Skip to Content

MEMETIK CAHAYA PUISI-PUISI HAFNEY MAULANA

Foto Hafney M

Oleh Narudin

“Merahasiakan diri memang salah satu cara bagi puisi mengungkapkan diri.”
—Hartojo Andangdjaja, 1982

Maka, tak melampaui batas apabila penyair Hafney Maulana mengungkapkan dirinya dalam puisi-puisinya yang terhimpun dalam buku puisi berjudul Memetik Cahaya (2017). Hafney ingin kiranya merahasiakan dirinya dalam seluruh ungkapannya itu, baik disadari maupun tidak disadari.
Kecenderungan sufistik dalam puisi-puisi Hafney Maulana agaknya sudah selayaknya mendapat perhatian lebih perihal hubungan makhluk dengan Tuhan, alam, dan sesama makhluk lainnya—baik yang tampak maupun yang tak tampak. Yang jasmani dan yang ruhani. Seluruhnya dilakukan oleh Hafney demi memetik cahaya. Tatkala cahaya dipetik, maka cahaya itu laksana sebuah bunga yang sudah mekar. Memekarkan kebaikan dari pohon hidup. Hafney ingin memetik cahaya untuk bekal setelah hidup—sehabis pohon hidup itu tumbang karena sudah tibalah usianya itu—sesuai kadar jatah umurnya sendiri.
Puisi-puisi berikut sekurang-kurangnya dapat mewakili proses memetik cahaya Hafney Maulana itu. Tatkala Hafney memetik cahaya, terdengarlah rintihannya laksana seorang perawan tertusuk duri mawar saat ia memetik mawar itu dalam gelak tawa yang manis, lezat, mengaliri seluruh darah manusia yang segar, menunggu menyusut pada waktunya.

ALIF AL AWALI

Bismillah awal kata
Bagai burung-burung Attar, kucari Alif
dalam tujuh lembah cinta

Bismillah awal kerja
Menggerakkan impian dari nyala api,
yang menari

Bismillah awal langkah
Kutelusuri hujan pada kelender,
yang berguguran

Bismillah awal tawakal
Mendekap syariat – tarekat – hakekat – makrifat,
dalam diri

Aku tafakur—
antara ranting terinjak kaki

Tembilahan, Negeri Seribu Parit

2017

Hafney memulai puisinya dengan menyebut “bismillah” sebagai “alif al awali”. Ia menyebut pendahulu sufi, Attar. Attar dan Sanai (meninggal sekitar tahun 1150) ialah termasuk guru-guru Rumi di masa mudanya—yang paling utama dan paling berpengaruh. Namun, karena puisi-puisi Rumi ialah ucapan spontan, ekstempori, yang terjadi seketika itu juga pada kesempatan tertentu, dan tak pernah direvisi sesudah itu, maka di sana-sini ada obskuritas (ketidak-jelasan atau kegelapan) yang tetap tinggal sebagai obskuritas bagi kita, karena menyangkut sesuatu yang bersifat okasional, yang tak dapat kita temukan rujukannya, demikian kata Hartojo Andangdjaja (1982) ketika ia memberi pengantar untuk buku puisi terjemahannya dari Mystical Poems of Rumi, versi terjemahan A.J. Arberry.
Hafney mencari Alif dalam tujuh lembah cinta—ia telah melanggar Rumi sesungguhnya sebab dalam salah satu puisi Rumi, Rumi berpesan:

Jangan kaucari Tuhan,
Tapi biarlah Tuhan mencarimu.

Itu apabila Alif yang dimaksud sebagai “Yang Mahaawal” atau “Tuhan” itu sendiri atau “Alif” sebagai simbol huruf pembuka dalam bahasa Arab (hijaiah).

Bismillah awal tawakal
Mendekap syariat – tarekat – hakekat – makrifat,
dalam diri
Perhatikan bait puisi di atas. Hafney ingin tawakal dengan cara mendekap syariat hingga makrifat. Tingkatan makam (kedudukan mulia) sufi ini secara berurutan: syariat—tarekat—hakikat—makrifat. Rupanya, Hafney ingin dikaruniai pengetahuan mengenal Allah (makrifatullah). Padahal, menurut Imam Al-Ghazali dalam kitab Al-Munqidz min Al-Dhalal, artinya “Membebaskan Manusia dari Kesesatan”, dikatakan bahwa tak ada tarekat, hakikat, dan makrifat apabila tidak mengerjakan syariat dengan baik dan benar sesuai tuntunan Alquran dan Hadis-hadis Sahih Nabi Muhammad saw. Jadi, sangat sederhana. Laksanakan syariat dengan baik dan benar. Maka, makam-makam setelahnya akan tergapai dengan mudah secara otomatis.
KUMATIKAN DIRIKU
SEBELUM KEMATIAN PANJANG
Ya haiyu ya qaiyum
Lidahku terkunci
Hatiku beku
Mataku buta
Telingaku tuli
Akal dirantaikan
Kesirnaan waktu dalam
Alif Lam Mim
Sang Maha Gaib dalam diri
Ruhku tersenyum dalam hakekat semesta
Lam menyapa angin, jadi nafas
Bersenandung di kedalaman air
Tersebab Lam, Mim di arsy
Memeluk Ha
Dan aku meminum air dari sumber
matanya
Memberi tanda baca dalam hijaiyahNya
Memeluk Kaf Al -Khalik
Sampai Lamalif- Hamzah- Yaa
Tembilahan, Negeri Seribu Parit
2017

Sebelum sampai kepada baris “Sampai Lamalif-Hamzah-Yaa”, Hafney berpesan agar memeluk “Ha” dan “Kaf”. Dalam lafal kata “Allah” terdapat huruf “Ha”. Huruf “Ha” itu dikenal dengan nada “berkeluh-kesah” sedemikian rupa sehingga apabila manusia kecewa atau dirundung dukacita, maka pasti ia akan mengeluh dengan kata-kata “ah”, “uh”, “oh”, dan sebangsanya—yang jelas di dalamnya ada huruf “Ha” sebagai bagian dari huruf-huruf yang membentuk kata “Allah” (“Sang Tempat Berkeluh-kesah”).
Bagaimana dengan huruf “Kaf”? “Kun fa yakun” ialah milik Sang Khalik, yakni “Jadi, maka jadilah!” Oleh sebab itu, ringkasnya, dapat disimpulkan bahwa Hafney ingin sampai pada akhir hayat dengan simbol huruf “Yaa” (akhir huruf hijaiah) dengan “mematikan dirinya sebelum kematian panjang (sesungguhnya)”. Kematian dirinya? Benar, kematian di dalam dunia ini ialah kematian dari hawa nafsu negatif bagi para sufi. Tatkala manusia dapat mengekang hawa nafsu buruknya, maka ia menjadi “manusia yang sempurna”—bukan bagaikan seekor binatang, bukan laksana setan—namun ibarat malaikat, bahkan lebih tinggi kedudukannya daripada sang malaikat sekalipun.
JANGAN JAUHKAN JARAKKU DARI-MU
Gerimis memindahkan warna bulan
ke gelas anggurku
Tinggal sepi, tinggal waktu
Kuminum tanpa sisa
Pantaskan aku begitu angkuh di depan-Mu?
Jika salah diriku. Jangan jauhkan jarakku dari-Mu
Jika benar takdirku mendiami waktu-Mu,
biarkan aku terlelap di ranjang kematian
Menanti-Mu
Tembilahan, Negeri Seribu Parit, 2017
Puisi di atas berjudul “Jangan Jauhkan Jarakku dari-Mu”. Artinya, Hafney ingin dekat dengan Tuhan selalu. Bahkan lebih dekat daripada urat lehernya sendiri!
Kedekatan itu telah membuahkan baris puisi yang berbahaya semisal:
Jika benar takdirku mendiami waktu-Mu,/
Waktu-Mu? Apakah Tuhan terikat waktu? Apakah Tuhan berawal dan berakhir? Apakah Tuhan ada saat manusia berpikir bahwa Tuhan ada? Apakah Tuhan ada seada pikiran manusia tatkala membutuhkan keberadaan Tuhan bagi dirinya yang merasa cemas dan takut dalam hidup yang penuh dengan misteri ini? Apakah manusia seperti kata ahli Psikoanalisis, Sigmund Freud, butuh Tuhan setelah manusia menjelma manusia dewasa yang haus akan “Sang Penawar Kecemasan Hidup”—yang secara tidak langsung, Freud menuduh pemeluk agama sebagai masih kanak-kanak karena membutuhkan “Sang Bapak Ruhani”? Freud secara teologis menyindir konsep ketuhanan agama Kristen dengan kata “Bapak” untuk “Tuhan”. Waktu kecil anak butuh sosok bapak, bapak jasmani. Setelah dewasa, anak butuh sosok bapak, bapak ruhani alias “Tuhan Bapak”.
Kembali ke pokok masalah, pesan Abdul Halim Mahmud, Syekh Tertinggi Al-Azhar Mesir kala lampau, yang dijuluki sebagai Imam Al-Ghazali Modern, Tuhan justru tak terikat waktu. Tuhanlah yang menciptakan waktu.
Dan kemudian kita segera tahu nada kecemasan Hafney Maulana semakin hebat saja. Periksa puisi di bawah ini secara lengkap.
ADAKAH PUISIKU DI SIDRATUL MUNTAHA
Kukirim puisi untuk-Mu,
Melalui harumnya mawar
Walau jariku terluka
Tertusuk duri-durinya
Biarkan aku berdarah, tumpah
Dalam sepi yang sunyi
Hanya suara sungai bergema
Dalam batinku
Jadi, biarkanlah puisiku
Mengaliri doa-doaku
--- riwayat dan sejarah tak tertampung
dalam otakku ---
Catatan dalam kitab
Mengekalkan kekosongan manusia
Sampai pada tepi sepi puisi
Dengan keringat dan air mata
Ibadah
Menanti musim panen dan janji
Adakah puisiku
Di sidratul muntaha?
Tembilahan, Negeri Seribu Parit, 2017
Adakah puisiku di Sidratul Muntaha? Sidratul Muntaha ialah tempat tertinggi dan paling akhir di atas langit ketujuh yang dikunjungi Nabi Muhammad saw. ketika mikraj; di tempat itu Nabi melihat Malaikat Jibril dalam bentuk yang asli dan menerima perintah salat lima waktu.
Puisi di atas merupakan salah satu puisi terbaik Hafney Maulana. Pengucapan Hafney terasa cukup jernih dengan isi puisi yang terasa cukup jernih pula. Makna puisi itu pun berpendar-pendar ke sana kemari—menawarkan transaksi makna agar makna tersebut dapat direbut oleh pihak pembaca. Meski demikian, perhatikan baris puisi ini:
Dalam sepi yang sunyi/
“Sepi” dan “sunyi” itu apakah sama?
Keterbata-bataan Hafney ini wajar saja timbul apabila (dipandang secara adil) ia seorang penyair sufi, yang terbata-bata di hadapan Tuhan yang Mahafasih!. Kembali ke pokok masalah, adakah “sepi yang sunyi”?
Sepi itu lebih kepada keadaan visual (mata), sedangkan sunyi itu lebih kepada keadaan auditoris (telinga). Demikian kira-kira menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jadi, apabila dikatakan, Dalam sepi yang sunyi/, maka keadaan tersebut baik secara visual maupun secara audio—memanglah senyap, lengang, dan sejenisnya. Untuk memahami kiasan (metafora) Hafney ini, bacalah satu bait ini secara utuh:
Biarkan aku berdarah, tumpah
Dalam sepi yang sunyi
Hanya suara sungai bergema
Dalam batinku
Hanya suara sungai bergema dalam batinku? Begitulah.
Dan rasanya puisi penutup di bawah ini dapat lebih menguatkan kedudukan puisi-puisi Hafney Maulana dalam buku puisi ini—yaitu, Hafney menulis puisi agar ia menjadi puisi-Nya. Bagaimana cara agar ia menjadi puisi-Nya, simaklah puisi di bawah ini secara utuh, dan semogalah pemahaman kita terhadap puisi-puisi Hafney Maulana yang sangat menjanjikan ini menjadi utuh pula.

AKU INGIN MENJADI PUISIMU
Apakah yang kulihat
Dalam kegelapan?
Hanya cahaya, sembilan bulan
Merajut sujud
Dalam rengkuh kehangatan
Tentang makna kasih

Lalu hidup terasa berdenyut
Saat ketuban pecah
Menandai hari janjiku Bersujud

Kuingin menjadi puisi
Dalam qalam kasihMu
***
Dawpilar, 2017
*) Narudin, Sastrawan, Penerjemah, Kritikus
Nomor HP/WA: +62 81-320-157-589. FB: Narudin Pituin.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler