang ditawarkan kepada dunia, yaitu program Marshall Plan dan Bretton Woods. Adanya dua program tersebut memproklamirkan bahwasanya AS sebagai negara Imperialis yang mencengkeram dunia. Marshall Plan adalah sebuah program pasca perang dunia II sebagai perencanaan pembangunan ekonomi skala besar untuk membangkitkan hasrat perekonomian bagi negara pecundang perang dan negara jajahan dalam bentuk pinjaman atau hutang[17]. Landasan ini dicetuskan oleh George C. Marshall yang pada waktu itu menjabat sebagai sekretaris negara[18]. Ini juga tidak terlepas dari doktrin Truman yang mengatakan bahwasanya demokrasi-liberal yang diusung oleh AS merupakan ideologi yang paling tepat daripada sosialis atau komunis yang dibawa oleh Uni Soviet. Karena pada saat itu memang kondisinya AS dan Uni Soviet masih dalam situasi Perang Dingin yang harus beradu menawarkan ideologi kepada dunia, meskipun kedua negara tersebut adalah kawan semasa Perang Dunia I dan Perang Dunia II.

            Belum lama skema Marshall Plan dicetuskan AS mulai menggencarkan kembali skema kapital finance ke dalam sebuah produk Bretton Woods yang dapat menimbulkan efek domino bagi negara-negara lainnya. Produknya yang saat ini masih dirasakan adalah adanya lembaga atau bankir internasional macam IMF dan World Bank. Sebuah tawaran skema yang luar biasa imperialis AS dalam membangun pondasi penguasaannya atas negara-negara di dunia. Bagaimana tidak dalam program ini AS meminjamkan kepada negara-negara yang kalah perang beserta negara setengah jajahannya dalam bentuk emas. Karena pada saat itu alat tukar yang paling tinggi masih dalam bentuk emas, pinjaman tersebut ditakar dengan konversi USD 35/ons emas[19]. Inilah embrio dollar sebagai acuan nilai tukar mata uang dunia, karena hampir seluruh negara dipaksa untuk melakukan pinjaman dana. AS semakin memantapkan dominasi di bidang ekonomi lewat program tersebut. Terasa hingga sekarang efek domino dari penyebab kedua program tersebut, karena imperialisme terus digerogoti krisis dalam tubuhnya sendiri dan takkan pernah terselesaikan. Masalahnya biaya dominasi langsung imperialis terhadap dunia kolonial adalah lebih besar daripada keuntungan yang mereka peroleh dalam eksploitasi.

            Semakin terlihat nyata wajah AS sebagai negara imperialisme, wataknya imperialisme semakin diperjelas. Ciri-ciri sebagai negara imperialisme ada di tubuhnya, seperti yang pernah disebutkan oleh Lennin dalam bukunya Imperialism, The Highest Stage of Capitalism.

(1) Konsentrasi produksi dan kapital telah berkembang ke sebuah tahapan yang begitu tinggi sehingga menciptakan monopoli-monopoli yang memainkan sebuah peran menentukan di dalam kehidupan ekonomi; (2) Merger antara kapital perbankan dan kapital industrial, dan pembentukan, berdasarkan “kapital finansial” ini, sebuah oligarki finansial; (3) Ekspor kapital, yang berbeda dari ekspor komoditas, menjadi jauh lebih penting; (4) Pembentukan asosiasi-asosiasi monopoli kapitalis internasional yang membagi dunia di antara diri mereka sendiri, dan (5) pembagian teritorial dari seluruh dunia oleh kekuatan-kekuatan kapitalis terbesar telah selesai. Imperialisme adalah kapitalisme pada tahap perkembangan dimana dominasi monopoli dan kapital finansial telah menjadi kenyataan, dimana ekspor kapital telah menjadi sangat penting; dimana pembagian dunia di antara sindikat-sindikat internasional telah dimulai; dimana pembagian teritori-teritori dunia di antara kekuatan-kekuatan kapitalis terbesar telah selesai[20].

Kita bisa lihat AS mampu mengkondisikan semuanya, membuat lembaga atau mengkelompokkan negara agar mudah melakukan konsolidasi untuk terus menghisap dan menindas massa rakyat.

            Begitulah kondisi internasional yang terjadi berdampak pada penentuan arah seni yang terus ditarik ulur untuk kepentingan pihak yang mana. Kalangan seniman yang keblinger biasanya lebih memilih menyatakan karyanya yang orisinil merupakan buah ide yang ditumpahkan pada sebuah karya. Sedangkan seniman jika kita runtut seusai hakikatnya ia harus mampu berbicara jujur mengenai kondisi lingkungannya, mengutamakan keadaan objektif tanpa mengada-ada atau dibuat-buat. Mereka seniman yang hanya bisa menumpahkan ide atau tidak sesuai dengan kondisi objektifnya dalam sebuah karya, tentunya akan terjerembab dalam pasar arus utama yang mengharuskan ia untuk mengikuti selera pasar. Mau tidak mau, diakui atau tidak tubuh dan pikirannya telah laku terjual oleh imperialisme lewat kaki tangannya ke dalam industri seni. Seni mulai kehilangan jati dirinya, ia hanya akan menjadi sebuah pemuas hasrat kesenangan inderawi dengan menampilkan estetika tanpa ada subtansi pokok yang terkandung di dalamnya.

 

- Salam Seni Keberpihakan -

 

 

 


[1] Hauskeller, Micha

el. Seni-Apa Itu? Posisi Estetika dari Plato sampai Danto. Yogyakarta: PT Kanisius, 2015

[2] http://klikbelajar.com/umum/frekuensi-pada-bunyi/ diakses pada Sabtu 26 Desember 2015 pukul 20.04 WIB

[3] Ritzer, George. Teori Sosiologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.

[4] Film Spartacus

[5] https://id.wikipedia.org/wiki/Borobudur diakses pada Minggu 2 Januari 2016 pukul 01.20 WIB

[6] https://id.wikipedia.org/wiki/Perbudakan#Referensi diakses pada Minggu 2 Januari 2016 pukul 01.20 WIB

[7] Lucas, Henry S. Sejarah Peradaban Barat, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1993. 

[8] Fink, Hans. Filsafat Sosial Dari Feodalisme Hingga Pasar Bebas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

[9] Suskind, Patrick. Perfume The Story of a Murderer, Jakarta: Dastan Books, 2008.

[10] http://www.ceritakecil.com/tokoh-ilmuwan-dan-penemu/James-Watt-2 diakses pada 28 Januari 2016 pukul 11.26 WIB

[11] Todaro, Michael P. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta: Erlangga, 2004.

[12] Soetomo, Greg. Krisis Seni Krisis Kesadaran, Yogyakarta: Kanisius, 2007.

[13] Magee, Bryan. The Story of Philosophy. Yogyakarta: Kanisius, 2008.

[14] Davis, Hunter. Surat-Surat John Lennon, Jakarta: PT Pustaka Alvabet, 2014.

[15] Bambataa dkk. Hip-Hop: Perlawanan Dari Ghetto, Yogyakarta: Alinea, 2005.

[16] http://www.andriewongso.com/articles/details/12998/Flower-Generation diakses pada 28 Januari 2016 pukul 19.21 WIB

[17] Haryo Prasodjo, Peran Marshall Plan Dalam Politik Pembendungan AS Terhadap Uni Soviet Pasca Perang Dunia II di Eropa, www.haryoprasodjo.com 30 Januari 2016 http://www.haryoprasodjo.com/2013/04/peran-marshall-plan-dalam-politik.html

[18] https://id.wikipedia.org/wiki/Rencana_Marshall diakses pada 31 Januari 2016 pukul 11.29 WIB

[19] Chikita Hesa Nova Pratama, Makalah Ekonomi Politik Internasional: Ekonomi Politik Keuangan dan Moneter Internasional (Studi Kasus Krisis Moneter Thailand Tahun 1997), www.academia.edu 29 Januari 2016https://www.academia.edu/8565213/Makalah_Ekonomi_Politik_Internasional_EKONOMI_POLITIK_KEUANGAN_DAN_MONETER_INTERNASIONAL_Dengan_Studi_Kasus_Krisis_Moneter_1997_di_Thailand_Disusun_oleh_Chikita_Hesa_Nova_Pratama_125120401111018

[20] https://www.marxists.org/indonesia/archive/lenin/1916/1916-tahapankhusus.htm diakses pada 30 Januari 2016 pukul 11.11 WIB

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler