Skip to Content

PUISI-PUISI ABDUL HADI W.M.

Foto SIHALOHOLISTICK

LAGU DALAM HUJAN

 

Merdunya dan merdunya

Suara hujan

Gempita pohon-pohonan

Menerima serakan

Sayap-sayap burung

 

Merdunya dan merdunya

Seakan busukan akar pohonan

Menggema dan segar kembali

Seakan busukan daungladiola

Menyanyi dalam langsai-langsai pelangi biru

Memintas-mintas cuaca

 

Merdunya dan merdunya

Nasib yang bergerak

Jiwa yang bertempur

Gempita bumi

Menerima hembusan

Sayap-sayap kata

 

Ya, seakan merdunya suara hujan

Yang telah menjadi kebiasaan alam

Bergerak atau bergolak dan bangkit

Berubah dan berpindah dalam pendaran warna-warni

Melintas dan melewat dalam dingin dan panas

 

Merdunya dan merdunya

Merdu yang tiada bosan-bosannya

Melulung dan tiada kembali

Seakan-akan memijar api

 

1970

 

AMSAL SEEKOR KUCING

 

Selalu tak dapat kulihat kau dengan jelas

Padahal aku tidak rabun dan kau tidak pula bercadar

Hanya setiap hal memang harus diwajarkan bagai semula:

Selera makan, gerak tangan, gaya percakapan, bayang-bayang kursi

Bahkan langkah-langkah kehidupan menuju mati

 

Biarlah kata-kataku ini dan apa yang dipercakapkan

bertemu bagai dua mulut yang lagi berciuman

Dan seperti seekor kucing yang mengintai mangsanya di dahan pohon

Menginginkan burung intaiannya bukan melulu kiasan

 

1975

LA CONDITION HUMAINE

 

Di dalam hutan nenek moyangku

Aku hanya sebatang pohon mangga

-- tidak berbuah tidak berdaun –

Ayahku berkata, “Tanah tempat kau tumbuh

Memang tak subur, nak!” sambil makan

buah-buahan dari pohon kakekku dengan lahapnya

 

Dan kadang malam-malam

tanpa sepengetahuan istriku

aku pun mencuri dan makan buah-buahan

dari pohon anakku yang belum masak

 

1975

LARUT MALAM, HAMBURG MUSIM PANAS

Laut tidur. Langit basah

Seakan dalam kolam awan berenang

Pada siapakah menyanyi gerimis malam ini

Dan angin masih saja berembus, walau sendiri

 

Dan kita hampir jauh berjalan:

Kita tak tahu ke mana pulang malam ini

Atau barangkali hanya dua pasang sepatu kita

Bergegas dalam kabut, topiku mengeluh

Lalu jatuh

 

Atau kata-kata yang tak pernah

sebebas tubuh

 

Ketika terbujur cakrawala itu kembali

dan kita serasa sampai, kita lupa

Gerimis terhenti antara sauh-sauh yang gemuruh

Di kamar kita berpelukan bagai dua rumah yang mau rubuh

 

1974

 

WINTER, IOWA 1974

 

langit sisik yang serbuk, matahari yang rabun

menarilah dari rambutnya yang putih beribu kupu-kupu

menarilah dan angin yang bising di hutan dan gurun-gurun

menarilah, riak sungai susut malam-malam ke dasar lubukku

 

1974

 

RAMA-RAMA

 

rama-rama, aku ingin rasamu yang hangat

meraba cahaya

terbanglah jangan ke bunga, tapi ke laut

menjelmalah kembang di karang

 

rama-rama, aku ingin rasamu yang hangat

di rambutmu jari-jari matahari yang dingin

kadang mengembuni mata, kadang pikiran

melimpahinya dengan salju dan hutan yang lebat

 

1974

 

DINI HARI MUSIM SEMI

 

Aku ingin bangun dini hari, melihat fajar putih

memecahkan kulit-kulit kerang yang tertutup –

Menjelang tidur kupahat sinar bulan yang letih itu

yang menyelinap dalam semak-semak salju terakhir

ninabobo yang menentramkan, kupahatkan padanya

sebelum matahari memasang kaca berkilauan

 

Tapi antara gelap dan terang, ada dan tiada

Waktu selalu melimpahi langit sepi dengan kabut dulu

lalu angin perlahan-lahan dan ribut memancarkan pagi

-- burung-burung hai ini, sedang musim dingin yang hanyut

masih abadi seperti hari kemarin yang mengiba

harus memakan beratus-ratus masa lampauku

 

BAYANG-BAYANG

 

Mungkin kau tak harus kabur, sela

bayang-bayangmu

yang menjauh dan menghindar

dari terang lampu

 

Ia selalu menjauh dan menghindar

dari terang lampu

Ia selalu mondar mandir

mencari-cari bentuk dan namanya

yang tak pernah ada

 

1974

 

DALAM GELAP

 

Dalam gelap bayang-bayang bertemu dengan jasadnya yang telah menunggu

di sebuah tempat

Mereka berbincang-bincang untuk mengalahkan tertang dan sepakat

mengha-dapi terang yang kurang baik perangainya

Karena itu dalam terang bayang-bayang selalu berobah-robah menggeser-geserkan dirinya dan ruang untuk menipu terang

Dan jasad selalu siap melindungi bayang-bayangnya dari terang sambil menciptakan gelap dengan bayang-bayangnya dari sinar terang

 

1974

 

MAUT DAN WAKTU

 

Kata maut: Sesungguhnya akulah yang memperdayamu pergi mengembara sampai tak ingat rumah

menyusuri gurun-gurun dan lembah ke luarmasuk ruang-ruang kosong jagad raya mencari suara

merdu Nabi Daud yang kusembunyikan sejak berabad-abad lamanya

 

Tidak, jawab waktu, akulah yang justru memperdayamu sejak hari pertama Qabi kusuruh membujukmu

memberi umpan lezat yang tak pernah menge-nyangkan hingga kau pun tergiur ingin lagi dan

ingin lagi sampai gelisah dari zaman ke zaman mencari-cari nyawa Habil yang kau kira fana

mengembara ke pelosok-pelosok dunia bagaikan Don Kisot yang malang

 

1974

 

AKU BERIKAN

 

Aku berikan seutas rambut padamu untuk kenangan

tapi kau ingin merampas seluruh rambutku dari kepala

Ini musim panas atau bahkan tengah musim panas

langkahmu datang dan pergi antara ketokan jam yang berat

 

Mengapa jejak selalu nyaring menjelang sampai

daun-daun kering risik di pohon ingin berdentuman

ke air selokan yang deras

langkahmu datang dan pergi antara ketokan jam yang berat

 

Aku berikan sepotong jariku padamu untuk kaubakar

tapi kau ingin merampas seluruh tanganku dari lengan

Ini musim atau akhir musim panas aku tak tahu

Burung-burung kejang di udara terik seakan penatku padamu

 

Maka kujadikan hari esokku rumah

Tapi tak sampai rasanya hari iniku untuk berjumpa

 

1974

 

MALAM TELUK

 

Malam di teluk

menyuruk ke kelam

Bulan yang tinggal rusuk

padam keabuan

 

Ratusan gagak

Berteriak

Terbang menuju kota

 

Akankah nelayan kembali dari pelayaran panjang

Yang sia-sia? Dan kembali

Dengan wajah masai

Sebelum akhirnya badai

mengatup pantai?

 

Muara sempit

Dan kapal-kapal menyingkir pergi

Dan gonggong anjing

Mencari sisa sepi

 

Aku berjalan pada tepi

Pada batas

Mencari

 

Tak ada pelaut bisa datang

Dan nelayan bisa kembali

Aku terhempas di batu karang

Dan luka diri

 

1971

 

KADANG

 

Kadang begitu seringnya

ciuman letih pada bibirmu

menghabiskan tetes demi tetes airmatanya sendiri

dan kenangan lain yang lebih sedih mekar karenanya

 

Daging bagai retasan-retasan arang oleh api

tapi toh seakan abadi

Dan mereka yang menganggapnya tak abadi

karena cemas akan cintanya sendiri

 

Begitu diambilnya langkah: Ia seperti setangkai api

Pada sehelai kertas yang baru dituliskan

 

Seseorang atau entah rangkulan yang menggetarkan

mengambil getaran itu lagi

dan aku adalah getaran itu sendiri

 

1971

 

SEHABIS HUJAN KECIL

 

Retakan hujan yang tadi jatuh, berkilau

Pada kelopak kembang yang memerah

Antara batu-batu hening merenungi air kolam

Angin bercakap-cakap, sehelai daun terperanjat dan lepas

 

1972

 

GERIMIS

 

I

Seribu gerimis menuliskan kemarau di jendela

Basah langit yang sampai melepaskan senja

Bersama gemuruh yang dilemparkan jarum jam, kata-kata

bermimpilah bunga-bunga menyusun kenangannya

dari percakapan terik dan hama

 

“Kau toreh bibirnya yang merkah,” kata hama

“Dan kuhisap isi jantungnya yang masih merah”

 

II
Kenapa ia tak terkulai

Dan masih bertahan juga

Dan bersenyum pada surya

yang mengunyah-ngunyah airmatanya

 

III

Untukku ingar itu pun senantiasa menyurat

Atau mimpi

Tapi angin masih saja menggigil

Mendesakkan pago

 

IV

Tuhan, kau hanya kabar dari keluh

 

V

Burung-burung pun

asing di sana

karena jarak dan bahasa

 

1971

 

NYANYIAN KABUT

 

Kabut biru semata. Biru. Ada cahaya berisik

helaan angin, lalu percakapan

Kunamakan senandungmu lengang, udara

Berangkat cuaca malam dan ke mana kata-kata

 

Dan dalam kabut bisik-bisikmu jelaga

 

Kadang kudengarkan itu sengau yang lepas

dari laringnya, kadang kudengarkan itu

lembar-lembar jatuh dari kenangannya

Kadang kudengarkan itu

doa shalat sebelum sujud diselesaikan

 

Dan seseorang bangun bagiku

menyalakan lampu sebelum malam

 

1971

 

EPISODE

 

Ombak-ombak ini tidak perih, tidak enggan

merendam ketam-ketam, sinar keong

Pun tidak percuma menungging awam

yang kadang kala murung dekat pencakar

 

Lentera-lentera kapal yang merah keabuan

kadang seperti mata kanak-kanak

yang melahirkan dongengan (malam

menyebrangi selat dan) melemparkan

biji-biji anggrek di sana

 

Dan kadang: antara kelam, tidur aku!

Perahu-perahu yang dulu membawamu itu

dalam pelayaran panjang dan telah balik lagi

dengan layar-layar dari dukaku yang pulang

enggan

 

1973

 

LAUT

 

Dan aku pun memandang ke laut yang bangkit ke arahku

selalu kudengar selamat paginya dengan ombak berbuncah-buncah

dan selamat pagi laut kataku pula, siapa bersamamu menyanyi setiap malam

menyanyikan yang tak ada atau pagi atau senja? atau kata-kata

laut menyanyi lagi, laut mendengar semua yang kubisikkan padanya perlahan-lahan

selamat pagi laut kataku dan laut pun tersenyum, selamat pagi katanya

suaranya kedengaran seperti angin yang berembus di rambutku, igauan waktu di ubun-ubun

dan di atas sana hanya bayang-bayang dari sinar matahari yang kuning keperak-perakan

dan alun yang berbincang-bincang dengan pasir, tiram, lokan dan rumput-rumput di atas karang

dan burung-burung bebas itu di udara bagai pandang asing kami yang lupa

selamat pagi laut kataku dan selamat pagi katanya tertawa-tawa

kemudian bagai sepasang kakek dan nenek yang sudah lama bercinta kami pun terdiam

kami pun diam oleh tulang belulang kami dan suara sedih kami yang saling geser dan terkam menerkam

kalau maut suatu kali mau mengeringkan tubuh kami biarlah kering juga air mata kami

atau bisikan ini yang senantiasa merisaukan engkau: siapakah di antara kami

yang paling luas dan dalam, air kebalaunya atau hati kami tempat kabut dan sinar selam menyelam?

Tapi laut selalu setia tak pernah bertanya, ia selalu tersenyum dan bangkit ke arahku

laut melemparkan aku ke pantai dan aku melemparkan laut ke batu-batu karang

andai di sana ada perempuan telanjang atau kanak-kanak atau saatmu dipulangkan petang

laut tertawa padaku, selamat malam katanya dan aku pun ketawa pada laut, selamat malam kataku

dan atas selamat malam kami langit tergunang-guncang dan jatuh ke cakrawala senja

begitulah tak ada sebenarnya kami tawakan dan percakapkan kecuali sebuah sajak lama:

aku cinta pada laut, laut cinta padaku dan cinta kami seperti kata-kata dan hati yang mengucapkannya

 

1973

 

KUSEBUT

 

Kusebut kata-kata engganmu detik jam

Gemersik berat dihela jarumnya

Senandungmu mengalun bagai desau angin ribut

jatuh ke pelimbahan air perlahan-lahan

Kabut yang senantiasa berjkalan dari dinding ke dinding

membalik-balik beribu percakapan

dan didapatkannya nama-nama asing yang tak ada orangnya

Kabut yang mengatakan sebuah luka

Yang meluas dan mengendap jadi palung di dada

dan palung itu mengisap jantung kita

 

Dan malam yang senantiasa berdiri di luar

berdiri berjaga mendengarkan yang bakal tak sampai

Dan bayang-bayang terangnya di bawah lampu

bernyanyi gelisah melalui gang yang satu ke gang yang lainnya

 

1973

 

CINTA

 

Cinta serupa laut

selalu ia terikat pada arus

Setiap kali ombak bertarung

Seperti tutur kata dalam hatimu

Sebelum mendapat bibir yang mengucapkanya

 

Angin kencang datang dari jiwa

Air berpusar dan gelombang naik

Memukul hati kita yang telanjang

Dan menyelimutinya dengan kegelapan

 

Sebab keinginan begitu kuat

Untuk menangkap cahaya

Maka kesunyianpun pecah

Dan yang tersembunyi menjelma

 

Kau disampingku

Aku disampingmu

Kata -kata adalah jembatan

Tapi yang mempertemukan

Adalah kalbu yang saling memandang

 

MIMPI

 

Aneh, tiap mimpi membuka kelopak mimpi yang lain,

berlapis-lapis mimpi,

tiada dinding dan tirai akhir,

hingga kau semakin jauh dan semakin dalam

tersembunyi dalam ratusan tirai rahasia

membiarkan aku asing pada wujud

hampa dan wajah sendiri.

 

Kudatangi kemudian pintu-pintu awan, nadi-nadi

cahaya dan kegelapan, rimba sepi dan kejadian

-- di jalan-jalannya,

di gedung-gedungnya kucari sosok bayangku

yang hilang dalam kegaduhan.

Tetap, yang fana mengulangi kesombongan dan keangkuhannya

dan berkemas pergi entah ke mana gelisah,

asing memasuki rumah sendiri menjejakkan kaki,

bergumul benda-benda ganjil yang tak pernah dikenal,

menulis sajak, menemukan mimpi yang lain lagi berlapis-lapis mimpi,

tiada dinding akhir sebelum menjumpai-Mu.

 

(1981-1992)

 

KETIKA MASIH BOCAH  

 

Ketika masih bocah, rumahku di tepi laut

Bila pagi pulang dari perjalanan jauhnya

Menghalau malam dan bayang-bayangnya, setiap kali

Kulihat matahari menghamburkan sinarnya

Seraya menertawakan gelombang

Yang hilir mudik di antara kekosongan

Sebab itu aku selalu riang

Bermendung atau berawan, udara tetap terang

Setiap butir pasir buku pelajaran bagiku

Kusaksikan semesta di dalam

Dan keluasan mendekapku seperti seorang ibu

Batang kayu untuk perahu masih lembut tapi kuat

Kuhadapkan senantiasa jendelaku ke wajah kebebasan

Aku tak tahu mengapa aku tak takut pada bahaya

Duri dan kepedihan kukenal

Melalui kakiku sendiri yang telanjang

 

Arus begitu akrab denganku

Selalu ada tempat bernaung jika udara panas

Dan angin bertiup kencang

Tak banyak yang mesti dicemaskan

Oleh hati yang selalu terjaga

Pulau begitu luas dan jalan lebar

Seperti kepercayaan

Dan kukenal tangan pengasih Tuhan

Seperti kukenal getaran yang bangkit

Di hatiku sendiri

 

KEMBALI TAK ADA SAHUTAN DI SANA  

 

Kembali tak ada sahutan di sana

Ruang itu bisu sejak lama dan kami gedor terus pintu-pintunya

Hingga runtuh dan berderak menimpa tahun-tahun

penuh kebohongan dan teror yang tak henti-hentinya

 

Hingga kami tak bisa tinggal lagi di sana memerah keputusasaan dan cuaca

Demikian kami tinggalkan janji-janji gemerlap itu dan mulai bercerai-berai

Lari dari kehancuran yang satu ke kehancuran lainnya

Bertikai memperebutkan yang tak pernah pasti dan ada

Dari generasi ke generasi

 

Menenggelamkan rumah sendiri ribut tak henti-henti

Hingga kautanyakan lagi padaku

Penduduk negeri damai macam apa kami ini

raja-raja datang dan pergi seperti sambaran kilat dan api

Dan kami bangun kota kami dari beribu mati.

Tinggi gedung-gedungnya di atas jurang dan tumpukan belulang

Dan yang takut mendirikan menara sendiri membusuk bersama sepi

Demikian kami tinggalkan janji-janji gemerlap itu

dan matahari 'kan lama terbit lagi

 

DO’A UNTUK INDONESIA  

 

Tidakkah sakal, negeriku? Muram dan liar

Negeri ombak

Laut yang diacuhkan musafir

karena tak tahu kapan badai keluar dari eraman

Negeri batu karang yang permai, kapal-kapal menjauhkan diri

Negeri burung-burung gagak\

Yang bertelur dan bersarang di muara sungai

Unggas-unggas sebagai datang dan pergi

Tapi entah untuk apa

Nelayan-nelayan tak tahu

Aku impikan sebuah tambang laogam

Langit di atasnya menyemburkan asap

Dan menciptakan awan yang jenaka

Bagai di badut dalam sandiwara

Dengan cangklong besar dan ocehan

Batuk-batuk keras

Seorang wartawan bisa berkata : Indonesia

Adalahberita-berita yang ditulis

Dalam bahasa yang kacau

Dalam huruf-huruf yang coklat muda

Dan undur dari bacaan mata

Di manakah ia kausimpan dalam dokumntasi dunia ?

Kincir-kincir angin itu

Seperti sayap-sayap merpati yang penyap

Dan menyebarkan lelap ke mana-mana

Sebagai pupuk bagi udaranya

Lihat sungai-sungainya, hutan-hutannya dan sawah-sawahnya

Ratusan gerobag melintasi jembatan yang belum selesai kaubikin

Kota-kotanya bertempat di sudut belakang peta dunia

Negeri ular sawah

Negeri ilalang-ilalang liar yang memang dibiarkan tumbuh subur

Tumpukan jerami basah

Minyak tanahnya disimpan dalamkayu-kakyu api bertumpuk

Dan bisa kau jadikan itu sebagai api unggun

Untuk persta-pesta barbar

Indonesia adalah buku yang sedang dikarang

Untuk tidak dibaca dan untuk tidak diterbitkan

Di kantor penerimaan tenaga kerja

Orang-orang sebagai deretan gerbong kereta

Yang mengepulakan asap dan debu dari kaki dan keningnya

Dan mulutnya ternganga

Tatkala bencana mendamprat perutnya

Berapa hutangmu di bank ? Di kantor penenaman modal asing ?

Di dekat jembatantua

malaikat-malaikat yang celaka

Melagu panjang

Dan lagunya tidak berarti apa-apa

Dan akan pergi ke mana hewan-hewan malam yangterbang jauh

Akan menjenguk gua mana, akan berteduh di rimba raya mana ?

Ratusan gagak berisik menuju kota

Menjalin keribuan di alun-alun, di tiap tikungan jalan

Puluhan orang bergembira

Di atas bayangan mayat yang berjalan

Memasuki toko dan pasar

Di mana dipamerkan barang-barang kerajinan perak

Dan emas tiruan

Indonesia adalah kantor penampungan para penganggur

yang atapnya bocor dan administrasinya kacau

Dijaga oleh anjing-anjing yang malas dan mengantuk

Indonesia adalah sebuah kamus

Yang perbendaharaan kata-katanya ruwet

Dibolak-balik, digeletakkan, diambil lagi, dibaca, dibolak-balik

Sampai mata menjadi bengkak

Kata kerja, kata seru, kata bilangan, kata benda, kata ulang,

kata sifat

Kata sambung dan kata mejemuk masuk ke dalam mimpimu

Di mana kamus itu kau pergunakan di sekolah-sekolah dunia ?

Di manakah kamus itu kaujual di pasaran dunia ?

Berisik lagi, berisiklagi :

Gerbong-gerbong kereta

membawa penumpang yang penuh sesak

dan orang-orang itu pada memandang ke sorga

Dengan matanya yang putus asa dan berkilat :

Tuhanku, mengapa kaubiarkan ular-ular yang lapar ini

Melata di bumi merusaki hutan-hutan

Dan kebun-kebunmu yang indah permai

Mengapa kaubiarkan mereka ……….

 

Negeri ombak

Badai mengeram di teluk

Unggas-unggas bagai datang dan pergi

Tapi entah untuk apa

Nelayan-nelayan tak tahu

 

1971

 

DALAM PASANG  

 

Dan pasang apalagikah yang akan mengenyahkan kita, kegaduhan apa lagi?

Sekarat dan terbakar sudah kita oleh tahun-tahun penuh pertikaian,

ketakutan dan perang saudara

Terpelanting dari kebuntuan yang satu ke kebuntuan lainnya

Tapi tetap saja kita membisu atau berserakan

Menunggu ketakpastian

Telah mereka hancurkan rumah harapan kita

Telah mereka campakkan jendela keluh dan ratap kita

Hingga tak ada yang mesti kuceritakan padamu lagi

tentang laut itu di sana, yang naik dan menarik ketenteraman ke tepi

Kecuali serpih matahari dalam genggam kesia-siaan ini

yang bisa menghanguskan kota ini lagi

- Raja-raja dan kediaman mereka yang bertangan besi

Kecuali segala bual dan pidato kumal yang berapi-api

Antara kepedihan bila kesengsaraan dan lapar tak tertahankan lagi

 

Kita adalah penduduk negeri yang penuh kesempatan dan mimpi

Tapi tak pernah lagi punya kesempatan dan mimpi

 

Kita adalah penduduk negeri yang penuh pemimpin

Tapi tak seorang pun kita temukan dapat memimpin

Kita....

 

BARAT DAN TIMUR  

 

Barat dan Timur adalah guruku Muslim, Hindu, Kristen, Buddha,

Pengikut Zen dan Tao

Semua adalah guruku

Kupelajari dari semua orang saleh dan pemberani

Rahasia cinta, rahasia bara menjadi api menyala

Dan tikar sembahyang sebagai pelana menuju arasy-Nya

Ya, semua adalah guruku

Ibrahim, Musa, Daud, Lao Tze Buddha, Zarathustra,

 Socrates, Isa Almasih Serta Muhammad Rasulullah

Tapi hanya di masjid aku berkhidmat

Walau jejak-Nya

Kujumpai di mana-mana.

 

SAJAK SAMAR

 

Ada yang memisah kita, jam dinding ini

ada yang mengisah kita, bumi bisik-bisik ini

ada. Tapi tak ada kucium wangi kainmu sebelum pergi

tak ada. Tapi langkah gerimis bukan sendiri

 

1967

 

MADURA

 

Angin pelan-pelan bertiup di pelabuhan kecil itu

ketika tiba, dengan langit, pohon, terik, kapal

dan sampan yang tenggelam di pintu cakrawala

Selamat pagi tanah kelahiran

Sebab aku tak menghitung untuk ke berapa kali

Kapan saat menebal pada waktu

Sebab aku tahu yang paling berat adalah rindu

Sangsi selalu melagukan hasrat dan impian-impian

Dan adakah yang lebih nikmat daripada bersahabat

dengan alam, dengan tanah kelahiran, dan

dengan kerja serta dengan kehidupan?

Aku akan mengatakan, tapi tidak untuk yang penghabisan:

 

Ketenangan Selat Kamal

adalah ketenangan hatiku

membuang pikiran dangkal

yang mengganggu sajakku

 

kurangkul tubuh alam

seperti mula kelahiran Adam

sedang sesudah mengembara

baiklah kita rahasiakan

 

dari perjalanan ini

aku membawa timbun puisi

bahwa aku selalu asyik mencari

keteduhan mimpi

 

kebiruan Selat Kamal

adalah kebiruan sajakku

dan terasa hidup makin kekal

sesudah memusnah rindu

 

bertemu segala milik dan hak

dalam cinta dan sajak

noktah-noktah berdebu di bersihkan

di kedua tangan

 

 

kuberi pula salam sayup

kepada pantai yang berbatas pasir

dan langit yang mulai redup

pada waktu sajak lahir

 

Kedangkalan Sungai Sampang

adalah kedangkalan hatiku

menimbang hidup terlalu gamang

dan di situ ketergesaan mengganggu

 

dan terlalu tamak

dengan kesempurnaan

dengan sesuatu yang bukan hak

dengan kejemuan

 

tetapi sekali saat tiba juga

pada suatu tempat

tanpa petunjuk siapa-siapa

asal kita bersempat

 

mengerti juga kenapa kiambang

bertaut sepanjang sungai

dengan belukar dan kembang-kembang

sebelum kita sampai ke dasar dan muaranya

 

Diamnya Sungai Sampang

adalah diamnya sajakku

sekali waktu banjir datang

sekali waktu airnya biru

 

dan bertetap tujuan

ke suatu muara

yang berasal dari suatu daerah pegunungan

untuk sumber pertama

 

Kerendahan Bukit Payudan

adalah kerendahan hatiku

menerima nasib dalam kehidupan

di atas kedua bahu

 

sesekali pernah kita

tidak tahu tentang kelahiran

dan bertakut menjadi tua

karena ancaman kematian

 

Keramahan Bukit Payudan

adalah keramahan sajakku

untuk mengerti kepastian

yang lebih keras dari batu

 

sesekali pernah kita

tidak tahu ke mana mengembara

kemudian muncul kembali di tanah kesayangan

dengan kehampaan di tangan

 

tak seorang menyambut datang

tak seorang menanti pulang

tak seorang menerima lapang

atau membacakan tembang-tembang

 

dan kesia-siaan begini

akan selalu kualami

namun tak selalu kusesali

sebab kubenam sebelum jadi

 

Keterpencilan desa Pasongsongan

adalah keterpencilan hatiku

sebelum memulai perjalanan

ke jauh kota dan pulau

 

tapi keabadian lautnya kini

telah mengembalikan cintaku

tanah yang pernah tersia sebelum dimengerti

dan ditinggalkan rasa kebanggaanku

 

dan sebagai anak manusia

sekali aku minta istirah mengembara

berhenti membuat puisi yang mendera

dan berhenti memikat dara-dara

 

 

 

sebab di sinilah tumpahnya

darah kita pertama

dan terakhir berhentinya

mengaliri nadinya

 

1967

 

FRAGMEN

 

Belumkah ada lindap sebelum

kau kembali ke kamar

yang suram dan kutandai musik beku?

Bayangan itu jadi gerimis

dan meleleh di kebon rumah yang gelap

 

Aku jadi garang pada malam seperti itu

dan ingin kukecup bibirmu semutlak mungkin

seperti juga hujan di padang-padang

dengan ringkik kuda yang memburu mega terbit

 

Rampungkan sepimu dan matangkan dagingmu

sampai jadi lengkap perjalanan kita nanti

pelancongan menuju dunia tanpa penyesalan

hingga pada suatu hari nanti

aku tak lagi bermimpi

tentang gua di rimba perburuan itu

 

1971

 

TUHAN, KITA BEGITU DEKAT

 

Tuhan,

Kita begitu dekat

Sebagai api dengan panas

Aku panas dalam apimu

 

Tuhan,

Kita begitu dekat

Seperti kain dengan kapas

Aku kapas dalam kainmu

 

Tuhan,

Kita begitu dekat

Seperti angin dan arahnya

 

Kita begitu dekat

 

Dalam gelap

kini aku nyala

dalam lampu padammu

 

1976

 

SAJAK PUTIH

 

Kita telah menjadi sekedar kenangan

lembaran asing pada buku harian

seperti tak pernah kautuliskan

peristiwa itu

 

Bunga-bunga sudah berguguran

tangkai dan kelopaknya

Pohon-pohon kering

Dan jendela jadi kusam

Seperti senja bakal tenggelam

 

Dan Titi telah semakin tua

meninggalkan masa kanak-kanaknya

Seakan cairan lilin

yang mengental

jadi malam

 

Dan masa-masa cintamu

hanyalah onggokan

puntung rokok

di lantai

yang dingin

 

Dan dengan pot-pot bunga

betapa asingnya

Kita

 

1971

 

EXODUS

 

Menyandang beban sunyi ini di sini

Menyandang beban salib ini di sini

Menyandang kehilangan

Yang seakan

Genderang mainan dipukul ombak

 

Di antara teluk dan pasir pantai

Serta senja yang menutup dinding laut ini

Kau mencari

Jejak nelayan

Nyiur tidak mendesir dan pelabuhan

Sudah jarang dikunjungi kapal-kapal

 

Menyandang sepi ini di sini

Menyandang kesal pikiran dan kekacauan ini

Menyandang mainan

Yang diberai ombak, senja, teluk dan pasir hitam

Seakan pecahan batu karang pada pantai yang legam

 

Kau mencari

Jejak nelayan

Nyiur tidak mendesir dan pelabuhan

Sudah jarang dikunjungi pelaut

 

Burung-burung pantai pergi, senja pergi

Tinggal genderang mainan ini

Berbunyi dan berbunyi juga

Dan betapa dekatnya sekarang

Hari haus dan lapar kita

Betapa dekatnya

 

1970

 

MEDITASI

 

Itulah bidadari Cina itu, dengan seekor kilin

dan menyeret kainnya basah: menggigil dalam kuil

(daun-daun salam berguguran dan di beranda

masih terdengar suara hujan, hujan pasir) Ia

menunjukkan yin-yang yang kabur di atas pintu

dan di mataku terasa hembusan angin yang merabunkan

(lihatlah, ujarmu, ia mengajak kita ke tempat sepi

di mana berdiri sebuah makam kaisar yang mati

dalam pertempuran merebut kota dari desa) Angin

berlarian menghamburkan bau-bauan dari tangan

perempuan-perempuan yang wangi dan kedinginan

di atas gapura yin-yang yang mulai memuat lumut

dengan tulisan-tulisan tua yang tak terbaca sudah

(langit adalah bayang-bayang, kau menyesal

telah memimpikannya; dan di sebelahnya

berdiri gedung, beribu sungai dan tebing gunung

yang terbuat dari batu, anggur dan lempung

yang kini menampakkan bintang kemukus yang panjang)

 

Itulah bidadari Cina itu dan mendekat ke arahmu

memandang dinding dan bertelanjang di sofa, tapi tak mengerti

(ia membeku jadi arca, waktu tentara kaisar mulai

membangun kota di langit) dan beribu mantra

memenuhi telinganya yang tuli

 

1972

 

ANGIN: MENDESIR LAGI

 

Angin; mendesir lagi

Hampir mengantuk

Ada sepi

Berbisik di dahan-dahan pohon

Lagi tahu, gerimis turun

 

Di luar kamar yang tembaga

Di luar rongga kata

Engkau gemetar karena musim

Cemas dalam kata

Dan tahu: ada yang tiada

Bangkit di jendela

 

Dan mungkin: senja

 

1968

 

 

BAHKAN

 

Bahkan jarum jam pun hanya mengulang

andai detiknya bukan kejemuan, kau tangkap

keluh bumi seperti anak yang tak habis berharap

dan mata kecilnya yang gelisah

memandang laut hanya dunia garam dan ikan-ikan

 

Bayang-bayangmu juga

yang susut karena lampu di pelupukmu padam

Lebih menjemukan dari rembang petang

Tapi berangkatlah!

Di seberang gelombang mungkin udara terang

 

1976

 

ANAK

 

Anak ingin menangkap gelombang

rambutnya memutih seketika

 

Ia mengerti laut dalam

tapi tak tahu di mana suaranya terpendam

 

Ketika angin berhembus

bahkan dahan-dahan pun diam

 

Ketika air surut

bahkan pasang pun tak karam

 

Ketika tidur merenggut

di langit tak sebutir bintang

 

1975

 

GNOTI SEAUTON

 

Manusia bebas, ruhnya bagai

firman Tuhan, embun dalam cuaca putih

mencucinya

Manusia bebas, ruhnya berjalan

ke tempat-tempat jauh dan menemui para nabi dan orang suci

 

Di muka laut, ditemuinya batu karang

dan awan buruk

 

Manusia bebas, ruhnya bagai

rantai emas yang dibelenggu matahari dan waktu

 

Di tengah alam yang sempit: Nasib

menyesak jantung dan tenggorokan

dan menimbulkan batuk dan dahak kotor

di tengah alam yang sempit: Kita

mencari puncak kenikmatan

 

Manusia bebas, ruhnya mencari

bayang-bayang Tuhan

 

gambar binatang

perwujudan dewa-dewa

yang putus asa

 

Di gerbang kuil besar:

Ruh terbang dan tidak kembali

 

1969

 

IN MEMORIAM AMIR HAMZAH

 

Keranjang itu masih menatap. Tahun mau berbunga

Tapi langit berangkat kemarau di jendela

 

Tanganmu: Mulut yang mengucapkan kebenaran ombak

Tapi pendayung-pendayung datang terlambat

 

Kita jenguk ke air. Obor itu menyalakan malam

Angin itu angin kita. Tapi tak menghembus sampai senja

            lain tiba.

 

1976

 

 

 

 

BATIMURUNG I

 

Tubuhmu membuat air di jeram ini berterjunan

lagi

lebih gemuruh kini melemparkan rusukku

ke tebing-tebing gunung

 

Aku terbangun

seperti kupu dari pompongnya

Perih

karena kelahiran

 

Tapi sumber-sumber yang kutemukan

dari sanalah kata memancurkan sajak dan mantra

Ladang-ladang yang kau gemburkan

kutanam di sana segala jenis padi dan buah-buahan

 

Penat kini kupikul hasil panennya

berupa rindu dan cinta

berupa gelisah dan luka

Seperti lama dulu

kupapar lagi jiwaku dalam madu di atas bara

 

1977

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler