Skip to Content

PUISI SEBAGAI MEDIA KOMUNIKASI BUDAYA

Foto SIHALOHOLISTICK

Wahyu Mulyani*)

 

ABSTRAK

Puisi adalah suatu pengungkapan secara implisit, samar dengan makna yang tersirat, di mana kata-kata condong pada arti yang konotatif (Tirtawirya, 1982:9). Rumusan masalah dalam penulisan ini adalah dapatkah puisi sebagai media komunikasi budaya. Penulisan ini, merupakan kajian pustaka. Untuk itu tujuan dalam penulisan ini ingin mendeskripsikan puisi sebagai media komunikasi Budaya.

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode deskriptif kaulitataif. Objek penelitian ini adalah puisi. Puisi yang dipilih adalah puisi yang mengandung pesan budaya dalam kehidupan sehari-hari. Dan puisi-puisi tersebut tergolong puisi modern yaitu 1) Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia Karya Taufik Ismail; 2) Aku Karya Chairil Anwar; 3) Padamu Jua karya Amir Hamzah. Ketiga puisi tersebut dapat dijadikan media komunikasi yaitu Taufik Ismail secara tidak langsung berkomunikasi dengan pembacanya tentang moral yang ada lingkungan masyarakat Indonesia. Baik moral positif maupun moral negatif. Chairil Anwar secara tidak langsung berkomunikasi dengan pembacanya untuk hidup lebih mandiri, kesedihan dan rintangan tidak perlu dibagi dengan orang lain kalau masih bisa diatasi, serta jangan melupakan jasa para pahlawan. Amir Hamzah secara tidak langsung berkomunikasi dengan pembacanya tentang ketuhanan. bahwa tuhan itu selalu ada walaupun manusia tidak pernah melihat..

Kata Kunci    :       Puisi, media komunikasi, puisi malu (Aku) Jadi Orang Indonesia karya Taufik Ismail, Aku karya Chairil Anwar, Padamu Jua karya Amir Hamzah

 

 

PENDAHULUAN

Manusia sebagai homo-pluralis yang memiliki cipta, rasa, karsa, dan karya, sehingga mampu membedakan eksistensinya terhadap makluk lain secara jelas. Selain itu manusia memiliki budidaya yang ditopang oleh kemampuan berfikir, kemampuan merasakan, dan kemampuan untuk mengembangkan kehidupan dengan cara memberikan penilaian, penafsiran, serta prediksi terhadap lingkungan. Lingkungan yang mencetak kepribadian manusia secara utuh dalam memperjuangkan hidup.

Perjuangan hidup manusia pada dasarnya adalah menentukan pilihan terhadap tata nilai yang ia hadapi sepanjang waktu sehingga tercipta apa yang dikenal dengan kebudayaan (Pranjoto Setjoatmodjo, 1980:81). Kebudayaan adalah segala hasil budi daya manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Bustanul Arifin, 1985:7).

Salah satu unsur penting di dalam kebudayaan adalah seni. Seni adalah penjelmaan riak alun dan gelombang perasaan (Sutan Takdir Alisyahbana dalam Bustanul Arifin, 1985:7). Sedangkan menurut Slamet Mulyana (dalam Bustanul Arifin, 1985:7) seni adalah hasil buatan budi yang indah.

Hal ini berarti sesuatu yang indah , mulia,  dan sempurna baik bentuk maupun isinya disebut seni. Seni dapat menimbulkan keharuan, kepuasan, kenikmatan bagi siapa yang melihat, dan mendengarkan. Seni yang ada dalam masyarakat beraneka ragam. Ragam seni terdiri dari: 1) seni pahat, seni ukir, dan lukis; 2) Seni tari, 3) seni suara, dan 4) seni sastra atau seni kata. Dari keempat jenis seni di atas yang akan dibicarakan dalam penulisan ini adalah seni sastra atau seni kata. Seni kata ada dua bentuk yaitu bentuk prosa dan bentuk puisi. Dari kedua bentuk tersebut yang akan dibicarakan disini adalah bentuk puisi. Puisi adalah suatu pengungkapan secara implisit, samar dengan makna yang tersirat, di mana kata-kata condong pada arti yang konotatif (Tirtawirya, 1982:9).

Dilihat dari segi fungsinya puisi merupakan sarana untuk mengobjektifkan pengalaman bathin, sehingga dapat dikontemplasikan dan dipahami maknanya. Puisi sebagai salah satu karya seni sastra dapat dikaji dari bermacam-macam aspek, misalnya aspek struktur dan makna. Dengan mengkaji aspek struktur dan makna dalam puisi, maka akan tahu maksud dari pengarang puisi tersebut. Maksud pengarang dalam puisi biasanya berbentuk pesan yang tersirat dalam katakata yang digubah secara indah.

Pesan yang disampaikan oleh pengarang pada pembaca dapat disebut komunikasi. Komunikasi ada dua yaitu komunikasi secara langsung dan tidak langsung. Komunikasi yang disampaikan pengarang pada pembacanya melalui karya puisi adalah komunikasi secara tidak langsung. Berdasarkan hal tersebut maka penulisan ini diberi judul “Puisi sebagai Media Komunikasi Budaya”.

PEMBAHASAN

 Puisi dan Kebudayaan

Manusia sebagai makhluk pluralis tidak bisa lepas dari tata kehidupan yang dinamik. Secara berkesinambungan manusia memiliki kecenderungan untuk mencari atau menentukan dan mengembangkan pola hidup berdasarkan perasaan, ketajaman berpikir serta kemauan untuk berhubungan dengan lingkungannya. Dari sudut pandang ini, kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan hasil dan proses dari budi daya manusia yang bersumber pada cipta, rasa, dan karsa demi menciptakan kehidupan yang bermakna, dinamik dan berkesinambungan. Hasil dari proses budidaya manusia dapat berwujud ilmu pengetahuan, tehnologi, dan kesenian, yang kesemuanya itu untuk meningkatkan kualitas kehidupan yang lebih bermakna.

Apabila kebudayaan diartikan seperti di atas maka bidang kesenian pada hakekatnya adalah unsur kebudayaan yang bersumber pada aspek perasaan, yaitu perasan estetis. Rasa estetis ini yang mendorong budidaya manusia untuk menciptakan aneka ragam kesenian, guna memenuhi kebutuhan akan nilai-nilai keindahan. Namun citra keindahan manusia itu tidaklah sama dan mengalami perubahan sesuai dengan konteks budaya di mana ia hidup di dalamnya.

Seperti kreativitas yang dilakukan oleh penyair dalam menggubah puisinya antara penyair yang satu dengan yang lain berbeda, sehingga pesan yang dikomunikasi pada pembacanya bervariati. Ada yang mengkomunikasi tentang moral, agama, pendidikan, ekonomi, sosial dan psikologi. Tetapi citra, rasa kehidupan yang dituangkan dalam karyanya sama-sama mencerminkan kehidupan masyarakat yang mampu mengkomunikasikan tata nilai budaya di dalamnya.

Fungsi Puisi

Dalam penulisan puisi penyair lebih menekankan pada perasaan daripada pikiran. Inilah yang menyebabkan orang berkata : Pengarang menuliskan apa yang dipikirkannya sedangkan penyair menuliskan apa yang memang mesti ditulisnya pada suatu saat tertentu (Tirtawirya, 1982:14).

Puisi merupakan ungkapan perasaan estetis manusia melalui kata-kata yang imajinatif dan bermakna konotatif. Kata-kata dalam puisi merupakan lagu penggambaran jiwa penyair sebagai suatu kepribadian yang utuh. Menghadapi kata-kata penyair tidak lantas berasosiasi pada kalimat, tetapi berasosiasi menjurus pada pengalaman, emosi dan cita. Untuk itu, puisi bersumber dari perasaan dan bermuara pada perasaan.

Seperti Puisi Taufik Ismail yang berjudul Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Di dalam puisinya Taufik Ismail menuangkan keadaan lingkungan masyarakat Indonesia melalui kata-kata yang imajinatif dan bermakna konatatif. Selain itu Taufik Ismail mampu menggambarkan kehidupan masyarakat Indonesia secara global, serta mampu menguak tentang moral yang disandang oleh bangsa Indonesia. Moral dalam karya sastranya dituangkan secara lengkap mulai bait pertama sampai bait terakhir pada puisinya yang berjudul Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Moral yang dituangkan pada puisi tersebut ada moral positif dan ada moral yang negatif.

Pada bait pertama penyair mengagambarkan perasaan gembiranya (moral positif) ketika menerima beasiswa ke luar negeri pada tahun 1956 pada waktu Indonesia baru sebelas tahun merdeka. Hal ini tersurat dan sirat pada kutipan “Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga Ke Wisconsin aku dapat beasiswa Sembilan belas lima enam itulah tahunnya Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia” Baris selanjutnya penyair mengagambarkan perasaan bangga menjadi informan . Hal ini tersurat dan tersirat pada kutipan : “Dan kecil-kecilan aku narasumbernya Dadaku busung jadi anak Indonesia” Bait kedua penyair mengagambarkan perasaan malu melihat keadaan hukum di Indonesia yang sudah rusak sehingga dia menyembunyikan identitasnya (Moral negatif). Hal ini tersurat dan tersirat pada kutipan : Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak.

Hukum tak tegak, doyong berderak-derak. Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kaca mata. Dan kubenamkan topi baret di kepala Malu aku jadi orang Indonesia” Bait ketiga penyair mengagambarkan perselingkungkuhan birokrasi dan nepotisme sebagai budaya di Indonesia. Hal ini tersurat dan tersirat pada kutipan:

“Di negeriku selingkuh birokrasi peringkat  di dunia nomor satu di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang terang curang susah cari tandingan

Di negeriku anak laki-laki, anak perempuan, keponakan, sepupu dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu”

Baris berikut pada bait ketiga penyair mengagambarkan korupsi dan kolusi yang semakin merajalela, pemutarbalikan fakta, menjual belikan hukum. Hal ini tersurat dan tersirat pada kutipan:

“Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan, senjata pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan penyem dipotong birokrasi, lebih separuh masuk kantung jas safari.

Di kedutaaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal, anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden, menteri, jenderal, sekjen, dirjen sejati, agar orang tua mereka bersenang hati.

Di negeriku perhitungan suara pemilihan umum sangat-sangat. Sangat-sangat jelas penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan.

Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan sandiwara yang opininnya bersilang tak bahis dan putus dilarang-larang”

Baris berikut tetap pada bait ketiga penyair mengagambarkan nyawa orang dipermainkan tanpa ada penyelesaian hukum, dan seakan-akan orang Indonesia tidak memiliki budi pekerti yang baik Hal ini tersurat dan tersirat pada kutipan:

“Di negeriku ada pembunuhan, penculikan, dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh, Tanjung Priok, Lampung, Haur, Koneng, anipah, Santa Crus, Irian dan Banyuwangi, ada pula pembantaian terang-terangan yang merupakan dusta terang-terangan di bawah Cahaya Surya terang-terangan, dan matahari tidak dipanggil ke pengadilan sebagai saksi terang-terangab”

Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada, tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang menyelam ditumpukan jerami selepas menuai padi”

Bersadarkan uraian di atas, maka penulis berkesimpulan bahwa penyair Taufik Ismail secara tidak langsung berkomunikasi dengan pembacanya tentang moral yang ada lingkungan masyarakat Indonesia. Baik moral positif maupun moral negatif.

Pada puisi “Aku” karya Chairil Anwar menggambarkan perjuangan hidup “Aku” yang tak mau merepotkan orang lain. Karena beliu berpendapat bahwa hidup itu merupakan tanggung jawab sendiri bukan tanggung jawab orang lain. Baik dalam suka dan duka tak perlu orang tahu dan membantu, walaupun itu istrinya. Hal ini tersurat dan tersirat pada kutipan:

“Kalau sampai waktuku

“Ku mau tak seorang akan merayu Tidak juga kau”

“Tak perlu sedu sedan itu”

Chairil Anwar menginginkan suatu kebebasan dan kemerdekaan untuk mengurus hidupnya sendiri dan dengan penuh semangat beliau menghadapi rintangan sampai beliau merasa puas untuk menyelesaikan masalahnya. Hal ini tersurat dan tersirat pada kutipan:

“Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang”

“Biar peluru menembus kulitku aku tetap meradang menerjang “

“Luka dan bisa kubawa berlari-berlari

Hingga hilang pedih perih”

Selain itu Chairil Anwar mempunyai tekat yang bulat untuk tidak meminta bantuan pada orang lain walaupun dia sendiri tidak mau memperdulikan hidupnya. Hal ini tersurat dan tersirat pada kutipan:

Dan Aku akan lebih tidak perduli”

Chairil Anwar hanya ingin semangat dan karyanya di kenang sepanjang zaman. Hal ini tersurat dan tersirat pada kutipan

“Aku mau hidup seribu tahun lagi”

Berdasarkan uraian di atas maka penulis berkesimpulan bahwa Chairil Anwar secara tidak langsung berkomunikasi dengan pembacanya untuk hidup lebih mandiri kesedihan dan rintangan tidak perlu dibagi dengan orang lain kalau masih bisa diatasi, serta jangan melupakan jasa para pahlawan.

Pada puisi “Padamu Jua” karya Amir Hamzah menceritakan tokoh aku yang baru kehilangan kekasihnya, kemudian kembali pada kekasih lamanya, yang bisa memberi penerang dalam kegelapan. Kekasihnya selalu sabar dan setia menunggu kedatangannya. Hal ini tersurat dan tersirat pada kutipan:

Habis kikis

Segala cintaku hilang terbang

Pulang kembali aku padamu

Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap

Pelita jendela di malam gelap

Melambai pulang perlahan

Sabar, setia selalu

Selain itu, Amir Hamzah menceritakan tokoh aku sebagai manusia biasa yang memiliki rasa rindu ingin melihat wajah kekasihnya. Si aku tidak dapat mengetahui di mana kekasihnya berada, yang bisa ia dengar hanya suara sayup-sayup yang menyenangkan hati bahkan menenangkan hati. Karena kekasih di sini dilambangkan Tuhan sang pencipta alam beserta isinya. Hal ini tersurat dan tersirat pada kutipan:

Satu kekasihku

Aku manusia

Rindu rasa

Rindu rupa

Di mana engkau

Rupa tiada

Suara sayup

Hanya kata merangkai hati

Amir Hamzah juga menceritakan kekasih lama si aku cemburu, marah (ganas) dan menangkap dengan cakarnya. Kekasih aku dilambangkan seekor burung yang siap memangsa dan menangkapnya. Hal ini tersurat dan tersirat pada kutipan:

Engkau cemburu

Engkau ganas

Mangsa aku dalam cakarmu

Bertukar tangkap dengan lepas

Tokoh aku di bait berikutnya diceritakan seperti orang gila, yang berulang-ulang ingin pulang pada kekasih lamanya tapi sulit (Pelik) seperti gadis di balik tirai. Hal ini tersurat dan tersirat pada kutipan:

Nanar aku, gila sasar

Sayang berulang padamu jua

Engkau pelik menarik ingin

Serupa dara di balik tirai

Selanjutnya si aku merasa sunyi, menunggu seorang diri, tapi waktu bukan gilirannya, sehingga dia merasa kecewa karena mau bertemu kekasih lamanya belum terpenuhi. Hal ini tersurat dan tersirat pada kutipan:

Kasihmu sunyi

Menunggu seorang diri

Lalu waktu-bukan giliranku

Mati hari-bukan kawanku….

Berdasarkan uraikan struktur dan makna di atas Amir Hamzah secara tidak langsung berkomunikasi dengan pembacanya tentang ketuhanan. bahwa tuhan itu selalu menerima taubat umatnya, asal umatnya sungguh-sungguh ingin bertaubat. Tuhan selalu penuh cinta meskipun manusia sering melupakan dan meninggalkannya.

Dari ketiga puisi di atas, kesemuanya merupakan ekspresi dari penyairnya. Melalui bahasa simbol yang indah dan bermakna, para penyair menghibahkan implikasi makna yang tersirat dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam kehidupan sehari-hari sang penyair tidak hanya mengekpresikan hal yang actual atau fakta lahiriyah tetapi juga sesuatu yang bathiniah.

Sesuai dengan fenomena dunia puisi yang syarat dengan simbol-simbol untuk menyatakan pemahaman tentang kehidupan manusia. Hal ini sejalan dengan pandangan Hopkins (dalam Aminudin, 1990:18) yang menyatakan bahwa semakin tajam pemahaman seseorang terhadap kekhususan yang kongkrit dari benda-benda seni, semakin tajam pula persepsi seseorang terhadap keindahan yang transcendental dan universal yakni keindahan persepsional yang berada di luar batas pengetahuan praktis manusia, yang bisa dicapai dengan intuisi. Intuisi adalah suatu proses kejiwaan/kerohanian yang sulit dinalar tetapi terasa bagi jiwa dan perasaan yang halus serta bermanfaat yang abadi dan menyehatkan. Sedangkan menurut Susanne Lenger (dalam Pranjoto Setjoatmodjo,1980: 82) fungsi primer dari seni adalah untuk mengobjektifkan perasaan sedemikian rupa sehingga kita dapat mengkontemplasi dan memahaminya.

Berdasarkan uraian tersebut maka fungsi puisi dalam kehidupan sehari-hari dapat dipakai sebagai komunikasi, yang sanggup mengungkapkan kodrat perasaan manusiawi yang tidak dapat dilakukan melalui bahasa secara langsung.

 

PUISI MEDIA KOMUNIKASI

Menurut Chairil Anwar (dalam Aminudin, 1990:142) puisi merupakan lukisan kepadatan jiwa yang disampaikan oleh penyairnya, melalui pemilihan kata-kata, dan pemadatan susunan kata pada sajak-sajaknya. Puisi juga sebagai konfirmasi terhadap kenyataan sosial yang menggambarkan gejala sosial. Hal ini menurut Kuntowirdjaja (dalam Aminudin, 1990:142) disebut sebagai sastra simtomatik karena tugasnya hanya menggambarkan saja. Selain itu, puisi juga sebagai kritik sosial dalam kehidupan manusia. Di dalam kehidupan manusia tersirat individualisasi yang indah. Individualisasi adalah suatu keunikan tertentu yang berarti keindahan cipta seni dan budaya yang tidak dapat ditukarkan dengan keindahan cipta yang lain. Setiap cipta budaya dan seni memang mempunyai kesamaan kemanusiaan yang universal (share common bond of humanity) tetapi kausal atau muasal bentuk terjadinya adalah spesifik dan unik (Aminudin, 1990: 28).

Keindahan sebenarnanya tidak relative dalam pengertian bahwa keindahan semata-mata sebagai cipta pikiran si pemandang. Keindahan selalu ada pada cipta artistik atau objek, baik yang memandang, menerima maupun yang menghayati atau tidak. Tetapi apresiasi tentang keindahan adalah relative dalam pengertian bahwa tidak semua bersifat perseptif yang sama.

Puisi memiliki daya ekspresi sehingga mampu mengekspresikan dan mengartikulasikan secara simbolik kehidupan bathianiah. Dalam hal ini puisi dapat ditafsirkan sebagai media komunikasi untuk berekspresi, menyampaikan pesan, kesan, dan tanggapan manusia terhadap stimulasi dari lingkungannya. Apabila puisi dapat dianggap sebagai media untuk berekspresi dalam berkomunikas berarti ada perbedaan antara puisi dengan bahasa.

Berbicara masalah “ekspresi” sebenarnya mempunyai dua pengertian yang azazi,yaitu “ekspresi pribadi” yang bersifat spontan dan mengacu pada perasaan, dan ekspresi yang diartikan sebagai presentasi dari suatu ide yang berkaitan dengan pikiran (Pranjoto Setjoatmojo, 1980: 83). “Ekspresi pribadi” yang bersifat spontan dan mengacu pada perasaan adalah ekspresi yang berkaitan dengan puisi, sedang ekspresi yang berkaitan dengan pikiran itu adalah bahasa. Bahasa adalah sarana primer bagi tujuan ekspresi yang konseptual. Apa yang dikatakan melalui bahasa sebenarnya adalah apa yang sedang kita pikirkan. Sebelum bahasa mengkomunikasikan sesuatu ide, maka lebih dulu memberi bentuk pada ide sehingga mempunyai arti.

Bahasa bersifat spontan yaitu bahasa yang memberi bentuk objektif dari perasaan subjektif yang belum diketahui fungsinya. Baris puisi yang berbunyi “aku ingin hidup seribu tahun lagi” belum diketahui makna dan fungsinya kalau belum memahami apa yang tersirat pada kutipan tersebut. Apakah “aku “memang benar-benar ingin hidup seribu tahun lagi ataukah “aku “ingin semangat dan perjuangan hidupnya di kenang sepanjang massa. Makna baris puisi ini, baru bisa diketahui setelah si pembaca memahami apa yang tersurat dan tersirat pada baris puisi tersebut. Pembaca harus tahu latar belakang budaya yang digunakan oleh penyair. Kalau sudah, maka makna akan diketahui.

Makna puisi tergantung pada situasi dan budaya pada waktu puisi itu diciptakan. Jadi puisi dalam kasus ini fungsinya setara dengan bahasa sebagai media komunikasi budaya, karena apa yang disampaikan melalui puisi merupakan masalah yang ada di lingkungan masyarakat budaya.

 

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas, dapat di petik pengetahuan bahwa puisi merupakan unsur budaya yang fungsional untuk mengobjektifkan pengalaman dan kehidupan bathin manusia, sehingga dapat dipahami maknanya. Pengalaman rasa dan kehidupan bathiniah yang bersifat dinamik pada saatnya menjelma menjadi ekspresif formal berupa lambang-lambang komunikasi yang “menterjemahkan” perasaan bagi manusia.

Dalam pengertian ini fungsi puisi setara dengan fungsi bahasa yaitu sebagai komunikasi simbolik. Puisi dalam kehidupan lahiriah memiliki kesanggupan untuk mengungkapkan pola kehidupan manusia. Puisi sanggup mencerminkan identitas tata nilai budaya zamannya untuk dilestariakan dan diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya.

Pada hahekatnya karya yang berbentuk puisi memiliki sifat abadi, sebab sekali diciptakan merupakan pernyataan yang final, seperti puisinya Taufik Ismail yang berjudul “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia” yang secara garis besar menggambarkan moral bangsa Indonesia.

Puisi Chairil Anwar yang berjudul “Aku” yang secara garis besar mengceritakan semangat perjuangan chairil Anwar. Puisi Amir Hamzah yang berjudul “Padamu Jua“ yang secara garis besar menggambarkan perjuangan hidup manusia yang ingin berjumpa dengan kekasih lamanya (Tuhan) tetapi belum sempat bertemu.

Dari ketiga puisi tersebut dikatakan bersifat abadi dan final, karena puisi tersebut dapat dibaca, diapresiasi, dikritik dan ditelaah maknanya sepanjang masa bagi yang membutuhkan. Dengan demikian puisi dapat dipakai sebagai media komuikasi, sebab puisi dapat menyampaikan pesan atau kesannya pada pembaca, untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

SARAN

Bagi Pembaca, Untuk memahami isi dari puisi harus lebih dulu memberi makna secara struktur, agar makna yang terkandung dalam puisi tersebut bisa dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari.

Kepada praktisi sastra, hendaknya lebih memperhatikan hasil karyanya agar tidak mudah diklem atau dijiplak oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Alisjahbana, Sutan Takdir. 2006. Puisi Baru. Jakarta: Dian Rakyat

Aminudin. 1990. Sekitar Masalah Sastra. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh

Esten, Mursal. 1984. Kritik Sastra Indonesia. Padang: Angkasa Raya

Fananie, Zainuddin. 2002. Telaah Sastra. Surakarta: Muhamadiyah University Press

Herbertus, Sutopo. 1996. Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS

Keraf, Gorys.1986. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia

Moleong. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya

Pradotokusumo, Partini Sardjono. 2005. Pengkajian Sastra. Jakarta: PT. SUN

Rachmad, Djoko Pradopo. 2005. Pengantar Sosiologi Sastra. Jakarta: temen Pendidikan dan Kebudayaan

Sudikan, Setya Yumana. 2001. Metode Penelitian Sastra lisan. Surabaya: Citra Wacana

Silvester. Niko dan Rafa Alexander. 2004. Panduan Menulis Fiksi untuk Pemula. Jogjakarta: Platinum

Tirtawirya, Putu Arya.1982. Apresiasi Puisi dan Prosa. Ende Flores: Nusa Indah

____________, 1980. Analisis Kebudayaan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.


*) Wahyu Mulyani adalah dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Unirow Tuban dalam Prospektus, Tahun VIII Nomor 2, Oktober 2010. Dikutip dengan perubahan.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler