Skip to Content

Film-film Berkilau yang Lahir dari Novel-novel Berkilau

Foto Hikmat
files/user/4/habibie-ainun-poster.jpg

Untuk menonton film terbaru, Anda harus keluar rumah. Usaha yang sangat besar.

Apalagi jika Anda tinggal di Megapolitan. Banyak tantangannya. Cuaca, macet, harga tiket yang enggan turun, keamanan, dan acara televisi yang menjanjikan, VCD, DVD, dan unduhan gratis membuat kita bisa merasakan suasana bioskop di rumah.

Berani taruhan, bioskop bukan satu-satunya hiburan di kota Anda. Faktanya, banyak kota di Indonesia tanpa bioskop. Itu tantangan film Indonesia versi Hanung Bramatyo (38).

Di Indonesia, untuk menonton film di bioskop itu ribet sekali. "Mayoritas bioskop tidak ngambah lembah (menyentuh tanah-red). Bioskop berada di lantai teratas mal. Ketika mau ke bioskop, Anda harus dandan, berbaju rapi, bersepatu. Jarang ada bioskop yang tidak mendompleng mal. Di Jakarta, hanya Metropole XXI, Epicentrum XXI, dan Tim XXI, mungkin," Hanung menukas.

Jadi jangan panik ketika jumlah penonton, khususnya film Indonesia terus melorot.

Harus ada "gula-gula" yang menggoda orang agar mau keluar rumah. Ide cerita terus digali. Salah satu lahan subur ide yang siap gali adalah novel. Dalam 12 bulan terakhir, posisi tiga besar film Indonesia terlaris dihuni Habibie & Ainun (MD Pictures) dengan 4,5 juta penonton. Menyusul 5 Cm (Soraya Intercine) yang diadaptasi dari novel Doni Dirgantara. Film ini menjual 2,392 juta tiket.

Dua film itu dirilis di pengujung 2012. Gelar film terlaris 2013 sampai artikel ini disusun, jatuh ke tangan Cinta Brontosaurus (Starvision). Film dari novel Raditya Dika dan digarap Fajar Nugross ini menyerap hampir 900 ribu penonton. Film berkilau lahir dari novel berkilau.

Premis ini terasa masih prematur. Tapi kita tidak bisa menampik fakta banyak film box office lahir dari rahim novel. Sebutlah Laskar Pelangi, dwilogi Ketika Cinta Bertasbih, Hafalan Shalat Delisa, Eiffel I'm In Love, Surat Kecil Untuk Tuhan, atau Ayat-Ayat Cinta. Mengapa novel dijadikan andalan?

"Melahirkan image baru untuk film risiko gagalnya hingga 80 persen. Effort yang dikeluarkan produser terlalu besar. Misalnya, saya bikin film superhero namanya Jogjaman. Siapa Jogjaman? Orang tidak kenal. Orang Yogyakarta atau Jawa Tengah mungkin tertarik. Bagaimana dengan publik di luar Jawa?" Hanung mengulas.

Rumah produksi harus membangun kesadaran siapa Jogjaman, jauh sebelum film itu dilempar ke pasar. Masyarakat harus ngeh dulu bahwa ada pahlawan baru bernama Jogjaman.

Artinya, butuh bujet kolosal untuk departemen promosi. Biayanya bisa dua kali lipat biaya membuat film. Idealnya, biaya promosi film 100 sampai 200 persen dari biaya produksi. Jika biaya produksi Rp 6 miliar, maka dana promosi semestinya Rp 6 sampai 12 miliar.

Logikanya, kata Hanung, produser mana yang mau mencairkan dana promosi yang bisa dipakai untuk membuat 3 film dari pita seluloid? Maka, produser memilih materi (skenario) film yang tanpa dipublikasikan pun, materi itu bisa "bicara sendiri" di hadapan khalayak.

Anda mungkin bertanya, Ada Apa Dengan Cinta? (AADC?) dan Petualangan Sherina cerita asli tapi, kok bisa sukses?

"Keduanya tidak diangkat dari novel. Sukses, karena saat itu tidak ada film Indonesia. Hampir tidak ada pilihan film Indonesia. Ndilalah, AADC? dan Sherina ditangani dengan sangat apik. Penonton mau didikte untuk nonton film itu, lha wong kualitasnya bagus. Jelangkung meledak karena waktu itu tidak ada film horor generasi baru. Ndilalah Jelangkung dieksekusi dengan brilian. Penonton semakin jatuh hati," papar Hanung yang meraih dua Piala Citra di bidang penyutradaraan.

Penonton aktif usia 10-20 tahun
Habibie & Ainun misalnya, tanpa ada novelnya pun, masyarakat sudah mengenal figur Habibie dan Ainun. Novel Habibie & Ainun bahkan diklaim terjual 200 juta kopi di seluruh dunia. Film 5 Cm, dengan desain poster ciamik dan novel bergelar bestseller, menggelar panen raya di bioskop. Dan siapa yang tidak kenal Raditya Dika? Cinta Brontosaurus, bukti kedigdayaan penulis dengan follower 5,9 juta di Twitter itu!

Ketiga film ini memiliki segmentasi berbeda. Hanung menyampaikan analisisnya. "Ini analiss serampangan. Saya pernah meraup penonton 3,8 juta lewat Ayat-ayat Cinta. Pernah juga mengais 30 ribu penonton di film Catatan Akhir Sekolah. Begini, penonton aktif berusia 10-20 tahun. Merekalah yang sregep ke bioskop. Bagi mereka, ke bioskop bukan hanya untuk menonton tetapi karena mereka menjadikan bioskop sebagai gaya hidup. Itu menurut survei AGB Nielsen," urainya panjang.

Kalau menembak pasar anak muda, penonton film Indonesia tidak akan lebih dari 2,8 juta. Itu yang terjadi pada AADC?, Titanic (khusus peredaran di Indonesia-red), atau yang terakhir meledak 5 Cm. Jika mau dapat lebih, Hanung menyarankan produser, meluaskan ceruk pasar dengan menjangkau segmen ibu-ibu atau keluarga. Itu yang terjadi pada Laskar Pelangi.

Para guru yang merasa terwakili kisah heroik Bu Muslimah mengajak murid-murid menonton. Habibie & Ainun menyihir pasangan yang telah menikah untuk kembali memaknai pernikahan lewat sosok Habibie dan istrinya.

"Ketika memilih tema untuk merebut penonton, pastikan tema ini penting bagi calon penonton. Itu kalau mau ditonton jutaan orang. Horor masih eksis. Aksi, pilihan alternatif. Cinta adalah tema abadi," pungkas Hanung yang menjabat co-producer Habibie & Ainun.


Sumber: tabloidbintang.com, Sabtu, 09 November 2013 07:49 WIB

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler