Skip to Content

Yuk, Mengaji Puisi Tiap Ahad di Bandung

Foto Hikmat
files/user/4/nonton-bareng.jpg
Siswa siswi SMAN 9 Bandung nonton bareng film Pengkhianatan G30S PKI, di Gedung Indonesia Menggugat. (Foto: TEMPO/Prima Mulia)

Sekitar 20 orang duduk lesehan beralas karpet. Belasan lainnya duduk di bangku dan berdiri. Perhatian mereka tertuju ke dua orang perempuan yang duduk berdampingan di panggung kecil.

Anggie Sri Wilujeng asal Tasikmalaya dan Evi Widawati dari Yogyakarta yang hadir sebagai penyair tamu pengajian sastra hari itu berbagi pengalaman dan proses kreatif membuat puisi. Diskusi mengalir hangat bersama makanan ringan dan kue hasil sumbangan anggota komunitas Majelis Sastra Bandung.

Tiap Ahad, sebulan sekali, anggota komunitas itu rutin berkumpul di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, mulai pukul 14.00 WIB hingga sore. Sebelum diskusi dan paparan penyair tamu, biasanya setiap orang diberi kesempatan membacakan puisi buatannya.

Di lain waktu pengajian itu khusus membedah karya-karya puisi anggota komunitas hingga malam hari. Kumpulan karya terbaik mereka kini telah diterbitkan menjadi dua buku berjudul Ziarah Kata 44 Penyair (2010) dan Bersama Gerimis (2011).

Majelis Sastra Bandung yang sepakat dibentuk lewat jalinan pesan pendek oleh sejumlah seniman Bandung seperti Matdon, Dedy Koral, Aendra H. Medita, Hermana, Hanief, Ayi Kurnia, dan Yusef Muldiana, aktif sejak 25 Januari 2009.

Alasan pembentukannya karena mereka menilai banyak penyair muda yang masih kurang membaca karya orang lain, berdiskusi, dan terlalu puas dengan hanya satu kali berkarya.

Kegiatan utama majelis yang berarti tempat duduk mencari ilmu itu berupa pengajian sastra, tempat para penyair mengkaji ilmu dan pengetahuan tentang sastra. "Di dalamnya termasuk puisi, novel, cerita pendek, teater, film, dan musik," kata Matdon, penyair yang menjadi Rois Am atau ketua umum majelis. Dana kegiatan awal terutama untuk konsumsi berasal dari penjualan telepon selulernya.

Diskusi perdana pengajian sastra mengangkat topik tradisi sastra di Jawa Barat bersama budayawan Hawe Setiawan dan wartawan yang juga penyair, Soni Farid Maulana.

Giliran bulan-bulan selanjutnya hadir berbagai penyair dari berbagai kota termasuk yang top, seperti Acep Zamzam Noor, Binhard Nurohmat, Rukmi Wisnu Wardani, Ramses Simatupang, dan Ahda Imran. Di Bandung mereka datang dengan ongkos sendiri dan sebagian menumpang tidur di rumah teman.

Pengajian yang terbuka untuk umum dari kalangan awam hingga penyair itu tak punya niat mengorbitkan banyak penyair baru. Para pengurus majelis sastra sudah cukup senang ketika karya anggota komunitas atau peserta pengajian ada yang dimuat di koran-koran atau majalah. "Komunitas ini hanya sebagai penguat agar kualitas penulisan mereka lebih maju," ujar Matdon.

Untuk menjadi anggota komunitas sastra ini tak ada syarat khusus. Bagi anggota yang sanggup membuat 10 puisi dalam beberapa kali pertemuan, misalnya, berhak dinilai tim majelis untuk diberi penghargaan berupa pemuatan karya dalam buku antologi puisi. "Saya masih belajar cara membuat puisi yang bagus seperti apa karena hadir juga kalau sempat," kata Iman, mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung.

Dari sekitar 30-40 jemaah tadarus puisi, misalnya, kebanyakan berasal dari kalangan mahasiswa berbagai kampus di Bandung. Lainnya ada yang bekerja sebagai pramugari, guru sekolah dasar, dan dosen.

Bagi penyair, seperti Anggie Sri Wilujeng, pengajian sastra itu menjadi ajang silaturahim antarseniman dan belajar sastra bersama. "Untuk mengisi baterai proses kreatif menulis juga," ujarnya. Musisi lokal seperti Mukti-mukti dan kelompoknya juga beberapa kali menggarap musikalisasi puisi dari karya para tamu pengajian sastra.

Karena memakai istilah yang tak umum di kalangan sastrawan seperti mejelis, dewan taqnin, syuro, juga tanfidz, komunitas itu sempat dituding sebagai utusan pemerintah dan dibiayai partai politik tertentu.

Padahal kegiatan bulanan itu hanya mengandalkan hasil kotak sumbangan, penjualan buku puisi, kaus, dan barang kerajinan titipan. Sekarang mereka sudah tiga bulan menunggak pembayaran uang sewa tempat sekretariat di Kebun Seni, Jalan Tamansari. "Pengajian akan terus berjalan, tak peduli akan lahir penulis baru atau tidak," kata Matdon.

(ANWAR SISWADI)


Sumber: TempoInteraktif.com, Minggu, 30 Oktober 2011 10:31 WIB

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler