Skip to Content

Hubungan Saya dengan Soe Hok Gie dan KH. Muhammad Tidjani Jauhari

Foto Ach. Fauzi Pratama

Sebenarnya saya tidak ingin menulis catatan ini, karena Soe Hok Gie dan KH. Moh. Tidjani Jauhari kini sudah tiada, namun karena saya suka dengan tulisan-tulisan mereka, akhirnya penapun berbicara atas dorongan jiwa keberanian saya yang selama ini sering terhipnutis oleh kebisuan yang ada dalam fikiran saya. Pada awalnya saya sudah menulis artikel semacam ini yang berjudul “Hubungan Saya dengan Almarhum Soe Hok Gie”, namun pada akhirnya saya tertarik untuk menulis tulisan ini, karena saya sangat kagum dengan tulisan-tulisan beliau (KH. Moh. Tidjani Jauhari).

Lalu sesuatu apakah yang dapat kita petik dari Almarhum Soe Hok Gie dan Almarhum KH. Muhammad Tidjani Jauhari?. Kedua nama ini sepertinya tak pernah habis dijadikan bahan perbincangan oleh banyak kalangan, padahal keduanya ini adalah sosok manusia yang sangat berbeda dan mereka berdua juga hidup di zaman yang cukup berbeda. Almarhum Soe Hok Gie hadir atau hidup di zaman peralihan atau yang lebih dikenal dengan masa tumbangnya Soekarno menjadi raja di tanah air indonesia dan tentunya beliau juga hidup di awal orde baru atau era Soeharto. Sedangkan Almarhum KH. Muhammad Tidjani Jauhari hadir atau hidup dipertengahan pemerintahan ORBA (orde baru), beliau juga hidup di masa reformasi atau era Gusdur, Mega Wati dan Kabinet Indonesia Bersatu yang dikepalai oleh Sosilo Bambang Yudhoyono.

Soe Hok Gie dikenal sebagai seorang petualang, idealis, penyair, aktivis kemahasiswaan angkatan 66, ia juga dikenal sebagai intelektual cerdas yang mati muda dan tajam pemikirannya serta giat melawan tirani pemerintahan Soekarno yang terkesan buruk dimata rakyat. Almarhum KH. Muhammad Tidjani Jauhari begitu indah dan harum namanya, ia terkenal sebagai ulama cendekiawan, ia sebagai penggagas pembentukan provinsi madura, ia juga sebagai pelopor atau motor penggerak atas terbentuknya Badan Silaturrahim Ulama’ Madura yang di kenal dengan nama BASSRA dan beliau juga dikenal sebagai Pimpinah dan Pengasuh Pondok Posantren Al-amien Prenduan Madura, semasa hidupnya (1988-2007).

Apakah hanya itu kiprah mereka berdua?, tentu saja penulis menjawab tidak. Karena ada sesuatu yang harus kita ingat, bahwasannya mereka berdua adalah seorang pejuang yang gigih atau giat, demi terciptanya perubahan, melalui tulisan-tulisan, seminar, diskusi, ceramah dan lain sebagainya.

Dengan menulis catatan harian Soe Hok Gie sudah membuka akal fikiran kita untuk selalu berjuang atau menjadi pemberontak (memberontak lewat tulisan), dalam hali ini John Maxwell berkomentar, “Soe Hok Gie hanya seorang mahasiswa dengan latar belakang yang tidak terlalu hebat. Tapi dia punya kemauan melibatkan diri dalam pergerakan. Dia selalu ingin tahu apa yang terjadi dengan bangsanya. Walaupun meninggal dalam usia muda, dia meninggalkan banyak tulisan. Di antaranya berupa catatan harian dan artikel yang dipublikasikan di koran-koran nasional” ujarnya. Coba anda lihat biografi Soe Hok Gie dalam film yang berjudul Gie, disana kita akan melihat bagaimana Soe Hok Gie memberontak terhadap tirani di era Soekarno, bagaimana Soe Hok Gie diperbincangkan banyak orang dan disana kita akan melihat betapa banyak orang yang memusuhinya. Namun setelah kita menonton film tersebut kita akan terinspirasi untuk selalu bertindak. Soe Hok Gie memang luar biasa, lain dari mahasiswa dan aktifis pada umumnya. Ia memang tak sempat banyak menulis buku, tapi artikel kritisnya beredar dan dibaca banyak orang. Karena itu, kenangan terdahsyatnya adalah catatan harian yang ditulisnya sebagai “cara Soe Hok Gie membaca dunia, mengkritik kawan-kawan dan tanah airnya”. Catatan harian beliau sejak 4 Maret 1957 sampai dengan 8 Desember 1969 dibukukan tahun 1983 oleh LP3ES menjadi buku dengan judul “Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran”. Buku itu setebal 494 halaman, bagi siapa yang membanya akan menitikkan air mata. Isi dari buku ini adalah tentang kemanusiaan, kehidupan, cinta, politik, moral dan juga kematian. Buku lainnya yang ditulis Soe Hok Gie adalah Zaman Peralihan, Di Bawah Lentera Merah dan Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan. Ada juga riset ilmiah untuk disertasi dari John Maxwell yang berjudul Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani. Soe Hok Gie meninggal dunia di Puncak Gunung Semeru pada tanggal 16 Desember 1969, tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun bersama sahabat karibnya Idhan Danvantari Lubis. Pada tanggal 24 Desember 1969 beliau dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pemekaman Kober, Tanah Abang. Namun pada tahun 1975 Ali Sadikin membongkar kuburan beliau sehingga harus dipindahkan lagi, namun keluarganya menolak dan pada saat itu juga teman-temannya sempat ingat bahwa beliau pernah berpesan jika beliau meninggal dunia, sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di Lembah Mandalawangi, Gunung Pangrango. Dengan pertimbangan dan restu dari keluarganya akhirnya tulang belulang Soe Hok Gie dibakar dan abunya disebar di Lembah Mandalawangi, Gunung Pangrango, jawa barat. Sedangkan KH. Muhammad Tijani Djauhari adalah sosok ulama yang sangat peduli dengan perubahan bangsa ini khususnya madura. Beliau juga mendapat pujian dari berbagai banyak kalangan, mulai dari masyarakat madura, cendekiawan, sosialis, ulama besar, sastrawan, pejabat parlemen, POLRI dan lain sebagainya. Beliau adalah seorang kyai yang sangat enggan terjun ke dunia politik, akan tetapi beliau tidak buta terhadap politik, karena beliau sendiri sama sekali tidak asing di kancah politik dan sahabat karibnya sebagian dari politikus ternama di tanah air ini. Bahkan penulis pernah mendengar bahwasannya beliau pernah mendapatkan tawaran yang menggiurkan dari partai-partai politik untuk bergabung, akan tetapi beliau malah menolaknya, sungguh luar biasa kyai yang satu ini. Beliau juga banyak meninggalkan tulisan-tulisan, yang telah berhasil dipublikasikan dalam bentuk buku, diantaranya; Masa Depan Pesantren (agenda yang belum terselesaikan), Sempurna Hidup Dengan Doa Dan Dzikir, Pendidikan Untuk Kebangkitan Islam, Membangun Madura dan lain sebagainya. Beliau juga pernah terlibat dalam organisasi internasianal seperti Rabihtoh Alam Al-islamiyah dan Moqoddam Thoriqoh At-tijaniyaah. KH. Muhammad Tidjani Jauhari wafat pada tanggal 15 Ramadhan 1428 H/27 September 2007, pukul 02.00 Wib dini hari dan dikubur di sekitar Masjid Jami’ Al-amien Prenduan Madura.

Sehebat itukah mereka?. Menurut sejarah, perkembangan manusia sebagian besar karena pengarang atau penulis, sehingga Ben Okri, seorang novelis Afrika, berpendapat bahwasannya pengarang atau penulis sebagai “resi- resi sejarah”. Pengarang maupun penulis adalah the town-criers, barometer zaman. Jadi, bila kita berkenginan untuk tahu apa saja yang sedang berlangsung pada sepenggal zaman, maka carilah apa yang terjadi dengan para penulisnya. Menurut saya (fauzi pratama), penulis adalah seorang pemberani yang berjiwa pengetahuan, artinya berani menulis apa saja akan tetapi harus memiliki ilmu pengetahuan dan hanya dengan menulislah orang akan dikenang sepanjang sejarah. Contohnya adalah Almarhum Soe Hok Gie dan Almarhum KH. Muhammad Tidjani Jauhari yang berani memberikan pengetahuan keabadian. Mungkin, mereka berdua juga tidak tahu bahwa tulisan-tulisan dan nama mereka justru semakin bening dan dikenang oleh sejarah, meski yang kita tahu mereka sudah pergi untuk selamanya. Sebernarnya Almarhum Soe Hok Gie dan Almarhum KH. Muhammad Tidjani Jauhari adalah sebulir nama dari sekian banyak penulis terkemuka di dunia, akan tetapi mereka telah bekerja untuk keabadian dari hasil pemikiran mereka. Semoga nama mereka, tulisan mereka dan gagasan mereka akan selalu dikenang dan menjadi inspirasi bagi generasi dimasa depan. Amien…

Lalu, apa hubungan saya dengan keduanya?. Sebenarnya antara saya dengan Soe Hok Gie tidak ada hubungan kekeluargaan hanya saja kami berdua sama sama menyukai petualangan dan daki gunung, sama sama menyukai sosialisme dan kami berdua sama-sama tidak suka dengan kebijakan kebijakan yang dibuat oleh pemimpin yang hipokritis. Soe Hok Gie adalah tokoh idola yang saya kagumi karena kecerdasannya, kejujurannya, keberaniannya, dan terutama saya takjub pada pemikirannya untuk melakukan perubahan terhadap negara indonesia. Seandainya Soe Hok Gie masih hidup sampai sekarang, saya yakin indonesia tidak akan jatuh seperti sekarang, misalnya, sekarang ini penegak hukum di indonesia sangat lemah dalam menegakkan keadilan dan kebenaran, yang salah dibiarkan berfoya-foya dan yang benar dipaksa berdiam diri dibalik besi penderitaan. Antara saya dengan beliau, sebenarnya ada sedikit perbedaan, misalnya Almarhum Soe Hok Gie sama dengan Almarhum Ach Wahib (penggagas HMI), yakni Seorang intelektual cerdas yang mati muda sebelum sempat menapak dunia dari hasil pemikiran mereka. Namun ada sesuatu yang amat disayangkan antara saya dengan beliau, yakni beliau adalah orang non muslim. Sedangkan hubungan saya dengan Almarhum KH. Muhammad Tidjani Jauhari hanya sebatas Kyai dan santri. Beliau adalah seorang Kyai yang cukup sederhana namun hebatnya luar biasa dan jarang sekali menemukan seorang Kyai seperti beliau yang cukup tawadhu’ ini. Beliau adalah guru yang selalu mendidik saya, memberikan ilmu pengetahuan. Dan saya pribadi sangat ta’jub pada salah satu buku beliau yang berjudul “Membangun Madura”.

Penulis hanya bisa berharap agar dikemudian hari akan hadir Soe Hok Gie muda dan KH. Tidjani muda yang bisa melanjutkan ide-ide dan perjuangan mereka berdua. Amien…

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler