Skip to Content

Wisata Bahasa Cabe-cabean : Sebuah Studi Alternatif

Foto encep abdullah

 Oleh : Dhea Lintang Wengi*

 

Berbaringlah, tanamlah rambutmu di pundakku, biarkan waktu merawatnya bersama cuaca yang tak terbaca, biarkan mereka  tumbuh menjadi apa saja.             

: Lalu ia pun mulai tersenyum, seperti mengantar sebuah isyarat. Dalam kedua binar matanya yang sendu, aku tahu, ia pun ingin membenamkan aku dalam tubuhnya—juga aku yang demikian—maka satulah aku, maka satulah ia.    

            Mereka memilih bahasa isyarat melalui sentuhan-sentuhan, pandangan-pandangan, dan senyuman-senyuman. Mekipun demikian, keduanya paham dengan apa yang ingin dilakukan tanpa harus berkata dengan verbal. Maka bahasa sangat fleksibel dan menyenangkan. Kebakuan dan kekakuan saya kira hanya milik orang-orang yang berada pada kubu Badan Bahasa.

            Sembilan puluh tujuh halaman isi buku yang terangkum dalam Wisata Bahasa Cabe-cabean Encep Abdullah merupakan studi kasus yang kerap kita jumpai. Kepekaan Encep untuk menuliskan itu semua seperti seorang balita dalam masa keemasan. Ia selalu antusias saat menemukan hal-hal baru sekecil apa pun, lalu menuliskannya dengan hati yang meluap-luap. Tidak semua orang peduli dan peka untuk menuliskannya.

Encep Abdullah sebagai penganut KBBI garis keras, menghadirkan kehadirat pembaca sebuah buku pilihan pengganti dari KBBI—saya kira. Bahasa yang dihadirkan begitu ringan dan menyenangkan. Para awam dan pemula yang ingin memelajari bahasa baku dengan mudah bacalah buku ini. Esai Bahasa Plang Jalan Tol misalnya yang menghadirkan bukti konkret kesalahan berbahasa sekaligus pelurusan penggunaannya membuat pembaca mudah menerima pembelajaran ketertiban bahasa yang baik dan benar. Seluruh esai yang terangkum di dalamnya dikemas dengan bahasa yang dipilih Encep bernada main-main. Encep telah berjasil membawa pembaca berwisata. Sebab wisata selalu menyenangkan dan wisata yang menyenangkan adalah membaca Wisata Bahasa Cabe-cabean. Kebakuan yang Encep Abdullah agungkan tidak saya temukan dalam pengemasan bahasa dalam esai-esainya.    

Andai saja, Encep masih mau menyimpan dan membaca ulang skrip ini—yang terlebih dahulu telah tersebar di media massa—lalu merevisinya dengan lebih baik lagi, mengaitkannya dengan sosiolingustik, bahasa iklan, dan cabang bahasa lainnya maka sempurnalah buku ini. Juga bahasa baku yang bagi saya, bukanlah satu-satunya bahasa yang dapat kita gunakan untuk berbahasa.  

*Pegiat Kubah Budaya, ibu rumah tangga.

 

Makalah ini disampaikan dalam diskusi buku Wisata Bahasa Cabe-cabean karya Encep Abdullah Jumat, 29 Mei 2015, di Gedung C Pascasarjana Untirta.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler