Skip to Content

WANITA DALAM PERSEPSI LINUS SURYADI AG

Foto eswa achmad

WANITA DALAM PERSEPSI LINUS SURYADI AG

Oleh: Sri Wintala Achmad

 

Bagi masyarakat sastra Indonesia, siapa tidak mengenal Linus Suryadi AG. Pria berkelahiran Kadisobo (Sleman, 3 Maret 1951) tersebut lebih dikenal sebagai penyair lirik. Ini dapat dilihat melalui puisi-puisi liriknya yang terkumpul dalam antologi tunggalnya: Rumah Panggung (Nusa Indah, Ende-Flores, 1986) dan Kembang Tanjung (Nusa Indah, Ende Flores, 1988).

Di samping berhelat dengan puisi, penyair yang mengeditori Antologi Puisi 32 Penyair Yogyakarta ‘Tugu’ (DKY dan Barata Offset, 1986) dan Antologi Puisi Indonesia Modern ‘Tonggak’ 4 jilid (Gramedia, Jakarta 1987) tersebut banyak berhelat dengan karya esai, antara lain: Regol Megal-Megol (Andi Offset, Yogyakarta 1992), Napas Budaya Yogya (Bentang Budaya Yogyakar-ta, 1994), Dari Pujangga dan Penulis Jawa (Pustaka Pelajar, Yogyakarta 1995) dll.

Saya tidak dapat menolak persepsi publik sastra, bahwa prosa lirik ‘Pengakuan Pariyem’ (Pustaka Sinar Harapan Jakarta, 1981) merupakan karya masterpiece-nya. Hingga karya tersebut di-Belanda-kan ke dalam De Bekentenk van Pariyem oleh Marjanne Fermorhuizen (Manuc Amici. Amsterdam, Belanda 1985). Atas dukungan UNESCO, karya tersebut pula di-Perancis-kan ke dalam ‘Les Confession de Pariyem’ oleh Dr. Henri Chambert-Loir dan di-Inggris-kan ke dalam ‘Pariyem’s Confession’ oleh Mary-Lindsay.

Melalui prosa lirik ‘Pengakuan Pariyem, saya menangkap bahwa Linus memiliki perhatian besar terhadap kehidupan wanita. Di samping itu, perhatian Linus terhadap kehidupan wanita tercermin lewat karya-karya puisinya. Kehidupan wanita yang tidak hanya dari kelas menengah atau elite, melainkan kelas bawah dengan berbagai berprofesinya.

 

Banowati, Potret Buram Kehidupan Cinta Asmara Wanita

Dewi Banowati dalam jagad pakeliran merupakan putri ke tiga Prabu Salya (Narasoma) yang lahir dari rahim Dewi Setyawati. Kisah cinta asmara Banowati tidak sesederhana kisah cinta asmara kedua kakak perempuannya, Dewi Erawati (permaisuri Prabu Baladewa) dan Dewi Surtikanthi (Istri Adipati Karna). Di satu sisi, perempuan berkarakter kenes itu sebagai permaisuri Prabu Duryudana (Raja Hastina). Namun di sisi lain, Banowati adalah kekasih Arjuna. Kesatria Pandhawa yang beristri segudang, semisal: Dewi Subadra, Dewi Srikandhi, Dewi Larasati, Dewi Supraba dll.

Kisah cinta asmara Banowati sangat kontekstual dengan zamannya. Di mana perselingkuhan yang merupakan pemicu ketidakberesan dalam laju bahtera rumah tangga di abad milenium ini kiranya tidak hanya dilakukan kaum pria (suami) melainkan kaum wanita (istri). Hal ini dilukiskan Linus ke dalam puisi: SETYAWATI DI PADANG KURUSETRA (9): BANOWATI: //Banowati, putri kita nomor tiga, Kanda/Yang menjadi permaisuri raja Hastina/Dulu sukar benar ia ngadu pada ibunya/”Tapi rasa ini, ibu, bagaimana saya bisu?”//”Bagaimana saya nglakoni? Hidup tanpa Arjuna/Bagaimana saya mela-deni pria tak kucintai?”/Dalam hati bergolak tarik-tambang soal pria/Pasti jiwa kanaknya berontak, menuntun beda//Tangannya ngapu rancang di pangkuan saya/Putri kita yang ceria nangis sesenggukan lama/Akhirnya pilihan bijaksana pun ia terima/”Urung diperistri tak apa, asal kekal kasihnya!”// – (1986).

Adapun motivasi perselingkuhan cinta asmara Banowati dengan Raden Permadi oleh Linus dilukiskan ke dalam puisi BANOWATI DAN LIMBUK pada bait pertama dan ke dua, yang tertulis sebagai berikut: //”Kusenang Duryudana. Kucinta Permadi”/Dendang Banowati di kolam Tamansari/”Harta di kanan. Pria jantan di kiri/Kuingin keduanya pun tampak serasi// – (1983).

Motivasi perselingkungah cinta asmara Banowati yang diungkapkan transparan oleh Linus di dalam karya BANOWATI DAN LIMBUK tersebut merefleksikan bahwa sebagian wanita mendambakan pria sempurna yang memiliki harta dan sekaligus cinta. Jika salah satu dari keduanya tidak terpenuhi oleh pasangannya, sebagian wanita acapkali melakukan perseling-kuhan dengan pria lain.

 

Maria Magdalena, Wanita Pelacur yang Mendapat Pencerahan Tuhan

Banyak orang tahu, Maria Magdalena adalah pelacur dari Magdala yang menjadi kembang Kota Jerusalem. Sekalipun keharuman bunga kepelacuran-nya tidak tersangsikan lagi, namun Maria Magdalena tetap dianggap sampah. Dia dilaknat hukum Taurat, dihina orang-orang Saduki, digusur orang-orang Farisi, dan dikelonan kaum pendosa.

Kisah tragis Maria Magdalena, pelacur yang niscaya mendpatkan perlakuan tidak manusiawi dari masyarakat tersebut telah diabadikan Linus ke dalam MARIA DARI MAGDALA (1) bait pertama – ke dua: //Saya, Maria Magda-lena/lonthe//Yang dilaknat oleh Hukum Taurat/yang dihina orang-orang Saduki/yang digusur orang-orang Farisi/yang dikeloni oleh kaum pendosa/tapi tidak berdusta// – (1985).

Sekalipun di dalam lumpur, emas tetap emas. Predikat pelacur hanya pakaian jasmaniah yang disandang Maria Magdalena. Namun hatinya yang bak emas murni tersebut telah dipenuhi gairah cinta ke-Illahi-an. Cintanya pada Yesus sang pembawa pelita kebenaran di dunia yang diliputi awan pekat tersebut sebagaimana cintanya pada Tuhan. Betapa wajar apabila Linus menggaris-bawahi kebenaran bahwa pelacur yang menyaksikan kebangkitan Yesus tersebut layak mendapatkan pencerahan Tuhan. Lebih jauh tilik puisi MARIA DARI MAGDALA (5) sebagai berikut: //Bunda berpulang/tidaklah sayang /ia sudah anggap/aku putrinya seorang//Murid-muridmu/jeblog nasibnya /hidup diburu-buru/oleh kaum penguasa Roma//Tapi padaku/ada pencerahan/daya hidup/yang menakjubkan!//Terkirim lilin/salam takzim/kepada Bapak/yang Maha Rahim/Biarpun kini/aku sendirian/dan Kau balik/ke alam kemoksan// – (1985).

 

Ibu di Desa, Sosok Wanita Berjiwa Ugahari

Kadisobo merupakan desa di wilayah Sleman bagian utara yang masih sejuk dengan udara Merapi tersebut Linus Suryadi dilahirkan, dibesarkan, diasuh, dan tinggal bersama seorang ibu. Dengan demikian, Linus sangat mengenal keugaharian kepribadian ibunya sebagai perempuan desa. Perem-puan yang memiliki kewajiban untuk belanja di pasar, memasak di dapur buat suami dan anak-anaknya, dan membantu suaminya bertani di sawah tanpa pamrih. Ia pula aktif mengikuti berbagai aktivitas sosial bersama anggota ma-syarakat di desanya, dan akrab dengan budaya warisan leluhurnya.

Kedekatan Linus dengan ibunya telah dilukiskan transparan melalui puisi IBU DI DESA yang saya kutip lengkap sebagai berikut: //Ibu saya, seperti ibu-ibu lain di dusun Jawa/Ia tak bisa ngomong aktif Indonesia. Tapi pasif saja/Tapi budi bahasa Jawa Ngoko dan Krama, jangan Tanya/Ia suka mengaliri sawah seperti juga hidupnya//Ibu saya, seperti ibu-bu lain di dusun Jawa/Ia tak pernah lupa kehilangan seorang anaknya/ Ia selalu ingat hari lahir dan hari kematiannya/Tapi, ia selalu lupa besar terbusan bagi hidupnya//Ibu saya, seperti ibu-bu lain di dusun Jawa /Ia suka cerita ganas dan rakusnya si Cebol Kepalang/Sebelum 17 Agustus 1945. Harta digarongnya pulang/Ia berjarik & baju goni dan bagor. Kutunya banyak pula//Ibu saya, seperti ibu-bu lain di dusun Jawa/Ia suka berkeluh kesah soal harga panenenannya/Untuk gabar dan palawija. Untuk upacara desa/Tak seimbang dengan ongkos sakit & sekolah anaknya di kota//Ibu saya, seperti ibu-bu lain di dusun Jawa/Ia butuh sandang pangan dan papan secukupnya/Ia butuh kondangan bagi sanak kadangnya/Dan asesori lumrah pacakan dalam pergaulan di desa//Ibu saya, seperti ibu-bu lain di dusun Jawa/pada esuk uthuk-uthuk in the morning ia masak/Lepas fajar ia pun berangkar ke sawahnya kerja/Tapi peteng repet-repet in the evening molor di depan tevenya//Ibu saya, seperti ibu-bu lain di dusun Jawa/Ia gemar keto-prak, wayang purwa, tarian Jawa/Tapi filem manca tidak. “Tak pernah rampung,” kritiknya/Ia tak suka teka-teki seperti juga hidupnya//Ibu saya, seperti ibu-bu lain di dusun Jawa/Ia pun suka ziarah ke kubur. Nengok bumi leluhur/Kubur bumi lebih mulia ketimbang kubur laut dan api/Ia kirim bunga tanda kasihNya yang abadi//Ibu saya, seperti ibu-bu lain di dusun Jawa/ Ia suka belanja di pasar Beringharjo di kota/Segala keperluar dapur. Sehabis musim tandur/Dan ia pun rajin menaikkkan beban hidupnya ke sorga//Ibu saya, seperti ibu-bu lain di dusun Jawa/Ia suka berbagi suka-duka dengan para tetangga/ Lhaya, Ibu saya. Ia selalu butuh ini dan itu juga/Tapi kebutuhannya tak lebih besar dari Ibu-kota// – 1993.

 

Catatan Akhir

Wanita merupakan makhluk Tuhan yang sangat misterius. Semakin dikenal, makhluk yang tercipta dari tulang rusuk Adam tersebut semakin tidak mudah dipahami. Karenanya sebagai penyair, Linus tidak mampu menguraikan secara definitif tentang wanita. Melalui puisi-puisinya, Linus hanya mampu melukiskan perihal wanita dengan berbagai latar belakang dan profesinya. Mengingat wanita serupa kaca prisma yang mampu mengurai satu warna ke dalam aneka warna. Hingga yang diungkapkan lewat mulutnya belum tentu buah pikiran atau perasaannya. Kalau mata diyakini jendela jiwa, barangkali substansi wanita dapat dilihat lewat sana.

Memahami persepsi Linus perihal substansi wanita memang tidak cukup hanya melalui tiga puisi sebagaimana saya kutip di atas. Namun dari ketiga puisi tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa penilaian terhadap substansi wanita tidak terletak pada sisi fisik, kelas, atau profesi, melainkan kepribadian yang memancar dari relung hatinya. Ini sepaham dengan ide Kartini terhadap perjuangan emansipasi wanita yang sesungguhnya lebih menekankan nilai kepribadian ketimbang penampilan fisik, kelas atau profesi.

 

Sri Wintala Achmad

Pecinta Sastra

Tinggal di Cilacap 


Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler