Skip to Content

TUHAN DALAM TAHUN : FLASH, IRONI, DAN POTENSI

Foto encep abdullah

        Ulasan bukuku Tuhan dalam Tahun. Dimuat di Banten Raya, 21 Juni 2014

 

oleh Beni Setia*

 

         Meskipun berusaha sekuat tenaga, saya tak bisa masuk dengan mudah ke dalam sajak-sajak di dalam kumpulan ini. Mungkin karena pola dan metode penulisan sajak dari si penyair bertumpu kepada sentakan dari ilham yang mendadak, spontan, dan tak dipikirkan serta dirancang dengan semacam pembacaan literatur--dalam rangka ingin menulis puisi yang bertema anu atau berlatar anu. Rasanya letup spontanitas, sentakan untuk menuliskan yang sekilas itu amat bertumpu kepada keberadaan--lebih tepatnya: kesimunculan--semacam tonjokan. A flash yang berubah jadi ikon, hasil pesinandaan pada momen opname--gambaran kesesaatan dalam deretan yang telah lampau, sedang berproses, dan mungkin berproses di masa depan serta diandaikan akan hadir. Selain itu aspek kedirian, subjektivitas, sangat dominan, dan seperti tak direnungkan--dalam proses yang disebut TS Eliot sebagai objective correlative, upaya mengsiobjektifkan semua penampakan yang bersifat subjektif. Sehingga semua puisi yang hadir tertulis itu mirip tampilan yang dibenarkan oleh rujukan adanya kesegaran atau orsinil dalam laku menemukan kilasan dari sebuah momen opname, dan si penyair tranced bahagia bisa menertuliskan. Nyaris tanpa mengetahui dan ingin mengetahui apakah orang lain yang akan membacanya itu maklum dan mengerti pada apa yang ingin diungkapkan--terlebih ihwal yang mendorong mengungkapkannya dalam sajak.

         Ini terlihat pada sajak ”Tahun Baru” yang lengkapnya seperti ini: jadilah seekor ular / yang berganti kulit. Ungkapan serta penandaan puitik yang amat cerdas, sangat menyaran dan tepat--tapi setelah itu kita (pembaca) menemukan apa? Atau sajak yang ada di urutan pertama, ”Mengukir Air Laut”. Bait pertama merujuk pada pencarian di pesisir berkarang, tak menemukan apa-apa selain bau amis pantai ketika air laut surut --yang mengingatkan ke panorama desa nelayan dengan jemuran ikan asin yang telat kering karena kehujanan--, yang mengingatkan kepada keinginan dan si suratan takdir yang tak terbantahkan. Ada sesuatu yang khas pantai, deru laut, ikan tangkapan, ruap aroma garam dan lumpur ketika air surut, dan kesadaran kefanaan sebagai si hamba di hadapan Allah. Itu yang ingin disampaikan. Tapi panorama pantai yang dominan, bau kenangan dari masa lalu penyair, dan kesadaran akan hal keinginan dan takdir kurang terumuskan sehingga tak gampang ditangkap oleh pembaca--yang mungkin tak punya referensi desa nelayan, hamparan jemuran ikan asin, serta (terutama) keinginan besar buat meraih yang mungkin tapi dibatasi kepapaan hamba di hadapan Allah yang telah merujukkan semuanya dalam takdir.

         Beberapa sajak tentang, atau yang diilhami oleh kematian Wan Anwar, terlihat teramat kelu. Kita ambil sajak ”Sepasang Maut” yang lengkapnya seperti ini, // : W.A. // ada apa dengan sepasang maut / yang kau ukir dalam lembaran tubuh pucat itu // ada apa dengan sepasang maut // sampai izrail benar-benar menjemputmu. Tidak jelas. Apa Wan Anwar itu memang suka menulis puisi tentang kematian, bahwa yang hidup merupakan kembaran dari yang mati yang bersembunyi dalam tubuh, (dan) kemudian Izrail datang menjemput yang hidup dan meninggalkan (tubuh) yang mati? Pembaca puisi memang bisa mengerti apa yang dimaksudkan, tapi semua itu tidak dibangkitkan oleh/dalam teks puisi yang ditulis. Teks yang ditulis itu membungkam, kepahitan dari kematian dibangkitkan oleh fakta sajak itu ditujukan bagi almarhum Wan Anwar. Jadi buat apa puisi ditulis kalau pemahaman didapat dari luar puisi (yang ditulis itu)? Lalu sajak berikut ini,  ”Elegi Kematian”, // : W.A. // di kediamannya, / aku menatap wajah yang sudah bisu dan kaku / air mataku berlari-lari ke dalam air matanya / rohnya mengusirku / ”pergilah kamu! jangan tangisi aku!”  Ada fantasi, sekaligus ada suatu pengandaian: bahwa si yang meninggal menilai yang melayat dan mengatakan bahwa tak ada kesedihan karena peristiwa kematian. Mungkin memang tidak ada yang harus disedihkan. Tapi apa yang membuat kematian itu harus diterima dengan riang gembira, dengan tidak perlu repot meneteskan air mata--bahkan melarang orang lain, si pelayat, menangis. Kenapa? Apa yang membuatnya menuntut ketabahan?

         Sementara itu Subagio Sastrowardoyo, dalam puisi ”Rekwin”, menyandingkan kematian-(nya) dengan ide kemudaan-(nya), dan kematian di usia belia itu membuat-(nya) bahagia--selain fakta pejuang. Sementara itu Chairil Anwar, dalam puisi ”Aku”, menghadirkan vitalitas sebagai tanda (dari) kehidupan. Bahkan pola untuk mengambil risiko dengan menantang kematian, sehingga (sosok) vitalitas itu lebih besar dari ujud kehidupan serta kematian. Sekaligus, vitalitas itu merupakan cara mengsiekspresikan kemudaan dalam tindakan: bebas berbuat dan cenderung memberontak. Menjadikan si bersangkutan itu autentik. Jadi si yang tidak perlu disayangi dan dikasihani lagi, karena apa-apa yang telah diperbuat itu akan jadi tanda dari gairah kehidupan, catatan sejarah yang dijadikan rujukan banyak orang--diingat, dibaca, serta diteladanani. Dan alasan-alasan yang tak ada itu, yang tak pernah dipikirkan dan sengaja dihadirkan (di dalam sajak) itu membuat pembaca kesulitan buat sekadar menangkap dan mengindentifikasi apa yang ingin digarisbawahi si penyair. Menjadi sangat sulit memaknai kegagahan si bersangkutan--Wan Anwar di satu sisi dan penyair di sisi lain--dalam puisi-puisi yang ditulis. (Meskipun dalam sajak ”Sebelum Senjamu Selesai”, kita melihat Wan Anwar sebagai si orang yang bergairah, meskipun tak ada sifat vitalistik ala Chairil Anwar, yang memaklumatkan diri sebagai ”binatang jalang”--yang secara sadar memisahkan diri dari aturan, tatanan nilai, dan keseragaman komunitas. Sajak ini, rasanya, sekedar catatan dari pubersitas romantis yang dikekalkan.)

         Dari beberapa sajak-sajak pendek yang ditulisnya, terlihat kesan bahwa penyair tak bermaksud serius menulis puisi--meski mampu menulis puisi bernas seperti sajak-sajak ”Suatu Hari di Karangantu”, ”Kelapa Tujuh”, ”Ikan dan Air Mata”, atau ”Langit dan Perempuan”, misalnya. Dari sajak-sajak itu terlihat bila penyair teramat kepingin menghadirkan ironi, bahkan sering sarkasme, dengan tujuan ingin melucu bersijenaka. Sajak ”Lelaki dan Perempuan”, yang lengkapnya seperti begini: air mata perempuan adalah orang yang berak di wc / air mata lelaki orang yang sedang salat ingin berak //  Ada kontras yang sengaja dipertajam dan diperhadapkan, suatu ironi sarkastik yang sengaja dibangun sebagai upaya mencairkan suasana. Tapi ternyata tanpa ada aspek si pemicu kelucuan, sehingga aura humor yang dirancang itu tak memunculkan letupan--persis seperti pada sajak ”Elegi Kematian”. Garing. Mungkin karena, pada dasarnya, penyair kita ini orang serius, yang saat menangkap kilatan momen opname subjektif serta bersigegas menjadikan (itu) tanda dari sebuah pertemuan dengan ilham puisi itu lupa memberi kelengkapan. Maka lahirlah teks dengan tanda-tanda--bukan idiom atau pemicu pencarian makna--, persis seperti terlihat dalam sajak ”Penyair Bingung” yang hanya berisikan ? (tanda baca) itu, atau si sajak ”Ada yang Lelah Hari ini” yang isinya hanya satu kata; otak--tak ada apa-apa, tak menunjuk ke mana-mana. Cuma tersibersit (itu semua) dari situasi subjektif yang mengelucak--maaf, diksi ini diambil dari puisi Chairil Anwar--, yang terasakan sangat mengelucak, lantas dsimpulkan si yang paling terkelucak itu otak. Kenapa? Berada dalam situasi macam apa dan kenapa? Tak jelas dan tak pernah dijelaskan.

         Mungkin ide buat menggarap kontras yang sengaja diperhadapkan, pendadakan dari keberkelokan dengan sentakan yang menjerunukkan (pembaca) ke dalam sensasi humor itu, menelad metode yang dilakukan oleh para penyair puisi mbeling--sehingga ditandai eseis Bandung Mawardi sebagai lelucon cerdas khas puisi mbeling, dengan merujuk pada kreasi Remy Sylado, Jeihan Sukmantoro, atau Yudistira Ardi Nugraha--, tapi lelucon dalam puisi itu tak bisa dibuat-buat. Bahkan seorang Joko Pinurbo yang berhasil membuat ide penjedaan fantastis dari diksi satu pengucapan paskah jadi diksi dua pengucapan pas  kah, sehingga kelucuan dan ironik--tanpa terjatuh pada pelecehan agama dan keimanan beragama--dengan latar belakang sosok kenabian Isa al-Masih, penolakan atas agama yang disampaikan Isa al-Masih, yang disusul ada penangkapan, pengadilan, dan penyaliban, dan kebangkitan Isa al-Masih. Tapi kebangkitan (paskah) itu, dengan Isa al-Masih ada di dalam ketelanjangan harus diselamatkan Maria dengan pembuatan dan pemberian celana (yang ditanyakan Maria dengan sapaan sayang:  pas kah)--maaf, judul sajak terlupa. Mungkin juga, karena penyair orang serius, serta tetap ditakdirkan serius dengan melulu diberi kilasan ilham yang suerba serius--dalam satu pembicaraan di Tenggarong, 2013, Joko Pinurbo bilang, ia, kini, tidak bisa bersengaja menemukan dan terlebih menciptakan humor cerdas seperti itu lagi. Dan ihwal aspek serius si penyair bisa dilihat dalam sajak ”Suara Azan” nan berbunyi ”alhamdulillah, / dunia belum kimat.//, atau sajak ”Peringatan bagi Pecandu Rokok” yang seperti ini: di asap rokokmu / ada izrail mengintai // berhati-hatilah!. Maka tidak heran kalau ada ode buat memuja ibu, dalam sajak ”Di Matamu Ada Sebaris Doa”, yang seperti begini // : Ibu // // sebaris doa di matamu / adalah lantunan suara tuhan yang abadi //.

         Penyiar kita ini orang serius dan malahan teramat serius sekali--serta sipat serius itu tak bisa dipermainkan atau diingkari dengan sentakan-sentakan mengingkari lewat pen-set-an yang ingin disampaikan dalam ironi, sarkasme, serta komedi. Tapi sebagai kumpulan puisi pertama, dari momenti pengalaman menulis selama 2009-2014, apa yang dilakukan penyair kita itu tidak hanya semacam rintisan, sebelum ia benar- menemukan apa yang seharusnya ditulis, serta fokus kepada itu. Insya Allah.***

 

*Beni Setia, lahir di Bandung, 1954. Ia menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Menengah Pertanian Atas, Soreang, Bandung pada 1974. Ia menulis cerpen, puisi, serta esai sosial-budaya baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Sunda. Bukunya yang telah terbit, Legiun Asing: Tiga Kumpulan Sajak (1987), Dinamika Gerak (1990), dan Harendong (1996). Kini ia tinggal bersama keluarganya di Caruban, Madiun, Jawa Timur. Beni memilih menulis sebagai profesi tunggalnya.

Komentar

Foto Yogo Anumerta

silahkan kunjungi web saya

silahkan kunjungi web saya juga gan sajakmati.net

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler