Skip to Content

Eksistensialisme Sapardji Djoko Damono

Foto hanson hayon

Filsafat Estetika: Kegelisahan Strukturalisme
(Mengungkap makna eksistensialisme puisi- puisi Sapardji Djoko Damono)
(Hans Hayon, SVD)

Abstraksi:
There are many expressions about the mind and feeling of human in the language, but in essentials it is the world organization: begin by organizing the world of thinking till the external world. In this concept, language of literature is the form of the awareness where are the world is built by the systematization of words. The poem is the ones of literatures making the language meaningful and human also formed by that. Talking about the poem means to interpret the context of the writer existences. In this case, people should understand the complexities of language they use.

Kata Kunci: eksistensialisme, representasi kenyataan, strukturalisme bahasa, logosentrisme, relasi, naturalisme, puisi,.

Pengantar
Genesis estetika sebagai bagian yang integral dengan filsafat telah dicetuskan sejak terjadinya tumpang tindih antara konsep filsafat, seni dan metafisika. Plato (427-347 SM) yang begitu menggandrungi simplifikasi tentang ide malah dianggap memandang remeh dunia indrawi dan semua karya praktis seni (Ratna, 2007: 26) padahal menganggap remeh bukan berarti menghapus. Justru Plato sendiri malah mengakui eksistensi dan peran dunia indrawi yang turut membangun teorinya tentang forma (idea) dan berpeluang pada konstruksi stratifikasi pengetahuan intelektual (Kebung, 2008: 203). Kehadiran estetika merupakan konsekuensi kesadaran akan perlu adanya distans antara filsafat dan seni (estetika) di tengah membanjirnya varian domain dan status estetika dalam ranah filsafat. Bipolaritas perspektif tersebut menghadirkan Aristoteles sebagai mediator serentak mengembalikan fungsi karya seni dalam kehidupan manusia lewat bukunya Poetica. Menurutnya, karya seni atau estetika justru bermakna katharsis bahkan memiliki misi yang jauh lebih tinggi karena membentuk dunianya sendiri dan mengatasi kenyataan. Dewasa ini, estetika telah menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri dengan problem keindahan dalam kaitannya dengan disiplin ilmu lain. Sebagai filsafat modern, estetika ilmiah meliputi berbagai jenis seni seperti: seni lukis, pahat, musik, tari, teater, sastra, dan seni arsitek. Penulis mencoba membatasi ruang pembahasan estetika ilmiah termaksud pada kancah sastra khususnya puisi beserta kompleksitas struktur pembentuknya.
Dalam paper ini, Penulis mencoba mengungkap makna eksistensialis dalam puisi-puisi Sapardji D. Damono berdasarkan kajian kritis eksistensialisme dan strukturalisme. Penulis tidak menjelaskan secara purna atau komprehensif tentang kedua term di atas, melainkan mengambil sarinya dalam hubungannya dengan bahasa sebuah karya sastra yakni puisi.

Eksistensialisme Sapardji Djoko Damono
Puisi merupakan representasi unik dari realitas atau konteks tertentu. Terdapat sebuah pengandaian di mana seorang mencoba mengaitkan realitas dalam dirinya dengan realitas di luar dirinya sebagai sebuah kemanusiaan yang universal bergaya abstrak. Begitu pun sebaliknya berusaha mengaitkan realitas di luar dirinya yang non abstrak dengan alam pikirannya yang religius-filosofis bergaya abstrak (Tirtawirya, 1987: 23). Puisi eksistensialis Sapardji dipandang sebagai persoalan filsafat eksistensialisme di mana tesis dasar selalu dengan “Eksistensi mendahului esensi”. Artinya, manusia dihadapkan pada fakta fisis yang buram dan mengada dalam ruang dan waktu secara serentak, eksistensi (Stanton, 2007: 137). Manusia tidak memiliki cara untuk memahami makna, maksud, dan sifat-sifat hakiki (esensi) dari apa yang dihadapinya itu. Observasi Sapardji yang mendetai tentang eksistensialisme membawa penyair tersebut pada suasana ‘kebebasan manusia’ dalam memahami dirinya entah dalam kebebasan yang total, sepenuhnya bertanggung jawab atasnya, terisolasi, ketidakjelasan identitas, maupun kegagalan esensinya sendiri.

cermin tak pernah berteriak; ia pun tak pernah
meraung, tersedan, tatu terisak,
meski apa pun jadi terbalik di dalamnya;
barangkali ia hanya bisa bertanya:
mengapa kau seperti kehabisan suara?
(Sajak “Cermin”)

Pada dasarnya fiksi eksistensialis memperluas topik bahasannya pada keterisolasian dan keburaman atau absurditas dunia. Karya-karya Dostoyevsky, Kafka, maupun Hemingway ataupun Nauseanya Jean Paul Starte (Stanton, 2007: 138) patut ditelaah dalam konteks ini. Sapardji agaknya berhasil merekam riak tersebut dalam gayanya yang beraroma naturalisme, yakni adanya afirmasi penyair atas nativitas (sikap kekanakan yang polos, jujur dan transparan). Sapardji secara gamblang mengulas eksistensi dan esensi manusia ketika berhadapan dengan idealismenya tentang sesuatu yang ideal. Relasi internal tersebut menghantar manusia pada keterhempasan identitas atau pun dalam bahasnya penyair Solo tersebut hanya ‘sekedar bayang-bayang’.

Aku dan matahari tidak bertengkar tentag siapa di antara
kami yang telah menciptakan bayang-bayang
Aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di
antara kami yang harus berjalan di depan
(Sajak ‘Berjalan ke Barat Waktu Pagi’)

Manusia selalu bergulat dengan problem seputar eksistensi guna menafsir identitasnya sebagai yang unik dalam kehidupan. Keunikan tersebut terimplikasi secara gamblang di mana strukturisasi sebuah sistem yang berlaku adalah hal yang urgen. Dalam proses tersebut, bahasa merupakan kunci di mana manusia bergerak dan mengapresiasikan eksistensinya secara manusiawi. Sosiolog Ignas Kleden yang mengatakan bahwa budaya (baca: bahasa) dibentuk serentak membentuk manusia adalah benar dalam hal ini (Budiman, 2002: 104). Jadi, tanpa bahasa sebagai medium komprehensif, manusia tidak sanggup memahami kompleksitas dirinya juga dunia sebagai subjek serentak domain yang membentuk eksistensinya. Di sini, bahasa bukan lagi sekedar kata-kata yang menempel, tetapi bergerak hidup-bulat: menjadi tanda dan sekaligus mikrokosmos sendiri (Mohamad Goenawan, 1941: 69)
Dalam kamar ini kami bertiga:
Aku, pisau, dan kata
Kalian tahu, pisau barulah pisau kalau ada darah di matanya
tak peduli darahku atau darah kata.
(Dalam Sajak ‘Kami Bertiga’)

Rivalitas Antara Kajian Antopologis dan Kegelisahan Struktural
Antopologi menaruh minat yang tinggi terhadap manusia sebagai yang menentukan eksistensi dunia sejak Rene Descartes dengan Cogito Ergo Sumnya mendominasi ranah filsafat. Selanjutnya evolusionisme Darwinisme sosial yang menghakim manusia sebagai yang tidak berhak dalam mengatasi alam, tetapi menjadi bagian terkecil darinya. Dapat dipastikan bahwa era postmdernisme menaruh minat yang lebih pada struktur sebagai yang membentuk manusia sejak Ferdinand de Saussure dalam buku Cours de Linguistique generale yang kemudian dikritik oleh Derrida. Bagi strukturalisme Claude Levi Strauss lewat ide produktifnya tentang neostrukturalisme, poststrukturalisme dan postmodernisme, menegaskan prioritas bahasa sebagai perekonstruksian struktur yang tidak kelihatan dengan mencoba menemukan hubungan ekuivalensi formal, isomorfisme, dan aturan-aturan transformasi yang terjadi di antara tingkatan kode yang berbeda. Berdasarkan teori di atas, hemat saya sungguh tepat jika Goldman percaya bahwa adanya homologi antara struktur karya sastra dengan struktur masyarakat, sebab keduanya berorientasi dan bertolak dari aktivitas strukturisasi yang sama (Faruk, 2010: 64).
Hampir semua penyair Indonesia merespon kegelisahan tersebut terkait terkontaminasinya struktur oleh kepentingan politik. Sebut saja Chairil Anwar dalam catatannya menulis: Jika bedil disimpan...(Chairil Anwar, “Catetan Th. 1946”) mengingatkan kita bahwa sistem adalah subyek atas otonomi struktural. Sepintas dapat dipastikan bahwa aksi komunikatif bahasa akan mencapai konsensus dalam perspektif ideal Habermas adalah naif dan terlalu optimistis di Indonesia. Naif karena saya tidak yakin-seraya mengasah pena dan menulis, seraya menggunakan bahasa-dengan sendirinya kita melakukan aksi komunikatif ke arah konsensus. Justru sebaliknya kata dan bahasa itulah yang menggunakan kita, seperti dalam sajaknya Subagio Sastrowardoyo: : Kita takut kepada momok karena kata/Kita cinta kepada bumi karena kata/Kita percaya kepada Tuhan karena kata/Nasib terperangkap dalam kata. Dengan kata lain, dalam bahasa, kita terbelah. Kita hanya mengulangi sebuah sebutan praduga historis, yang usang, bahkan yang telah mati. Maka berbahaya jika struktur demokrasi Indonesia dikerahkan untuk merumuskan “kebenaran antropologis” sebagai sebuah nilai baru. Dengan demikian, harus kita akui bahwa aksi komunikatif yang baik bukanlah bahasa yang terang benderang, tetapi bahasa yang terbentuk karena perang, krisis, konflik, dan kemiskinan dalam hidup.

Sepasang sepatu tua saling membisikkan sesuatu yang hanya
bisa mereka pahami berdua.
(Dalam Sajak ‘Sepasang Sepatu Tua’)

Minat dunia sastra terhadap analisis wacana atau selaras dengan Hermeneutikanya Grademmer merupakan hal yang mengesankan. Sapardji djoko Damono mengemukakan beberapa pendapat mengenai aneka ragam pendekatan terhadap karya sastra seperti yang dilakukan Wolf dalam Hermeneutic Philosophy Irony and the Sociology of Art yakni sosiologi yang mempermasalahkan status sosial serta ideologi sebagai penghasil karya sastra, sosiologi karya sastra yang mempermasalahkan karya sastra sendiri, dan sosiologi sastra yang mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra (Damono, 1978: 33). Keprihatinan sosial yang memuncak dalam kritik berbagai sastrawan dan budayawan kontemporer terhadap Balai Pustaka dan juga lambaga-lembaga yang dimeterai sebagai pemegang sah pemberi kriteria berkualitas tidaknya sebuah karya sastra merupakan contoh yang menarik untuk disimak. Proses pemiskinan sastra tersebut telah berlangsung sejak masa Orde Lama hingga sekarang baik secara simulacrum maupun sejati. Sebut saja Badan Sensor Film (BSF) maupun Departemen Penerangan (Deppen) yang sama-sama antidemokrasi. Di sana, muncul film-film yang dilarang beredar atas nama stabilitas politik sebagai misal Matahari-matahari karya sutradara Arifin C. Noer karena dianggap berbau komunis. Juga Bung Kecil garapan Sophan Sophian yang dinilai bermuatan kritik aliran keras. Film lain yang dicekal BSF yakni Ponirah Terpidana karya Slamet Rahardjo Djarot dengan alibi salah satu aktornya yakni Bambang Hermanto mendapat stigma ‘kiri’(Kompas 18/11/2011). Di tengah kisruh tersebut, tesis dasar hermeneutika atas teks atau wacana dalam puisinya Sapardji Djoko Damono merupakan sebuah usaha yang mungkin.

Pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar lagi
tapi di antara larik-larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati

Pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi
namun di sela-sela sajak huruf sajak ini
kau takkan letih-letihnya kucari
(Dalam Sajak ‘Pada Suatu Hari Nanti’).

Puisi: Logosentrisme Serentak Representasi Kenyataan
Banyak sastrawan menggunakan karyanya bukan sekedar bentuk ekspresif dari jiwa melainkan cerminan masyarakat, alat perjuangan sosial, aspirator kaum tertindas (lihat contoh puisi-puisi Rendra) juga mengenai realisme, naturalisme, dan realisme sosialis (Faruk, 2010: 45). Puisi sebagai salah satu bentuk karya sastra juga tidak lagi mengacu pada intensi penulis sebagai produsennya, tidak lagi diarahkan pada orang atau kelompok tertentu melainkan mengambang bebas yang dapat terarah dan mengacu pada kemungkinan apa saja dalam ruang dan waktu.

Apa lagi yang bisa ditahan? beberapa kata
bersikeras menerobos batas kenyataan-
setelah mencapai seberang, masikah bermakna,
bagimu, segala yang ingin kusampaikan?
(Dalam sajak ‘Empat Seuntai V’).
Mengutip John Macionis, bahasa sebagai sistematisasi dari simbol-simbol dengan arti-arti standard dengannya setiap anggota masyarakat dapat berkomunikasi (Raho, 2008: 61) sesungguhnya menegaskan kemanusiaan manuisa sebagai makhluk yang menggandrungi serta menerjemahkan simbol-simbol (animal symbolicum). Jadi, untuk melihat budaya sebuah kelompok sosial, kita cukup melihat transaksi pertukaran tanda dengan memperhatikan sistem tanda yang ada dan bagaimana para anggotanya menggunakan sistem tanda tersebut sebagaimana oleh Umberto Eco bahwa, “humanity and society exist only when communicative and significative relationships are established” (Eco, 1979: 22). Bahasa sebuah puisi sebenarnya merupakan pengorganisasian simbol dan tanda atau dapat dikatakan sealur dengan logosentrisme. Yang perlu mendapat perhatian lebih yakni proses sistematisasi pemaknaan atau signification atas aneka simbol dan tanda tersebut sebagai sebuah ‘kenyataan yang terselubung/realitas simbolis’. Secara singkat dapat dikatakan bahwa puisi merupakan bentuk bahasa dalam simbol yang paling lugas dan dalam guna membahasakan kenyataan tertentu.

Ruangan yang ada dalam sepatah kata
ternyata mirip rumah kita:
ada gambar, bunyi, dan gerak-gerik di sana-
hanya saja kita diharamkan menafsirkannya
(Dalam Sajak ‘Empat Seuntai II)

Penutup
Dalam sejarah perkembangannya, puisi dan bahasa merupakan dua hal yang integral serentak saling mengandaikan. Kritik atas bahasa (baca: kekuasaan struktural) juga merupakan penghakiman lanjut terhadap komposisi, diskursus, dan idologi tertentu (Levi Strauss, 1997: 27) yang tersirat dalam sebuah puisi. Penggambaran yang dramatis tentang realitas manusia hadir dalam gaya puitis membuktikan bahwa sebenarnya kata-kata berbicara lebih keras dan cukup menusuk ketika bedil dan tank serta kekuatan politis telah terlalu banyak menciptakan keributan.
Sapardji Djoko Damono berhasil mengupas lepas kompleksitas kemanusiaan kita sejak terciptanya relasi dalam diri, relasi dengan sesama, dan relasi simultan terhadap struktur tertentu, hingga relasi beraroma kosmos yang dianggap sebagai pemegang kendali kehidupan manusia. Penulis sangat mengharapkan agar kita sebagai peminat sastra dapat semakin jeli dalam menafsir serta memaknai setiap puisi berdasarkan konteks dan juga aliran yang diusung oleh pengarang tertentu. Dalam proses termaksud, otonomi bahasa sebagai ‘yang bebas’ menjadi tesis dasar untuk melakukan interpretasi. Senada dengan Goenawan Mohamad dalam catatannya tentang puisi Mata Pisau, Penulis pun boleh berujar, “Mengapa saya tidak menulis seperti itu tentang itu!”

Bibliografi

Strauss, Claude Lѐvi. “The Sorcerer and His Magic” dalam Structural Anthropology (Harmondsworth: Penguin, 1997).
Eco, Umberto. A theory of Semiotics Bloomington, ( Indiana University Press, 1979).
Damono, Sapardji Djoko. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, P dan K, 1978).
_____________.Hujan Bulan Juni, (Jakarta: Gramedia, 2004).
Raho, Bernard. Sosiologi: Sebuah Pengantar, (Maumere: STFK Ledalero, 2008).
Ratna, Nyoman K. Estetika Sastra dan Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007).
Kebung, Konrad. Rasionalisasi Ide-Ide, (Maumere: Ledalero, 2008).
Tirtawirya, Putu Arya. Antologi Esai dan Kritik Sastra, (Ende: Nusa Indah, 1987).
Stanton, Robert. Teori Fiksi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007).
Budiman, Hikmat. Lubang Hitam Kebudayaan,(Yogyakarta: Kanisius, 2002).
Mohamad Goenawan, Catatan Pinggir, (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 1941).
Faruk. Pengantar Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010).
Indra Tranggono, “Kisah Sedih ‘Lastri’ Eros Djarot dalam http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/23/11023598/kisah.sedih. diakses pada tanggal 23 Mei 2012, pkl. 15. 30 WITA.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler