Skip to Content

WARNA-WARNI WANITA PENYAIR

Foto SIHALOHOLISTICK

Maman S. Mahayanað

Penyair sejati adalah pewarta yang menyampaikan sesuatu tidak untuk dirinya sendiri. Ia bukan sosok penyanyi di kamar mandi. Maka kegelisahan individu yang mengganggu seorang penyair, mesti berbuah menjadi problem yang menyangkut dan berkaitan dengan dunia sekitarnya. Kegelisahan seorang penyair –atau sastrawan dan seniman pada umumnya—mestilah merepresentasikan problem individu dalam berhadapan dengan situasi sosio-kultural yang melingkarinya. Dengan demikian, karya yang dihasilkannya merupakan refleksi evaluatif atas berbagai persoalan dirinya dalam keberadaannya di lingkungan masyarakat, persahabatannya dengan alam, atau bahkan dalam ketakjubannya kepada Tuhan. Jadilah refleksi yang semula sangat individual itu, punya cantelan kontekstual, dan bahkan sangat mungkin bersifat universal. Karyanya –puisi yang dilahirkannya—memang mewakili kekhasan diri sosok penyair, tetapi problem yang diangkatnya bukan lagi milik dirinya atau mengenai dirinya an sich, melainkan berkaitan dengan problem manusia dan kemanusiaan.

Sosok penyair sejati adalah ia yang mempunyai kesadaran profesional. Ia konsekuen atas profesi yang digaulinya dan bertanggung jawab atas suara hati nuraninya. Tanpa itu, ia akan jatuh pada keluh-kesah cengeng dan asyik-masyuk dengan romantisisme dirinya sendiri. Jika sudah begitu, ia tinggal menunggu kejatuhannya memasuki ombak dalam gelas atau menjadi penyanyi di kamar mandi. Itulah konsekuensi menempatkan diri sebagai penyair. Ada tuntutan tertentu yang melekat bersamaan dengan status dan peran yang dimainkannya.

Dalam konteks itu, ada pula tuntutan moral dan sekaligus intelektual yang menyertainya. Tuntutan moral memaksanya harus jujur pada hati nurani dan peka terhadap lingkungan sosio-kultural di persekitaran. Dan tuntutan intelektual memaksanya menempatkan puisi–karya yang dihasilkannya itu– tidak semata-mata sebagai buah ekspresi, melainkan sebagai hasil pergulatan kultural dalam proses yang tidak sekali jadi. Dengan cara itu pula, ia sekaligus telah memainkan peran sosialnya. Mengingat puisi disaranai oleh bahasa sebagai mediumnya, maka ia juga seyogianya memperlihatkan estetikanya sendiri di dalam fungsinya memberi kenikmatan spiritual bagi pembacanya.

Kemampuan melahirkan estetika itulah yang menuntut kedalaman ekspresi, keluasan wawasan imajinasi, dan kecerdasan intelektualitas penyairnya. Dengan demikian, puisi tidak mewujud dalam deretan kata tanpa makna, baris-baris kalimat yang penuh kegelapan, tetapi bermetamorfosis menjadi buah segar yang dapat dinikmati pembacanya sampai entah kapan, betapapun buah itu terasa pahit dan tak gampang dikunyah.

Puisi hendaknya tidak dijadikan sebagai alat: entah untuk berkeluh-kesah atau sekadar pelepas rasa rindu, layaknya anak-anak remaja yang sedang dilanda asmara dan menyampaikan cintanya lewat puisi. Ketika puisi secara sadar digunakan sebagai alat, ia tak hanya telah diperkosa oleh penyairnya sendiri, tetapi juga akan kehilangan ruh estetikanya. Jika begitu, ia akan menjadi seonggok kata tanpa makna atau menjadi artefak tak berjiwa, seperti deretan patung wanita cantik yang dipajang di etalase toko.

Puisi atau teks apapun, sesungguhnya dilahirkan dengan membawa nasib dan peruntungannya sendiri; mempunyai jalan hidupnya sendiri yang mungkin bakal berumur panjang atau mati seketika dalam usia pendek. Maka, biar ia panjang usia dan tak lekang ditelan zaman, jadikanlah puisi itu seperti anak panah yang setiap saat siap menghunjam kalbu para pembacanya. Oleh karena itu, manakala seorang penyair hendak mencetak anak panah itu, ia mesti piawai dan sungguh-sungguh mengolah segala bahan yang dimilikinya. Dengan kesadaran itu, penyair akan senantiasa cermat, hemat dan tepat dalam mengolah kata dan menyusunnya kembali menjadi sepenggal puisi. Agar puisi yang dilahirkannya benar-benar menjadi anak panah, maka di dalam proses kreatifnya, penyair tidak perlu tergesa-gesa dan berkehendak ingin segera merampungkannya.

***

Memandang Surat Putih 2 yang memuat 63 buah puisi karya 25 perempuan penyair, kita segera tergoda untuk membayangkan berbagai hal yang berkaitan dengan dunia wanita. Problem jender, pelecehan seksual, keagungan sosok seorang ibu, kehidupan rumah tangga, perselingkuhan, kesetiaan, pergunjingan, atau deretan persoalan lain yang kerap dianggap telah melekat dalam kehidupan kaum perempuan. Nyatanya, setelah mencermatinya lebih dekat, secara tematis, sebagian besar puisi yang termuat dalam antologi ini, nyaris tak berbeda dengan puisi yang ditulis kaum lelaki. Sebagian besar dari ke-25 perempuan penyair ini seperti tidak hendak mengangkat problem kaumnya yang justru kini banyak diusung kaum femenis.

Meski tema dalam puisi bukanlah segala-galanya, setidak-tidaknya, antologi ini mesti dicurigai merepresentasikan kecenderungan tertentu para penyairnya.

Untuk selanjutnya, barangkali eloklah dipikirkan pemilihan puisi didasari oleh kriteria yang mengacu pada tema atau hal tertentu yang memberi kekhasan. Atau, katakanlah, mengusung tema-tema tertentu, agar kesan “asal kumpul” tidak terjadi. Dengan begitu, terlepas karya perempuan siapa pun yang hendak dimuat, arah dan tujuan penerbitan antologi sejenis akan menjadi lebih jelas. Jadi, meski sangat mungkin penerbitan antologi ini didasari sikap tanpa pretensi, tetap saja –langsung atau tidak langsung—di dalamnya tersirat tujuan yang bersifat ideologis.

Dalam hubungannya dengan urusan teknis inilah, salah satu persoalan yang muncul dalam antologi ini justru lantaran ke-25 perempuan penyair ini mengangkat tema yang begitu beragam. Akibatnya, kita seperti disuguhi sebuah kolase yang di dalamnya tersembul kekuatan dan kelemahan yang saling bertumpang-tindih membentuk warna-warni. Ada yang cukup kuat dan berpribadi mewartakan sesuatu, tetapi ada pula yang sekadar menyampaikan keluh-kesah kecengengan.

Untuk memberi gambaran mengenai warna-warni itu, mari kita periksa lebih jauh.

***

Antologi ini diawali dengan sebuah puisi karya Abidah El Khalieqy, berjudul “Telah Kubaca Sejarah”. Ia menempati urutan pertama, lantaran namanya secara alfabetis mendahului yang lain. Narasinya yang mewartakan perang Afgan terkesan seperti berita sekilas info. Boleh jadi lantaran penyair sengaja mengandalkan lompatan ide-ide –seperti juga yang digunakan Abidah dalam sejumlah cerpennya– tentang sejarah peperangan (di Afganistan) (bagian 1), para pengungsi yang mengingatkannya pada hijrah nabi (bagian 2), semangat jihad Usamah (bagian 3), serangan ke New York yang membuat Amerika kalang-kabut (bagian 4), maka peristiwa pertumpahan darah yang sesungguhnya sangat mengerikan itu, seperti disampaikan layaknya orang yang membacakan pengumuman. Wawasan sejarah yang coba dimanfaatkan Abidah, barangkali akan menjadi sangat kuat, jika narasinya lebih mendapat tekanan dan tidak pada simbolisasi yang hendak dilesapkan pada peristiwa peperangan itu.

Dari narasinya yang dibagi ke dalam empat bagian itu, kita hanya menemukan sebuah empati si aku liris. Sayangnya, empati itupun tak mengajak kita berasosiasi pada derita akibat perang. Abidah tampaknya seperti sengaja melupakan citraan (imaji) yang justru penting dalam membangun peristiwa dalam puisi.

Berikutnya, tiga puisi yang ditulis Aning Ayu Kusuma cenderung merupakan refleksi subjektif diri penyairnya yang menerima fitrahnya sebagai perempuan yang setia (“Sajak Adam Hawa”), tabah menjalani kehidupan (“Pengakuan”), dan pesan mengenai ketabahan itu (“Ada Mega…”). Dalam “Pengakuan”, ada tiga nama tokoh sejarah yang muncul di sana: Fatimah, Cleopatra, dan Caesar. Fatimah boleh jadi hendak mewakili perempuan sakinah, setia dan penuh pengorbanan. Tetapi, Cleopatra dan Caesar, agaknya sekadar hendak memperkuat citra keagungan Fatimah. Dengan begitu, dua larik terakhir dalam puisi itu justru terkesan hendak memberi penjelasan kuat citra sosok perempuan Fatimah. Penyebutan nama seorang tokoh juga muncul dalam “Ada Mega…” dalam larik hujan lenyap bersama sayatan Beethoven. Cukup pentingkah nama itu sehingga harus muncul di sana atau ada makna lain yang hendak diwakili seorang Beethoven?

Penyebutan nama tokoh tertentu, jelas mengandung implikasi pada satu peristiwa tertentu. Oleh karena itu, citraan dan asosiasi yang hendak dibangun, mengacu pada simbol, karakter atau peristiwa yang juga tertentu. Jika memang tidak begitu signifikan, patutlah dipertimbangkan untuk tidak menempatkan nama-nama itu sebagai tempelan.

Masih dengan menonjolkan refleksi subjektif, Aning Setiyawati lebih cenderung menekankan perasaan hati dengan coba –dalam beberapa hal—memanfaatkan potret alam: camar, angin, awan, embun, sungai, bunga, daun, dst. Derasnya keinginan untuk menyuarakan perasaan hati inilah yang mewarnai dua buah puisinya yang dimuat antologi ini. Dalam hal ini, kedua puisi Setiyawati ini sesungguhnya akan sangat kuat dan tidak jatuh pada kesan romantik, jika penyair mengangkat fenomena alam justru sebagai representasi suasana hati, dan bukan sebaliknya.

Gambaran yang sejenis dengan cara pengungkapan yang tak jauh berbeda tampak pula pada puisi-puisi karya Asih Ratnawati (“Dilanda …” dan “Mengenang…”), Chye Retty Isnendes (“Menanti”), Imas Sobariah (“Pulang”), Juwairiyah Mawardy (“Satu …” dan “Bagi…”), Nur Wahida Idris (“Panganting …” dan “Sajak …”), Shinta Kusumawati (“Sajak …” dan “Pada …”), Veronica Widyastuti (“Kamu …”, dan Yuliastuti Mandasari (“Perpisahan”). Titik tekan pada perasaan hati tampak begitu menonjol dibandingkan dengan keinginan untuk memberi gambaran pada peristiwa tertentu. Terkesan, suasana perasaan hati—rindu, cinta, duka, nelangsa, dan perasaan sejenis lainnya– yang diangkat dalam sejumlah puisi mereka lebih menyangkut persoalan dirinya sendiri, dan seperti tidak ada hubungannya dengan dunia sekitar. Jika saja para penyair itu menempatkan problemnya sebagai bagian dari problem manusia dan ditempatkan dalam konteks kemanusiaan, dan bukan individu-individu, orang per orang, maka boleh jadi kesan seperti itu tidak akan terjadi.

Salah satu problem yang cukup menonjol dari sejumlah puisi yang disebutkan tadi adalah sarana pengungkapannya yang terlalu pribadi. Dalam puisi “Dilanda Kangeng” Asih, misalnya, bait pertama, dunia makin sepi. Lorong makin sunyi/terasa ada yang menikam/di dalam sini// mewartakan kedukaan si aku liris yang dilanda kesepian. Tetapi kedukaan ini jadi tampak kontradiksi jika kita memperhatikan bait ketiganya. Dengan begitu, kangen pada sesuatu itu jelas bersifat manusia, dan tidak ada hubungannya dengan persoalan transendensi, meski di sana /ada yang mengirimmu doa-doa//.

***

Dari ke-63 puisi karya 25 perempuan penyair ini, lebih dari separohnya justru tak mengisyaratkan persoalan sebagaimana yang tadi disinggung. Sejumlah puisi pendek dalam antologi ini, justru cukup kuat menghadirkan asosiasi dan citraan. “Pesan Pendek Maria” karya Asih Ratnawati, misalnya, memberi ruang yang lebih leluasa bagi pembaca untuk melakukan penafsiran dan pemaknaan: ketika fajar datang/embun pun menetes di bebatuan/kirimkan ciuman/lalu ucapkan selamat tinggal// memperlihat sebuah paradoks tentang harapn yang sia-sia. Kesan itu dinyatakan dalam dua larik awal: ketika fajar datang/embun pun menetes di bebatuan/. Soalnya akan lain jika embun menetes di dedaunan, pepohonan atau rerumputan. Dan kesia-siaan itu ditegaskan lagi oleh ciuman selamat tinggal.

Puisi pendek Badai Muth. Siregar, “Kusangka-sangka” seperti sengaja hendak mencemooh berbagai ramalan manusia. Bahwa di sana, dalam kehidupan, selalu saja ada misteri, rahasia yang tak berjawab. Ironi yang diselusupkan –Rabbi-insan—barangkali juga merepresentasikan banyak hal mengenai kemunafikan. Dan itu disampaikan dengan gaya ringan, berguyon –main-main—mengingatkan kita pada kisah-kisah lucu kaum sufi.

Dengan gaya yang agak berbeda, Fatin Hamama Rijal Syam, “An-Naml” cukup kuat menggiring asosiasi kita pada peristiwa perjalanan Sulaiman. Di balik itu, ada kearifan yang disimbolkan sosok Sulaiman (milyuner) dalam memperlakukan kaum dhuafa yang tak berdaya: ya Tuhan/mereka tak akan/aku sengsarakan//. Simbolisasi seperti itu, juga dimanfaatkan Fatin dalam “Aceh Merdekakah” yang menggambarkan derita rakyat Aceh, hiruk-pikuk tentang Aceh di Ibukota, dan carut-marut Indonesia.

Penyair Rukmi Wisnu Wardhani tampaknya sengaja menggunakan puisi pendek untuk membangun efek yang lebih padat dalam usahanya menggambarkan fragmen peristiwa. Pelukisan tentang peristiwa selepas pemakaman (“Simpati”), misalnya, sebenarnya tak cukup sekadar menorehkan simpati. Di sana ada pertanggungjawaban bagi si mati yang catatan semasa hidupnya dicampakkan atau dibawa pulang para pelayat.

Dalam tema yang lain, “Ranting-Ranting” gambaran tentang kesepian disajikan dengan memanfaatkan benda-benda alam. Citraan model haiku itu seperti disampaikan tanpa beban. Dengan cara itu, puisi ini justru tidak memberi kesempatan munculnya kesan keluh-kesah.

***

Beberapa puisi lain yang juga mengindikasikan kuatnya citraan –salah satu unsur penting dalam puisi—juga tampak dari sejumlah puisi karya Dina Oktaviani dan Ita Dian Novita, meskipun keduanya mengangkat tema yang berbeda. Dina dalam “Nunggu” cukup kuat melukiskan kegelisahan seseorang yang menunggu kekasihnya yang kunjung datang. Kerinduan dalam peristiwa percintaan sesungguhnya hal yang sangat lazim. Dan peristiwa biasa itu menjadi terasa khas manakala potret yang disajikannya berhasil menggiring pembaca untuk membayangkan sesuatu. Dalam hal ini, asosiasi dan citraan menjadi penting. …malam ini/kututup jendela tidak seluruhnya/ –yang mengingatkan pada serupa gadis di balik tirai—Amir Hamzah– menyimpan segumpal harapan tentang kedatangan seorang kekasih. Dan si aku liris berharap sepanjang malam; mengintip …/ mendengar lonceng yang tak tidur lagi.

Ita Dian Novita lebih reflektif menyentuh persoalan religius yang dalam “Kubah” digambarkan terjadinya perubahan sosial hingga tiang-tiang mesjid…/menuju kuburan tua. Sebuah keprihatinan terjadinya pemudaran keimanan. Tema yang juga diusung Akidah Gauzillah dalam “Perempuan …” dan “Halaman …” dengan semangat yang menjanjikan.

***

Secara keseluruhan, Surat Putih 2 memperlihatkan style dan kecenderung yang beragam. Dalam konstelasi peta kepenyairan kita –khasnya dalam konteks sedikitnya penyair wanita—kehadiran para penyair ini –yang tidak lagi menempatkan dirinya sebagai penyanyi di kamar mandi– niscaya memberi optimisme tersendiri. Jika mereka terus-menerus mengasah penanya dan tak menghentikan diri membuka wawasannya, kesemarakan yang kita harapkan itu, tentu tinggal menunggu waktu. Jadi, dari 25 perempuan penyair ini, separuhnya tidak berniat pensiun muda, tak berlebihan jika kita menebarkan banyak harapan dan optimisme.

Kini, kita tinggal menunggu: dari ke-25 perempuan penyair ini, siapakah yang kelak bakal menjadi penyair sejati. Sebuah langkah untuk mencampakkan predikat penyanyi di kamar mandi, telah dimulai. Maka, cetaklah anak panah yang setiap saat siap menembus kalbu para pembaca. Tahniah!

Pw/msm/13/07/02

Komentar

Foto Amdai Yanti Siregar

Terimakasih Kang Maman atas

Terimakasih Kang Maman atas ulasannya....Meski baru hari ini saya membacanya, membuat saya tergugah kembali untuk melanjutkan penerbitan ini.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler